SURAT KEDUA PULUH EMPAT

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    13.49, 21 Ocak 2025 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 208393 numaralı sürüm ("Sosok tersebut sudah pasti berasal dari makhluk hidup, karena spesies alam yang paling sempurna adalah makhluk hidup. Lalu ia tentu dari makhluk yang memiliki perasaan karena makhluk hidup yang paling sempurna adalah yang memiliki perasaan. Lalu, sosok tersebut pastilah berupa manusia karena manusia merupakan entitas yang memiliki potensi tak terhingga untuk meningkat. Sudah pasti sosok itu adalah Muhammad. Pasalnya, tidak ada seorang pun dalam sejarah y..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    (fark) ← Önceki sürüm | Güncel sürüm (fark) | Sonraki sürüm → (fark)
    Diğer diller:

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”(QS. Ibrâhîm [14]: 27).“Dia memutuskan apa yang Dia inginkan.” (QS. al-Mâidah [5]: 1).

    Pertanyaan:Bagaimana didikan yang penuh kasih sayang sebagai konsekuensi dari nama Allah ar-Rahîm, pengaturan yang sesuai dengan sejumlah maslahat sebagai konsekuensi dari nama Allah al- Hakîm, kelembutan yang penuh cinta sebagai konsekuensi dari nama Allah al-Wadud, sejalan dengan sesuatu yang menakutkan seperti kematian, ketiadaan, kepergian, perpisahan, musibah, dan kesulitan? Anggaplah apa yang dialami oleh manusia di jalan kematian sebagai sesuatu yang baik karena menuju kebahagiaan abadi, akan tetapi kasih sayang seperti apa yang tampak, hikmah dan maslahat seperti apa yang terlihat, kelembutan seperti apa yang terdapat dalam proses memfanakan pohon, tumbuhan, bunga yang indah, lembut dan hidup; hewan yang layak eksis yang mencintai kehidupan dan ingin abadi tanpa pengecualian serta dalam proses pelenyapan- nya tanpa penundaan satupun darinya? Juga proses mempekerjakan mereka dalam kesulitan, transformasinya lewat sejumlah ujian tanpa membiarkan satupun dari mereka untuk merasa lapang? Serta proses mematikannya tanpa jeda dan tanpa memberikan kesempatan untuk tinggal sebentar serta tanpa rida dari mereka?

    Jawaban: Untuk bisa menjawab pertanyaan di atas, kami berusaha melihat hakikat agung tersebut dari jauh, sebab ia merupakan hakikat yang sangat luas, dalam, dan tinggi agar ia dapat disaksikan dengan jelas. Kami akan menerangkan faktor penyebabnya dalam lima ram- bu dan kami akan menjelaskan berbagai tujuan serta manfaatnya dalam lima petunjuk.

    KEDUDUKAN PERTAMA

    (terdiri dari lima rambu)

    Rambu Pertama

    Kami telah menjelaskan dalam penutup ‘Kalimat Kedua Pu- luh Enam’ bahwa seorang desainer yang mahir mempekerjakan seorang miskin dengan upah yang layak. Orang tersebut ditugaskan untuk menjadi model agar sang desainer tersebut bisa menjahit sebuah pakaian yang bagus dan mewah dibalut perhiasan paling indah. Tujuannya untuk memperlihatkan kemahiran dan kreasinya. Ia pun memotong, menggunting, memendekkan, dan memanjangkan pakaian tersebut di tubuh orang tadi. Desainer tersebut menyuruhnya duduk, berdiri, serta menyuruhnya dalam berbagai posisi. Nah, layakkah orang itu berkata kepada sang desainer, “Mengapa engkau mengubah pakaian yang telah membuatku tampil indah ini? Mengapa engkau menggantinya? Mengapa engkau menyuruhku duduk dan berdiri sehingga membuatku penat?!

    Demikian pula Sang Pencipta Yang Mahaagung. Dia menjadi- kan esensi setiap jenis entitas sebagai standar dan model. Dia memakaikan pakaian berhias indra kepada segala sesuatu terutama makhluk hidup, lalu mengukirnya dengan sejumlah ukiran pena qa- dha dan qadar serta memperlihatkan sejumlah manifestasi nama-nama-Nya guna menampakkan kesempurnaan kreasi-Nya lewat ukiran nama-nama-Nya. Selain itu, Dia juga memberi kepada setiap entitas sebuah kesempurnaan, kenikmatan, dan limpahan karunia sebagai upah yang sesuai.

    Layakkah makhluk menggugat Sang Pencipta Yang Mahaagung, di mana Dia Sang Pemilik kerajaan; yang berhak melakukan apa saja di kerajaan-Nya, dengan berkata, “Mengapa Engkau membuatku penat dan mengganggu ketenanganku?” Sama sekali tidak layak.

    Makhluk tidak memiliki hak apapun terhadap Sang Wajibul wujud. Ia tidak bisa mengaku memiliki hak apapun. Namun kewajibannya adalah selalu bersyukur dan memuji-Nya karena Dia telah memberikan sejumlah tahapan wujud untuknya. Sebab, seluruh tahapan wujud yang diberikan kepada makhluk adalah kejadian yang membutuhkan sebab. Sementara tahapan wujud yang tidak Dia berikan bersifat mungkin. Sementara yang bersifat mungkin adalah tiada dan tidak terhingga. Ketiadaan tidak membutuhkan sebab. Sesuatu yang tidak terhingga dan tidak memiliki ujung, tidak memiliki sebab.

    Contoh: Mineral tidak berhak mengeluh dengan berkata, “Mengapa kami tidak menjadi tumbuhan?!” Namun kewajibannya adalah bersyukur kepada Penciptanya atas nikmat “wujud” yang diberikan kepadanya sebagai mineral.Begitu pula dengan tumbuhan. Ia tidak berhak mengeluh. Ia tidak bisa berkata, “Mengapa aku tidak menjadi binatang?!” Namun kewajibannya adalah bersyukur kepada Allah yang telah memberikan “wujud dan kehidupan” kepadanya. Hal yang sama berlaku pada binatang. Ia tidak berhak mengeluh dengan berkata, “Mengapa aku tidak menjadi manusia?” Namun ia harus mensyukuri “wujud, kehidupan, dan ruh mulia” yang diberikan oleh Allah kepadanya. Demikian seterusnya.

    Wahai manusia yang mengeluh! Engkau tidak tetap dalam kondisi tiada. Engkau telah diberi pakaian wujud dan merasakan nikmat hidup. Engkau tidak menjadi benda mati dan tidak berupa hewan. Engkau juga telah mendapat nikmat Islam. Engkau tidak berada dalam kesesatan. Serta engkau telah merasakan nikmat sehat dan keselamatan.

    Wahai orang yang kufur nikmat! Apakah sesudah penjelasan di atas engkau masih merasa memiliki hak atas Allah? Engkau masih belum bersyukur kepada Allah atas nikmat tingkatan wujud yang Dia berikan. Namun engkau mengeluhkan Allah karena tidak mendapat sejumlah nikmat berharga yang bersifat mungkin, sejumlah ketiadaan, serta sejumlah hal yang engkau tidak berhak atasnya. Engkau mengeluh dengan sikap tamak dan mengingkari nikmat-Nya.Andaikan ada seseorang yang dinaikkan ke puncak menara yang tinggi di mana menara tersebut memiliki banyak tingkat. Pada setiap tingkat ia menerima hadiah berharga, lalu ia melihat dirinya berada di puncak menara, pada kedudukan yang tinggi. Pantaskah ia tidak berterima kasih kepada si pemilik nikmat lalu menangis dan menyesal seraya berkata, “Mengapa aku tidak bisa naik ke tempat yang lebih tinggi daripada menara ini?” Kalau ini yang dilakukan tentu merupakan kesalahan besar. Betapa hal itu merupakan ketidak-warasan dan kufur nikmat. Orang gila sekalipun dapat memahaminya.

    Wahai manusia yang tamak; tidak qana’ah! Wahai orang yang boros; tidak hemat! Wahai orang yang mengeluh tanpa hak! Wahai orang yang lalai! Ketahuilah dengan pasti bahwa qana’ah adalah bentuk syukur yang menguntungkan. Sementara tamak adalah bentuk kekufuran yang merugikan. Hemat adalah bentuk penghormatan terhadap nikmat yang indah dan berguna. Sementara boros adalah sikap meremehkan nikmat, dan sikap meremehkan adalah buruk dan berbahaya. Jika engkau cerdas, biasakan dirimu untuk bersikap qana’ah serta berusahalah untuk selalu rida. Jika tidak mampu, ucapkan, “Yâ shabûr” (Wahai Yang Mahasabar). Hiasi dirimu dengan sabar.Terimalah hakmu dan jangan pernah mengeluh. Ketahuilah apa yang engkau keluhkan dan kepada siapa engkau mengeluh. Sebaiknya engkau diam saja! Jika terpaksa harus mengeluh, keluhkan dirimu kepada Allah. Sebab kekurangan ada pada dirimu.

    Rambu Kedua

    Pada penutup persoalan terakhir dari “Surat Kedelapan Belas”, kami telah menyebutkan bahwa salah satu hikmah mengapa Sang Pencipta Yang Mahaagung terus-menerus mengganti dan memperbaharui entitas dalam bentuk yang mencengangkan lewat rububiyah-Nya yang agung adalah karena aktivitas dan gerakan pada makhluk bersumber dari satu keinginan, kerinduan, kenikmatan, dan cinta.

    Sehingga bisa dikatakan bahwa setiap aktivitas memiliki satu bentuk kenikmatan. Bahkan setiap aktivitas merupakan kenikmatan itu sendiri. Kenikmatan itupun mengarah kepada sebuah kesempurnaan. Bahkan ia merupakan satu bentuk kesempurnaan.

    Karena aktivitas mengarah pada kesempurnaan, kenikmatan, dan keindahan, sementara Sang Wajibul wujud, Allah, merupakan kesempurnaan mutlak, Maha Sempurna Yang Mahaagung, Dzat yang mengumpulkan seluruh jenis kesempurnaan pada dzat, sifat, dan perbuatan-Nya, maka sudah pasti Sang Wajibul wujud memiliki kasih sayang suci tak terbatas, serta cinta murni tak terhingga yang sesuai dengan kemutlakan eksistensi dan kesucian-Nya, kemuliaan dzat dan kekayaan mutlak-Nya, serta kemurnian dzat dan kesempurnaan mutlak-Nya. Tentu saja Dia memiliki kerinduan suci tak terbatas yang bersumber dari kasih sayang dan cinta yang suci. Dia juga memiliki kegembiraan suci yang tak terkira yang bersumber dari kerinduan suci tersebut. Dia memiliki kenikmatan suci tak terkira yang bersumber dari kegembiraan suci tadi.

