78.073
düzenleme
("Bahkan, mereka menyebutnya mustahil. Misalnya, diriwayatkan bahwa surah al-Fatihah mendatangkan pahala senilai al-Qur’an,(*<ref>*Hadis, “Alhamdulillah Rabbil `alamin (al-Fatihah) merupakan tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur’an al-Azhîm.” (Lihat: al-Bukhari, penafsiran surah al-Fatihah, h.1; fadhail al-Qur’an, h.9; at-Tirmidzi, Tsawâb al-Qur’an, h.1; dan Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, j.4, h.221).</ref>) surah al-Ikhlas menyamai..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
("------ <center> KALIMAT KEDUA PULUH TIGA ⇐ | Al-Kalimât | ⇒ KALIMAT KEDUA PULUH LIMA </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
(Aynı kullanıcının aradaki diğer 71 değişikliği gösterilmiyor) | |||
224. satır: | 224. satır: | ||
</div> | </div> | ||
Nah orang-orang yang tidak cermat dan tidak objektif mengang- gap semua riwayat tadi mustahil. Mereka berkata, “Bagaimana mung- kin surah Yâsîn memiliki fadilah semacam itu, sementara ia hanyalah | |||
sebuah surah dari al-Qur’an dan masih banyak surah lain yang juga memiliki keutamaan?” | |||
Hakikat dari riwayat tersebut adalah sebagai berikut: | |||
Setiap huruf al-Qur’an memiliki pahala. Ia berupa satu kebai- kan.(*<ref>*Lihat: at-Tirmidzi, Fadhâil al-Qur’an, h.16; dan Ad-Dârimi, Fadhâil al-Qur’an, h.1. </ref>)Hanya saja dengan karunia dan kemurahan Allah, pahala dari huruf-huruf itu menjadi berlipat ganda. Kadangkala ia membuahkan sepuluh kebaikan, kadangkala tujuh puluh kebaikan, kadangkala tu- juh ratus kebaikan (sebagaimana huruf-huruf ayat al-Kursi), seribu lima ratus kebaikan (sebagaimana pada huruf-huruf surah al-Ikh- las), sepuluh ribu kebaikan (seperti ketika sejumlah ayat dibaca pada waktu-waktu utama dan malam Nisfu sya’ban), serta tiga puluh ribu kebaikan (seperti ketika dibaca pada malam Lailatul qadar) sehing- ga kebaikan itu berlipat ganda demikian banyak laksana benih apiun. Keberlipatan pahala hingga mencapai tiga puluh ribu bisa dipahami lewat ayat yang berbunyi ‘Ia lebih baik daripada seribu bulan’. (QS. al-Qadr [97]: 3).Demikianlah, jadi tidak mungkin menganalogikan dan mem- bandingkan al-Qur’an dengan pelipatgandaan bilangan kumulatif dari pahala yang disebutkan. Ia hanya bisa dilakukan terhadap pahala asli dari sejumlah surah. | |||
Kami akan menjelaskannya dengan sebuah contoh berikut: | |||
Misalnya ada sepetak sawah yang ditanami seribu benih jagung. Andaikan sebagian benihnya menumbuhkan tujuh bulir, lalu pada setiap bulir terdapat seratus biji, maka satu benih jagung saja sudah menyamai dua pertiga dari yang terdapat di sawah.Andaikan—misalnya—benih lain menumbuhkan sepuluh bulir, lalu pada setiap bulirnya terdapat seratus biji, maka satu benih itu saja sudah dua kali lipat benih yang ditanam. Demikian seterusnya. | |||
Sekarang kita anggap al-Qur’an sebagai ladang samawi yang suci. Setiap huruf berikut pahala aslinya—tanpa melihat bulirnya—laksa- na satu benih. Jika engkau menerapkan contoh di atas padanya, eng- kau bisa mengetahui fadilah berbagai surah yang disebutkan dalam hadis-hadis tersebut, yaitu dengan membandingkannya dengan huruf al-Qur’an aslinya. | |||
Misalnya: huruf-huruf al-Qur’an berjumlah tiga ratus ribu enam ratus dua puluh huruf. Huruf surah al-Ikhlas disertai basmalah ada- lah enam puluh sembilan huruf. Maka, tiga kali lipat dari enam pu- luh sembilan sama dengan dua ratus tujuh huruf. Artinya, kebaikan dari setiap huruf surah al-Ikhlas berjumlah sekitar seribu lima ratus.(*<ref>*Total huruf al-Qur’an (300.620). Sementara total huruf surah al-Ikhlas (69 x 3) = | |||
207. Jadi, jumlah kesuruhan pahala surah al-Ikhlas (207 x 1.500) = 310.500. Jumlah terse- but mendekati total huruf keseluruhan al-Qur’an—Peny.</ref>)Demikian pula jika engkau menghitung huruf-huruf surah Yâsîn, lalu membandingkannya dengan keseluruhan huruf al-Qur’an. | |||
</ | |||
Kalau peli- patgandaannya hingga sepuluh kali, maka setiap huruf yang terdapat di dalamnya berjumlah sekitar lima ratus kebaikan. | |||
Jika fadilah surah-surah yang lain dihitung dengan cara demiki- an, engkau akan memahami keberadaannya sebagai sesuatu yang be- nar dan tepat serta sama sekali tidak berlebihan. | |||
'''Prinsip Kesepuluh''' | |||
''' | Kadangkala sejumlah individu memiliki kemampuan luar bia- sa seperti yang terjadi pada sebagian besar kelompok makhluk. Jika sosok luar biasa itu mengungguli yang lain dalam hal kebaikan dan kesalehan, ia akan menjadi kebanggan bagi kalangannya. Jika tidak, ia akan menjadi peringatan yang menginformasikan bencana dan kesi- alan atas mereka. Masing-masing individu yang istimewa itu tumbuh sebagai sosok maknawi di setiap tempat di masyarakat. Yang lain beru- saha meniru sikap dan perbuatannya seraya berusaha untuk mencapai tujuannya. Bisa jadi ada di antara mereka yang berhasil meniru satu amal perbuatannya. Jadi, persoalannya dari sisi logika adalah persoa- lan adanya “kemungkinan” bagi adanya sosok luar biasa semacam itu di setiap tempat secara tersembunyi. Artinya, dengan amalnya ini ia menjadi sosok universal. Yakni, amal semacam ini bisa dan mungkin menghasilkan buah seperti itu. | ||
< | Dengan contoh di atas, perhatikan sejumlah hadis Nabi yang maknanya kurang lebih seperti ini, “Siapa yang salat dua rakaat ini, ia akan mendapatkan pahala haji.”(*<ref>*Lihat: at-Tirmidzi, bab tentang al-Jumu’ah, h.59.</ref>)Yakni, pahala salat dua rakaat di waktu tertentu bisa menyerupai pahala haji. Ini adalah hakikat yang pasti. Jadi, bisa saja salat dua rakaat itu mengandung makna di atas.Hanya saja, ia tidak selalu demikian dan tidak berlaku secara umum. Pasalnya, agar diterima ada sejumlah syarat tertentu yang harus dipe- nuhi. Karena itu, riwayat semacam di atas tidak berlaku umum. Ia bisa bersifat sementara atau bisa pula hanya bersifat mungkin. Keumuman pada hadis semacam itu hanya dilihat dari sisi kemungkinannya. | ||
< | Mi- salnya dalam riwayat disebutkan: “Gibah seperti membunuh”.(*<ref>*Lihat: ad-Dailami, al-Musnad, j.3, h.116.</ref>)Yakni, dengan perbuatan gibah seseorang bisa menjadi racun yang memati- kan. Contoh lainnya adalah: “Ungkapan yang baik adalah sedekah se- perti membebaskan budak.”(*<ref>*Lihat: at-Tabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, j.7, h.230; dan al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, j.6, h.124.</ref>) | ||
</ | |||
Hikmah penyebutan hadis-hadis dalam bentuk seperti itu adalah untuk mengungkapkan kemungkinan terjadinya sifat maknawi yang sempurna pada setiap tempat dan dalam bentuknya yang bersifat mut- lak. Sebab, ia sangat ampuh dalam memberikan motivasi dan anca- man, serta lebih mendorong jiwa untuk mau melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. | |||
Kemudian urusan alam abadi tidak bisa diukur dengan ukuran alam kita saat ini. Sebab, milik kita yang paling besar bisa jadi ada- lah sesuatu yang paling kecil di sana. Nah, karena pahala amal saleh mengarah kepada alam abadi tersebut, maka pandangan duniawi kita yang sempit tidak mampu menjangkaunya. Kita tidak mampu mema- haminya dengan akal kita yang terbatas. | |||
Misalnya, terdapat riwayat yang menjadi perhatian orang-orang yang tidak cermat dan tidak objektif dalam memberikan penilaian. Riwayat tersebut berbunyi, “Siapa yang membaca ini ia akan mendapat pahala seperti pahala nabi Musa dan nabi Harun .” Yaitu:مَن۟ قَرَاَ هٰذَا اُع۟طِىَ لَهُ مِث۟لُ ثَوَابِ مُوسٰى وَ هَارُونَ | |||
مَن۟ قَرَاَ هٰذَا اُع۟طِىَ لَهُ مِث۟لُ ثَوَابِ مُوسٰى وَ هَارُونَ | |||
اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ السَّمٰوَاتِ وَ رَبِّ ال۟اَرَضٖينَ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ، | اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ السَّمٰوَاتِ وَ رَبِّ ال۟اَرَضٖينَ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ، | ||
