KALIMAT KEDUA PULUH TIGA

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    Bu sayfa Yirmi Üçüncü Söz sayfasının çevrilmiş sürümü ve çeviri %100 tamamlandı.

    (Dua Pembahasan)

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”.(QS. at-Tîn [95]: 4-6).

    PEMBAHASAN PERTAMA

    Di sini kami akan menjelaskan lima dari ribuan kebaikan dan manfaat iman dalam lima poin berikut ini.

    Poin Pertama

    Berkat cahaya iman, manusia bisa naik menuju tingkatan a’lâ il- liyyîn (yang paling tinggi) sehingga mendapatkan kedudukan penting yang membuatnya layak masuk surga. Sebaliknya, dengan gelapnya kekufuran manusia bisa jatuh ke tingkatan asfalu sâfilîn (yang paling rendah) sehingga berada di satu posisi yang membuatnya layak masuk neraka.Hal itu karena iman menghubungkan manusia dengan Pencipta- nya Yang Mahaagung. Iman adalah bentuk penisbatan atau afiliasi. Karena itu, dengan iman, manusia meraih kedudukan mulia dilihat dari sisi manifestasi kreasi Ilahi yang terdapat di dalamnya, serta penampak- kan tanda ukiran nama-nama Ilahi pada lembaran wujudnya.Sebaliknya, kekufuran memutuskan relasi dan afiliasi ini. Gelap- nya kekufuran menutupi kreasi Ilahi sehingga menjatuhkan nilai ma- nusia yang hanya terbatas pada sisi materinya. Sementara nilai materi tidak menjadi ukuran. Ia akan segera sirna karena bersifat fana. Ke- hidupannya seperti hewan yang bersifat sementara.

    Kami akan menjelaskan rahasia ini dengan contoh ilustratif se- bagai berikut:Nilai materi berbeda dengan nilai kreasi yang terdapat pada krea- si manusia. Kadang kala kita melihat nilai keduanya setara. Kadang pula materi lebih bernilai daripada kreasi itu sendiri. Kadang kala besi memiliki nilai seni dan artistik yang sangat tinggi. Kadang pula kreasi yang sangat langka bernilai jutaan meskipun berasal dari materi yang sangat sederhana. Jika barang langka semacam itu dipamerkan di pasar seni di mana para pembeli mengenali pembuatnya yang hebat dan terkenal, maka nilainya bisa jutaan rupiah. Namun jika karya tadi dipamerkan di pasar tukang besi—misalnya—bisa jadi tidak ada yang mau mem- belinya.

    Demikian pula dengan manusia. Ia merupakan kreasi Tuhan yang luar biasa. Ia merupakan salah satu mukjizat qudrah-Nya yang paling tinggi dan paling lembut. Tuhan menjadikannya sebagai makh- luk yang memperlihatkan seluruh manifestasi nama-nama-Nya yang mulia (Asmaul Husna).

    Dia menjadikan manusia sebagai pusat orbit seluruh ukiran-Nya serta menjadikannya sebagai miniatur dan model dari seluruh entitas alam. Ketika cahaya iman masuk ke dalam diri manusia, maka cahaya itu akan memperlihatkan semua ukiran penuh hikmah yang terdapat dalam dirinya. Ia juga mengajak yang lain untuk membacanya. Muk- min membacanya dengan penuh perenungan, merasakannya dengan penuh kesadaran, serta membuat yang lain dapat membacanya. Yakni, seolah-olah ia berkata, “Aku adalah ciptaan dan makhluk Sang Pen- cipta. Lihatlah bagaimana rahmat dan kemurahan-Nya termanifestasi dalam diriku.” Dan sejumlah makna luas yang serupa, kreasi Ilahi ter- manifestasi dalam diri manusia. Jadi, iman yang merupakan relasi manusia dengan Sang Pencipta memperlihatkan seluruh jejak kreasi yang tersimpan dalam diri manu- sia. Dengan itulah, nilai manusia menjadi jelas sesuai dengan penam- pakan kreasi Ilahi tersebut dan sejauh mana menjadi cermin-Nya. Maka, manusia yang tadinya tidak penting berubah menuju tingkatan makhluk yang paling mulia di mana ia layak untuk menerima pesan Ilahi dan mendapat kehormatan yang membuatnya pantas menjadi tamu rabbani di surga.

    Namun jika kekufuran—yang merupakan bentuk putusnya hubungan dengan Allah—masuk ke dalam diri manusia, ketika itu seluruh makna ukiran Asmaul Husna yang penuh hikmah jatuh ke dalam kegelapan dan pada akhirnya hilang sehingga tak dapat diba- ca. Hal itu karena sisi-sisi maknawi yang mengarah kepada Sang Pen- cipta tak bisa dipahami dengan melupakan-Nya. Bahkan ia menjadi berbalik. Sebagian besar jejak dan tanda kreasi yang sangat berharga dan penuh hikmah serta sebagian besar tulisan maknawi yang luhur itu pun lenyap. Yang tersisa dan yang terlihat oleh mata akan dikem- balikan kepada sebab-sebab sepele, alam, dan proses kebetulan. Lalu pada akhirnya, ia menjadi lenyap di mana setiap permata dari per- matanya yang bersinar itu akan berubah menjadi kaca yang hitam dan gelap. Nilainya juga hanya akan terbatas pada sisi materi hewaninya semata. Sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa tujuan dan buah dari materi adalah menjalani kehidupan yang singkat dan parsial. Pemiliknya merupakan makhluk yang paling lemah, paling butuh, dan paling malang. Dari sana ia pun menjadi lenyap. Demikianlah, kekufuran melenyapkan esensi manusia dan mengubahnya dari ber- lian berharga menjadi arang.

    Poin Kedua

    Sebagaimana iman merupakan cahaya yang menyinari manusia dan memperlihatkan seluruh tulisan Ilahi yang tertera padanya, ia juga menyinari seluruh alam. Ia menyelamatkan masa lalu dan masa depan dari kegelapan yang pekat. Kami akan menjelaskan rahasia ini dengan sebuah perumpamaan dengan berlandaskan pada salah satu rahasia ayat berikut:“Allah pelindung orang-orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya…” (QS. al-Baqarah [2]: 257).

    Dalam sebuah kejadian imajiner, aku melihat dua gunung besar yang saling berhadapan. Di atas keduanya ditancapkan sebuah jem- batan besar yang menakjubkan. Lalu di bawahnya terdapat sebuah lembah yang sangat dalam. Aku berdiri di atas jembatan tersebut. Sementara seluruh sisi dunia diliputi oleh kegelapan yang pekat. Aku melihat ke sisi kanan, ternyata ia berupa pekuburan besar di bawah sayap kegelapan yang tak bertepi. Demikianlah yang terbayang. Kemudian aku menoleh ke sisi kiri, kulihat gelombang hitam menerjang kuat serta bencana hebat menerpanya seakan-akan ia siap menyerang. Lalu aku melihat ke bawah, terlihat jurang dalam yang dasarnya tak tampak. Aku hanya memiliki sebuah lentera dengan cahaya yang suram di tengah kegelapan yang mencekam. Hanya itu yang dapat kupergu- nakan. Situasinya sungguh mengerikan. Pasalnya, aku melihat sejum- lah singa dan hewan buas di mana-mana bahkan sampai ke ujung jem- batan. Ketika itu, aku berharap andai saja tidak memiliki lentera yang justru memperlihatkan makhluk menakutkan tadi. Sebab, ke mana saja aku mengarahkan cahaya lentera itu, sejumlah hal menakutkan terlihat. Aku hanya mengucap, “Lentera ini hanya menjadi petaka dan bencana bagiku.” Kemarahanku meluap lalu kuhempaskan lentera itu ke tanah hingga hancur. Seakan-akan dengan kehancurannya itu aku menekan tombol lampu listrik yang besar. Seketika seluruh alam menjadi terang. Kegelapan itu pun sirna dan seluruh tempat diliputi cahaya. Akhirnya, hakikat segala sesuatu menjadi terlihat dengan jelas.