    Sudah pasti di samping memiliki kenikmatan suci, Dia juga memiliki keridaan suci tak terhingga dan kebanggaan suci tak terbatas yang bersumber dari rida dan kesempurnaan makhluk lewat gerak potensinya dari kekuatan menuju perbuatan saat bergerak dan menjadi sempurna melalui aktivitas qudrah-Nya dalam wilayah rahmat-Nya yang luas. Rida-Nya yang suci dan mutlak serta kebanggaan-Nya yang juga bersifat mutlak melahirkan aktivitas-Nya yang bersifat mutlak dalam bentuk yang tak terhingga. Aktivitas tak terhingga tersebut juga menuntut pergantian dan perubahan tak terhingga. Lalu pergantian dan perubahan tak terhingga itu menuntut kematian, ketiadaan, kepergian, dan perpisahan.

    Pada suatu waktu aku melihat bahwa berbagai pelajaran yang terkait dengan tujuan makhluk seperti yang ditegaskan oleh filsafat dan pengetahuan manusia adalah sesuatu yang tidak bernilai. Saat itu aku memahami bahwa filsafat tersebut mengantarkan pada kesia-siaan. Dari sini, filsuf yang tenggelam dalam dunia filsafat; entah tersesat dalam kubangan alam materi, atau menjadi sofis, atau mengingkari kehendak dan ilmu ilahi, atau menyebut Sang Pencipta sebagai al-Mûjibu bi adz-Dzât (Dzat yang mewajibkan sendiri).

    Dalam kondisi demikian, rahmat ilahi mengirim nama-Nya al-Hakîm untuk menolongku. Dia memperlihatkan berbagai tujuan makhluk yang agung. Artinya, setiap makhluk merupakan “surat rabbani” yang penuh hikmah di mana ia bisa ditelaah oleh semua makhluk yang memiliki perasaan. Tujuan ini cukup bagiku selama satu tahun.

    Lalu berbagai hal luar biasa dalam penciptaan tersingkap. Maka, tujuan pertama tidak lagi memadai. Kemudian diperlihatkan kepadaku tujuan lain yang jauh lebih agung daripada yang pertama.Yaitu bahwa tujuan makhluk yang paling penting adalah mengarah kepada Penciptanya. Dengan kata lain, makhluk memperlihatkan berbagai kesempurnaan kreasi Penciptanya, ukiran nama-na- ma-Nya, hiasan hikmah-Nya, serta hadiah rahmat-Nya di hadapan penglihatan-Nya. Ia pun menjadi cermin bagi keindahan dan kesempurnaan-Nya. Begitulah aku memahami tujuan tersebut. Hal ini untuk beberapa lama sudah cukup bagiku.

    Lalu tampak sejumlah mukjizat qudrah-Nya dan kondisi rububiyah-Nya dalam melakukan perubahan dan penggantian yang sangat cepat dalam lingkup perbuatan-Nya yang mencengangkan dalam menciptakan segala sesuatu. Sehingga tujuan tadi menjadi tidak cukup. Akupun sadar bahwa terdapat sebab dan faktor yang besar yang setara dengan tujuan agung tersebut.

    Pada saat itulah berbagai konsekuensi yang terdapat dalam rambu kedua serta sejumlah tujuan yang disebutkan dalam petunjuk yang akan datang terlihat olehku. Akupun menjadi tahu dengan yakin bahwa aktivitas qudrah- Nya di alam ini serta perjalanan segala sesuatu membawa banyak makna di mana Sang Pencipta Yang Mahabijak membuat beragam entitas menuturkan aktivitas-Nya tadi. Bahkan gerakan langit dan bumi, serta gerakan seluruh entitas merupakan untaian kata dari tuturan tersebut, serta perjalanan dan putarannya merupakan bentuk perkataan dan ucapan.

    Artinya, berbagai gerakan dan perubahan yang bersumber dari aktivitas Tuhan merupakan kalimat tasbih, serta aktivitas-Nya yang terdapat di alam adalah tuturan pasif dari alam dan berbagai spesiesnya.

    Rambu Ketiga

    Segala sesuatu tidak menuju ketiadaan dan tidak berakhir pada kefanaan. Namun ia berjalan dari wilayah qudrah menuju wilayah ilmu-Nya. Ia berpindah dari alam nyata menuju alam gaib. Ia pergi dari alam perubahan dan fana menuju alam cahaya dan abadi. Keindahan dan kesempurnaan pada sesuatu dilihat dari perspektif hakikat mengacu kepada nama-nama Ilahi serta kepada ukiran dan manifestasinya.Karena nama-nama Allah bersifat abadi dan manifestasinya bersifat kekal, sudah pasti ukirannya selalu tampil baru, indah, dan berubah. Ia tidak pergi menuju ketiadaan dan kefanaan. Akan tetapi, tampilan dan bungkusnya yang berganti. Adapun hakikat, esensi, dan identitasnya yang merupakan sumber keindahan serta wujud limpahan karunia dan kesempurnaan bersifat kekal abadi.

    Kebaikan dan keindahan pada sesuatu yang tidak bernyawa mengacu pada nama-nama Ilahi secara langsung. Jadi, kemuliaan dan pujian merupakan milik nama-Nya. Sebab, keindahan merupakan milik nama-Nya, serta cinta juga mengarah kepadanya. Pergantian cermin entitas tidak mempengaruhi nama-nama-Nya.

    Apabila sesuatu itu bernyawa, namun tidak termasuk yang berakal, maka perpisahan dan kepergiannya bukan merupakan kefanaan dan ketiadaan. Namun sesuatu yang hidup itu terbebas dari wu- jud fisiknya dan dari tugas-tugas hidup yang banyak. Ia menitipkan buah tugas yang ia dapat kepada ruhnya yang abadi. Ruh-ruhnya bersifat tetap dan permanen dengan bersandar kepada nama-nama Ilahi. Ia pergi menuju kebahagiaan yang sesuai dengannya.

    Adapun jika makhluk bernyawa itu termasuk yang berakal, mereka menuju kepada kebahagiaan abadi dan alam kekal yang berlandaskan kesempurnaan materi dan maknawi. Karena itu, perpisahan dan kepergian mereka bukan meru- pakan kematian, ketiadaan, dan perpisahan. Akan tetapi, menyatu dengan kesempurnaan. Ia adalah wisata yang menyenangkan menuju alam milik Sang Pencipta Yang Mahabijak; alam yang lebih indah dan bercahaya dari pada dunia seperti alam barzakh, alam misal, serta alam arwah, juga menuju kerajaan-Nya yang lain.

    Kesimpulan: selama Sang Pencipta Yang Mahaagung ada dan kekal, Sifat-sifat-Nya bersifat permanen dan nama-Nya bersifat kekal, tentu manifestasi nama-nama dan ukirannya selalu tampak baru dalam keabadian maknawi. Ia bukan penghancuran, kefanaan, ketiadaan, dan perpisahan. Pasalnya, seperti diketahui, dilihat dari sisi kemanusiaan, manusia memiliki relasi dengan sebagian besar entitas. Ia merasa bahagia dengan kebahagiaan mereka, dan merasa sakit dengan musibah yang mereka alami. Terutama dengan mereka yang hidup. Lebih khusus lagi dengan manusia, dan lebih khusus lagi orang yang ia cintai dan ia hormati. Manusia sangat sedih dengan derita yang mereka alami, dan sangat bahagia dengan kebahagiaan mereka. Bahkan manusia rela mengorbankan kebahagiaannya demi membahagiakan mereka sama seperti seorang ibu yang rela mengorbankan kebahagiaannya demi anaknya.

    Dengan cahaya al-Qur’an dan rahasia iman, setiap mukmin dapat merasakan kebahagiaan dengan kebahagiaan, keabadian dan keselamatan seluruh makhluk dari ketiadaan serta kondisi mereka yang menjadi tulisan rabbani yang berharga. Ia mendapat cahaya agung sebesar dunia. Masing-masing mendapatkan manfaat dari ca- haya tersebut sesuai dengan derajatnya.Namun jika ia orang yang sesat, di samping sakitnya sendiri, ia akan merasa sakit dengan kebinasaan dan kepergian makhluk secara lahir serta dengan derita makhluk yang bernyawa di antara mereka. Dengan kata lain, kekufurannya memenuhi dunia dengan ketiadaan lalu menuangkan ke kepalanya. Iapun pergi menuju neraka maknawi sebelum digiring menuju neraka akhirat.

    Rambu Keempat

    Seperti yang disebutkan dalam sejumlah bagian dari Risalah Nur bahwa penguasa atau raja memiliki sejumlah wilayah berbeda yang bersumber dari atribut dan gelar yang beragam, seperti sultan, khalifah, penguasa, pemimpin, serta berbagai atribut dan gelar lainnya. Allah lebih daripada itu. Nama-nama-Nya yang mulia memiliki manifestasi beragam yang tak terhingga. Keragaman makhluk bersumber dari keragaman manifestasi tersebut.

    Karena setiap pemilik seluruh keindahan dan kesempurnaan ingin menyaksikan dan mempersaksikan keindahan dan kesempurnaannya, maka beragam nama-Nya itu yang bersifat kekal abadi menuntut tampilan yang juga bersifat abadi atas nama Dzat yang suci. Dengan kata lain, beragam nama-Nya tersebut ingin melihat dan memperlihatkan manifestasi keindahannya dan pantulan kesempurnaannya dalam cermin ukirannya. Artinya, ia menuntut pembaharuan kitab alam yang besar setiap waktu. Tulisannya selalu terus diperbaharui dengan tujuan tertentu. Yakni, ia menuntut penulisan ribuan tulisan beragam dalam sebuah lembaran serta memperlihatkan setiap tulisan tersebut di hadapan pandangan Dzat-Nya yang suci di samping penghamparannya kepada penglihatan makhluk yang memiliki perasaan. Perhatikan syair berikut yang menunjukkan hakikat di atas:

    Lembaran kitab alam... jenisnya tidak terbilang Untaian huruf dan katanya...

    bagian-bagiannya tidak terbatas

    Telah ditulis di lembaran hakikat lauhil mahfudz:

    setiap entitas di alam merupakan lafal bermakna yang berwujud Perhatikan baris-baris entitas, ia adalah risalah dari Tuhan untukmu(*[1])

    تَاَمَّل۟ سُطُورَ ال۟كَائِنَاتِ فَاِنَّهَا مِنَ ال۟مَلَاِ ال۟اَع۟لٰى اِلَي۟كَ رَسَائِلُ

    Rambu Kelima:

    Penjelasan tentang Dua Nuktah

    Nuktah Pertama

    selama Allah ada, maka segala sesuatu juga ada. Karena ada relasi dengan Sang Wajibul wujud, maka segala sesuatu ada untuk semua makhluk. Lewat relasi dan penisbatan dengan Sang Wajibul wujud, setiap entitas terpaut dengan seluruh entitas melalui rahasia kesatuan. Artinya, setiap entitas yang mengetahui atau diketahui relasinya dengan Sang Wajibul wujud memiliki hubungan dengan seluruh entitas yang bernisbat kepada Wajibul wujud melalui rahasia wahdah (kesatuan-Nya). Artinya, dari titik penisbatan tersebut, segala sesuatu memperoleh cahaya wujud yang tak terbatas. Karena itu, pada titik tersebut tidak ada perpisahan dan kelenyapan. Sehingga hidup sesaatpun merupakan sumber cahaya wujud yang tak terhingga.