وَلَهُ ال۟كِب۟رِيَاءُ فِى السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ وَ هُوَ ال۟عَزٖيزُ ال۟حَكٖيمُ اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ السَّمٰوَاتِ وَ رَبِّ ال۟اَرَضٖينَ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ، | وَلَهُ ال۟كِب۟رِيَاءُ فِى السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ وَ هُوَ ال۟عَزٖيزُ ال۟حَكٖيمُ اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ السَّمٰوَاتِ وَ رَبِّ ال۟اَرَضٖينَ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ، | ||
وَلَهُ ال۟عَظَمَةُ فِى السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ وَ هُوَ ال۟عَزٖيزُ ال۟حَكٖيمُ | وَلَهُ ال۟عَظَمَةُ فِى السَّمٰوَاتِ وَال۟اَر۟ضِ وَ هُوَ ال۟عَزٖيزُ ال۟حَكٖيمُ | ||
وَلَهُ ال۟مُل۟كُ رَبُّ السَّمٰوَاتِ وَ هُوَ ال۟عَزٖيزُ ال۟حَكٖيمُ | وَلَهُ ال۟مُل۟كُ رَبُّ السَّمٰوَاتِ وَ هُوَ ال۟عَزٖيزُ ال۟حَكٖيمُ | ||
Hakikat dari hadis-hadis yang menggugah pikiran tersebut dan yang sejenisnya adalah sebagai berikut: | |||
Kita tidak memahami sejauh mana pahala yang didapat oleh Nabi Musa dan Nabi Harun kecuali sesuai dengan persespsi kita, sesuai dengan paradigma kita yang sempit, serta sesuai pandangan kita yang terbatas. Karena itu, hakikat pahala yang diraih oleh hamba yang sangat lemah dari Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Pemberi rah- mat lewat membaca wirid di atas pada kehidupan yang kekal abadi bisa sesuai dengan pahala kedua nabi agung itu yang kita asumsikan dengan akal kita yang terbatas. Hal itu sesuai dengan wilayah pengeta- huan dan cakrawala berpikir yang kita miliki. | |||
Dalam hal ini, kita seperti orang badui yang belum pernah me- lihat raja dan tidak memahami keagungannya. Dalam pandangan dan pikirannya yang sempit, raja adalah sosok seperti syekh yang ada di kampung atau sedikit lebih tua darinya. Bahkan di bagian Timur Ana- tolia terdapat orang-orang kampung yang polos yang berkata, “Raja duduk di dekat tungku dan mengawasi masakannya sendiri.” Artinya, asumsi orang badui tentang keagungan raja tidak lebih dari sosok pe- mimpin batalion tentara. Jika dikatakan kepada mereka, “Apabila eng- kau melakukan pekerjaan ini untukku, aku akan menjadikanmu seba- gai raja,” yaitu laksana pemimpin batalion, maka perkataan ini benar. Sebab, raja dalam pandangan dan pikiran si pendengar hanya laksana pemimpin batalion. | |||
Demikianlah, kita nyaris tidak memahami berbagai hakikat yang terkait dengan pahala amal yang mengarah pada akhirat dengan akal kita yang sempit dan pandangan kita yang terbatas seperti orang badui tadi. Pasalnya, kandungan hadis Nabi tersebut bukan dalam rangka membuat perbandingan antara pahala hakiki yang didapatkan Musa dan Harun yang tidak kita ketahui, dengan pahala yang didapat oleh hamba yang membaca wirid di atas. Sebab, kaidah tasybih adalah menganalogikan yang tak diketahui dengan sesuatu yang diketahui. Yakni, membandingkan antara pahala keduanya “yang kita ketahui” sesuai dengan persepsi kita, dengan pahala hakiki sang hamba pem- baca wirid di atas “yang tidak kita ketahui”. | |||
Kemudian, bayangan matahari yang terpantul dari permukaan laut dan tetesan air adalah sama. Perbedaannya terletak pada kualitasnya saja. Keduanya memantulkan bayangan dan cahaya matahari. Ka- rena itu, ruh Musa dan Harun yang merupakan cermin bening laksana lautan memantulkan esensi pahala seperti pantulan ruh hamba pezikir tadi yang laksana tetesan air. Pahala keduanya sama dilihat dari sisi esensi dan kuantitas. | |||
Namun berbeda dari sisi kualitas. Sebab, masing- masing sesuai dengan potensinya.Selanjutnya, pengulangan zikir dan tasbih tertentu atau pembaca- an sebuah ayat bisa membuka pintu rahmat dan kebahagiaan di mana ia tidak bisa dibuka oleh ibadah selama enam puluh tahun. Artinya, terdapat sejumlah kondisi di mana satu ayat di dalamnya memberikan sejumlah manfaat seperti yang dimiliki keseluruhan al-Qur’an. | |||
Lalu, limpahan karunia ilahi yang tampak pada Rasul x dengan membaca satu ayat bisa menyamai limpahan karunia ilahi yang sem- purna yang diberikan pada nabi lain. Sebab, Nabi x adalah tempat menifestasi Ismul a’zham (nama Allah yang paling agung). Jika ada yang berkata bahwa hamba yang berzikir bisa mendapatkan hembu- san naungan Ismul a’zham berkat pewarisan kenabian dan mempero- leh pahala sesuai dengan potensi penerimaannya seperti karunia yang diberikan pada nabi yang lain, maka hal ini sama sekali tidak bersebe- rangan dengan hakikat yang ada. | |||
Kemudian, pahala dan upah berasal dari alam cahaya yang ke- kal di mana satu alam darinya bisa terhimpun pada satu benih, sama seperti bayangan matahari dengan semua bintangnya terhimpun dan terlihat pada satu potong kaca kecil. Demikianlah, membaca satu ayat atau zikir tertentu dengan niat yang ikhlas bisa melahirkan kebeni- ngan di dalam jiwa—laksana kaca—di mana ia dapat menyerap pahala berkilau seperti langit yang luas. | |||
Kesimpulan: Wahai yang mengkritik dan mencela segala sesuatu secara gegabah, wahai pemilik iman yang rapuh dan pemikir yang di- penuhi oleh filsafat materialisme, sadarlah! Perhatikan kesepuluh prin- sip di atas. Jangan engkau menunjukkan keberatanmu terhadap sejum- lah hadis Nabi di mana hal itu berarti mencederai kemaksuman beliau dengan dalih adanya sesuatu yang tidak realistis dalam satu riwayat.Kesepuluh prinsip di atas berikut ranah penerapannya paling ti- dak membuatmu tidak lagi bersikap ingkar dan menolak. Selanjutnya ia menegaskan bahwa kalaupun ada ketimpangan atau kekurangan, maka hal itu kembali pada diri kita (kepada prinsip yang ada); bukan kepada hadisnya. Jika ia sulit dipahami, maka hal itu karena pemaha- manmu yang keliru. | |||
Jadi, orang yang terus bersikap ingkar dan menolak, ia harus menyanggah kesepuluh prinsip di atas. Jika tidak, maka ia tidak bisa mengingkari.Jika engkau benar-benar jujur dan objektif, cermati kesepuluh prinsip tersebut. Setelah itu, jangan mengingkari hadis Nabi yang me- nurut akalmu tidak realistis. Namun katakan, “Barangkali ada penje- lasan, interpretasi, dan keterangan tentangnya.” Lalu jangan engkau keberatan dalam menerimanya. | |||
'''Prinsip Kesebelas''' | |||
''' | Sebagaimana dalam al-Qur’an terdapat sejumlah ayat mutasyabi- hat yang membutuhkan takwil atau menuntut sikap menerima secara mutlak, demikian pula dalam hadis Nabi x terdapat sejumlah perso- alan yang juga membutuhkan penafsiran dan keterangan yang cermat. Berbagai contoh di atas sudah cukup untukmu. | ||
Ya, orang yang terjaga dapat menjelaskan mimpi orang yang ti- dur, sementara orang tidur yang mendengar orang-orang yang terjaga di sekitarnya kadang mewujudkan perkataan mereka lewat satu ben- tuk dalam tidurnya sehingga menjelaskan sesuai dengan kondisinya di saat tidur.Wahai yang ditidurkan oleh kelalaian dan filsafat materialisme, wahai yang tidak objektif, sosok yang Allah katakan:“Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihat dan tidak (pula) melampauinya” (QS. an-Najm [53]: 17), dan yang bercerita tentang di- rinya: | |||
“Kedua mataku tidur; namun kalbuku tidak tidur”(*<ref>*Lihat: al-Bukhari, dalam bab at-Tarâwîh, h.1; al-Manâqib, h.24; dan at-Tahajjud,h.16. Lihat pula Muslim, dalam bab al-Musâfirîn, h.125.</ref>)benar-be- nar dalam kondisi terjaga. Jangan mengingkari apa yang beliau lihat. Namun terangkanlah ia, temukan penjelasannya dalam tidurmu, dan carilah tafsirannya. Sebab, andaikan seekor nyamuk menggigit orang yang tidur, maka pengaruhnya tampak padanya seolah-olah ia terluka dalam perang. Ketika diminta penjelasan setelah ia bangun, tentu ia akan berkata, “Ya, aku terlibat dalam perang berdarah. Senjata itu telah mengenai diriku.” Sementara orang-orang yang terjaga di sekitarnya menjadikan hal itu sebagai bahan ejekan. Jadi, pandangan orang lalai yang sedang tidur dan pemikiran filsafat materialisme sama sekali ti- dak mungkin menjadi tolok ukur untuk menilai hakikat kenabian. | |||