    Ternyata jembatan gantung yang besar itu adalah jalan datar yang lapang. Pekuburan besar yang tadinya terlihat di sisi kanan tidak lain merupakan majelis zikir, tahlil, perkumpulan mulia, pengabdian agung, dan ibadah yang luhur yang dipimpin oleh orang-orang bercahaya di taman hijau yang indah, di mana ia memancarkan keindahan dan menebarkan kebahagiaan di dalam hati.Lalu jurang dalam yang terlihat di sisi kiri tidak lain merupakan bukit-bukit berisi pepohonan hijau yang sejuk dipandang mata. Di be- lakangnya terdapat jamuan besar dan taman yang sangat indah. Ya, begitulah yang tampak dalam khayalanku.Adapun berbagai makhluk menakutkan dan buas yang kuli- hat ternyata hanyalah hewan jinak seperti unta, kerbau, domba, dan kambing. Ketika itulah aku membaca ayat yang berbunyi:“Allah pelindung orang-orang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya…” (QS. al-Baqarah [2]: 257). Aku pun terus mengucap, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan caha- ya iman”. Setelah itu, aku tersadar dari kejadian di atas.

    Demikianlah, kedua gunung yang dimaksud adalah awal dan akhir dari kehidupan. Yakni, keduanya merupakan alam dunia dan alam barzakh. Sementara jembatan di atas adalah jalan kehidupan. Sisi kanan adalah masa lalu, sementara sisi kiri berupa masa depan. Lalu lenteranya berupa sifat egois manusia yang hanya melihat dirinya serta mengandalkan ilmu yang dimilikinya tanpa mau mendengar wahyu dari langit. Adapun binatang buasnya berupa sejumlah peristiwa alam yang menakjubkan.

    Manusia yang mengandalkan egonya lalu jatuh ke dalam ja- ring gelapnya kelalaian dan rantai kesesatan laksana kondisiku yang pertama dalam peristiwa imajiner di atas di mana masa lalu—lewat cahaya redup yang berupa pengetahuan yang penuh kesesatan—tam- pak seperti pekuburan besar dalam gelapnya ketiadaan. Lalu ia meng- gambarkan masa depan seperti sesuatu yang seram berhias sejumlah kesulitan seraya menyandarkannya pada proses kebetulan yang buta. Ia juga menggambarkan semua kejadian dan entitas yang sebetulnya merupakan pesuruh yang tunduk kepada Dzat Yang Mahabijak dan Maha Pengasih laksana binatang buas yang berbahaya. Kondisi yang dialaminya seperti bunyi ayat al-Qur’an: “Orang-orang kafir, wali mereka adalah thagut. Thagut mengelu- arkan mereka dari cahaya menuju kegelapan…”. (QS. al-Baqarah [2]: 257).

    Namun jika manusia mendapat petunjuk Ilahi sehingga iman masuk ke dalam kalbu, lalu sifat fir’aunisme hancur lebur, kemudian mau mendengar pesan kitabullah, maka ia sama seperti kondisiku yang kedua dalam peristiwa imajiner di atas. Seluruh alam berubah menjadi siang dan diliputi oleh cahaya Ilahi. Semua mengucap ayat yang berbunyi:“Allah (sumber) cahaya langit dan bumi…”. (QS. an-Nûr [24]: 35).Masa lalu bukanlah pekuburan besar seperti yang disangka. Na- mun, setiap masanya seperti yang disaksikan oleh penglihatan kalbu, penuh dengan sejumlah jama`ah yang mengerjakan tugas ubudiah di bawah kendali Nabi utusan atau sekelompok wali saleh yang mengatur dan menyebarkan tugas mulia itu, serta mengokohkan rukun-rukun- nya di tengah-tengah umat secara sempurna. Setelah jama`ah itu menyelesaikan berbagai tugas kehidupan dan kewajiban fitrinya, me- reka terbang menuju kedudukan yang tinggi seraya mengucap, “Allâhu Akbar” dengan menembus tirai masa depan.Ketika menoleh ke sisi kiri lewat teropong iman, tampak dari kejauhan bahwa di balik berbagai kejadian alam barzakh dan akhirat terdapat sejumlah istana kebahagiaan. Di dalamnya terhampar ber- bagai jamuan Tuhan yang sangat luas. Ia mengetahui bahwa setiap hal yang terjadi di alam ini—seperti topan, gempa, wabah penyakit, dan sejenisnya—merupakan suruhan yang dikendalikan. Maka, angin yang bertiup di musim semi serta hujan dan sejenisnya yang tampak memilukan sebenarnya penuh dengan hikmah tersembunyi. Bahkan kematian tampak sebagai pendahuluan bagi kehidupan abadi, ser- ta kubur laksana pintu menuju kebahagiaan yang kekal. Engkau bisa menganalogikan aspek lainnya dengan cara seperti di atas; mencocok- kan kenyataan dengan contoh yang ada.

    Poin Ketiga

    Di samping merupakan cahaya, iman juga adalah kekuatan. Ma- nusia yang mendapatkan iman hakiki mampu menantang seluruh alam dan berlepas diri dari himpitan berbagai peristiwa. Dengan bersandar pada kekuatan imannya, ia bisa berlayar di atas bahtera kehidupan di tengah gelombang berbagai peristiwa yang dahsyat dengan aman dan selamat seraya berkata, “Aku bertawakkal kepada Allah.”Ia titip seluruh beban beratnya kepada kekuasaan qudrah Dzat Yang Mahakuasa. Dengan itu, ia menempuh kehidupan dunia dalam kondisi tenang, mudah, dan lapang hingga sampai ke alam barzakh dan istirahat di sana. Dari sana ia bisa terbang menuju surga untuk memasuki kebahagiaan abadi. Namun jika manusia tidak bertawakkal, maka bukan hanya tidak bisa mengepak sayap dan terbang menuju surga, tetapi juga beban yang berat itu akan menyeretnya menuju ting- katan yang paling rendah.Jadi, iman melahirkan tauhid. Tauhid mengantar kepada sikap pasrah dan tunduk. Sikap pasrah merealisasikan tawakkal. Lalu tawak- kal memudahkan jalan menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

    Jangan pernah mengira bahwa tawakkal berarti menolak sebab dan ikhtiar secara keseluruhan. Akan tetapi, tawakkal adalah menyadari bahwa sebab dan ikhtiar merupakan tirai yang berada di dalam kekuasaan qudrah Ilahi yang harus diperhatikan. Sedangkan mempergunakan atau berpegang pada sebab merupakan satu bentuk doa fi’li (perbua- tan). Jadi, meminta akibat dan menanti hasil hanyalah dari Allah Yang Mahabenar. Lalu pujian dan ucapan syukur hanya untuk-Nya semata.

    Perumpamaan orang yang bertawakkal kepada Allah dan tidak bertawakkal adalah seperti dua orang yang membawa beban berat di atas kepala dan pundak mereka.

    Lalu keduanya naik ke atas kapal besar. Ketika masuk ke dalam kapal, yang satunya meletakkan beban beratnya lalu duduk di atasnya seraya terus mengawasinya. Sementa- ra yang lain, karena bodoh dan sombong, tidak melakukan hal yang serupa.

    Lalu ada yang menegur, “Letakkan beban beratmu agar engkau bisa istirahat.”

    Ia menjawab, “Tidak. Aku tidak mau melakukannya karena kha- watir hilang. Aku masih kuat untuk membawanya. Dan aku akan men- jaga barang milikku ini seraya tetap memikulnya.”

    Ia pun kembali ditegur, “Namun wahai saudaraku, kapal kera- jaan yang aman ini, yang telah mengangkut kita, jauh lebih kuat dari- pada kita semua. Ia lebih bisa menjaga kita. Sementara engkau bisa tak sadarkan diri sehingga jatuh dan barangmu masuk ke laut. Apalagi la- ma-kelamaan engkau akan penat dan kehilangan kekuatan. Badanmu yang bongkok dan kepalamu yang tak berakal ini tidak akan bertahan lama untuk membawanya. Jika kapten kapal melihatmu dalam kondisi seperti ini, ia akan menganggapmu gila dan tidak waras sehingga dapat mengusirmu keluar atau menangkap dan memenjarakanmu seraya berkata, “Orang ini tidak mempercayai kapal kita dan mengolok-olok kita.” Engkau juga akan menjadi tertawaan orang. Karena dengan sifat sombongmu yang memperlihatkan kelemahan dan dengan sikapmu yang mengada-ada yang menyiratkan sifat riya membuatmu diter- tawakan. Tidakkah engkau melihat semua orang mulai menertawakan dan mengejekmu.” Setelah mendengar ucapan ini, orang malang tadi baru sadar dan meletakkan bawaannya di atas lantai kapal seraya duduk di atas- nya. Ia berkata, “Alhamdulillah. Semoga Allah meridaimu. Engkau te- lah menyelamatkanku dari rasa penat, kehinaan, penjara, dan ejekan orang.”