    Sementara bila penisbatan dengan Allah tidak ada atau tidak diketahui, maka segala sesuatu akan merasakan berbagai jenis perpisahan dan ketiadaan yang tak terhingga. Sebab, dalam kondisi tersebut sesuatu dapat lenyap dan berpisah dengan setiap entitas yang mungkin memiliki ikatan. Dengan kata lain, ia membungkus wujud dirinya dengan berbagai jenis ketiadaan dan perpisahan yang tak terhingga. Andaikan ia tetap ada selama jutaan tahun tanpa pe- nisbatan kepada Allah, maka hal itu tidak bisa menyamai kehidupan sesaat yang di dalamnya memiliki ikatan dengan-Nya.Karena itu, ahli hakikat berkata, “Sesaat dari keberadaan yang bersinar lebih baik daripada sejuta tahun keberadaan yang terputus (dari-Nya).” Artinya, sesaat dari keberadaan yang bernisbat dengan Wajibul wujud lebih utama daripada sejuta tahun keberadaan yang tidak bernisbat dengan-Nya. Karena itu, ulama hakikat berkata, “Cahaya wujud adalah mengenal Sang Wajibul wujud.” Dengan kata lain, dalam kondisi tersebut, entitas yang mendapatkkan cahaya wujud dipenuhi oleh malaikat, ruhaniyyûn (makhluk spiritual) dan makhluk yang memiliki perasaan. Sebaliknya, ketika Wajibul wujud tidak dikenal, gelapnya ketiadaan dan pedihnya perpisahan mengitari setiap entitas. Dunia dalam pandangan orang tersebut adalah tempat yang menakutkan, sunyi, dan sepi.

    Ya, sebagaimana setiap buah di pohon memiliki hubungan dengan seluruh buah yang berada di pohon tersebut serta membentuk semacam ikatan persaudaraan, pertemanan, dan hubungan kuat di antara mereka, ia juga memiliki sejumlah wujud non-esensial sebanyak buah yang ada. Akan tetapi, ketika buah itu dipetik dari pohon, perpisahan juga dialami oleh seluruh buah. Jika dibandingkan dengan buah yang dipetik, maka seluruh buah dianggap tidak ada. Sehingga ia diliputi oleh gelapnya ketiadaan yang bersifat eksternal.

    Demikian pula, setiap sesuatu memiliki segala sesuatu dilihat dari titik penisbatannya dengan qudrah Dzat Ahad shamad (Yang Mahaesa lagi Maha dibutuhkan). Apabila tidak ada penisbatan, maka berbagai bentuk ketiadaan eksternal sebanyak segala sesuatu juga menimpa segala sesuatu.

    Lewat rambu ini engkau bisa melihat keagungan cahaya iman dan melihat gelapnya kesesatan yang menakutkan. Jadi, iman adalah lambang hakikat mulia yang diterangkan dalam rambu ini. Hakikat ini tidak bisa dipetik kecuali dengan iman. Pasalnya, sebagaimana setiap sesuatu adalah tiada bagi orang buta, tuli, bisu, dan gila, demikian pula setiap sesuatu menjadi tiada dan gelap lewat ketiadaan iman.

    Nuktah Kedua

    dunia dan segala sesuatu memiliki tiga sisi:

    Sisi pertama: mengarah kepada nama-nama Ilahi. Ia merupakan cermin baginya. Kelenyapan, perpisahan, dan ketiadaan tidak memberikan pengaruh pada sisi ini. Yang ada hanyalah pembaharuan.

    Sisi kedua: mengarah kepada akhirat dan alam keabadian. Ia ibarat ladangnya. Sisi ini menghasilkan buah abadi. Sisi ini juga membantu keabadian, sebab ia mengubah yang fana menjadi kekal. Ia juga berisi manifestasi kehidupan dan keabadian; bukan kematian dan perpisahan.

    Sisi ketiga: mengarah kepada yang fana. Artinya, ia mengarah kepada kita. Ia merupakan sisi yang disenangi oleh makhluk yang fana dan penurut hawa nafsu. Ia merupakan tempat bisnis bagi kalangan yang memiliki perasaan dan merupakan medan ujian bagi para pengemban tugas. Begitulah, manifestasi keabadian dan kehidupan yang terdapat pada hakikat sisi ketiga ini menjadi balsam penyembuh luka akibat pedihnya perpisahan, kematian, dan ketiadaan di sisi dunia ini.

    Kesimpulan: Entitas yang terus mengalir dan makhluk yang terus bergilir tidak lain adalah bayangan yang bergerak dan tayangan yang terus berganti untuk memperbaharui cahaya penciptaan Sang Wajibul wujud.

    KEDUDUKAN KEDUA

    Berisi Sebuah Pendahuluan dan Lima Petunjuk

    Pendahuluan

    Pendahuluan berisi dua topik bahasan

    Bahasan Pertama

    Dalam lima petunjuk di bawah ini akan dituliskan sejumlah perumpamaan sebagai teropong kecil, halus, dan redup untuk melihat hakikat “kondisi rububiyah”. Perumpamaan tersebut tentu saja tidak dapat mengungkap hakikat kondisi rububiyah secara sempurna dan tidak bisa menjadi standar untuknya. Namun lewat teropong tersebut, ia dapat membantu seseorang untuk melihat kondisi rububiyah yang luar biasa itu.Kemudian berbagai ungkapan yang tidak sesuai dengan kondisi Dzat Yang Mahasuci yang terdapat dalam berbagai perumpamaan yang ada serta pada rambu-rambu di atas tidak lain bersumber dari keterbatasan perumpamaan itu sendiri.

    Misalnya berbagai makna yang populer untuk istilah kenikmatan, kesenangan, dan keridaan tidak bisa menjelaskan kondisi dan sifat suci milik Allah. Ia hanyalah simbol serta teropong refleksi semata. Kemudian berbagai perumpamaan tersebut membuktikan hakikat hukum rububiyah yang menyeluruh dan agung seputar kondisi rububiyah lewat penampakan sebagian hukum itu pada sebuah contoh kecil.Misalnya, telah dijelaskan bahwa bunga pergi dari alam wujud. Namun ia meninggalkan ribuan jenis wujud lain, baru kemudian pergi. Dengan contoh ini hukum rububiyah yang agung memperlihatkan bahwa hukum tersebut berlaku pada seluruh musim semi sebagaimana juga berlaku pada seluruh entitas dunia.

    Ya, lewat sebuah hukum, Sang Pencipta Yang Maha Penyayang mengganti busana dan bulu burung lalu memperbaharuinya. Dengan hukum yang sama, Sang Pencipta Yang Mahabijak memperbaharui busana bola bumi setiap tahun. Dengan hukum yang sama pula, Dia mengganti bentuk seluruh alam saat kiamat terjadi.

    Dengan sebuah hukum, Allah menggerakkan partikel seperti seorang Maulawi yang berputar. Dengan hukum yang sama, Dia menggerakkan bola bumi sebagaimana seorang maulawi tertarik oleh zikir. Bahkan dengan hukum itu pula, Dia menggerakkan alam dan mengatur sistem tata surya.

    Dengan sebuah hukum, Allah memperbaharui dan mengem- bangkan sel-sel tubuh. Dengan hukum yang sama, Dia memperbaharui kebunmu berkali-kali pada setiap tahun dan setiap musim. Dengan hukum yang sama pula, Dia memperbaharui permukaan bumi pada setiap musim semi serta menghamparkannya dalam kondisi baru.

    Dengan sebuah hukum yang penuh hikmah, Sang Pencipta Yang Mahakuasa menghidupkan seekor lalat. Dengan hukum yang sama, Dia menghidupkan pohon sycamore di depan kita ini pada setiap musim semi. Dengan hukum itu pula, Dia menghidupkan bumi pada musim semi serta menghidupkan seluruh makhluk di hari kebangkitan. Al-Qur’an menjelaskan hal ini dengan firman-Nya: “Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa.” (QS. Luqmân [31]: 28). Hal ini berlaku pula untuk yang lain.

    Terdapat banyak sekali hukum rububiyah seperti itu yang berlaku mulai dari partikel hingga keseluruhan alam. Perhatikan keagungan hukum-hukum yang dikandung oleh aktivitas rububiyah-Nya serta renungkan jangkauannya yang luas, lalu lihat rahasia wahdah (kesatuan) di dalamnya. Perlu diketahui bahwa setiap hukum merupakan bukti tauhid.Ya, setiap hukum dari sekian hukum yang sangat banyak itu, karena pada waktu bersamaan merupakan satu hukum yang mencakup alam wujud, maka ia menegaskan keesaan Sang pencipta Yang Mahamulia berikut pengetahuan dan kehendak-Nya. Di samping itu, ia adalah salah satu bentuk manifestasi pengetahuan dan kehendak tersebut.

    Begitulah berbagai perumpamaan yang terdapat pada sebagian besar bahasan “al-Kalimât” menjelaskan satu sisi dan bagian dari contoh hukum tersebut dalam sebuah misal parsial. Dengan demikian, ia menunjukkan keberadaan hukum yang sama pada apa yang dinyatakan. Selama perumpamaan yang ada menjelaskan realitas hukum, berarti ia juga menguatkan pernyataan yang ada sebagai sebuah bukti logis. Artinya, sebagian besar perumpamaan yang terdapat dalam “al-Kalimât,” masing-masing berposisi seperti argumen dan bukti yang kuat.

    Bahasan Kedua

    Dalam ‘hakikat kesepuluh’ dari “Kalimat Kesepuluh” disebutkan bahwa setiap buah dan setiap bunga yang terdapat di sebuah pohon memiliki tujuan dan hikmah sebanyak buah dan bunganya. Hikmah tersebut terdiri dari tiga bagian:Satu bagian mengarah kepada Sang Pencipta. Ia memperlihatkan ukiran nama-nama-Nya. Bagian yang lain mengarah kepada makhluk yang memiliki perasaan. Seluruh entitas dalam pandangan mereka adalah pesan bernilai serta untaian kata yang bermakna. Bagian terakhir mengarah kepada dirinya sendiri, kepada hidup dan kekekalannya. Ia memiliki hikmah sesuai dengan manfaat yang didapat manusia, jika memang memberi manfaat.