'''Prinsip Kedua Belas''' | |||
''' | Pandangan kenabian, tauhid, dan iman melihat berbagai haki- kat dalam cahaya uluhiyah, akhirat, dan kesatuan alam. Pasalnya, ia mengarah kepadanya. Adapun ilmu empiris dan filsafat modern meli- hat segala sesuatu dari sisi sebab-sebab materi yang demikian banyak karena mengarah kepadanya. Nah, jarak antara kedua sudut pandang itu sangat jauh. Bisa jadi tujuan yang sangat besar dan tinggi bagi ahli filsafat, ternyata sangat remeh dan nyaris tak terlihat jika diukur de- ngan berbagai tujuan para ulama ushul dan ilmu kalam. | ||
Karena itu, ilmuwan empiris telah mendapatkan banyak kemajuan dalam menge- nali sejumlah detail entitas, namun sangat tertinggal bahkan dari kaum beriman yang sangat sederhana dan paling sedikit ilmunya dalam ma- salah ilmu hakiki, yaitu teologi dan pengetahuan tentang akhirat.Orang-orang yang tidak memahami rahasia ini mengira bahwa para ulama Islam tertinggal dari ilmuwan alam dan filsuf. Padahal, orang yang akalnya turun ke mata, lalu hanya memikirkan apa yang mereka lihat, serta tenggelam dalam pluralitas makhluk, sedikit pun tidak mendekati derajat pewaris para nabi yang telah mencapai berba- gai tujuan ilahi yang mulia dan tinggi. | |||
Selanjutnya, jika melihat dari dua sudut pandang yang berbeda, tentu melahirkan dua hakikat yang juga berbeda. Bisa jadi keduanya sama-sama benar. Dan yang pasti, hakikat ilmiah yang benar tidak akan bertentangan dengan hakikat nas al-Qur’an yang suci. Pasalnya,tangan ilmu empiris yang terbatas tak mampu mencapai tepi berbagai hakikat al-Qur’an yang mulia. Kami akan memberikan contoh sebagai berikut: | |||
Menurut para ilmuwan, bola bumi merupakan salah satu planet yang memiliki ukuran sedang yang berputar mengitari matahari. Na- mun jika dibandingkan dengan planet dan bintang lain yang jumlah- nya tak terhingga, ukuran bumi sangat kecil.Adapun jika kita melihat bola bumi dengan perspektif al-Qur’an, hakikatnya sebagaimana dijelaskan dalam “Kalimat Kelima Belas”, yai- tu sebagai berikut:Manusia yang merupakan buah alam yang paling halus, salah satu mukjizat komprehensif milik Tuhan Yang Mahakuasa dan Maha- bijak, serta makhluk yang paling menakjubkan dan paling mulia mes- kipun sangat lemah dan papa. Manusia tersebut hidup di atas bumi ini. Jadi, bumi merupakan buaian dan tempat tinggal manusia. Meskipun kecil dan remeh jika dibandingkan dengan berbagai lapisan langit, namun demikian agung dan mulia dilihat dari sisi makna, substansi, dan kreasinya. Sehingga dengan perspektif al-Qur’an, bumi merupa- kan jantung dan pusat alam dilihat dari sisi nilai. Ia merupakan galeri seluruh ciptaan yang menakjubkan; tempat manifestasi seluruh Asma- ul Husna sehingga ia laksana titik pusat seluruh cahaya; tempat dan cermin berkumpulnya seluruh perbuatan ilahi; serta pasar luas yang memperlihatkan kreasi ilahi yang bersifat mutlak, terutama pencipta- an tumbuhan dan hewan yang sangat cermat dalam jumlah yang ba- nyak dengan segala kemurahan. Ia juga merupakan miniatur dari cip- taan alam akhirat yang luas; pabrik yang bekerja dengan sangat cepat untuk memproduksi berbagai produk yang kekal; tempat pertunjukan seluruh model pemandangan abadi yang senantiasa berganti dengan sangat cepat; serta ladang sempit dan temporer untuk menumbuhkan benih-benih kecil yang cepat besar untuk kebun abadi yang indah. | |||
Karena semua itu, al-Qur’an memosisikan bumi sebagai saudara kandung langit dilihat dari esensinya yang agung dan kreasinya yang urgen. Ia laksana buah kecil dari sebuah pohon besar. Ia juga laksana jantung kecil dari tubuh yang besar. Maka, al-Qur’an selalu menyebut- nya bergandengan dengan langit. Bumi di satu sisi dan seluruh langit di sisi yang lain. Berulang-ulang al-Qur’an menegaskan:“Tuhan Pemelihara langit dan bumi.” | |||
Demikianlah, Anda bisa menganalogikan seluruh persoalan dengan cara yang sama. Lalu pahamilah bahwa berbagai hakikat filsa- fat yang tak bernyawa dan pudar tidak mungkin berbenturan dengan hakikat al-Qur’an yang hidup dan bersinar. Keduanya merupakan ha- kikat. Hanya saja, perbedaan terletak pada sudut pandang sehingga hakikat yang tampak menjadi sangat berbeda. | |||
< | <span id="DÖRDÜNCÜ_DAL"></span> | ||
== | ==DAHAN KEEMPAT== | ||
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, po- hon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia. Lalu banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Barangsiapa yang dihinakan Allah tidak seorangpun yang memuliakannya. Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. al-Hajj: 18). | |||
Kami akan menjelaskan satu permata saja dari khazanah ayat di atas yang sangat besar dan luas, | |||
yaitu bahwa al-Qur’an al-Hakim menegaskan bahwa segala sesuatu mulai dari arasy hingga alas, dari malaikat hingga ikan, dari galaksi hingga serangga, dari planet hingga atom, semuanya bersujud kepada Allah. Mereka beribadah, memuji,dan menyucikan-Nya. Hanya saja, ibadah makhluk-makhluk tersebut berbeda dan beragam. Masing-masing sesuai dengan potensi dan ke- mampuannya dalam menerima manifestasi Asmaul Husna. Di sini kami ingin menjelaskan keragaman ibadah makhluk de- ngan sebuah perumpamaan: | |||
Misalnya seorang raja agung dan penguasa besar mempekerja- kan empat jenis pekerja dalam membangun sebuah istana atau kota. | |||
Jenis pertama adalah para budaknya. Jenis ini tidak dibayar dan tidak diberi upah, tetapi mereka mendapatkan satu sentuhan kelem- butan. Mereka merasakan puncak kerinduan pada setiap pekerjaan yang mereka tunaikan lewat perintah sang majikan. Lebih dari itu, mereka semakin senang dan rindu ketika mendengar pujian terhadap tuan mereka. Mereka sudah cukup merasa bangga dengan menisbat- kan diri kepada tuan mereka. Selain itu, terdapat kenikmatan maknawi saat amal yang mereka lakukan atas nama raja diawasi. Mereka tidak membutuhkan upah, pangkat dan gaji. | |||
Jenis kedua adalah para pelayan biasa. Mereka tidak tahu me- ngapa harus bekerja. Yang jelas sang raja yang mempekerjakan mereka dan mengarahkan mereka untuk bekerja dengan pikiran dan penge- tahuannya. Lalu raja memberi mereka upah kecil yang sesuai dengan kondisi mereka. Para pelayan itu tidak mengetahui tujuan komprehen- sif dan kemaslahatan besar yang bisa dihasilkan dari pekerjaan me- reka, sehingga sebagian orang mengira bahwa mereka bekerja hanya untuk mendapatkan upah semata. | |||
Jenis ketiga adalah hewan yang dimiliki oleh sang raja agung itu. Ia mempekerjakannya dalam membangun istana dan kota. Sang raja tidak memberinya apa-apa kecuali hanya makanannya saja. Hewan tersebut merasa nikmat dalam melaksanakan tugas yang sesuai dengan potensinya, sebab ketika potensi yang ada di pergunakan secara mak- simal, yang terasa adalah kelapangan dan ia melahirkan kenikmatan. Kenikmatan yang terdapat dalam berbagai aktivitas bersumber dari rahasia ini. Maka, upah untuk kelompok pelayan ini berupa makanan mereka berikut kenikmatan maknawi yang mereka rasakan. Keduanya sudah cukup bagi mereka. | |||
Jenis keempat adalah pekerja yang mengetahui apa yang mereka kerjakan, mengapa mereka mengerjakannya, dan untuk siapa mereka bekerja. Di samping itu, mereka juga mengetahui mengapa yang lain ikut bekerja, apa tujuan sang raja, serta mengapa ia mendorong semu- anya untuk bekerja. Jenis pekerja ini memimpin dan mengawasi para pekerja yang lain. Mereka mendapatkan gaji dan upah sesuai dengan tingkatan dan jenjang karir mereka. | |||
Sama seperti perumpamaan di atas, Pemilik langit dan bumi yang Mahaagung, Pembangun dunia dan akhirat yang Mahaindah di mana Dia merupakan Tuhan semesta alam mempekerjakan malaikat, hewan, benda mati, tumbuhan, serta manusia di istana alam ini dalam wilayah sebab-akibat. Dia mendorong mereka untuk beribadah bukan untuk kebutuhan-Nya karena Dia adalah Sang Pencipta, namun un- tuk memperlihatkan kemuliaan, keagungan, rububiyah-Nya serta ber- bagai hikmah sejenis. | |||