    Wahai manusia yang tidak mau bertawakkal, sadarlah seper- ti orang di atas. Bertawakkallah kepada Allah agar engkau tidak lagi meminta-minta kepada makhluk, tidak risau saat menghadapi ber- bagai peristiwa, serta selamat dari sikap riya, ejekan, derita abadi, dan belenggu dunia.

    Poin Keempat

    Iman membuat manusia menjadi insan sejati, bahkan menja- dikannya sebagai penguasa. Karena itu, tugas utamanya adalah ber- iman kepada Allah dan berdoa kepada-Nya. Sebaliknya, kekufuran membuat manusia menjadi binatang buas yang sangat lemah.

    Di sini kami akan memberikan sebuah dalil yang jelas dan kuat di antara ribuan dalil tentangnya. Yaitu, perbedaan antara kedatangan hewan dan kedatangan manusia ke dunia.Ya, perbedaan antara kedatangan hewan dan manusia ke du- nia menunjukkan bahwa kesempurnaan dan perkembangan manusia menuju sifat insaniah yang sebenarnya hanya terwujud dengan iman. Hal itu karena ketika hewan datang ke dunia, ia datang dalam kondisi seolah-olah sudah sempurna di alam lain. Lalu ia dikirim ke dunia da- lam keadaan sempurna sesuai dengan potensinya. Hanya dalam tempo dua jam, dua hari, atau dua bulan ia mempelajari semua rambu-rambu dan seluk-beluk kehidupannya berikut hubungannya dengan entitas lain. Dari sana ia memiliki bakat dan kemampuan. Burung pipit atau lebah—misalnya—mempelajari kemampuan hidup dan cara berinteraksi lewat ilham rabbani dan petunjuk ilahi. Hanya dalam waktu dua puluh hari ia memperoleh sesuatu yang baru dapat dipelajari manusia dalam dua puluh tahun.

    Jadi, tugas utama hewan bukan mencapai kesempurnaan dengan belajar, atau meningkatkan diri dengan ilmu dan pengetahuan, atau meminta pertolongan dengan menunjukkan kepapaan. Namun tugas aslinya adalah bekerja sesuai dengan potensinya. Yakni, menunjukkan ubudiah secara praktis (ubudiyah fi’liyah).

    Sementara itu, manusia tidak demikian. Ketika datang ke dunia, manusia dalam kondisi butuh belajar segala hal. Sebab, ia benar-be- nar tidak mengetahui tentang seluruh rambu-rambu kehidupan. Bisa jadi dalam dua puluh tahun sekalipun ia masih belum memahami seluk-beluk kehidupannya secara keseluruhan. Bahkan, bisa jadi ia butuh belajar sepanjang hidupnya. Apalagi ia dikirim ke dunia dalam kondisi sangat lemah di mana ia baru mampu berdiri tegak setelah be- rusia dua tahun. Ia juga baru bisa membedakan baik dan buruk setelah berumur lima belas tahun. Ia juga tidak dapat mewujudkan manfaat dan maslahat untuk dirinya serta tidak mampu menghindarkan ba- haya kecuali dengan bekerjasama dan berasosiasi dalam kehidupan sosial umat manusia.

    Dari penjelasan di atas, jelas bahwa tugas alamiah manusia ada- lah menyempurnakan diri dengan “belajar”, yakni meningkatkan diri dengan jalan mencari ilmu dan pengetahuan, serta melaksanakan ubudiah dengan “doa”, yakni menyadari dan bertanya pada dirinya, “Lewat rahmat dan kasih sayang siapa diriku diatur dengan penuh hikmah? Lewat kemurahan siapa aku tumbuh dengan berhias kasih sayang? Dengan kelembutan siapa aku mendapatkan nutrisi dalam bentuk demikian sempurna?” Ia melihat bahwa tugas sebenarnya ialah berdoa, bersimpuh, me- minta, dan berharap lewat lisan kepapaan dan ketidakberdayaan kepa- da Sang Pemberi segala kebutuhan guna memenuhi semua pinta dan hajatnya yang tak mampu diraih oleh tangannya. Hal ini berarti bahwa tugas utamanya adalah terbang dengan dua sayap “ketidakberdayaan dan kefakiran” menuju kedudukan ubudiah yang mulia.

    Jadi, manusia dihadirkan ke alam ini untuk menyempurnakan diri lewat pengetahuan dan doa. Sebab, segala sesuatu bergantung pada pengetahuan sesuai dengan esensi dan potensi yang ada. Landasan, sumber, cahaya, dan roh semua ilmu yang hakiki adalah makrifatullah (mengenal Allah) sebagaimana inti dari landasan tersebut adalah iman kepada Allah.

    Karena manusia akan menghadapi berbagai jenis ujian, musibah, dan serangan musuh yang jumlahnya tak terhingga sedang ia sama sekali tak berdaya. Ia juga memiliki banyak permintaan dan kebutu- han sementara kondisinya sangat papa, maka tugas alamiahnya setelah beriman adalah berdoa di mana doa merupakan inti ibadah.Sebagaimana anak kecil yang tak mampu mewujudkan impian- nya atau merealisasikan keinginannya hanya bisa menangis dan me- ratap, yakni meminta dengan lisan kelemahannya, baik dalam bentuk ucapan ataupun perbuatan, hingga maksudnya tercapai. Demikian pula dengan manusia yang merupakan makhluk hidup paling halus, paling lemah, dan paling fakir. Ia ibarat anak kecil yang lemah.Karena itu, ia harus berlindung di haribaan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang serta bersimpuh di hadapan-Nya, baik de- ngan menangis seraya menunjukkan kelemahannya, atau berdoa lewat kefakirannya hingga keinginannya terpenuhi. Ketika itulah, ia menu- naikan syukur atas pertolongan, pengabulan, dan penundukan Tuhan.Namun jika manusia berkata dengan angkuh seperti anak kecil yang dungu, “Aku mampu menundukkan segalanya dan mengenda- likannya dengan pemikiran dan pengaturanku,” padahal hal itu jauh diluar batas kemampuannya, maka semua itu tidak lain merupakan sikap kufur terhadap nikmat Allah, pembangkangan besar yang ber- tentangan dengan fitrahnya, serta menjadi sebab yang menjadikannya layak mendapat siksa.

    Poin Kelima

    Sebagaimana iman menuntut doa sebagai sarana dan perantara antara mukmin dan Tuhan, serta sebagaimana fitrah manusia meng- inginkan doa, maka Allah juga menyeru manusia dengan perintah yang sama. Dia berfirman:“Katakanlah: Tuhanku tidak mengindahkanmu, melainkan kalau bukan karena doamu”. (QS. al-Furqân [25]: 77).“Mintalah kepada-Ku, niscaya Aku akan menjawabnya”. (QS. Ghâfir [40]: 60).

    Barangkali engkau berkata, “Kita sudah sering berdoa kepa- da Allah, tetapi tidak dikabulkan padahal ayat tersebut secara umum menjelaskan bahwa setiap doa akan dijawab.”