    Ketika aku menelaah tujuan yang banyak dari makhluk, alinea berbahasa Arab berikut ini terlintas dalam benakku. Kutuliskan ia dalam bentuk catatan berdasarkan lima petunjuk yang ada:

    Makhluk yang terlihat jelas ini merupakan tayangan yang bergerak dan bayangan yang berjalan untuk memperbaharui manifestasi cahaya penciptaan Allah lewat perubahan bentuk yang bersifat relatif:

    Pertama:dengan tetap terpeliharanya berbagai esensi indah dan identitas imajinernya.

    Kedua:dengan tetap dihasilkannya berbagai hakikat gaib dan salinannya.

    Ketiga:dengan tetap disebarkannya buah ukhrawi dan pemandangan abadi.

    Keempat:dengan tetap diungkapkannya tasbih rabbani dan konsekuensi nama-Nya.

    Kelima:dengan tetap terlihatnya berbagai atribut suci Tuhan dan pentas ilmu-Nya.

    Pada lima alinea di atas terdapat dasar-dasar petunjuk berikut yang akan menjadi bahasan kita. Ya, setiap entitas, terutama makhluk hidup, memiliki lima tingkatan hikmah dan tujuan yang berbeda. Sebagaimana pohon yang berbuah menghasilkan buah melalui dahan-dahannya, demikian pula setiap makhluk hidup memiliki tujuan dan hikmah yang berbeda-beda dalam lima tingkatan.

    Wahai manusia yang fana! Jika engkau ingin mengubah hakikatmu yang ibarat benih kecil menjadi sebuah pohon abadi yang berbuah, serta ingin mendapatkan sepuluh tingkatan buah sebagaimana yang dijelaskan dalam lima petunjuk dan sepuluh jenis tujuan, maka milikilah iman yang hakiki. Jika tidak, engkau tidak akan mendapatkan seluruh tujuan dan buah tersebut. Selain itu, engkau akan menjadi rusak dalam benih kecil itu.

    Petunjuk Pertama:

    Kalimat tersebut menjelaskan bahwa meskipun setiap entitas sirna dari wujud, di mana secara lahiriah ia pergi menuju ketiadaan, namun makna yang disampaikan tetap terpelihara. Demikian pula dengan identitas maknawi, gambaran, dan substansinya terpelihara di alam misal, di lauhil mahfuzh yang merupakan prototipe dari alam misal, serta di memori ingatan yang merupakan prototipe dari lauhil mahfuzh. Artinya, entitas kehilangan wujud lahiriah, namun mendapatkan ratusan wujud maknawiyah dan ilmiah.Misalnya, huruf-huruf percetakan disusun dengan susunan tertentu dan posisi khusus agar bisa mencetak halaman tertentu. Gambaran sebuah halaman itu berikut identitasnya diberikan kepada ba- nyak lembaran yang tercetak. Makna di dalamnya disebarkan kepada banyak akal. Setelah itu, kondisi huruf-huruf tersebut berubah dan berganti karena tidak lagi dibutuhkan. Namun huruf-huruf tersebut dibutuhkan untuk mencetak sejumlah halaman lain.

    Demikianlah, pena qadar ilahi memberikan kepada entitas bumi, terutama tumbuhan, sebuah pengaturan dan kondisi tertentu. Qudrah ilahi menghadirkannya dalam lembaran musim semi serta mengungkap makna-maknanya yang indah. Karena gambaran dan identitasnya berpindah kepada catatan alam gaib seperti alam misal, maka hikmah-Nya menghendaki kondisi tersebut berubah agar lembaran baru dari musim semi yang akan datang bisa ditulis guna mengungkap sejumlah maknanya yang indah.

    Petunjuk Kedua:

    وَثَانِيًا : مَعَ اِن۟تَاجِ ال۟حَقَائِقِ ال۟غَي۟بِيَّةِ وَالنُّسُوجِ اللَّو۟حِيَّةِ

    Kalimat tersebut menunjukkan bahwa segala sesuatu, baik yang bersifat parsial maupun universal, setelah pergi dari alam wujud (terutama jika ia memiliki kehidupan), maka ia menghasilkan banyak hakikat gaib. Di samping itu, ia meninggalkan sejumlah bentuk sebanyak perjalanan hidupnya di lembaran “alam misal”. Sejarah hidupnya yang disebut dengan takdir hidup ditulis lewat sejumlah bentuk tadi dengan penuh makna. Pada waktu bersamaan, setelah pergi dari alam wujud, ia menjadi objek telaah makhluk spiritual.

    Contoh, sekuntum bunga menjadi layu dan pergi dari alam wujud. Hanya saja, ia meninggalkan ratusan benih di alam ini dan menyimpan substansinya pada benih-benih tersebut. Di samping itu, ia juga meninggalkan ribuan bentuknya yang terdapat di lauhil mahfudz kecil serta dalam daya ingat yang merupakan miniatur lauhil mahfudz. Dari sana orang yang memiliki perasaan bisa melihat dan mempelajari tasbih rabbani dan ukiran Asmaul Husna yang ia tunaikan sepanjang hayatnya. Setelah itu, ia pergi meninggalkan alam wujud.

    Demikianlah musim semi yang berhias berbagai ciptaan indah di muka bumi di mana ia menyerupai taman besar, tidak lain merupakan bunga indah yang secara lahiriah akan lenyap dan pergi menuju ketiadaan. Namun musim semi tersebut meninggalkan banyak hakikat gaib yang ia berikan sebanyak benihnya. Ia meninggalkan sejumlah identitas maknawi yang diterbarkan sebanyak bunga. Ia juga meninggalkan berbagai hikmah rabbani sebanyak entitas yang ada.Musim semi meninggalkan semua jenis wujud ini, lalu menghilang dari pandangan kita. Di samping itu, ia mengosongkan tempat untuk para koleganya dari semua entitas musim semi yang akan datang ke alam wujud guna menunaikan tugasnya. Artinya, musim semi tersebut melepaskan wujud lahiriahnya lalu memakai seribu wujud lain secara maknawi.

    Petunjuk Ketiga:

    Kalimat tersebut menjelaskan bahwa dunia merupakan ladang dan pabrik yang menghasilkan sejumlah produk yang sesuai dengan pasar akhirat.Sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam banyak “Kalimat” bahwa amal perbuatan jin dan manusia dikirim ke pasar akhirat, demikian pula entitas yang lain juga menunaikan banyak amal di dunia demi akhirat serta menghadirkan banyak hasil panenan untuknya. Bahkan bola bumi berjalan untuk amal tersebut. Bisa dikatakan bahwa perahu rabbani ini (bola bumi) menempuh perjalanan sejauh 24 ribu tahun hanya dalam setahun agar bisa berputar di sekitar mahsyar. Contoh: tentu penduduk surga ingin mengenang apa yang pernah terjadi di dunia. Mereka juga ingin berdialog seputar kenangan mereka. Bisa jadi mereka ingin melihat tayangan yang berisi kenangan dan peristiwa yang pernah mereka alami. Mereka merasa senang dengan menyaksikan semua itu sebagaimana mereka senang ketika bisa menyaksikan tayangan yang terdapat di layar bioskop.

    Jika demikian, maka surga yang merupakan negeri kenikmatan dan tempat kebahagiaan berisi sejumlah peristiwa dan pemandangan abadi untuk percakapan berbagai kejadian di dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ayat yang berbunyi:“Duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. al-Hijr [15]: 48).

    Begitulah, kepergian entitas yang indah ini setelah sebelumnya ia tampil dalam satu waktu, serta silih-bergantinya satu dengan yang lain menjelaskan seolah-olah ia adalah perangkat pabrik untuk membentuk sejumlah pemandangan abadi.Contoh, manusia zaman sekarang mengambil gambar tempat-tempat yang menarik dan indah untuk mempersembahkan semacam bentuk keabadian dari berbagai tempat yang fana tadi dan menghadiahkannya kepada generasi sesudah mereka sebagai kenang-kenangan seperti yang terdapat di layar bioskop. Mereka memberikan sejenis keabadian kepada sesuatu yang bersifat fana. Mereka menampilkan masa lalu di masa sekarang dan masa depan.

    Demikian pula dengan berbagai entitas di musim semi yang ada di dunia ini setelah menempuh kehidupan yang singkat. Sebagaimana Sang Penciptanya Yang Mahabijak menuliskan tujuan-tujuannya yang terkait dengan alam abadi di alam ini, Dia juga menuliskan berbagai tugas hidup dan mukjizat subhani yang mereka tunaikan sepanjang perjalanan mereka dalam pemandangan abadi. Hal itu terwujud sesuai dengan tuntutan nama Allah, al-Hakîm (Yang Mahabijak), ar- Rahîm (Yang Maha Penyayang), dan al-Wadûd (Yang Mahakasih).

    Petunjuk Keempat:

    Kalimat tersebut menjelaskan bahwa entitas menunaikan berbagai jenis tasbih rabbani dalam perjalanan kehidupan mereka serta memperlihatkan berbagai kondisi yang sesuai dengan tuntutan nama-nama Ilahi. Contoh, nama ar-Rahîm menuntut adanya kasih sayang, nama ar-Razzâq menuntut adanya pemberian rezeki, nama al-Lathîf menuntut adanya sikap yang lembut. Demikian seterusnya. Setiap nama Ilahi memiliki konsekuensi. Setiap makhluk hidup menjelaskan apa yang dituntut dan menjadi konsekuensi dari nama-nama itu lewat kehidupan dan eksistensi mereka.

    Pada waktu yang sama, ia sendiri bertasbih menyucikan Allah Yang Mahabijak sebanyak perangkat yang dimiliki. Contoh lain, ketika manusia memakan sejumlah buah yang baik, buah tersebut akan dicerna dan terurai di perutnya lalu habis secara lahiriah. Namun sebenarnya ia sedang memberi sebuah kenikmatan dan rasa kepada setiap sel di tubuhnya, di samping kelezatan yang diberikan kepada mulut dan perutnya. Dengan demikian, ia menjadi perantara datangnya banyak hikmah seperti memberikan nutrisi ke seluruh bagian tubuh dan membuat kehidupannya terus eksis. Makanan itu sendiri naik tingkatan dari wujud nabati menuju tingkatan kehidupan manusia.