Demikianlah Dia menugaskan keempat jenis makhluk dengan empat model ibadah yang berbeda-beda. | |||
Jenis pertama: mereka yang berposisi sebagai budak atau hamba. Mereka adalah para malaikat. Mereka tidak memiliki tingkatan dalam mujahadah. Pasalnya, setiap mereka memiliki kedudukan dan tingka- tan tertentu yang tetap. Namun mereka memiliki cita rasa khusus da- lam melakukan pekerjaan. Mereka menyambut limpahan karunia ilahi sesuai dengan derajat mereka dalam ibadah yang mereka lakukan.Artinya upah pelayanan mereka terdapat dalam pekerjaan yang mereka lakukan. Sebagaimana manusia menikmati air, udara, cahaya, dan makanan, malaikat juga mengonsumsi dan menikmati cahaya zi- kir, tasbih, pujian, ibadah, makrifat, dan cinta karena mereka tercipta dari cahaya. Jadi, cahaya sudah cukup menjadi nutrisi mereka. Bahkan berbagai aroma yang baik dan dekat dengan cahaya merupakan jenis nutrisi lain yang membuat mereka senang.Ya, ruh-ruh yang baik menyenangi aroma yang baik. | |||
Selanjutnya malaikat memiliki kebahagiaan yang besar, bahkan ke tingkat yang tak mampu dijangkau oleh akal manusia dan tidak bisa diketahui kecuali oleh malaikat itu sendiri. Hal itu terdapat pada amal yang mereka kerjakan dengan perintah Tuhan, berbagai pekerjaan | |||
yang mereka lakukan di jalan-Nya, pelayanan yang mereka tunaikan atas nama-Nya, pengawasan yang mereka lakukan dengan tatapan- Nya, kemuliaan yang mereka raih dengan menisbatkan diri pada-Nya, kesucian yang mereka peroleh dengan menelaah kerajaan dan mala- kut-Nya, serta kenikmatan yang mereka dapatkan dengan menyaksi- kan manifestasi keindahan dan keagungan-Nya. | |||
Sebagian malaikat adalah para abid, sementara yang lain menu- naikan ibadah mereka dalam pekerjaan yang ditunaikan. Kelompok malaikat bumi yang bekerja bisa dikatakan menyerupai manusia. Di antara mereka ada yang menunaikan tugas menggembala hewan. Me- reka adalah para penggembala. Yang lain mengawasi berbagai tumbu- han bumi. Mereka adalah para petani. Artinya permukaan bumi me- rupakan ladang umum yang diawasi oleh malaikat yang dipercayakan atasnya. Ia mengawasi seluruh jenis hewan yang melata di muka bumi lewat perintah, izin, rida, dan kekuatan Sang Pencipta Yang Maha- agung. Terdapat pula malaikat yang lebih kecil yang ditugaskan me- ngembala setiap jenis hewan secara khusus. | |||
Karena muka bumi merupakan ladang; tempat menanam berba- gai jenis tanaman, maka terdapat malaikat yang ditugaskan mengawa- si seluruh tanaman tersebut dengan nama Allah dan dengan kekua- tan-Nya. Lalu terdapat malaikat yang mengawasi seluruh kelompok tumbuhan. Demikianlah, terdapat sejumlah malaikat pengawas. Ma- laikat Mikail yang merupakan pemikul arasy ar-Razzâqiyah meru- pakan pengawas tertinggi atas seluruh malaikat yang telah disebutkan | |||
di atas. | |||
Para malaikat yang berkedudukan seperti pengembala dan peta- ni berbeda dengan manusia. Sebab, pengawasan mereka atas berbagai urusan merupakan amal yang dilakukan secara tulus di jalan Allah, atas nama-Nya, dengan kekuatan-Nya dan berdasarkan perintah-Nya. Bahkan pengawasan mereka adalah berupa menyaksikan sejumlah manifestasi rububiyah pada jenis yang pengawasannya diserahkan kepada mereka, menelaah manifestasi qudrah dan rahmat-Nya, me- nunaikan ilham perintah ilahi yang diberikan padanya, melaksana- kan aktivitas yang menyerupai penataan pada sejumlah perbuatannya yang bersifat ikhtiyariyah. | |||
Terutama pengawasan atas berbagai tana- man yang terdapat di ladang bumi, mewujudkan tasbih maknawinya, mengungkapkan penghormatan terhadap Penciptanya yang mulia dengan lisan malaikat, di samping mempergunakan semua perangkat yang diberikan padanya dengan baik sekaligus mengarahkannya pada berbagai tujuan tertentu seraya melakukan semacam penataan di da- lamnya. | |||
Berbagai pelayanan yang ditunaikan malaikat dianggap sebagai bentuk bagian kehendaknya. Bahkan ia merupakan bentuk ibadah dan ubudiyahnya. Sebab, mereka tidak memiliki kemampuan hakiki karena segala sesuatu memiliki stempel khusus milik Tuhan Pencip- ta segala sesuatu. Tidak mungkin selain-Nya bisa ikut campur dalam penciptaan.Artinya, bentuk amal perbuatan malaikat ini merupakan ibadah mereka. Ia bukan tradisi dan kebiasaan seperti yang dilakukan manusia. | |||
Jenis kedua: para pekerja di istana alam, yaitu hewan atau binatang.Karena hewan memiliki selera dan kehendak yang bersifat parsi-al, maka amal perbuatan mereka tidak murni untuk Allah, tetapi me- reka juga mengambil bagian dan memperhatikan kecenderungannya dari amal yang dilakukan. Karena itu, Sang penguasa kerajaan Yang Mahaagung dan Pemurah memberikan upah dan gaji kepada hewan sebagai balasan atas perbuatannya. Hal itu untuk menenangkan dan memuaskan jiwa mereka.Misalnya burung bulbul yang dikenal menyukai mawar dan bu- nga.(*<ref>*Ketika burung bulbul berkicau dengan kicauan puitis, pembahasan ini juga bersi- fat puitis. Hanya saja ia bukan hayalan, tetapi kenyataan—Penulis.</ref>) | |||
Sang Pencipta Yang Maha Mulia mempekerjakan burung kecil itu untuk lima tujuan: | |||
Pertama, ia diberi perintah dan tugas atas nama rombongan hewan untuk memperlihatkan kuatnya hubungan dengan berbagai je- nis tumbuhan. | |||
Kedua, ia ditugaskan mengungkap rasa senang sekaligus me- nyambut hadiah yang diberikan oleh Sang Maha Pemberi rezeki Yang Maha Pemurah di mana ia menjadi mitra bicara Tuhan yang dengan kicauannya meminta rezeki untuk para hewan—tamu Tuhan—yang membutuhkannya. | |||
Ketiga, memperlihatkan sambutan yang baik di hadapan seluruh tumbuhan sebagai ekspresi bahwa tumbuhan itu dikirim sebagai karu- nia bagi kalangan burung dan hewan sepertinya. | |||
Keempat, menjelaskan betapa hewan sangat membutuhkan tum- buhan sampai pada tingkat di mana ia menyenangi wajah indahnya seraya menampakkan hal itu di hadapan para saksi. | |||
Kelima, mempersembahkan tasbih terhangat ke hadirat rahmat Tuhan Penguasa kerajaan Yang Mahaagung dan Pemurah dalam nuan- sa kerinduan dan cinta yang paling halus serta pada wajah yang paling indah; berupa mawar. | |||
Demikianlah, terdapat sejumlah makna lain yang serupa dengan lima tujuan di atas.Berbagai makna dan tujuan tersebut merupakan tujuan dari pe- kerjaan bulbul yang ditunaikan untuk Allah . Burung bulbul berki- cau dengan bahasanya, sementara kita memahami makna-makna di atas lewat irama sedihnya seperti yang dipahami oleh malaikat dan makhluk ruhaniyyûn lainnya. Tidak adanya pemahaman yang sem- purna dari bulbul terhadap iramanya sendiri tidak menjadi peng- halang bagi kita untuk memahami hal tersebut. Ada satu ungkapan terkenal yang berbunyi, “Bisa jadi pendengar lebih paham daripada si pembicara.”Kemudian ketidaktahuan bulbul terhadap berbagai tujuan itu se- cara detail tidak menunjukkan ketiadaannya. Paling tidak ia seperti jam yang memberitahukan tentang waktu, padahal ia tidak mengeta- hui apa yang sedang ia lakukan. Maka, ketidaktahuannya tidak mem- pengaruhi pengetahuanmu. | |||
Adapun upah dan balasan untuk bulbul berupa cita rasa yang ia dapatkan dari penyaksian terhadap senyum bunga yang indah dan kenikmatan yang ia peroleh dari berdialog dengannya.Artinya, irama sedih dan suara halusnya bukan merupakan keluhan yang bersumber dari kepedihan, tetapi ia merupakan bentuk syukur, pujian, dan sanjungan terhadap karunia Tuhan. | |||
Hal yang sama berlaku pada lebah, laba-laba, semut, kutu dan hewan kecil lainnya. Masing-masing memiliki tujuan yang sangat banyak dalam pekerjaannya. Di dalam pekerjaan tersebut terdapat cita rasa dan kenikmatan khusus sebagai upah dan balasannya. Mereka melayani sejumlah tujuan mulia untuk kreasi ilahi lewat cita rasa tadi. Sebagaimana pekerja sederhana dalam sebuah kapal raja memperoleh upah, demikian pula hewan-hewan yang melakukan tugas ilahi. Mere- ka semua mendapatkan upahnya. | |||