    Jawaban: Menjawab doa berbeda dengan mengabulkan. Setiap doa pasti dijawab, hanya saja mengabulkan dan mewujudkan apa yang diminta bergantung kepada hikmah Allah .Misalnya, seorang anak yang sakit berteriak memanggil dokter dengan berkata, “Dokter, tolong obati aku!” Sang dokter menjawab, “Ya, wahai anak.” Lalu si anak tadi berkata, “Berikan obat ini kepada- ku!” Maka ketika itu, bisa saja dokter memberikan obat yang dimak- sud, atau memberinya obat yang lebih ampuh dan lebih baik. Atau, bisa juga ia tidak memberikan obat sama sekali. Semua itu bergantung pada hikmah dan maslahat yang ada.Demikian halnya dengan Allah . Karena Dia Mahabijak, Maha Mengawasi, dan hadir di setiap tempat, Dia menjawab doa hamba.Jawaban-Nya telah menghilangkan kesepian dan keterasinganya se- raya menggantikannya dengan harapan dan ketenangan. Kemudian, bisa saja Allah mengabulkan permintaan hamba tadi dan memberi- kannya secara langsung, atau memberinya yang lebih baik. Atau, bisa pula Allah menolaknya. Semua itu sesuai dengan hikmah rabbani, bu- kan sesuai keinginan dan angan-angan hamba yang tidak tepat.

    Selain itu, doa merupakan satu bentuk ubudiah. Buah dan man- faat ibadah bersifat ukhrawi. Adapun berbagai tujuan duniawi me- rupakan “waktu” pelaksanaan jenis doa dan ibadah tersebut, bukan tujuan itu sendiri. Sebagai contoh, salat Istisqâ (meminta hujan) merupakan satu bentuk ibadah, sementara tidak turunnya hujan merupakan wak- tu pelaksanaan ibadah tersebut. Ibadah dan doa tadi bukan untuk menurunkan hujan. Jika ibadah dilakukan dengan niat itu semata, maka ia tidak layak dikabulkan lantaran tidak ikhlas karena Allah. Demikian pula dengan waktu terbenamnya matahari. Ia me- rupakan waktu salat Magrib. Lalu waktu gerhana matahari dan bulan merupakan waktu pelaksanaan salat Kusûf dan Khusûf (salat gerhana). Artinya, Allah menyeru hamba-Nya kepada satu jenis ibadah berke- naan dengan tertutupinya tanda kekuasaan di siang hari dan di malam hari di mana keduanya menginformasikan keagungan Allah . Jadi, ibadah tadi bukan dilakukan agar matahari dan bulan kembali terlihat sebagaimana hal itu diketahui oleh ahli astronomi.Jika kondisinya demikian, maka waktu tidak turunnya hujan juga merupakan waktu pelaksanaan salat Istisqâ. Kemudian datangnya musibah dan bencana secara bertubi-tubi merupakan waktu untuk memanjatkan doa yang tulus, di mana ketika itu manusia menyadari kelemahan dan kefakirannya seraya bersimpuh dan berdoa di hadapan pintu Sang Mahakuasa.

    Jika Allah tidak menolak bala dan musibah padahal doa telah di- panjatkan, jangan menganggap doa tersebut tidak dikabulkan. Namun waktu doa belum selesai. Nah, ketika dengan karunia-Nya bala dan musibah tadi diangkat oleh Allah, berarti waktu berdoa telah selesai.

    Dari sini dapat dipahami bahwa doa merupakan salah satu raha- sia ubudiah. Sementara ubudiah harus dilakukan dengan ikhlas karena Allah. Yaitu dengan berdoa kepada Tuhan seraya memperlihatkan kepapaan tanpa ikut campur dalam prosedur rububiyah-Nya. Manusia harus menyerahkan segala urusan pada pengaturan-Nya dan bersan- dar pada hikmah-Nya tanpa putus asa terhadap rahmat-Nya.

    Ya, dengan ayat-ayat yang jelas terbukti bahwa entitas dalam kondisi bertasbih kepada Allah . Masing-masing memiliki tasbih sendiri dalam bentuk ibadah yang khusus, dan dalam sujud yang khusus. Dari berbagai bentuk ibadah tersebut yang tak terhingga itu lahirlah jenis-jenis doa yang mengantar kepada perlindungan Tuhan Pemelihara Yang Mahaagung.

    Doa yang dipanjatkan entah lewat “lisan potensi” sebagaimana doa seluruh tumbuhan dan hewan di mana masing-masing mencari bentuk tertentu dan ingin menjadi cermin manifestasi Asmaul Husna.

    Atau, doa lewat “lisan kebutuhan fitri” sebagaimana doa bera- gam makhluk hidup guna memperoleh kebutuhan mendasarnya yang berada di luar kemampuannya. Maka, dengan lisan kebutuhan fitrinya setiap makhluk meminta kepada Sang Maha Pemurah sejumlah unsur yang menjadikan wujudnya tetap terpelihara di mana ia berposisi se- bagai rezekinya.

    Atau, doa lewat “lisan keterdesakan” sebagaimana doa orang yang dalam keadaan terdesak bersimpuh di hadapan Tuhannya. Bah- kan, ia tidak menghadap selain kepada Tuhannya Yang Maha Pengasih yang memenuhi kebutuhannya serta mengabulkan permohonannya.Ketiga jenis doa di atas diterima jika tidak disertai sesuatu yang menjadikannya tertolak.

    Jenis doa yang keempat adalah doa yang kita kenal bersama. Ia terdiri dari dua jenis:Pertama, doa dalam bentuk perbuatan (fi’li) dan keadaan (hâli). Misalnya, bertindak sesuai dengan hukum sebab-akibat (beker- ja) merupakan doa dalam bentuk perbuatan. Namun perlu dipahami bahwa terkumpulnya sejumlah sebab tidak ditujukan untuk mengha- dirkan akibat, melainkan untuk menciptakan kondisi yang sesuai dan yang membuat Allah rida atas permintaan yang diharapkan lewat lisân hâl (keadaan). Bahkan, perbuatan membajak ibarat mengetuk pintu khazanah kekayaan rahmat Ilahi. Nah, karena jenis doa yang berbentuk perbuatan ini mengarah kepada nama al-Jawâd (Yang Maha Pemurah) dan perlambangnya, maka sebagian besarnya diterima.

    Kedua, doa dalam kalbu (qalbi) dan ucapan (qauli). Yakni, memohon terpenuhinya permintaan yang tidak bisa ter- wujud, dan kebutuhan yang tak bisa digapai oleh tangan. Sisi terpen- ting dari doa ini, tujuannya yang paling lembut, serta buahnya yang paling nikmat adalah orang yang berdoa menyadari bahwa ada Dzat yang mendengar kata hatinya dan dapat menggapai segala sesuatu, Dzat Yang Mahakuasa dalam mengabulkan semua keinginan dan im- piannya, serta Dzat Yang mengasihi kelemahan dan kefakirannya.

    Karena itu, wahai manusia yang lemah dan fakir! Jangan pernah melepaskan kunci khazanah rahmat yang luas dan sumber kekuatan yang kokoh, yang tidak lain adalah doa. Berpegang teguhlah padanya agar engkau bisa naik ke tingkat kemanusiaan yang paling tinggi. Jadi- kan doa seluruh entitas sebagai bagian dari doamu seperti seorang sul- tan. Lalu ucapkanlah (اِيَّاكَ نَس۟تَعٖينُ) ‘hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan’ sebagai hamba universal dan wakil umum. Jadilah ahsanu taqwîm (sebaik-baik makhluk) di alam ini.

    PEMBAHASAN KEDUA

    (Penjelasan tentang Lima Nuktah seputar Kebahagiaan dan Kesengsaraan Manusia)

    Sebagai makhluk yang tercipta dalam bentuk terbaik dan diberi potensi yang sangat sempurna, manusia bisa masuk—dalam lingkup ujian yang diberikan padanya—ke dalam berbagai kedudukan dan tingkatan mulai dari tingkatan asfalu sâfilîn (yang paling rendah) hingga tingkatan a’lâ illiyyîn (yang paling tinggi), dari bumi hingga ke arasy yang paling tinggi, serta dari partikel hingga galaksi. Di ha- dapannya dihamparkan medan untuk meniti dua jalan yang tak berujung; naik dan turun. Demikianlah manusia dikirim sebagai mukjizat qudrah Ilahi, sebagai buah penciptaan, dan keajaiban kreasi-Nya.Di sini kami akan menjelaskan sejumlah rahasia dari peningka- tan derajat yang menakjubkan atau penurunan derajat yang menakut- kan, dalam lima nuktah:

    Nuktah Pertama

    Manusia membutuhkan sebagian besar entitas dan memiliki hubungan yang kuat dengan mereka. Kebutuhannya bertebaran di setiap sisi alam dan keinginannya terbentang menuju keabadian. Se- bagaimana mengharapkan bunga daisy (aster), ia juga mengharap- kan musim semi yang indah. Sebagaimana mengidamkan taman sari, ia juga mengidamkan surga abadi. Sebagaimana gemar melihat kekasihnya, ia juga rindu melihat Dzat Yang Mahaindah di surga. Se- bagaimana perlu membuka pintu ruangan guna melihat teman karib yang berada di dalamnya, ia juga perlu mengunjungi alam barzakh yang dihuni oleh sembilan puluh sembilan persen kekasih. Di samping itu, ia butuh berlindung di pintu Sang Mahakuasa yang akan menutup pintu alam luas ini dan membuka pintu akhirat yang penuh dengan hal menakjubkan di mana Dia akan menghapus dunia untuk diganti dengan akhirat agar manusia yang malang ini selamat dari pedihnya perpisahan abadi.