    Demikian pula saat entitas bersembunyi di balik tirai ketiadaan. Sebagai gantinya ia menjadi tasbih abadi yang sangat banyak milik setiap entitas. Ia meninggalkan banyak ukiran Ilahi dan sejumlah tun- tutannya di tangan nama-nama tersebut. Yakni, ia meninggalkannya menuju wujud yang abadi. Begitulah ia pergi. Jadi apakah kita akan berkata kepada ribuan jenis wujud―yang mendapat semacam keaba- dian―sebagai ganti dari kepergian wujud yang fana, “Kasihan sekali wujud yang temporer itu. Ia pergi begitu saja. Mengapa makhluk ini pergi?” Pantaskah mengeluh seperti itu? Namun rahmat, hikmah, dan cinta pada makhluk tersebut menuntut demikian. Jika tidak, itu artinya mengabaikan ribuan manfaat hanya untuk menangkal satu bahaya.

    Kondisi tersebut justru menghasilkan ribuan bahaya. Artinya, nama-nama Allah; ar-Rahîm, al-Hakîm, dan al-Wadûd menuntut kepergian entitas tersebut dalam tirai ketiadaan dan perpisahan.

    Petunjuk Kelima:

    Kalimat tersebut menjelaskan bahwa entitas, terutama makhluk hidup, setelah pergi dari wujud lahiriahnya, mereka meninggalkan banyak hal abadi lalu pergi. Dalam ‘rambu kedua’ kami telah menjelaskan bahwa pada kon- disi rububiyah terdapat―kalau boleh dikatakan―cinta mutlak, kasih sayang mutlak, kebanggaan mutlak, rida suci dan mutlak, kegembiraan yang suci dan mutlak, kenikmatan suci dan mutlak, kesenangan suci dan mutlak, yang sesuai dengan kesucian dan kesempurnaan Dzat Wajibul Wujud. Pasalnya, berbagai jejak dari berbagai sifat mulia tersebut terlihat jelas. Sebab, yang dituntut oleh sejumlah sifat itu adalah menggiring entitas dengan cepat dalam sebuah aktivitas yang menakjubkan dalam bentuk perubahan, pergantian, kepergian, dan kefanaan. Lalu entitas dikirim secara permanen dari alam nyata ke alam gaib. Karena itu, dalam bingkai manifestasi berbagai sifat rab- bani itu, seluruh makhluk selalu dalam kondisi berjalan dan bergerak.

    Dengan perjalanan dan pergerakan yang permanen tersebut, mereka memenuhi pendengaran kaum yang lalai dengan sejumlah ratapan perpisahan, serta memperdengarkan ke telinga kaum beriman alunan zikir dan tasbih.Atas dasar itu, setiap entitas yang pergi dari alam wujud me- ninggalkan sejumlah makna dan kondisi yang menjadi landasan keabadian untuk menampilkan sifat-sifat atau kondisi Sang Wajibul wujud yang abadi.

    Kemudian berbagai kondisi dan fase yang telah dijalani oleh entitas tersebut ia tinggalkan saat pergi dari alam wujud di wilayah wujud ilmi seperti imam mubin, kitab mubin, dan lauhil mahfuzh. Itulah wilayah yang menjadi simbol pengetahuan azali. Dengan demikian, setiap entitas yang fana meninggalkan sebuah wujud, namun memperoleh ribuan wujud abadi untuk dirinya dan yang lainnya.

    Misalnya, berbagai bahan material kasar dimasukkan ke mesin pabrik yang besar. Maka, secara lahiriah bahan itupun terbakar dan hancur. Akan tetapi, dari sana berbagai bahan kimia yang bernilai serta obat-obatan penting mengalir di pipa pabrik. Di samping itu, tenaga uapnya berhasil menggerakkan roda pabrik sehingga meng- hasilkan kain, percetakan buku, produksi gula, dan seterusnya. Dengan kata lain, terbakarnya bahan kasar tadi dan kepergiannya secara lahiriah, membuat ribuan hal mendapatkan busana wujud.Artinya, wujud yang kasar dan biasa tadi pergi dan mengalami kefanaan. Akan tetapi, ia melahirkan berbagai jenis wujud yang mulia. Jika demikian, layakkah kita mengatakan, “Sungguh kasihan bahan kasar itu!” Pantaskah kita mengeluh dengan berkata, “Mengapa pemilik pabrik itu tega membakarnya?”

    Demikian halnya dengan Sang Pencipta Yang Mahabijak, Maha Penyayang, dan Mahakasih―tanpa ada maksud menyerupakan Dia dengan apa dan siapa pun―menyalakan pabrik alam dengan men- jadikan setiap entitas yang fana sebagai benih bagi berbagai spesies abadi, serta sebagai orbit untuk memperlihatkan berbagai tujuan rabbani. Dengan itu, Dia memperlihatkan berbagai sifat-sifat dan kondisi-Nya yang suci seraya menjadikannya sebagai tinta bagi pena qadar-Nya dan kumparan bagi tenunan qudrah-Nya. Lewat qudrah- Nya, Allah menggiring seluruh entitas untuk menunaikan tugas dan aktivitasnya demi berbagai tujuan mulia yang tidak kita ketahui. Dia menggiring seluruh entitas hingga menjadikan partikel bergerak, entitas berjalan, hewan mengalir, dan planet berputar. Aktivitas tersebut menjadikan alam berbicara serta membacakan dan mendiktekan ayat-ayat penciptaan-Nya tanpa suara. Hal itu sesuai dengan tuntutan rahmat, hikmah, dan kasih-Nya. Dari segi rububiyah, Allah menjadikan makhluk bumi sebagai arasy bagi-Nya di mana Dia menjadikan udara sebagai sejenis arasy bagi perintah dan kehendak-Nya, unsur cahaya sebagai arasy yang lain bagi ilmu dan hikmah-Nya, air sebagai arasy bagi kebaikan dan rahmat-Nya, tanah sejenis arasy bagi pemeliharaan dan pemberian kehidupan. Dia menjalankan tiga arasy itu berada di atas makhluk bumi.

    Ketahuilah bahwa hakikat mulia yang dijelaskan dalam lima rambu dan lima petunjuk ini hanya dapat disaksikan lewat cahaya al- Qur’an dan tidak bisa diraih kecuali lewat kekuatan iman. Jika tidak, kegelapan yang mencekam akan menerjang sebagai ganti dari hakikat abadi tersebut. Bagi kaum yang sesat, dunia akan dipenuhi dengan berbagai bentuk perpisahan dan ketiadaan. Akhirnya, alam baginya menjadi neraka maknawi. Sebab dengan wujudnya yang sebentar, ke- tiadaan yang tak terhingga melingkupi segala sesuatu. Masa lalu dan masa mendatang dipenuhi oleh berbagai gelapnya ketiadaan. Orang yang sesat hanya akan menemukan cahaya wujud yang menyedihkan pada kondisinya saat ini; satu masa yang sangat singkat. Akan tetapi dengan rahasia al-Qur’an dan cahaya iman, cahaya wujud akan terlihat dari yang azali hingga abadi. Sehingga ia memiliki ikatan dengannya dan mendapatkan kebahagiaan abadi.

    Kesimpulan:

    Kami ingin mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Niyazi al-Mishri,

    Andaikan jiwa ini berupa lautan luas

    Lalu dada ini hancur berkeping-keping

    Aku akan bermunajat hingga suara menjadi parau.

    Akupun berkata:(Wahai Yang Mahabenar, wahai Yang Mahawujud, wahai Yang Mahahidup, wahai Yang Disembah)

    (Wahai Yang Mahabijak, wahai Yang Menjadi tujuan, wahai Yang Maha Penyayang, wahai Yang Mahakasih)

    Dan secara tegas kunyatakan:

    Tiada Tuhan selain Allah, Sang penguasa Yang Mahabenar dan Mahajelas.

    Muhammad adalah utusan Allah yang janjinya benar dan bisa dipercaya.

    Aku yakin dan percaya:

    Bahwa kebangkitan setelah kematian adalah benar adanya, surga adalah benar, neraka adalah benar, kebahagiaan abadi adalah benar, serta Allah Maha penyayang, Mahabijak, dan Mahakasih. Rahmat, hikmah, dan cinta-Nya meliputi segala sesuatu dan semua urusannya.

    Mahasuci Dzat yang menjadikan taman bumi-Nya sebagai galeri kreasi-Nya, mahsyar ciptaan-Nya,

    pameran qudrah-Nya, orbit hikmah-Nya, wadah rahmat-Nya, ladang surga-Nya, tempat perjalanan makhluk-Nya, dan saluran entitas-Nya.

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذ۟نَٓا اِن۟ نَسٖينَٓا اَو۟ اَخ۟طَا۟نَا

    Hiasan hewan, goresan burung, buah pohon, dan bunga tanaman merupakan mukjizat pengetahuan-Nya, keluarbiasaan kreasi-Nya, hadiah kemurahan-Nya, petunjuk kelembutan-Nya, bukti keesaan-Nya, kelembutan hikmah-Nya, dan saksi rahmat-Nya.

    Senyum bunga dari indahnya buah, kicau burung di keheningan pagi, bunyi hujan di atas daun bunga, Indahnhya bunga dan merekahnya buah di kebun dan taman, Kasih ibu kepada anak kecilnya baik di kalangan hewan maupun manusia:Semuanya adalah bentuk perkenalan Dzat Yang Mahakasih, kasih Dzat Yang Maha Penyayang, rahmat Dzat Yang

    penuh cinta, cinta Dzat Yang Maha Memberi, baik kepada jin, manusia, ruh, hewan, maupun malaikat.

    LAMPIRAN PERTAMA

    بِاس۟مِهٖ

    وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Katakanlah, Tuhanku tidak akan mengindahkan kamu, kalau bukan karena doamu.” (QS. al-Furqân [25]: 77).

    (berisi lima nuktah)

    Nuktah Pertama

    Ketahuilah bahwa doa merupakan rahasia ibadah yang agung. Bahkan ia merupakan inti dan ruh ibadah.(*[2])Sebagaimana yang telah kami jelaskan pada beberapa bagian dalam Risalah Nur, doa terdiri dari tiga jenis:

    Doa Jenis Pertama: Doa lewat “lisan kesiapan dan potensi” yang terdapat pada sesuatu. Seluruh benih dan biji meminta kepada Penciptanya Yang Mahabijak lewat lisan kesiapan dan potensi yang tersimpan padanya dengan berkata, “Ya Allah, wahai Pencipta kami, anugerahkan pada kami pertumbuhan yang membuat kami bisa memerlihatkan keindahan nama-nama-Mu sehingga kami bisa memamerkannya di hadapan seluruh mata. Ya Allah, ubahlah hakikat kami yang kecil menjadi hakikat yang besar. Yaitu hakikat pohon dan bulir.