'''Pelengkap untuk Pembahasan Bulbul''' | |||
''' | |||
Selanjutnya, jangan mengira bahwa tugas ilahi dalam mengung- kap, menunjukkan, dan mendendangkan tasbih hanya milik bulbul. Akan tetapi, setiap spesies dari sebagian besar spesies makhluk se- rupa dengan bulbul. Mereka mengekspresikan perasaan paling halus spesiesnya serta berdendang dengan tasbih dan sajak yang paling lem- but. Terutama berbagai jenis kutu dan serangga. Bulbul mereka sangat banyak dan beragam. Seluruh pemilik pendengaran yang memperha- tikan hewan tersebut, mulai dari yang paling kecil sampai yang paling besar, bisa menikmatinya. Ditebarkan di hadapan mereka sejumlah tasbihnya dalam bentuk yang paling indah. | |||
Sebagian dari hewan tersebut beraktivitas di waktu malam. Di malam yang tenang dan di tengah alam yang sepi mereka menjadi sahabat, kekasih, pembuat narasi bagi para hewan kecil yang sedang diam. Masing-masing bulbul itu laksana pemimpin di majelis zikir tersembunyi yang terdapat di tengah-tengah majelis di mana setiap anggotanya mulai terdiam dan tenang karena mendengar satu bentuk zikir dan tasbih dengan hati yang tenteram kepada Penciptanya. | |||
Kelompok lain dari bulbul beraktivitas di siang hari. Di terik siang mereka memperlihatkan rahmat Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang di atas mimbar pohon dan di hadapan para makhluk. Me- reka mendendangkannya. Terutama di musim panas dan musim semi. Dengan kicau yang lembut, nyanyian yang indah, dan tasbih bersajak mereka mengungkapkan rasa rindu dan cinta kepada setiap pende- ngarnya sehingga si pendengar segera berzikir menyebut Penciptanya lewat lisan khususnya.Artinya, setiap jenis entitas memiliki bulbul sendiri. Ia adalah pemimpin majelis zikir milik mereka. Bahkan bintang-gemintang di langit juga memiliki bulbul khusus yang dengan cahayanya bernyanyi dan berdendang. | |||
Akan tetapi, bulbul yang paling baik, paling mulia, paling ber- sinar, paling agung, yang paling indah suaranya, paling sempurna zi- kirnya, paling komprehensif zikirnya, serta paling bagus bentuknya adalah yang memunculkan rasa cinta dan rindu di bumi dan langit yang tinggi di kebun alam yang besar ini lewat sajaknya yang lem- but, sikap merendahnya yang nikmat, dan tasbihnya yang mulia. Ia merupakan bulbul agung jenis manusia di kebun alam. | |||
Yaitu bulbul al-Qur’an milik umat manusia, Muhammad x sosok yang amanah ‘Baginya dan keluarganya, serta bagi para nabi salawat terbaik dan salam terindah!’ | |||
Kesimpulan: Hewan-hewan pengabdi di istana alam menunai- kan perintah penciptaan secara sempurna. Mereka memperlihatkan berbagai tujuan yang terdapat dalam fitrahnya dalam bentuk yang paling indah dengan nama Allah. Tasbih mereka berupa penunaian sejumlah tugas kehidupan dalam bentuk yang paling menakjubkan dengan kekuatan dari Allah serta dalam mengerahkan upaya dalam beramal. Ibadah mereka berupa hadiah dan penghormatan yang me- reka berikan kepada Sang Pencipta Yang Mahaagung Dzat yang telah memberi kehidupan. | |||
Jenis ketiga adalah tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa. Mereka adalah pekerja yang tak mendapat gaji dan upah karena be- kerja tanpa kehendak dan keinginan sendiri. Amal perbuatan mere- ka tulus untuk Allah dan terwujud murni karena kehendak-Nya, de- ngan nama-Nya, di jalan-Nya, dan dengan kekuatan-Nya. Hanya saja, yang dapat dirasakan dari kondisi tumbuhan bahwa mereka memiliki satu bentuk kenikmatan dalam menunaikan tugas penyerbukan, me- numbuhkan, dan menghasilkan buah. Namun, ia tidak pernah mera- sa sakit. Berbeda dengan hewan yang memiliki rasa sakit bercampur dengan kenikmatan yang ada karena memiliki kehendak. Nah, kare- na dalam pekerjaaan tumbuhan dan makhluk tak bernyawa tidak ada rasa sakit, maka jejak dan pengaruh keduanya lebih sempurna daripa- da hewan. Misalnya, pada lebah yang tersinari oleh wahyu dan ilham Tuhan. Pekerjaan yang mereka lakukan lebih rapi dan sempurna dari- pada hewan lain yang bersandar pada bagian dari kehendaknya. | |||
Setiap kelompok tumbuhan di ladang bumi meminta dan me- nyeru Penciptanya Yang Mahabijak lewat lisan hal dan potensinya dengan berkata, “Wahai Tuhan kami, berikan kekuatan pada kami agar kami bisa menancapkan panji kelompok kami di seluruh muka bumi guna memperlihatkan keagungan rububiyah-Mu lewat lisan kami. Wahai Tuhan, beri kami taufik untuk beribadah kepada-Mu di seti- ap sudut masjid bumi ini. Beri kami kemampuan untuk bisa berjalan di setiap sisi galeri bumi guna menampakkan ukiran nama-nama-Mu yang mulia dan kreasi-Mu yang menakjubkan.” | |||
Tuhan Pencipta Yang Mahabijak menjawab doa maknawi tumbu- han tersebut. Dia memberi kepada benih kelompoknya sejumlah sayap dahan yang halus agar bisa terbang ke setiap tempat sehingga orang yang melihatnya dapat membaca nama Allah yang mulia seperti yang terdapat pada sebagian besar tumbuhan berduri dan sebagian benih bunga yang berwarna kuning. Dia juga memberikan kepada yang lain satu untaian indah yang dibutuhkan dan disenangi oleh manusia se- hingga membuat manusia menjadi pelayannya. Manusia menanamnya di setiap tempat. Selain itu, Dia memberi kepada kelompok yang lain sesuatu yang menyerupai tulang di mana ia dibungkus dengan sesuatu yang menyerupai daging yang disukai oleh hewan sehingga disebar- kan ke seluruh pelosok bumi. Lalu Dia memberi kepada sebagian yang lain sejumlah duri halus yang bergantung pada sesuatu lewat sentuhan yang paling lembut. Dengan itu, tumbuhan bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain seraya menebarkan panji kelompoknya.Begitulah cara tumbuhan menyebarkan kreasi Allah yang menakjubkan. Dia juga memberikan kepada sebagian yang lain satu “kotak” yang penuh dengan benih yang ketika matang dilemparkan ke jarak sekian meter. | |||
Dengan cara yang sama sejumlah tumbuhan menyuarakan be- ragam bahasa untuk menyebut dan menyucikan Sang Pencipta Yang Maha Mulia. Sang Pencipta Yang Mahabijak, Mahakuasa, dan Maha Mengetahui telah menciptakan segala sesuatu dalam bentuk terbaik dan dalam keteraturan yang paling sempurna. Dia membekalinya de- ngan perangkat terbaik, mengarahkannya kepada arah yang paling te- pat, menugaskannya dengan tugas yang paling sesuai sehingga sesuatu menunaikan tasbih yang paling utama dan paling indah serta melak- sanakan ibadah dalam bentuk yang paling baik.Wahai manusia, jika engkau manusia sejati, jangan memasukkan unsur alam, kebetulan, kesia-siaan, dan kesesatan dalam berbagai uru- san indah tersebut. Jangan merusak keindahannya dengan perbuatan burukmu sehingga ia menjadi buruk pula. | |||
Jenis keempat adalah manusia. Manusia yang merupakan salah satu jenis pelayan yang bekerja di istana ini, istana alam, menyeru- pai malaikat dari satu sisi, tetapi dari sisi lain ia menyerupai hewan. Ia menyerupai malaikat dalam hal ibadah, integralitas pengawasan dan pengetahuan, serta dalam kondisinya sebagai penyeru kepada rubu- biyah-Nya yang agung. Bahkan manusia lebih komprehensif daripada malaikat karena membawa jiwa yang jahat dan berisi syahwat; berbeda dengan malaikat. Di hadapannya juga terdapat dua jalan yang boleh ia pilih. Ia bisa naik ke tempat yang mulia atau bisa jatuh terpuruk. Se- mentara sisi manusia yang serupa dengan hewan adalah bahwa dalam bekerja manusia mengharap bagian untuk dirinya. Karena itu, manu- sia memiliki dua ganjaran dan upah: | |||
Pertama, seperti upah hewan yang bersifat parsial dan secara kontan.Kedua, seperti upah malaikat yang bersifat komprehensif dan tertunda. | |||