    Karena itu, tidak ada sesembahan hakiki bagi manusia yang berada dalam kondisi semacam itu selain Dzat Yang memegang ken- dali segala sesuatu dan memiliki khazanah segala sesuatu. Dia Maha Mengawasi segalanya, hadir di setiap tempat, tak terikat oleh tempat, terbebas dari kelemahan, bersih dari kekurangan, dan suci dari cacat. Dia Mahakuasa pemilik keagungan, Maha Pengasih pemilik keinda- han, dan Mahabijak pemilik kesempurnaan. Hal itu lantaran tidak ada yang dapat memenuhi kebutuhan dan impian manusia yang tak ter- hingga kecuali Dzat Yang memiliki qudrah tak terbatas, dan penge- tahuan komprehensif yang tak bertepi di mana hanya Dia yang layak disembah.

    Wahai manusia, jika engkau beriman hanya kepada-Nya dan menjadi hamba-Nya semata, maka engkau mendapatkan tempat yang tinggi di atas seluruh makhluk. Namun jika engkau berpaling dari ubudiah, maka engkau akan menjadi hamba yang hina di hadapan seluruh makhluk yang lemah. Jika engkau bangga dengan kemam- puan dan egomu lalu meninggalkan doa dan tawakkal, serta takabur dan menyimpang dari jalan kebenaran, engkau menjadi lebih lemah daripada semut dan lebah dilihat dari sisi kebaikan dan kreasi. Bahkan lebih lemah daripada lalat dan laba-laba. Sementara dilihat dari sisi ke- burukan dan kerusakan, engkau menjadi lebih berat daripada gunung dan lebih berbahaya daripada wabah penyakit.

    Ya, wahai manusia! Di dalam dirimu terdapat dua dimensi:Pertama: dimensi kreasi, wujud, kebaikan, positif, dan perbuatan.Kedua: dimensi perusakan, ketiadaan, keburukan, negatif, dan keterpengaruhan. Dengan melihat dimensi pertama, engkau lebih rendah daripada lebah dan burung pipit serta lebih lemah daripada lalat dan laba-laba. Adapun dilihat dari dimensi kedua, engkau dapat mengalahkan bumi, gunung, dan langit serta dapat memikul sesuatu yang enggan mere- ka pikul. Karena itu, engkau meraih wilayah yang lebih luas. Hal itu karena ketika melakukan kebaikan dan kreasi, engkau bekerja sesuai kemampuan, potensi, dan kekuatanmu. Namun ketika melakukan ke- jahatan dan perusakan, kejahatanmu benar-benar melampaui batas dan kerusakan yang kau lakukan menyebar secara luas.

    Misalnya, kekufuran merupakan bentuk kejahatan, perusakan, dan pendustaan. Namun satu kejahatan ini mengandung penghinaan terhadap seluruh entitas, pengingkaran terhadap seluruh Asmaul Husna, dan pelecehan terhadap umat manusia. Hal itu karena entitas memiliki kedudukan yang tinggi dan mulia serta tugas yang penting. Mereka merupakan tulisan rabbani, cermin subhâni, dan pesuruh Ilahi. Jadi, di samping menurunkan derajat entitas dari tingkatan penu- gasan Ilahi dan misi ubudiah, sikap kufur juga menjatuhkannya ke tingkat kesia-siaan dan kebetulan belaka tanpa memiliki nilai disertai kondisi mereka yang akan lenyap dan pergi yang kemudian mengubah mereka menjadi sesuatu yang fana tak berguna. Pada saat yang sama, sikap kufur juga mengingkari Asmaul Husna yang tulisan, manifestasi, dan keindahannya tampak jelas pada cermin seluruh alam.Bahkan apa yang disebut dengan insâniyah (kemanusiaan) yang merupakan untaian penuh hikmah memperlihatkan dengan indah seluruh manifestasi Asmaul Husna dan mukjizat qudrah Allah yang mencengangkan dan bersifat komprehensif laksana benih bagi sejum- lah perangkat pohon abadi. Kemanusiaan juga merupakan kedudukan khilafah yang mendapatkan keunggulan atas bumi, gunung, dan langit lewat amanat besar yang berada di pundaknya. Sifat tersebut dicam- pakkan oleh kekufuran dari derajat yang tinggi ke derajat yang lebih rendah dan lebih hina daripada makhluk apa pun yang hina, fana, dan lemah. Bahkan, kekufuran menghempaskannya ke dalam gambaran yang paling buruk dan segera lenyap.

    Kesimpulan: Nafsu ammârah dapat melakukan kejahatan tak terhingga dilihat dari dimensi keburukan dan perusakan yang ada. Adapun dari dimensi kebaikan dan kreasi, maka kemampuan dan potensinya sangat terbatas. Sebab, manusia dapat menghancurkan se- buah rumah dalam satu hari, namun ia tidak dapat membangunnya dalam seratus hari. Nah, jika manusia meninggalkan sikap egoismenya lalu mengharap kebaikan dan wujud dari taufik Ilahi, serta menyerah- kan segala urusan kepada-Nya, kemudian tidak melakukan keburu- kan, perusakan dan tidak mengikuti hawa nafsu serta beristigfar, maka ketika itu ia menjadi hamba Allah yang sempurna. Ia akan menjadi wujud dari ayat yang berbunyi:“Allah menggantikan keburukan mereka dengan kebaikan…” (QS. al-Furqân [25]: 70). Seketika potensi keburukannya yang sangat besar berubah menjadi potensi kebaikan. Ia juga mendapatkan nilai ahsanu taqwîm (bentuk terbaik) sehingga naik menuju tingkatan yang paling tinggi.

    Wahai manusia yang lalai! Lihatlah karunia dan kemurahan Allah. Ketika keadilan mengharuskan sebuah kejahatan ditulis sebagai seratus kejahatan, dan kebaikan ditulis sebagai satu kebaikan atau bahkan tidak ditulis, namun Allah menulis kejahatan sebagai satu kejahatan dan kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya, tujuh puluh, tujuh ratus, atau tujuh ribu kali lipat. Dari sini dapat dipaha- mi bahwa masuk neraka adalah wujud keadilan di mana ia merupakan balasan dari amal perbuatan. Sedangkan masuk surga merupakan karunia dan kemurahan Allah semata.

    Nuktah Kedua

    Di dalam diri manusia terdapat dua sisi: Pertama: sisi egoisme yang terbatas pada kehidupan dunia.Kedua: sisi ubudiah yang terbentang sampai pada kehidupan abadi.

    Dengan melihat sisi pertama, manusia adalah makhluk yang malang. Pasalnya, modalnya yang berupa kehendak parsial merupa- kan bagian yang sangat kecil laksana sehelai rambut. Kemampuannya juga berupa usaha yang lemah. Lalu kehidupannya laksana obor yang tidak lama kemudian padam. Usianya juga hanya sesaat. Wujudnya be- rupa fisik yang cepat punah. Namun demikian, manusia adalah makh- luk yang unik, halus, dan lembut di antara sekian makhluk yang tak terbatas dan di antara sekian spesies yang tak terhitung yang terdapat di alam.