    Selain itu, terdapat doa dari jenis ini, yaitu berkumpulnya sejumlah sebab. Bertemunya sejumlah sebab merupakan doa untuk mendatangkan akibat. Artinya, sejumlah sebab mengambil posisi dan kondisi khusus di mana ia menjadi seperti lisânul-hâl (lisan kondisi) yang memohon terciptanya akibat dari Dzat Yang Maha Kuasa. Benih, misalnya, lewat lisan potensinya memohon kepada Penciptanya Yang Maha Kuasa agar ia menjadi pohon. Akhirnya masing-masing mulai dari air, hawa panas, tanah, dan cahaya, mengambil kondisi tertentu di seputar benih sehingga kondisi tersebut laksana lisan yang menuturkan doa dengan berkata, “Ya Allah, wahai Pencipta kami, jadikan benih ini sebagai pohon.”Ya, pohon yang merupakan mukjizat qudrah ilahi yang luar biasa, proses penciptaannya sama sekali tidak bisa disandarkan kepada berbagai unsur sederhana yang tak bernyawa dan tak memiliki perasaan itu. Bahkan menyerahkan proses penciptaan kepada sebab-sebab tadi adalah sesuatu yang mustahil. Dengan demikian, bertemu- nya sejumlah sebab hanyalah satu bentuk doa.

    Doa Jenis Kedua: Yaitu doa yang diminta lewat “lisan kebutuhan fitrah”. Semua makhluk hidup meminta apa yang menjadi hajat dan kebutuhannya yang berada di luar kendali dan kehendaknya. Mereka meminta kepada Penciptanya Yang Maha Penyayang. Lalu permintaan dan hajat tersebut dikabulkan pada waktu yang tepat dengan cara yang tak terduga. Pasalnya, kemampuan untuk meraih apa yang diinginkan sangat terbatas. Karena itu, pengiriman semua kebutuhan yang berada di luar kendali dan kehendak mereka serta pada waktu yang paling tepat dan lewat cara yang tak terduga tidak lain berasal dari Dzat Yang Mahabijak dan Maha Penyayang. Curahan karunia dan nikmat tersebut tidak lain merupakan bentuk pengabulan doa fitrah tersebut.

    Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa doa jenis ini diucapkan oleh lisan kebutuhan fitrah yang dimiliki oleh setiap makhluk. Mereka meminta seluruh kebutuhannya kepada Sang Pencipta Yang Mahakuasa. Ia merupakan doa dari sejumlah “sebab” yang meminta “akibat” kepada Tuhan Yang Mahakuasa dan Maha Mengetahui.

    Doa jenis Ketiga: Yaitu doa yang diminta oleh setiap makhluk yang memiliki perasaan guna memenuhi hajat kebutuhan mereka. Doa ini juga terdiri dari dua macam:

    Pertama, yang pada umumnya dikabulkan ketika sudah mencapai kondisi terdesak dan sangat butuh. Atau, ia memiliki hubungan kuat dengan kebutuhan fitrah serta sejalan dengannya. Atau, sangat dekat dengan lisan potensi dan kesiapan tadi. Atau murni bersumber dari dalam lubuk hati.Kemajuan dan penemuan yang telah diraih manusia tidak lain merupakan hasil dari jenis doa ini. Pasalnya, berbagai hal luar biasa yang mereka sebut sebagai peradaban, serta penemuan yang mereka banggakan tidak lain merupakan buah dari doa maknawi yang diminta oleh umat manusia lewat lisan potensi yang tulus sehingga dikabulkan. Tidak ada doa yang diminta dengan lisan potensi dan lisan kebutuhan fitrah, kecuali pasti dikabulkan selama tidak ada penghalang dan selama memenuhi syarat tertentu.

    Kedua, adalah doa yang kita kenal bersama. Ia juga terdiri dari dua cabang:Pertama, dalam bentuk perbuatan (fi’li). Kedua, dalam bentuk perkataan (qauli). Misalnya, membajak tanah merupakan doa dalam bentuk perbuatan. Dengan itu, manusia meminta rezeki kepada Sang pemberi rezeki Yang Maha Bijaksana. Ia meminta kepada-Nya; bukan kepada tanah. Tanah hanya pintu bagi khazanah kekayaan rahmat Tuhan yang luas. Manusia mengetuknya lewat alat bajak.

    Kami tidak akan membahas berbagai bagian lain secara rinci. Namun kami akan membahas sejumlah rahasia doa yang berbentuk perkataan dalam sejumlah nuktah berikut:

    Nuktah Kedua

    Ketahuilah bahwa pengaruh doa sangat besar. Terutama, ketika dilakukan secara terus-menerus dan secara integral. Doa tersebut biasanya berbuah dan terkabul. Sehingga bisa dikatakan bahwa sebab penciptaan alam adalah doa. Sebab, doa agung milik Rasul mendahului dunia Islam yang mengutarakan doa yang sama. Mereka pun mendahului seluruh umat manusia yang mengutarakan doa yang sama. Doa tersebut adalah kebahagiaan abadi. Ia merupakan salah satu sebab penciptaan alam. Artinya, dengan ilmu azali-Nya, Tuhan Pencipta alam telah mengetahui bahwa Rasul yang mulia akan meminta kebahagiaan abadi kepada-Nya dan pemerolehan manifestasi nama-nama-Nya. Beliau akan meminta hal tersebut atas nama seluruh umat manusia, bahkan atas nama seluruh entitas. Maka, Allah mengabulkan doa agung tersebut sehingga Dia menciptakan alam.

    Nah, ketika doa berisi nilai yang sangat penting dan bersifat komprehensif seperti telah disebutkan, mungkinkah ia tidak dikabulkan? Mungkinkah doa yang dipanjatkan minimal oleh ratusan juta manusia, sejak seribu tiga ratus tahun lalu, setiap saat, secara bersama-sama, bahkan bersama dengan golongan jin, malaikat, dan makhluk spiritual lainnya yang jumlahnya tak terhingga?! Mungkinkah doa yang mereka panjatkan untuk Rasul agar beliau meraih rahmat Ilahi yang agung dan kebahagiaan yang kekal tidak dikabulkan?!

    Selama doa tersebut dipanjatkan secara integral, komprehen- sif, dan secara kontinyu semacam itu hingga mencapai derajat lisan potensi dan kebutuhan fitrah, sudah pasti Rasul yang mulia tersebut, Muhammad, berkat doa tadi mendapatkan kedudukan tinggi. Andaikan seluruh akal bersatu untuk menjangkau hakikat kedudukan tersebut, tentu tidak akan mampu.

    Karena itu, bergembiralah wahai orang muslim. Engkau memiliki pemberi syafaat yang mulia di hari kiamat nanti. Yaitu Rasul tercinta. Maka, berusahalah untuk meraih syafaat beliau dengan cara mengikuti sunnahnya yang suci.

    Barangkali engkau bertanya, “Apa yang menjadi kebutuhan Rasul yang merupakan kekasih Tuhan terhadap doa dan salawat sebanyak itu?”

    Jawaban: Beliau sangat terkait dengan kebahagiaan seluruh umatnya. Beliau memiliki bagian atas berbagai bentuk kebahagiaan yang diraih oleh setiap umatnya. Beliau juga ikut bersedih dan berduka dengan setiap musibah yang menimpa mereka.Meskipun derajat kesempurnaan dan kebahagiaan yang beliau dapatkan tidak terhingga, namun sosok yang sangat ingin agar setiap umatnya mendapatkan berbagai jenis kebahagiaan yang tak terhingga dalam masa yang tak terbatas, di mana beliau juga berduka dengan berbagai penderitaan dan musibah mereka, sudah pasti beliau membutuhkan salawat, doa, dan rahmat yang tak terhingga.

    Barangkali engkau berkata, “Kadangkala ada doa yang dipanjatkan secara tulus untuk sejumlah urusan yang pasti terjadi. Misalnya, doa saat shalat gerhana bulan dan matahari. Kadangkala pula berdoa untuk urusan yang tidak mungkin terjadi.”

    Jawaban: Dalam berbagai “Kalimat yang lain” telah kami jelaskan bahwa doa merupakan satu bentuk ibadah. Dengan doa, manusia memperlihatkan kelemahan dan ketidakberdayaannya. Adapun tujuan lahiriahnya adalah waktu untuk berdoa dan beribadah; bukan hasil dan manfaatnya. Sebab, hasil dan manfaat ibadah tersebut mengarah kepada akhirat. Dengan kata lain, buahnya akan dipetik di akhirat. Karena itu, andaikan tujuan duniawi yang tersirat di dalam doa tersebut tidak tercapai, tidak bisa dikatakan bahwa doa tadi tidak terkabul. Namun dapat dikatakan bahwa waktu doa belum berakhir.

    Mungkinkah doa untuk kebahagiaan abadi yang dipanjatkan oleh seluruh kaum beriman dengan penuh harap, ikhlas, dan kontinyu tidak terkabul? Mungkinkah Tuhan Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah di mana seluruh makhluk mengakui keluasan rahmat-Nya tidak mengabulkan doa ini? Mungkinkah kebahagiaan abadi tersebut tidak terwujud? Tentu saja tidak mungkin.

    Nuktah Ketiga

    Pengabulan doa yang terucap terwujud lewat dua sisi: Bisa doa itu sendiri terkabul, atau bisa pula yang terkabul adalah yang lebih baik darinya.

    Misalnya, ada yang berdoa agar diberi oleh Allah anak laki-laki. Namun Allah memberinya anak perempuan seperti apa yang terjadi pada Ibu Sitti Maryam. Dalam kondisi demikian, tidak bisa dikatakan bahwa doanya tidak terkabul. Namun dapat dikatakan bahwa ia terkabul dalam bentuk yang lebih baik.Manusia kadang berdoa untuk mendapatkan kebahagiaan duniawi. Namun Allah mengabulkan dengan memberi kebahagiaan ukhrawi. Dalam kondisi demikian, tidak bisa dikatakan bahwa doanya tidak terkabul. Namun dapat dikatakan bahwa ia terkabul dalam bentuk yang lebih bermanfaat baginya. Begitu seterusnya.

    Jadi, kita berdoa dan meminta hanya kepada Allah semata. Dia pasti mengabulkan. Hanya saja, Dia berinteraksi dengan kita sesuai hikmah-Nya, sebab Dia Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. Seorang pasien tidak boleh mencurigai kebijakan dokter yang me- ngobatinya. Bisa jadi ia meminta kepada dokter untuk mengobati- nya dengan madu, namun dokter tersebut malah memberinya obat yang pahit. Sebab, dokter mengetahui bahwa dirinya sedang terkena demam. Pasien itu tidak boleh berkata, “Dokter tidak mengabulkan permintaanku.” Pasalnya, ia telah mendengar dan memperhatikan rintihan dan keluhannya. Ia mengabulkan tetapi dalam bentuk yang lebih baik.