Pada “Kalimat Dua Puluh Tiga” sebelumnya, kami telah menye- butkan sebagian dari upah dan ganjaran manusia berikut tugas, serta tingkatan naik dan turunnya. Terutama pada “Kalimat Kesebelas” dan “Kedua Puluh Tiga”. Pada keduanya terdapat penjelasan yang rinci, karenanya pembahasan tentang hal ini kami persingkat dan kami cu- kupkan seraya berdoa kepada Tuhan Yang Mahatinggi dan Mahakuasa agar Dia membukakan pintu-pintu rahmat-Nya kepada kita dan agar memberikan taufik untuk bisa menyempurnakan kalimat ini. Semoga Dia mengampuni dosa dan kesalahan kita. | |||
< | <span id="BEŞİNCİ_DAL"></span> | ||
== | ==DAHAN KELIMA== | ||
Dahan ini memiliki lima buah: | |||
< | <span id="BİRİNCİ_MEYVE"></span> | ||
=== | ===Buah pertama=== | ||
Wahai jiwa yang mencintai dirinya sendiri! Wahai temanku yang mencintai dunia!Ketahuilah bahwa cinta adalah sebab keberadaan seluruh enti- tas dan pengikat seluruh bagiannya. Ia adalah cahaya dan kehidupan alam. Ketika manusia merupakan salah satu buah alam yang paling komprehensif, maka dalam kalbunya yang merupakan benih buah ter- sebut ditanamkan rasa cinta yang mampu melingkupi seluruh entitas.Karena itu, rasa cinta tak terhingga itu hanya layak dimiliki sosok pemilik kesempurnaan tak terhingga pula. | |||
Wahai jiwa dan temanku! | |||
Allah telah menanamkan dua perangkat dalam fitrah manusia agar keduanya menjadi sarana lahirnya rasa takut dan cinta. Cinta dan takut itu bisa mengarah kepada makhluk dan bisa pula kepada sang Khalik. Namun perlu diketahui bahwa takut kepada makhluk meru- pakan bencana yang menyakitkan serta cinta yang mengarah kepada mereka merupakan musibah yang merusak. Sebab, wahai manusia engkau takut kepada sosok yang tidak mencintaimu dan tidak mau mendengar keinginanmu untuk dikasihani. Jadi, rasa takut dalam kondisi demikian merupakan bencana yang menyakitkan. | |||
Sementara terkait dengan cinta, maka apa yang kau cintai bisa jadi tidak mengenalmu sehingga pergi meninggalkanmu tanpa pamit, sebagaimana masa muda dan hartamu. Atau, ia bisa juga ia menghi- nakanmu karenanya. Tidakkah engkau melihat pada cinta majasi 99% orang mengeluhkan orang yang mereka cintai. Hal itu karena mencin- tai hal-hal duniawi yang menyerupai berhala—jika melihat batasan iba- dah yang dilakukan dengan batin kalbu yang merupakan cermin nama Tuhan as-Shamad—adalah sangat berat dalam pandangan para kekasih itu. Sebab, fitrah menolak semua hal yang tidak fitri baginya. (Cinta yang dilandasi syahwat tidak termasuk dalam pembicaraan kita). | |||
Artinya, sesuatu yang kau cintai bisa jadi tidak mengenalmu, menghinakanmu, atau tidak menyertaimu. Sebaliknya, ia akan berpi- sah dan meninggalkanmu. Jika demikian, arahkan cinta dan takut tadi kepada Dzat yang menjadikan takutmu sebagai sebuah kenikmatan dan cintamu menjadi sebuah kebahagiaan tanpa disertai kehinaan. | |||
Ya, takut kepada Pencipta Yang Maha Mulia berarti menemu- kan jalan untuk mendapat kasih sayang dan rahmat-Nya guna menjadi sandaran. Takut dengan kondisi seperti itu adalah cambuk kerinduan yang mendorong manusia menuju rengkuhan kasih sayang-Nya. Se- bab, seperti diketahui seorang ibu kadang menakut-nakuti anaknya agar mau berada dalam pelukannya. | |||
Takut semacam itu sangat nik- mat bagi anak tadi. Pasalnya, ia menarik dan mendorong sang anak menuju pelukan yang penuh kasih. Nah, perlu diketahui bahwa kasih sayang ibu tidak lain merupakan salah satu kilau rahmat ilahi. Artinya, dalam rasa takut kepada Allah terdapat kenikmatan besar. Jika takut kepada Allah mendatangkan kenikmatan semacam itu apalagi dengan rasa cinta pada-Nya. | |||
Bukankah dapat dipahami betapa kenikmatan tak terkira tersimpan di dalamnya.Selanjutnya, orang yang takut kepada Allah akan selamat dari rasa takut kepada selain-Nya; yaitu dari rasa takut yang dipenuhi ke- kesatan dan bencana. Kemudian cinta yang manusia berikan kepada makhluk jika berada di jalan Allah, tentu tidak akan disertai dengan pedihnya perpisahan. | |||
Ya, pertama-tama manusia mencintai dirinya, kemudian ka- rib-kerabatnya, lalu bangsanya. Setelah itu, seluruh makhluk hidup. Selanjutnya entitas dan dunia. Ia memiliki kaitan dengan semua wila- yah tersebut. Ia bisa merasa nikmat dengan kenikmatan yang mereka rasakan dan merasa pedih dengan sakit yang mereka rasakan. Padahal tidak ada sesuatupun yang tetap di alam yang penuh dengan fitnah dan kekacauan ini. Di dalamnya terdapat berbagai hal yang menghan- curkan. Karena itu, engkau dapat melihat kalbu manusia yang malang selalu terluka.Segala sesuatu yang ia pegang erat itulah yang membuatnya ter- luka akibat kepergiannya. Bahkan tangannya bisa terputus. Karena itu, manusia tidak pernah terhindar dari rasa gelisah. Bisa jadi ia melem- parkan diri dalam kelalaian dan kealpaan. | |||
Wahai jiwa, jika engkau berakal, kumpulkan seluruh jenis cinta itu dan serahkan kepada Pemiliknya yang hakiki, sehingga engkau se- lamat dari bencana yang ada.Berbagai jenis cinta tak terhingga itu hanya khusus untuk Pemi- lik kesempurnaan dan keindahan tak terhingga. Ketika engkau menye- rahkannya kepada Pemiliknya yang hakiki, engkau akan bisa mencin- tai segala sesuatu atas nama-Nya yang merupakan cermin-Nya tanpa disertai rasa gelisah.Artinya, engkau tidak boleh mengarahkan cinta tersebut secara langsung kepada makhluk. Sebab, dengan begitu cinta tadi akan beru- bah menjadi bencana yang menyakitkan setelah sebelumnya berupa nikmat. | |||
Selanjutnya, terdapat masalah lain yang lebih penting. Yaitu wa- hai jiwa, engkau mengarahkan cintamu kepada dirimu sendiri dan menjadikan dirimu sebagai sesuatu yang dicintai bahkan disembah. Engkau rela mengorbankan segala sesuatu untuknya seolah-olah eng- kau telah memberikan padanya satu bentuk rububiyah. Padahal, sebab munculnya rasa cinta bisa karena kesempurnaan yang memang disu- kai atau karena adanya manfaat, kenikmatan, keutamaan, atau sebab serupa lainnya yang melahirkan rasa cinta. | |||
Sekarang wahai jiwa, dalam sejumlah “kalimat”, kami telah me- negaskan secara meyakinkan bahwa esensi aslimu adalah adonan yang tersusun dari berbagai kekurangan, cacat, kefakiran, dan kelemahan. Sesuai dengan “hukum kebalikan” engkau menunaikan tugas cermin. Dengan cacat, kekurangan, kefakiran, dan kelemahan yang terdapat dalam dirimu engkau menampilkan kesempurnaan Sang Pencipta Yang Maha Mulia berikut keindahan, qudrah, dan rahmat-Nya seba- gaimana kegelapan yang pekat memperjelas terangnya cahaya. | |||
Wahai jiwa, engkau tidak boleh mencintai dirimu. Namun yang lebih tepat adalah memusuhinya, mengasihani kondisinya, dan me- nyayanginya setelah ia mencapai derajat muthmainnah.Jika engkau mencintai dirimu karena keberadaannya sebagai tempat munculnya kenikmatan dan manfaat lalu engkau senang de- ngan rasa nikmat dan manfaat tersebut, maka jangan sampai engkau mengutamakan kenikmatan itu sedikitpun atas kenikmatan dan manfaat yang tak terhingga. Jangan seperti kunang-kunang yang meneng- gelamkan segala sesuatu dan semua yang dicintai dalam kegelapan lalu merasa cukup dengan seberkas cahaya kecil yang ada pada dirinya. Sebab, kenikmatan dan manfaat yang kau miliki, apa yang kau dapat di balik manfaat yang mereka peroleh, serta kebahagiaan yang kau dapat dari kebahagiaan mereka, semuanya bersumber dari kelembutan Sang Kekasih azali, Allah. | |||
Jadi, engkau harus mencintai Kekasih azali tersebut sehingga dengan kebahagiaanmu dan kebahagiaan mereka engkau dapat me- nikmati kenikmatan tak terhingga dari rasa cinta terhadap kesempur- naan mutlak. | |||