    Adapun dilihat dari sisi kedua, khususnya dilihat dari ketidak- berdayaan dan kefakiran yang mengarah pada aspek ubudiah, manu- sia memiliki kelapangan yang luas dan menjadi sangat penting. Pasal- nya, Sang Pencipta Yang Mahabijak telah menanamkan dalam esensi maknawiahnya sebuah ketidakberdayaan tak terhingga dan kefakiran yang tak terkira agar ia menjadi cermin yang luas dan komprehensif bagi manifestasi tak terhingga dari Sang “Mahakuasa dan Maha Pe- ngasih” yang qudrah-Nya tak bertepi, juga dari Dzat Yang “Mahakaya dan Maha Pemurah” yang kekayaan-Nya tak terbatas.

    Ya, manusia menyerupai benih. Benih itu diberi sejumlah perang- kat maknawi yang berasal dari qudrah ilahi serta dilengkapi dengan program yang sangat halus dan penting yang berasal dari qadar ilahi agar ia bisa bekerja di dalam tanah, bisa tumbuh, dan bisa berpindah dari alam gelap dan sempit tersebut menuju alam dunia yang lapang. Terakhir, ia meminta dan bersimpuh kepada Tuhan lewat lisan poten- sinya agar bisa menjadi pohon, serta mencapai kesempurnaan yang sesuai dengannya.

    Jika benih itu menggunakan perangkat maknawi yang Allah be- rikan untuk menarik unsur-unsur yang berbahaya dan tidak berguna baginya lantaran perangainya yang buruk dan daya rasanya yang telah rusak, sudah pasti akibatnya sangat fatal. Sebab, ia akan membusuk dan hancur di tempat sempit tadi dalam waktu yang singkat.

    Namun, kalau ia menundukkan perangkat maknawinya untuk taat kepada pe- rintah takwini (فَالِقُ ال۟حَبِّ وَالنَّوٰى) ‘Dzat yang menumbuhkan benih tum- buh-tumbuhan dan biji buah-buahan…’ (QS. al-An`âm [6]: 95), maka dari alam yang sempit itu ia akan keluar menjadi pohon yang berbuah dan menjulang serta hakikat parsial dan roh maknawiahnya yang kecil akan mendapatkan bentuknya yang hakiki, universal dan besar.

    Jika demikian kondisi benih, maka manusia pun mengalami hal yang sama. Dalam esensinya ditanamkan berbagai perangkat penting yang berasal dari qudrah Ilahi dan sejumlah program berharga yang berasal dari qadar Ilahi. Jika manusia menggunakan perangkat mak- nawiahnya yang berada di bawah tanah kehidupan dunia serta di alam bumi yang sempit dan terbatas untuk memenuhi keinginan nafsu, ia akan membusuk dan hancur sebagaimana benih di atas hanya kare- na kenikmatan sesaat dalam umur yang pendek, di tempat terbatas, dan dalam kondisi yang sulit dan pedih. Ruhnya yang malang akan menanggung sejumlah beban tanggungjawab maknawi dan mening- galkan dunia dalam keadaan gagal dan merugi.

    Adapun kalau manusia memelihara benih potensinya lalu me- nyiramnya dengan air Islam, memupuknya dengan cahaya iman di bawah tanah ubudiah seraya mengarahkan berbagai perangkat mak- nawiahnya menuju tujuan hakiki dengan cara melaksanakan berbagai perintah al-Qur’an, tentu daun dan rantingnya akan membentang ser- ta bunga-bunganya akan mekar di alam barzakh. Selain itu, di alam akhirat dan surga ia akan melahirkan sejumlah nikmat dan kesempur- naan tak terhingga. Dengan begitu, manusia menjadi benih berharga yang memuat sejumlah perangkat yang berisi hakikat dan pohon aba- di. Ia akan menjadi sarana berharga yang indah dan mahal, serta buah penuh berkah dan bersinar dari pohon alam.

    Ya, kemajuan dan peningkatan spiritual yang hakiki hanya ter- wujud dengan mengarahkan kalbu, jiwa, roh, dan akal, bahkan kha- yalan serta seluruh kekuatan manusia menuju kehidupan yang kekal abadi di mana masing-masing sibuk dengan tugas ubudiah yang diem- bannya. Adapun ilusi kaum yang sesat di mana mereka sibuk dengan berbagai kesenangan dunia yang rendah serta mengarahkan perhatian pada sejumlah kenikmatan parsialnya yang fana tanpa mau melihat kepada keindahan universal dan berbagai kenikmatannya yang aba- di, seraya menggunakan kalbu, akal, dan seluruh perangkat halus ma- nusia di bawah perintah nafsu ammârah serta menghamba padanya, semua ini sama sekali bukan merupakan bentuk kemajuan. Sebalik- nya, ia merupakan bentuk kejatuhan dan keruntuhan. Aku telah menyaksikan hakikat ini dalam suatu kejadian imaji- ner yang akan kujelaskan lewat contoh berikut ini:

    Aku memasuki sebuah kota besar. Di dalamnya aku melihat se- jumlah istana dan bangunan yang megah. Di depan istana tersebut terdapat pesta, festival, dan sejumlah acara yang menarik perhatian. Ia laksana teater dan tempat hiburan. Ia memiliki daya tarik. Akupun memperhatikan bahwa pemilik istana berada di depan pintu sedang bermain-main dengan anjingnya. Lalu para wanita menari bersama para pemuda asing. Kemudian para gadis belia menata beragam per- mainan anak-anak. Penjaga pintu istana melakukan pengawasan ter- hadap semuanya. Ketika itulah aku memahami bahwa istana tersebut kosong dan tugas-tugas di dalamnya diabaikan. Akhlak mereka telah terpuruk sehingga mereka terlihat dengan keadaan yang demikian di depan istana.

    Kemudian ketika berjalan beberapa langkah, aku melihat sebuah istana lain. Di sana ada seekor anjing yang tidur di depan pintu bersa- ma seorang penjaga yang gagah, tegap, dan tenang. Di depan istana itu tidak ada sesuatu yang menarik perhatian. Aku takjub dan heran de- ngan suasana hening seperti itu. Aku berusaha mencari tahu tentang sebabnya. Maka, aku pun masuk ke dalam istana itu. Ternyata istana tersebut ramai oleh penghuninya. Ada banyak tugas dan kewajiban penting yang dilakukan oleh mereka. Masing-masing berada di lantai yang diperuntukkan baginya.Di lantai pertama, ada sejumlah orang yang menata istana dan mengelola sejumlah urusannya. Di lantai kedua, beberapa anak laki-la- ki dan perempuan sedang belajar. Di lantai ketiga, sekelompok wanita sedang menjahit, menyulam, membuat hiasan warna-warni serta ukiran indah di atas beragam pakaian. Adapun di lantai akhir, terdapat pemilik istana sedang melakukan telekomunikasi lewat telepon de- ngan raja untuk menjamin kenyamanan, keselamatan, dan kebebasan yang mulia dan menyenangkan bagi penghuni istana. Masing-masing melakukan pekerjaan sesuai dengan spesialisasinya dan menunaikan tugas sesuai dengan kedudukannya. Karena tak terlihat oleh mereka, tidak ada yang menghalangiku untuk berkeliling di seluruh penjuru istana. Karena itu, aku bisa mengetahui semua keadaan dengan sangat bebas.

    Kemudian aku meninggalkan istana dan berkeliling di kota. Ternyata kota itu terbagi atas dua jenis istana dan bangunan. Aku pun bertanya tentang sebabnya, lalu ada yang memberi tahu bahwa jenis istana pertama yang tak berpenghuni dan ada pesta di depannya merupakan tempat para pemimpin kafir dan orang-orang yang sesat. Sedangkan istana kedua adalah tempat tokoh orang beriman yang ter- hormat.Selanjutnya, di sisi kota lainnya terdapat istana yang bertuliskan nama “Said”. Aku pun heran. Saat kuperhatikan, seolah-olah fotoku terlihat olehku. Seketika aku terperanjat, kemudian akhirnya aku ter- sadar dari imajinasiku.