    Nuktah Keempat

    Buah terlezat yang dipetik oleh seseorang dari doa, serta hasil terindah yang didapat seseorang dari permintaannya adalah sebagai berikut: Orang yang berdoa mengetahui secara pasti bahwa ada Dzat yang mendengarnya, mengasihi dan membantu mengobatinya, se- mentara qudrah-Nya mencapai segala sesuatu. Ketika itulah ia merasa bahwa dirinya tidak sendirian di dunia yang luas ini. Namun ada Dzat Maha Pemurah yang menatapnya dengan tatapan kasih sayang. Maka, rasa tenang masuk ke dalam hatinya. Ia membayangkan dirinya berada dalam dekapan Tuhan Yang Maha Penyayang, Yang Mahakuasa dalam memenuhi hajatnya yang tak terbatas, serta dalam menangkal musuhnya yang tak terhingga. Dia selalu hadir di hadapannya sehingga ia bergembira dan merasa lapang. Ia merasa bah- wa Dia telah menurunkan beban berat dari pundaknya sehingga ia memuji Allah dengan berkata: Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.

    Nuktah Kelima

    Doa merupakan ruh dan inti ibadah. Ia adalah hasil dari iman yang suci. Sebab, dengan berdoa, seseorang memperlihatkan bahwa Dzat Yang mengendalikan seluruh alam, Yang mengetahui semua urusanku yang paling kecil, dan Yang menjangkau segala sesuatu dengan ilmu adalah kuasa untuk menolongku dalam meraih tujuan terjauhku, serta melihat semua kondisiku dan mendengar seruanku. Karena itu, aku tidak memohon kecuali hanya kepada-Nya. Karena Dia mendengar suara seluruh makhluk, maka sudah pasti Dia juga mendengar suara dan panggilanku. Karena Dia yang mengatur semua urusan, maka pengaturan seluruh detail urusanku kuserahkan hanya kepada-Nya semata.

    Renungkan luasnya tauhid yang suci yang dianugerahkan oleh doa kepada seseorang. Perhatikan dimensi kenikmatan dan kebeningan cahaya iman yang diperlihatkan oleh doa. Pahamilah hikmah dari firmanNya:“Katakanlah: ‘Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau bukan karena doamu’.” (QS. al-Furqan [25]: 77).Perhatikan pula firman-Nya: “Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu’.” (QS. Ghafir [40]: 60). Sungguh benar ungkapan yang berbunyi, “Jika Allah tidak ingin mengabulkan, tentu doa tidak Dia perkenankan.”

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ مِنَ ال۟اَزَلِ اِلَى ال۟اَبَدِ عَدَدَ مَا فٖى عِل۟مِ اللّٰهِ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ وَ سَلِّم۟ سَلِّم۟نَا وَ سَلِّم۟ دٖينَنَا اٰمٖينَ ۝

    وَ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ

    LAMPIRAN KEDUA

    (Kisah Mi’raj dalam Kumpulan Syair Maulid Nabi)

    بِاس۟مِهٖ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (Yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya terdapat surga tempat tinggal. (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya dan tidak (pula) melampauinya.Sesungguhnya ia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.”(QS. an-Najm [53]: 13-18)

    Kami akan menjelaskan lima nuktah(*[3])di seputar peristiwa mi’raj dari kumpulan syair maulid nabi.

    Nuktah Pertama

    Sulaiman Afandi(*[4])yang menulis kumpulan syair tentang maulid nabi menceritakan sebuah peristiwa cinta sedih sang buraq yang didatangkan dari surga. Karena ia termasuk wali yang saleh dan dalam kumpulan syairnya bersandar kepada berbagai riwayat sejarah Rasul, tentu dengan gambaran tersebut ia menjelaskan hakikat tertentu. Hakikat tersebut adalah sebagai berikut:

    Makhluk alam abadi memiliki hubungan kuat dengan cahaya Rasulullah. Pasalnya, dengan cahaya yang beliau bawa surga dan akhirat akan dihuni oleh jin dan manusia. Kalau bukan karenanya, tentu kebahagiaan abadi tidak ada, tentu jin dan manusia tidak bisa menempati surga, serta tidak bisa menikmati semua jenis ciptaan surga. Dengan kata lain, kalau bukan karena beliau tentu surga akan kosong dan tidak memiliki penghuni.

    Dalam ranting keempat dari “Kalimat Kedua Puluh Empat” telah kami sebutkan bahwa:Dari setiap jenis atau spesies telah dipilih juru bicara yang mewakili kelompoknya. Di antara juru bicara yang berada di garis terdepan adalah burung bul-bul yang menyenangi bunga mawar di mana ia mengungkapkan kebutuhan kelompok hewan yang mencapai tingkat cinta luar biasa kepada rombongan tumbuhan yang datang dari perbendaharaan ilahi sekaligus membawa rezeki hewan. Bul- bul mengungkapkannya lewat iramanya yang halus kepada berbagai tumbuhan sebagai ekspresi sambutan yang baik yang dipenuhi dengan tasbih dan tahlil.

    Sebagaimana Jibril mewakili jenis malaikat dalam melakukan pengabdian dengan penuh cinta kepada pribadi Muhammad; yang menjadi sebab penciptaan alam, perantara kebahagiaan dunia dan akhirat, serta kekasih Tuhan semesta alam, seraya menjelaskan rahasia sujud dan ketundukan malaikat kepada Adam ,maka penduduk surga juga demikian, bahkan hewannya sekalipun memilki hubungan dengan Rasul. Hakikat ini dibahasakan oleh Sulaiman Afandi dengan perasaan cinta sang buraq yang menjadi tunggangan beliau.

    Nuktah Kedua

    Salah satu hal yang terdapat dalam “kumpulan syair mi’raj nabi” tersebut adalah bahwa Sulaiman Afandi membahasakan cinta suci Allah kepada Rasul di mana Dia berkata, “Aku mencintaimu.” Ungkapan ini dengan makna umumnya yang kita kenal tidak layak dengan kemuliaan Allah. Namun, karena Sulaiman Afandi termasuk wali dan ahli hakikat di mana kumpulan syairnya dapat diterima oleh umat Islam secara umum, maka tentu saja makna yang ia perlihatkan adalah benar. Yaitu sebagai berikut:

    Allah memiliki keindahan dan kesempurnaan yang bersifat mutlak. Semua jenis keindahan dan kesempurnaan yang terbagi atas seluruh alam merupakan tanda dan petunjuk atas keindahan dan kesempurnaan-Nya.

    Nah, karena pemilik keindahan dan kesem- purnaan secara otomatis mencintai keindahan dan kesempurnaannya, maka Allah mencintai keindahan-Nya(*[5])dengan satu bentuk cinta yang sesuai dengan Dzat-Nya yang mulia. Dia juga mencintai nama-nama-Nya yang merupakan kilau keindahan-Nya. Karena mencintai nama-nama-Nya, maka Dia mencintai kreasi-Nya yang memperlihatkan keindahan nama-nama-Nya. Jadi, Dia mencintai berbagai ciptaan-Nya yang merupakan cermin dari keindahan dan kesempurnaan-Nya. Karena Dia mencintai sesuatu yang menunjukkan keindahan dan kesempurnaan-Nya, maka Dia mencintai keelokan makhluk yang menunjukkan keindahan dan ke- sempurnaan nama-nama-Nya. al-Qur’an yang penuh hikmah dalam ayat-ayatnya menerangkan lima bentuk cinta tersebut.

    Demikianlah kondisi Rasul. Beliau merupakan sosok paling sempurna dalam ciptaan Allah serta pribadi yang paling utama di antara makhluk-Nya.

    Beliau yang menghargai dan memproklamirkan kreasi ilahi dengan sebuah zikir yang menarik disertai tasbih dan tahlil.

    Beliau yang dengan lisan al-Qur’an membuka perbendaharaan keindahan dan kesempurnaan nama-nama-Nya.

    Beliau yang dengan lisan al-Qur’an menjelaskan secara sangat terang tentang tanda-tanda kebesaran yang terdapat di alam yang menunjukkan kesempurnaan Penciptanya.

    Beliau yang menunaikan tugas cermin rububiyah ilahi lewat ubudiyah yang bersifat universal.

    Bahkan, beliau meraih manifestasi seluruh Asmaul Husna secara sempurna dikarenakan esensinya yang kompherensif.

    Dari sini dapat dikatakan bahwa karena cinta-Nya kepada keindahan-Nya, Dzat Yang Mahaindah dan Mahaagung mencintai Muhammad yang merupakan cermin yang bisa merasakan keindahan tersebut.

    Karena cinta-Nya kepada nama-nama-Nya, maka Dia mencintai Muhammad yang merupakan cermin paling bening yang memantulkan nama-nama-Nya yang mulia. Dia juga mencintai orang-orang yang menyerupai Muhammad di mana masing-masing sesuai dengan derajatnya.

    Karena cinta-Nya kepada kreasi-Nya, maka Dia mencintai Muhammad yang memproklamirkan kreasi tersebut di seluruh alam sehingga pendengaran langit terngiang-ngiang olehnya serta daratan dan lautan tergugah merindukan-Nya. Allah juga mencintai orang- orang yang mengikuti beliau.

    Karena mencintai ciptaan-Nya, maka Dia mencintai Muhammad. Pasalnya, beliau adalah sosok paling mulia di antara “umat manusia” di mana manusia merupakan “makhluk berkesadaran” paling sempurna; dan makhluk berkesadaran merupakan “makhluk hidup” paling sempurna; sementara makhluk hidup adalah “ciptaan Allah” yang paling sempurna.

    Karena rasa cinta kepada akhlak makhluk-Nya, maka Dia mencintai Muhammad. Pasalnya, beliau berada di puncak akhlak terpuji sebagaimana disepakati oleh baik kawan maupun lawan. Dia juga mencintai orang-orang yang meniru akhlak beliau, masing-masing sesuai dengan derajatnya. Hal itu berarti, cinta Allah meliputi alam sebagaimana rahmat-Nya.

    Karena itu, kedudukan tertinggi dalam kelima aspek yang telah disebutkan terkait dengan sekian hal yang Dia cinta yang jumlahnya tak terhingga adalah kedudukan yang dimiliki oleh Muhammad. Karenanya, beliau diberi gelar “kekasih Allah (Habibullah)”.

    Kedudukan “kekasih Allah” tersebut, oleh Sulaiman Afandi dibahasakan dengan kalimat, “Aku mencintaimu”. Perlu diketahui bahwa ungkapan ini hanyalah sekadar teropong untuk bertafakkur sekaligus sebagai petunjuk tentang hakikat tersebut dari jauh. Namun demikian, karena ungkapan itu bisa melahirkan satu pengertian yang tidak sesuai dengan sifat rububiyah-Nya, maka yang lebih tepat adalah ungkapan, “Aku rida kepadamu.”