Sebenarnya cintamu yang amat sangat terhadap dirimu dan yang tertanam dalam dirimu tidak lain merupakan cinta yang mengarah kepada dzat Allah . Hanya saja, engkau keliru dalam memperguna- kan cinta tersebut sehingga engkau arahkan pada dirimu. Maka, wahai jiwa hempaskan rasa ego yang terdapat dalam dirimu dan tampakkan- lah “Dia”. Sebab, semua jenis cintamu yang terpencar pada berbagai entitas merupakan rasa cinta yang diberikan padamu terkait dengan nama-nama dan sifat-Nya yang mulia. Hanya saja, engkau salah dalam mempergunakannya sehingga engkau akan mendapatkan hukuman dari perbuatanmu. Sebab, balasan terhadap rasa cinta yang tidak syar’i dan tidak pada tempatnya adalah bencana yang tidak mengenal kasih sayang.Sang Kekasih azali—dengan nama-Nya Yang Maha Pengasih dan Penyayang—telah menyiapkan satu tempat komprehensif bagi semua keinginanmu yang bersifat materi, yaitu surga yang berhias bidadari. Dengan seluruh nama-Nya yang mulia, Dia menyiapkan berbagai ka- runia-Nya yang menyeluruh untuk memuaskan keinginan ruh, kalbu, akal, dan semua perangkat halusmu. Bahkan pada setiap nama-Nya Dia memiliki perbendaharaan kebaikan maknawi yang tidak pernah habis. Sudah pasti satu butir cinta-Nya sudah cukup menjadi ganti dari seluruh alam. Sementara seluruh alam tidak bisa menggantikan salah satu manifestasi cinta-Nya.Wahai jiwa, perhatikan dan cermati perjanjian azali di mana Sang kekasih azali telah menyuruh kekasih-Nya yang mulia untuk mengucap: | |||
“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah mengasihimu.” (QS. Ali Imran [3]: 31). | |||
< | <span id="İKİNCİ_MEYVE"></span> | ||
=== | ===Buah Kedua=== | ||
Wahai diri! Taklif dan tugas ubudiyah bukanlah pendahuluan bagi pahala yang akan datang. Tetapi, ia adalah pembayaran atas nik- mat yang telah berlalu. | |||
Ya, sebelumnya kita telah mengambil upah dan sesuai dengan upah yang diberikan itu, kita ditugaskan untuk melakukan pengabdi- an dan ubudiyah. | |||
Hal itu karena Sang Pencipta Yang Mahaagung dan Pemurah yang memberi “wujud” yang merupakan kebaikan murni telah menga- nugerahimu atas nama-Nya ar-Razzâq (Maha Memberi rezeki) sebuah “perut” di mana engkau bisa merasakan dan menikmati semua hida- ngan makanan yang terhampar di hadapanmu. | |||
Kemudian Dia mem- berimu “kehidupan” sensitif yang bisa merasa. Ia seperti perut yang menuntut rezeki untuknya. Maka, di hadapan indramu yang berupa mata dan telinga yang bagaikan tangan Dia letakkan sebuah hidangan nikmat yang luas seluas muka bumi. | |||
Selanjutnya, Dia memberimu “kemanusiaan” yang menuntut rezeki maknawi yang banyak. Maka di hadapan perut kemanusiaan tadi Dia bukakan cakrawala kerajaan dan alam malakut seluas jangkauan akal. | |||
Lewat “islam dan iman” yang diberikan kepadamu di mana ia merupakan bentuk kemanusiaan yang agung yang menuntut nikmat tak terhingga, yang mengonsumsi buah rahmat yang tak pernah habis, Dia bukakan untukmu hidangan nikmat, kebahagiaan, serta kenikma- tan yang meliputi seluruh Asmaul Husna dan sifat-sifat rabbani yang suci dalam wilayah makhluk yang bersifat mungkin. | |||
Setelah itu, Dia memberimu “cinta” yang merupakan salah satu cahaya iman. Allah berbaik hati dengan memberimu hidangan nikmat, kebahagiaan, dan kenikmatan yang tak bernah berakhir. | |||
Artinya, dengan kemurahan-Nya sesuai dengan ukuran tubuhmu yang kecil, terbatas, terikat, hina, dan lemah engkau telah berpindah dari satu bagian parsial menuju sesuatu yang universal, lalu menuju hal universal yang bercahaya. Pasalnya, Dia telah mengangkatmu dari kondisi parsial menuju satu bentuk universal lewat “kehidupan” yang diberikan. Kemudian menuju kepada universalitas hakiki lewat “ke- manusiaan” yang diberikan padamu. Setelah itu, menuju universalitas bercahaya yang mulia lewat “iman” yang Dia anugerahkan. Darinya, Dia mengangkatmu menuju cahaya yang komprehensif dan menyelu- ruh lewat “makrifat dan cinta” yang Dia karuniakan. | |||
Wahai diri! Sebelumnya engkau telah menerima berbagai upah dan harga tersebut. Kemudian engkau ditugaskan untuk melaksana- kan ubudiyah yang merupakan pengabdian dan ketaatan yang nikmat, bahkan ringan dan menyenangkan. Apakah setelah itu engkau masih bermalas-malasan dalam menunaikan pengabdian agung dan suci tersebut lalu berkata, “Mengapa doaku tidak diterima?” Selanjutnya, ketika engkau telah melakukan pengabdian dalam bentuk seadanya engkau menuntut upah besar yang lain seolah-olah engkau tidak puas dengan upah sebelumnya.Ya, engkau tidak layak merasa berjasa. Yang harus kau lakukan adalah bersimpuh dan berdoa. Allah memberimu surga dan ke- bahagiaan abadi sebagai bentuk karunia dan kemurahan-Nya. Karena itu, pintalah rahmat-Nya, bersandarlah padanya, dan hendaknya eng- kau selalu berucap: | |||
“Katakanlah: Hendaknya dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yûnus [10]: 58). | |||
'''Jika engkau bertanya:'''Bagaimana mungkin aku membalas ber- bagai nikmat yang tak terhingga itu dengan syukurku yang terbatas dan parsial? | |||
''' | |||
'''Jawaban:'''Dengan niat yang universal dan tekad yang tak terbatas. | |||
''' | |||
Misalnya: seseorang masuk ke istana raja dengan membawa hadiah tak seberapa. Lalu di sana ia menyaksikan sejumlah hadiah mahal yang nilainya jutaan. Hadiah itu diberikan kepada raja oleh orang-orang penting. Ketika itu ia berbisik dalam hati, “Apa yang ha- rus kulakukan? Hadiah yang akan kuberikan sangat sedikit; tidak be- rarti.” Namun seketika ia sadar dan berkata, “Wahai tuan, kupersem- bahkan padamu semua hadiah ini atas namaku. Anda layak atasnya. Wahai tuan besar, andaikan aku mampu memberi berkali-kali lipat le- bih banyak dari hadiah berharga ini, tentu aku tidak akan ragu untuk melakukannya.” Begitulah, sang raja yang tidak membutuhkan siapapun dan yang secara simbolis menerima hadiah rakyatnya melihat betapa me- reka sangat tulus dan menghormatinya. Ia menerima hadiah yang sa- ngat sederhana dari orang miskin tadi sebagai hadiah paling besar. | |||
< | Hal itu karena niat tulus, keinginan yang jujur, serta keyakinan kuat dan mulia darinya.Nah, ketika seorang hamba yang lemah berkata dalam salatnya at-Tahiyyâtu lillâh(*<ref>*Lihat: al-Bukhari, bab tentang adzan, h.147; bab tentang amal dalam salat, h.4; dan bab tentang isti’dzân, h.28; Muslim, bab tentang salat, h.55, h.60, h.62.</ref>)dengan niat, “Kupersembahkan untuk-Mu wahai Tuhan hadiah ubudiyah bagi seluruh makhluk di mana ia merupakan kehidupannya. Andaikan aku mampu mempersembahkan penghor- matan kepada-Mu sebanyak jumlah mereka, tentu aku tidak akan ragu untuk melakukannya. Sebab, Engkau layak atasnya; bahkan lebih da- ripada itu.”Niat yang tulus dan tekad yang kuat tersebut adalah bentuk syu- kur universal dan komprehensif. | ||
</ | |||
< | Kita ambil sebagai contoh tumbuhan di mana benih dan bijinya laksana niat. Semangka, misalnya, mengucap seperti niat ribuan biji yang terdapat di dalam tubuhnya, “Wahai Tuhan, aku sangat ingin mengungkapkan goresan nama-nama-Mu yang mulia pada seluruh bumi.” | ||
Karena Allah mengetahui apa yang terjadi dan bagaimana ia terjadi, Dia menerima niat yang tulus sebagai ibadah praktis. Yakni, seolah-olah ia telah terjadi. Dari sini engkau dapat mengetahui bahwa niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya.(*<ref>*Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi x pernah bersabda:Niat orang mukmin lebih baik daripada amalnya. Sementara amal orang munafik lebih baik daripada niatnya. (HR. at-Thabrâni)—Peny.</ref>)Engkau juga dapat memahami hikmah tasbih dengan jumlah bilangan tak terhingga dalam ungkapan seperti:Mahasuci Engkau dan segala puji bagi-Mu sebanyak jumlah makhluk-Mu, rida diri-Mu, berat arasy-Mu, dan tinta kalimat-Mu.(*<ref>*Lihat: Muslim, bab tentang zikir, h.79; at-Tirmidzi, bab tentang doa, h.103; Ah- mad ibn Hambal, al-Musnad, j.1, h.258.</ref>)Kami bertasbih kepadamu sebanyak tasbih para nabi, wali, dan ma- laikat-Mu. | |||
</ | |||
Sebagaimana panglima yang bertanggungjawab terhadap pa- sukan mempersembahkan amal dan aktivitas mereka untuk raja atas namanya, demikian pula manusia yang menjadi pemimpin atas selu- ruh makhluk, pemimpin tumbuhan dan hewan, serta dipersiapkan untuk menjadi khalifah atas seluruh entitas dan menganggap dirinya bertanggungjawab dengan apa yang terjadi di dunianya. Dengan lisan seluruh makhluk ia berkata:“Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta.” | |||