    Dengan taufik ilahi, aku ingin menjelaskan kejadian imajiner di atas sebagai berikut:

    Kota yang dimaksud adalah kehidupan sosial dan peradaban umat manusia. Setiap istana yang terdapat padanya merujuk kepada manusia. Adapun penghuni istananya merupakan anggota badan ma- nusia seperti mata, telinga, serta perangkat halus seperti kalbu, jiwa, dan roh, berikut kecenderungannya yang berupa hawa nafsu, syahwat, dan kekuatan amarah. Setiap perangkat halus ini memiliki tugas ubudi- ah tertentu dengan segala kenikmatan dan kepedihannya. Sementara hawa nafsu, syahwat, dan kekuatan amarah, ia laksana penjaga pintu dan laksana anjing penjaga. Maka, menundukkan perangkat mulia itu kepada perintah hawa nafsu seraya membuat lupa tugas-tugas aslinya tentu merupakan bentuk kejatuhan dan kemerosotan, bukan kema- juan. Aspek yang lain engkau bisa menafsirkannya.

    Nuktah Ketiga

    Dilihat dari sisi perbuatan, perilaku, dan usahanya secara fisik, manusia merupakan makhluk hidup yang lemah dan tidak berdaya. Wilayah aktivitas dan kepemilikannya pada sisi ini sangat terbatas dan sempit. Ia hanya sejauh jangkauan tangannya. Bahkan sejumlah hewan jinak yang dapat dikendalikan oleh manusia juga telah dipengaruhi oleh sifat lemah dan malas yang ada pada diri manusia. Jika kambing dan sapi jinak—misalnya—dibandingkan dengan kambing dan sapi liar, maka perbedaan yang sangat jauh antara keduanya terlihat jelas.

    Namun dilihat dari sisi respon, penerimaan, doa, dan perminta- annya, manusia merupakan tamu agung dan mulia di tempat jamuan dunia. Ia dijamu oleh Sang Pemurah dengan jamuan yang demikian megah, hingga Dia membukakan untuknya berbagai khazanah rah- mat-Nya yang luas serta menundukkan para pelayan dan ciptaan-Nya yang tak terhingga untuknya. Dia juga menyiapkan sebuah daerah yang sangat besar dan luas untuk manusia sebagai tempat rekreasi dan tamasya di mana setengahnya sejauh mata memandang, bahkan seluas jangkauan khayalan.

    Jika manusia bersandar pada egonya serta menjadikan kehidupan dunia sebagai akhir impiannya di mana upaya dan usahanya hanya un- tuk mendapatkan kesenangan yang bersifat sementara, maka ia akan terjerumus ke dalam daerah yang sempit dan usahanya akan sia-sia. Lalu di hari kebangkitan, seluruh organ yang diberikan kepada manu- sia akan menjadi saksi yang memberatkan dengan mengadukannya.

    Sebaliknya, jika ia memahami bahwa dirinya merupakan tamu yang mulia lalu bertindak sesuai dengan izin Dzat Yang Menjamu- nya, yakni Sang Yang Maha Pemurah, kemudian menggunakan modal umurnya dalam wilayah yang disyariatkan, maka kegiatan dan amal- nya akan berada dalam wilayah yang sangat luas di mana ia memben- tang sampai pada kehidupan abadi. Ia akan hidup tenang, aman, dan nyaman, serta bernapas lega sambil beristirahat. Ia pun bisa naik ke tingkatan yang paling tinggi. Selain itu, di akhirat kelak semua organ dan perangkat yang diberikan padanya akan menjadi saksi yang men- dukungnya.

    Ya, organ dan perangkat yang diberikan kepada manusia bu- kan untuk kehidupan dunia yang fana ini. Namun ia diberikan un- tuk kehidupan abadi. Ia memiliki peran yang sangat penting. Sebab, kalau kita membandingkan antara manusia dan hewan, kita melihat manusia seratus kali jauh lebih kaya daripada hewan dilihat dari segi perangkat dan organ yang dimiliknya. Namun dari segi kenikmatan dan kesenangan yang didapat di dunia, manusia seratus kali lebih miskin. Pasalnya, dalam setiap kenikmatan yang ia rasakan, manusia menghadapi ribuan derita sesudahnya. Kepedihan masa lalu, kesulitan masa kini, dan kecemasan terhadap masa depan, serta sejumlah derita akibat hilangnya kenikmatan merusak cita rasanya dan meninggalkan jejak penderitaan.Sementara itu, hewan tidak demikian. Ia merasakan kenikmatan tanpa disertai penderitaan. Ia merasakan segala sesuatu tanpa dirusak oleh kekeruhan. Ia tidak didera oleh derita masa lalu serta tidak cemas terhadap masa depan. Ia hidup tenang dan lapang seraya bersyukur kepada Penciptanya.

    Jadi, manusia yang tercipta dalam “bentuk terbaik” jika hanya memfokuskan perhatian pada kehidupan dunia semata, maka ia akan jatuh seratus kali jauh lebih rendah daripada hewan meskipun dari sisi modal ia seratus kali lebih tinggi. Hakikat ini telah kujelaskan lewat sebuah perumpamaan yang dimuat dalam bagian lain. Namun di sini aku akan mengutarakannya kembali. Seseorang memberikan uang sebanyak sepuluh koin emas ke- pada pelayannya. Ia memerintahkan pelayan itu untuk memilih baju dari kain yang paling bagus untuk dirinya. Lalu ia memberikan kepada pelayan yang lain seribu koin emas. Namun selain memberi uang, ia juga memberi daftar kecil berisi sejumlah hal yang harus ia penuhi. Ia memasukkan uang dan daftar tadi ke dalam saku pelayan tersebut. Lalu ia menyuruh mereka pergi ke pasar.

    Pelayan pertama membeli sebuah baju yang indah dari bahan yang paling bagus senilai sepuluh koin emas. Sementara pelayan kedua meniru dan mengikuti pelayan pertama. Karena kebodohannya, ia ti- dak melihat daftar yang diberikan majikannya. Ia membayarkan seri- bu koin emas kepada si penjual untuk mendapatkan baju yang bagus.Namun si penjual yang tidak jujur itu memberinya baju yang paling jelek. Nah, ketika pelayan yang malang pulang ke rumah majikan dan berada di hadapannya, ia mendapat teguran dan hukuman yang keras. Orang yang memiliki sedikit kesadaran pun pasti dapat menang- kap kalau pelayan kedua yang diberi seribu koin emas tidak disuruh pergi ke pasar untuk membeli baju. Namun ia disuruh pergi ke pasar untuk melakukan perniagaan dalam satu niaga yang sangat penting.

    Demikian halnya dengan manusia yang diberi sejumlah perang- kat maknawi dan indra manusiawi yang jika setiap bagiannya diban- dingkan dengan apa yang terdapat pada hewan, tentu akan terlihat jelas bahwa peragkat manusia seratus kali lipat lebih luas jangkauannya.Misalnya, mata manusia yang bisa membedakan berbagai jenis tingkat keindahan; daya kecapnya yang bisa membedakan beragam makanan dengan sejumlah cita rasanya; akalnya yang menembus keda- laman hakikat dan detail-detailnya; serta kalbunya yang merindukan semua jenis kesempurnaan. Mana mungkin semua perangkat tersebut dan yang sejenisnya dibandingkan dengan perangkat yang terdapat pada hewan yang sangat sederhana di mana ia hanya bisa menyingkap dua atau tiga tingkatan. Ini tentu saja di luar aktivitas khusus yang ter- kait dengan perangkat khusus pada hewan tertentu di mana ia melak- sanakan pekerjaannya itu dalam bentuk yang bisa jadi mengungguli manusia.(*[1])Hanya saja hal itu bersifat khusus.

    Rahasia mengapa manusia dianugerahi perangkat yang begi- tu banyak adalah karena indra dan perasaan manusia mendapatkan kekuatan, pertumbuhan, ketersingkapan, dan pembentangan yang lebih banyak lantaran memiliki akal dan pikiran. Karena kebutuhan- nya banyak, maka muncullah indranya yang sangat beragam. Lalu karena ia memiliki fitrah komprehensif, maka ia menjadi poros dari segala impian dan keinginan. Juga karena banyaknya tugas fitri yang dimiliki, maka perangkatnya juga berkembang dan meluas. Dengan keberadaan fitrah yang disiapkan untuk melakukan berbagai tugas ibadah, manusia diberi potensi yang mencakup seluruh benih kesem- purnaan.