    Nuktah Ketiga

    Sejumlah dialog yang berlangsung dalam “kumpulan syair mi’raj” tersebut tidak mampu mengungkapkan berbagai hakikat suci itu dengan makna atau bahasa yang kita pahami bersama. Namun, dialog-dialog itu tidak lain merupakan tema-tema yang menjadi bahan perenungan, teropong untuk melakukan refleksi, petunjuk tentang berbagai hakikat mulia dan mendalam, penyadaran akan sejumlah hakikat iman, serta kiasan tentang bebarapa makna yang tak bisa dijelaskan.Ia bukanlah dialog dan peristiwa seperti layaknya yang terdapat pada bebarapa kisah yang maknanya dapat dipahami bersama. Pasalnya, kita tidak dapat menangkap sejumlah hakikat tersebut dari dialog yang ada dengan imajinasi kita. Namun, kita bisa menangkapnya dengan kalbu kita lewat sentuhan iman dan getaran spiritual.

    Sebab, sebagaimana tidak ada yang serupa dan sama dengan Dia dalam hal Dzat dan sifat-Nya, juga tidak ada yang sama dengan Allah dalam urusan rububiyah-Nya. Sebagaimana sifat-sifat Allah tidak sama de- ngan sifat makhluk, cinta-Nya juga tidak sama dengan cinta makhluk.Maka, ungkapan yang terdapat dalam “kumpulan syair mi’raj” itu termasuk ungkapan yang ambigu. Karena itu kita dapat mengatakan:Sebagaimana cinta-Nya, Allah memiliki sejumlah urusan yang sesuai dengan kemutlakan eksistensi dan kemuliaan-Nya, serta sesuai dengan kekayaan dan kesempurnaan-Nya yang bersifat mutlak. Dengan kata lain, kumpulan syair di atas menyadarkan hal tersebut lewat sejumlah peristiwa mi’raj.“Kalimat Ketiga Puluh Satu” yang secara khusus membahas tentang mi’raj Nabi telah menjelaskan sejumlah hakikat mi’raj dalam ruang lingkup dasar-dasar keimanan. Karenanya, di sini hanya dijelaskan secara singkat dengan mencukupkan penjelasan pada “kalimat” tersebut.

    Nuktah Keempat

    Ada sebuah pertanyaan: Ungkapan yang berbunyi, “Beliau telah melihat Tuhannya dari balik tujuh puluh ribu hijab,” menunjukkan tempat yang demikian jauh. Padahal, Allah tidak dibatasi oleh ruang atau tempat. Dia lebih dekat kepada segala sesuatu daripada segala sesuatu. Jadi, apa makna dari ungkapan tersebut?

    Jawabannya: Hakikat tersebut telah dijelaskan dalam “Kalimat Ketiga Puluh Satu”. Ia telah diterangkan secara panjang lebar dan rinci disertai sejumlah argumen. Di sini kami hanya ingin menyatakan bahwa:

    Allah sangat dekat dengan kita, sementara kita sangat jauh dari-Nya. Perumpamaannya sama seperti matahari yang demikian dekat dari kita lewat perantaraan cermin yang berada di tangan kita. Bahkan, segala sesuatu yang bening bisa menjadi tempat atau rumah matahari. Andaikan matahari memiliki perasaan, tentu ia akan berbicara kepada kita lewat cermin yang ada di tangan kita. Hanya saja, kita sangat jauh darinya sejarak empat ribu tahun (perjalanan).Demikian pula dengan Mentari azali yang tidak bisa diserupakan dan disamakan dengan apa dan siapa pun. Dia lebih dekat kepada segala sesuatu daripada sesuatu apapun. Pasalnya Dia adalah Wajibul wujud, tidak dibatasi oleh ruang, serta tidak terhijab oleh sesuatu. Sebaliknya, segala sesuatu sangat jauh dari-Nya.

    Dari sana dapat dipahami rahasia jarak yang sangat jauh dalam mi’raj, meski sebenarnya tidak ada jarak sebagaimana diungkapkan oleh ayat al-Qur’an: “Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadi.”(QS. Qâf [50]:16).Dari rahasia tersebut dapat dipahami pula perjalanan Rasul dan bagaimana beliau menempuh jarak yang jauh itu dan kembali lagi dalam waktu sekejap. Jadi, mi’raj Rasul adalah “perjalanan faktual” beliau. Ia merupakan pertanda kewaliannya. Sebab, sebagaimana para wali naik ke tingkatan haqqul yaqin dalam tingkatan iman secara maknawi lewat “perjalanan spiritual” mulai dari empat puluh hari hingga empat puluh tahun, demikian pula dengan Rasul yang merupakan penghulu seluruh wali. Beliau naik dengan jasad, perasaan, dan seluruh perangkat halusnya; tidak hanya dengan kalbu dan ruhnya semata, seraya membuka jalan yang lurus dan lapang menuju tingkatan hakikat iman yang paling tinggi lewat mi’raj yang merupakan karamah kewaliannya yang terbesar hanya dalam empat puluh menit sebagai ganti dari empat puluh tahun.

    Beliau naik menuju arasy lewat tangga mi’raj. Beliau menyaksikan secara langsung dengan penglihatannya―pada kedudukan sejarak dua ujung busur atau lebih dekat lagi―hakikat iman yang paling agung, yaitu iman kepada Allah dan iman kepada hari akhir. Beliau masuk ke dalam surga dan menyaksikan kebahagiaan abadi. Beliau membuka pintu jalan terbesar serta membiarkannya terbuka untuk dilalui oleh semua wali di kalangan umatnya lewat perjalanan spiritual. Yakni, dengan perjalanan ruhani dan kalbu dalam naungan mi’raj di mana masing-masing sesuai dengan tingkatannya.

    Nuktah Kelima

    Membaca kumpulan “puisi maulid Nabi” dan “syair tentang mi’raj” merupakan tradisi islam yang baik dan sangat berguna. Ia merupakan sarana dialog yang menyenangkan, bersinar, dan manis dalam kehidupan sosial Islam. Ia merupakan pelajaran yang sangat nikmat dan indah untuk mengingatkan kepada berbagai hakikat iman. Ia juga merupakan sarana yang paling kuat, efektif, dan meng- gugah guna memperlihatkan sejumlah cahaya iman, serta mengobarkan rasa cinta kepada Allah dan kepada Rasul.

    Kita berdoa semoga Allah mengekalkan tradisi baik tersebut untuk selamanya, mencurahkan rahmat kepada penulisnya, Sulaiman Afandi, serta penulis lain semisalnya, dan semoga mereka ditempatkan di dalam surga firdaus. Amin!

    PENUTUP

    Karena Pencipta alam ini menciptakan dari setiap spesies individu yang istimewa, sempurna, dan universal, serta menjadikan- nya sebagai simbol kebanggaan dan kesempurnaan spesies tersebut, tentu Dia menjadikan sosok istimewa dan sempurna bagi seluruh alam dengan manifestasi nama yang paling agung dari nama-nama-Nya yang mulia. Di antara ciptaan-Nya harus ada sosok yang paling sempurna sebagaimana nama yang paling agung di antara nama-nama-Nya yang lain. Berbagai kesempurnaan-Nya yang tersebar di alam dikumpulkan pada sosok sempurna itu di mana ia menjadi objek pandangan-Nya.

    Sosok tersebut sudah pasti berasal dari makhluk hidup, karena spesies alam yang paling sempurna adalah makhluk hidup. Lalu ia tentu dari makhluk yang memiliki perasaan karena makhluk hidup yang paling sempurna adalah yang memiliki perasaan. Lalu, sosok tersebut pastilah berupa manusia karena manusia merupakan entitas yang memiliki potensi tak terhingga untuk meningkat. Sudah pasti sosok itu adalah Muhammad. Pasalnya, tidak ada seorang pun dalam sejarah yang sama seperti beliau, mulai dari masa Nabi Adam hingga saat ini. Bahkan, tidak akan ada untuk selamanya.

    Sebab, Nabi mulia tersebut telah menghimpun separuh bola bumi dan seperlima umat manusia dalam wilayah kekuasaan maknawinya selama 1350 tahun lewat keagungannya yang sempurna.Beliau menjadi guru bagi seluruh pemilik kesempurnaan dalam semua jenis hakikat. Beliau meraih tingkatan sifat terpuji yang pa- ling tinggi menurut kesepakatan kawan maupun lawan. Beliau yang pertama-tama menantang seluruh dunia dengan seorang diri. Beliau tampakkan al-Qur’an yang dibaca oleh lebih dari seratus juta manusia pada setiap menitnya. Karena itu, sudah pasti nabi mulia seperti beliau adalah sosok istimewa tersebut tanpa ada yang lainnya selamanya. Beliau adalah benih sekaligus buah alam.

    Semoga salawat dan salam tercurah kepada beliau, keluarga dan sahabatnya sebanyak jumlah spesies alam.

    Perlu diketahui bahwa menyimak maulid Nabi dan mi’rajnya, yakni menyimak awal dan akhir perjalanan vertikalnya, atau mengetahui sejarah kehidupan maknawinya merupakan sesuatu yang nikmat dan bersinar. Ia merupakan sumber kebanggaan dan kemuliaan umatnya, bahan perbincangan yang mulia bagi kaum beriman yang menjadikan beliau sebagai pemimpin, penghulu, imam, dan pemberi syafaat bagi mereka.

    Wahai Tuhan, dengan kemuliaan sang kekasih mulia, dan dengan kebenaran nama-Mu yang paling agung, jadikan kalbu para penyebar risalah ini serta teman-temannya sebagai cermin yang memantulkan cahaya iman. Jadikan pena mereka sebagai penyebar rahasia al-Qur’an, serta bimbinglah mereka ke jalan yang lurus.Amin.

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    Yang kekal, hanyalah Dzat Yang Mahakekal.

    Said Nursî


    SURAT KEDUA PULUH TIGA ⇐ | Al-Maktûbât | ⇒ SURAT KEDUA PULUH LIMA

    1. *Karya seorang ahli gramatika yang dikenal dengan nama Ruknuddin ibn al-Qa- uba’ (wafat 738 H).
    2. *Lihat at-Tirmidzi bab doa 1, tafsir surat al-Baqarah 16, Ghafir 1; Abu Daud, bab witir 23; dan Ibnu Majah bab doa 1.
    3. *Persoalan ilmiah yang terinspirasi dari pengamatan yang cermat dan pemikiran yang mendalam― al-Jurjâni, at-Ta’rîfât.
    4. *Ia adalah Sulaiman Jalbi, orang pertama yang menggubah kumpulan syair ten- tang maulid nabi dalam bahasa Turki. Ia sangat mahir di dalamnya dan memasukkannya dalam buku Wasîlatun Najah. Ia termasuk wali dan orang saleh. Ia wafat pada tahun 780 H di Bursa.
    5. *Lihat: Muslim, bab Iman 147; Ibnu Majah, bab doa 10; Ahmad ibn Hambal,al-Musnad 4/133 dan 151.