Ia persembahkan seluruh ibadah dan permintaan makhluk ke- pada Dzat Yang Disembah, Tuhan Yang Mahaagung. Ia juga menja- dikan seluruh makhluk berbicara atas namanya. Yaitu saat berkata, “Mahasuci Engkau lewat seluruh tasbih makhluk-Mu dan lewat lisan semua ciptaan-Mu.”Kemudian ia mengucapkan salawat untuk Nabi x atas nama se- luruh entitas di muka bumi:Ya Allah, limpahkan salawat untuk Muhammad sebanyak partikel dan konstruksi alam. Sebab, segala sesuatu di alam ini memiliki hu- bungan dengan cahaya Muhammad x. | |||
Dari sini, engkau dapat memahami rahasia di balik bilangan zikir dan salawat yang tak terhingga. | |||
< | <span id="ÜÇÜNCÜ_MEYVE"></span> | ||
=== | ===Buah Ketiga=== | ||
Wahai diri! Jika engkau benar-benar ingin memperoleh amal ukhrawi yang kekal di usia yang singkat; jika engkau ingin melihat manfaat dari setiap detik umurmu yang berlalu sehingga seperti usia yang panjang; jika engkau ingin mengubah kebiasaan menjadi ibadah, mengganti kelalaian menjadi kondisi tenang dan tenteram, maka iku- tilah sunnah Nabi x. Sebab, menerapkan sunnah dan syariat dalam setiap muamalah akan melahirkan ketenangan dan ketenteraman ser- ta menjadi ibadah yang menghasilkan buah ukhrawi yang berlimpah. | |||
Misalnya, jika engkau menjual sesuatu, maka pada saat mene- rapkan perintah syariat dalam ijab dan kabul (transaksi), seluruh jual beli tersebut bernilai ibadah karena mengingatkanmu kepada hukum syariat yang memberikan gambaran spiritualitas. Gambaran tersebut tentu mengingatkanmu pada Dzat Yang Membuat syariat, Allah . Artinya, ia memberikan orientasi ilahiyah. Inilah yang menuangkan ketenangan dan ketenteraman ke dalam kalbu. | |||
Dengan kata lain, menunaikan amal perbuatan sesuai dengan sunnah Nabi x menjadikan amal yang fana dan singkat menjadi po- ros bagi kehidupan abadi yang menghasilkan buah abadi. Karena itu, simaklah dengan baik firman Allah yang berbunyi: | |||
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-ki- tab-Nya). Ikutilah ia supaya kamu mendapat petunjuk. (QS. al-A’râf [7]: 158) | |||
Berusahalah menjadi “cermin” universal dan komprehensif yang memantulkan limpahan manifestasi setiap nama-Nya yang mulia yang tersebar pada seluruh sunnah Nabi x. | |||
< | <span id="DÖRDÜNCÜ_MEYVE"></span> | ||
=== | ===Buah Keempat=== | ||
Wahai diri, jangan meniru ahli dunia, terutama ahli maksiat dan kafir yang tertipu dengan perhiasan lahiriah dan artifisial mereka serta dengan kenikmatan tidak syar’i yang menipu. Sebab, dengan meniru | |||
mereka, engkau tidak akan pernah seperti mereka. Tetapi engkau akan sangat hina dan tidak akan pernah menjadi seperti hewan sekalipun. Sebab, akal yang terdapat di kepalamu menjadi perangkat yang meng- hancurkan kepalamu. | |||
Sebab, jika terdapat sebuah istana besar yang be- risi lampu listrik lalu dari sana ia bercabang ke sejumlah lampu listrik yang lebih kecil yang tersebar di beberapa rumah kecil yang terpaut dengan lampu utama, maka ketika ada yang memadamkan lampu uta- ma itu, semua rumah yang lain akan menjadi gelap. Hanya saja, kare- na terdapat sejumlah lentera lain di istana lain yang tidak terpaut de- ngan lampu utama di istana yang besar tadi, maka jika pemilik istana memadamkan lampu utama, lampu-lampu kecil tetap bisa menerangi yang lain dan tetap bisa bekerja sehingga pencuri tidak bisa mengam- bil barang darinya. | |||
Nah wahai diri, istana pertama tadi adalah sosok muslim dan lampu utama tersebut adalah Nabi x yang terdapat di kalbu muslim itu. Jika ia lupa dan mengeluarkan iman dari kalbunya—wal iyâzu bil- lah—ia tidak akan lagi beriman dengan nabi yang lain, bahkan tidak ada lagi kesempurnaan yang tersisa dalam jiwanya. Lebih dari itu, ia akan lupa kepada Tuhannya. Akhirnya yang masuk ke dalam esensi di- rinya adalah kegelapan dan kalbunya menjadi hancur diselimuti oleh nestapa dan kesepian. Jika demikian, adakah yang dapat menutupi ke- hancuran tersebut? Adakah manfaat yang dapat diraih agar ia dapat membangun puing-puing kehancuran yang ada? | |||
Adapun orang-orang asing, mereka menyerupai istana kedua di mana meskipun mereka mengeluarkan cahaya Muhammad x dari kalbu mereka, mereka masih memiliki cahaya seperti yang mereka asumsikan. Mereka masih memiliki sedikit akidah kepada Allah dan | |||
keyakinan kepada Musa dan Isa yang menjadi poros kesempurnaan akhlak mereka. | |||
Wahai nafsu yang selalu memerintahkan keburukan! | |||
Barangkali engkau berkata, “Aku tidak ingin menjadi orang asing atau bahkan hewan.” Aku telah berkali-kali mengatakan: wahai jiwa, engkau tidak akan bisa menjadi seperti hewan sekalipun, sebab eng- kau memiliki akal. Akal yang menghimpun semua derita masa lalu dan rasa cemas terhadap masa depan akan memberikan pukulan menyakitkan ke kepala dan matamu sehingga engkau akan merasakan kepedihan di tengah-tengah sebuah kenikmatan yang ada. Sementara hewan bisa merasakan satu kenikmatan tanpa disertai penderitaaan. Karena itu, jika engkau ingin menjadi seperti hewan, lepaskan dulu akalmu dan buanglah jauh-jauh. Lalu siaplah untuk mendapat tampa- ran peringatan yang terdapat pada ayat al-Qur’an ( ) ‘Mereka seperti binatang, bahkan lebih sesat lagi.’ (QS. al-A’râf [7]: 179). | |||
< | <span id="BEŞİNCİ_MEYVE"></span> | ||
=== | ===Buah Kelima=== | ||
Wahai diri! Kami telah berkali-kali menegaskan bahwa manu- sia adalah buah pohon penciptaan. Ia seperti buah, sesuatu yang pa- ling jauh dari benih dan paling komprehensif. Ia memiliki pandangan umum kepada semuanya. Ia makhluk yang memikul benih-benih kal- bu. Wajahnya mengarah kepada banyak hal—dari makhluk—menuju alam fana dan dunia. Akan tetapi, ibadah yang merupakan tali hu- bungan atau titik koneksi antara awal dan akhir mengarahkan wajah manusia dari fana menuju keabadian, dari makhluk menuju al-Haq (Allah), dari banyak menuju keesaan, dan dari akhir menuju permu- laan. | |||
Andaikan buah bernilai dan berpengetahuan yang hendak mem- bentuk benih itu bangga dengan keindahannya lalu melihat ke makh- luk hidup di bawahnya serta mencampakkan diri di tengah-tengah mereka, atau ia lalai dan jatuh, tentu ia akan lenyap bersama mereka dan bernasib seperti buah yang lain. Akan tetapi, jika buah berpenge- tahuan itu menemukan titik sandarannya dan dapat berpikir bahwa ia akan menjadi perantara bagi kelanjutan kehidupan pohon serta me- nampakkan hakikatnya lewat sisi kesatuan pohon yang terdapat dalam dirinya, maka satu benih dari buah itu akan memperoleh hakikat kom- prehensif yang permanen dalam usia yang kekal abadi. | |||
Manusia yang tersesat dalam banyaknya makhluk dan tenggelam di alam entitas, lalu mencintai dunia sepenuh hati hingga tertipu oleh senyuman benda-benda fana dan jatuh dalam pelukannya, sudah pasti ia akan mengalami kerugian nyata. Pasalnya, ia jatuh dalam kefanaan dan ketiadaan. Yakni, dengan mengajak ia melenyapkan dirinya.Akan tetapi, ketika ia mengangkat kepala dan mendengar berba- gai pelajaran iman yang bersumber dari al-Qur’an dengan kalbu yang sadar, lalu mengarah kepada keesaan-Nya, maka ia dapat naik dengan mi’raj ibadah menuju arasy kesempurnaan dan keutamaan sehingga menjadi sosok manusia abadi. | |||
Wahai diri, jika demikian keadaannya, sementara engkau bagian dari yang mengikuti ajaran Ibrahim, maka ucapkanlah “Aku tidak menyukai yang terbenam” seperti yang diucapkan oleh Ib- rahim , lalu menghadaplah kepada Sang Kekasih abadi dan mena- ngislah seperti diriku dengan berkata: | |||
(Bait-bait berbahasa Persia tidak ditulis di sini karena telah dimasuk- kan ke dalam kedudukan kedua dari “Kalimat Ketujuh Belas”). | |||
------ | ------ | ||
<center> [[Yirmi Üçüncü Söz]] ⇐ | [[Sözler]] | ⇒ [[Yirmi Beşinci Söz]] </center> | <center> [[Yirmi Üçüncü Söz/id|KALIMAT KEDUA PULUH TIGA]] ⇐ | [[Sözler/id|Al-Kalimât]] | ⇒ [[Yirmi Beşinci Söz/id|KALIMAT KEDUA PULUH LIMA]] </center> | ||
------ | ------ | ||
düzenleme