    Oleh sebab itu, banyaknya perangkat dan besarnya modal manu- sia tidak mungkin diberikan sedemikian rupa hanya untuk memper- oleh kehidupan dunia yang bersifat sementara dan fana. Namun tugas utama manusia adalah bagaimana ia menunaikan tugas-tugasnya yang mengarah kepada tujuan tak bertepi; menampakkan ketidakberdayaan dan kefakirannya di hadapan Allah dalam bentuk ubudiah; melihat tasbih entitas dengan pandangannya yang menyeluruh sehingga ber- saksi atasnya; dan mengamati nikmat-nikmat Ilahi yang dianugerah- kan pada mereka sehingga bersyukur atasnya; lalu melihat mukjizat qudrah Ilahi pada ciptaan sehingga bertafakkur dengan mengambil pelajaran darinya.

    Wahai penyembah dunia, pencinta kehidupan dunia yang fana dan lalai terhadap rahasia ahsanu taqwîm (bentuk terbaik)! Perhati- kan kejadian imajiner berikut yang mencerminkan hakikat kehidupan dunia. Kejadian inilah yang dilihat oleh “Said lama” sehingga dirinya berubah menjadi “Said baru”, yaitu sebagai berikut:

    Aku melihat diriku seakan-akan sedang berjalan dalam sebuah perjalanan panjang atau sedang diutus ke sebuah tempat yang jauh. Majikanku telah mengalokasikan untukku sebanyak enam puluh koin emas. Setiap hari ia memberiku sebagian darinya. Kemudian aku ma- suk ke sebuah hotel yang berisi tempat hiburan. Maka, akupun meng- habiskan harta yang kumiliki—sekitar sepuluh koin—dalam satu malam saja di atas meja judi seraya begadang untuk mencari popu- laritas dan rasa kagum orang. Namun di pagi hari aku keluar dengan tangan kosong tanpa melakukan bisnis apa pun. Aku juga tidak dapat membeli sesuatu yang dibutuhkan di tempat yang kutuju. Yang tersi- sa hanya kepedihan dan sejumlah kesalahan yang lahir dari sejumlah kesenangan menyimpang disertai luka, duka, dan ratapan yang dise- babkan oleh sejumlah kebodohan di atas.

    Ketika berada dalam kondisi lara dan sedih semacam itu tiba-ti- ba tampak seseorang di hadapanku yang berkata: “Engkau telah menghabiskan seluruh modalmu dengan sia-sia. Engkau layak mendapat hukuman. Engkau akan pergi ke sebuah ne- geri yang kau tuju dengan tangan kosong. Jika engkau cerdas, pintu tobat masih terbuka. Engkau bisa menyimpan setengah dari yang kaudapatkan, yaitu 15 koin sisanya untuk membeli sebagian barang yang kau butuhkan di tempat tersebut.” Aku pun bertanya kepada diri ini. Ternyata ia tidak rela. Orang itu berkata, “Kalau begitu sepertiganya saja.” Namun diri ini masih ti- dak rela. Lalu ia berkata, “Kalau begitu seperempatnya.” Ternyata diri ini masih tidak mau meninggalkan kebiasaan lamanya. Seketika orang itu menggelengkan kepalanya dan berpaling dengan penuh marah. Lalu ia pergi.

    Kemudian aku melihat semua keadaan telah berubah. Aku mera- sa diri ini berada di sebuah kereta yang berjalan dengan kecepatan tinggi di terowongan bawah tanah. Aku menjadi bingung. Namun ti- dak ada jalan lain bagiku karena aku tidak bisa pergi ke kanan atau ke kiri. Anehnya, di kedua sisi kereta terdapat sejumlah bunga indah ser- ta buah-buahan yang lezat dan beragam. Kuulurkan tanganku pada- nya—layaknya orang bodoh—untuk memetik bunga dan buah-buah- an itu. Namun ia sulit dijangkau. Ketika kusentuh, durinya menancap di tanganku sehingga terluka dan berdarah. Kereta terus berjalan de- ngan sangat cepat. Aku telah melukai diriku tanpa mendapat apa-apa.Lalu salah seorang pegawai kereta berkata, “Berikan padaku lima sen. Aku akan memberimu sejumlah bunga dan buah yang kau ingin- kan. Dengan luka yang kau rasakan, engkau telah mengalami kerugian yang berkali-kali lipat dibandingkan dengan apa yang kau dapat de- ngan membayar lima sen. Belum lagi hukuman yang akan kau terima atas perbuatanmu tersebut. Sebab, engkau telah memetiknya tanpa izin.” Mendengar hal itu aku bertambah sedih.

    Dari jendela aku melihat ke depan untuk mengetahui akhir te- rowongan. Ternyata di dalamnya terdapat banyak lubang yang meng- gantikan mulut terowongan. Para penumpang dilempar keluar dari kereta menuju lubang itu. Kulihat di hadapanku ada sebuah lubang yang kedua sisinya diletakkan batu nisan. Aku menatapnya dengan cermat. Pada keduanya tertulis dengan huruf besar tulisan “Said”. Se- ketika aku terperanjat, “Oh celaka!”Pada saat itulah aku mendengar suara orang yang sebelumnya memberiku nasihat di pintu tempat hiburan. Ia berkata: “Apakah eng- kau sudah sadar?!” “Ya, namun setelah hilang kesempatan karena kekuatanku telah habis, serta daya dan upayaku tak tersisa lagi” jawab- ku.Ia berkata, “Bertobatlah dan bertawakkallah!” “Hal itu telah kulakukan.”

    Kemudian aku tersadar. “Said lama” pun hilang digantikan oleh “Said baru”.

    Semoga Allah menjadikan kejadian imajiner tersebut sebagai se- buah kebaikan. Aku akan menafsirkan sebagian darinya dan sisanya silakan ditafsirkan sendiri.

    Perjalanan tersebut adalah perjalanan yang bermula dari alam arwah, fase-fase alam rahim, masa muda, masa tua, kubur, barzakh, kebangkitan, shirath hingga alam keabadian.Uang yang berjumlah enam puluh koin emas adalah usia enam puluh tahun. Ketika peristiwa ini terjadi aku berusia empat puluh lima tahun—menurut perkiraanku. Tidak ada kepastian bahwa aku bisa hidup sampai enam puluh tahun. Yang jelas salah seorang pelajar al- Qur’an yang tulus telah membimbingku agar aku menggunakan sisa umur—yaitu lima belas tahun—di jalan akhirat.Hotelnya bagiku adalah kota Istanbul. Keretanya berupa per- jalanan waktu. Setiap tahun laksana gerbong darinya. Terowongannya adalah kehidupan dunia. Lalu bunga dan buahnya yang berduri adalah berbagai kenikmatan dan permainan yang terlarang di mana kepedi- han yang ditimbulkan oleh bayangan kepergiannya menyayat hati dan melukai jiwa sehingga manusia merasakan pahitnya derita saat mem- bayangkannya.Adapun makna dari ucapan pegawai kereta, “Berikan padaku lima sen. Aku akan memberimu sejumlah bunga dan buah yang kau inginkan,” adalah bahwa berbagai kesenangan yang dirasakan manu- sia lewat usaha yang dibenarkan cukup bagi kebahagiaan, ketenangan, dan kelapangan sehingga tidak perlu masuk ke dalam wilayah yang haram. Sisanya dapat kau tafsirkan sendiri.

    Nuktah Keempat

    Di alam ini manusia menyerupai anak kecil kesayangan yang lemah. Namun dalam kelemahannya tersimpan kekuatan besar, dan dalam ketidakberdayaannya terdapat kemampuan yang menakjubkan. Sebab, lewat kekuatan lemahnya itu dan lewat kemampuan ketidak- berdayaannya seluruh entitas ditundukkan untuknya. Jika manusia menyadari kelemahannya lalu meminta kepada Tuhan, baik lewat lisan, keadaan, maupun perilakunya, kemudian ia menyadari ketidak- berdayaannya sehingga meminta tolong kepada Tuhannya seraya ber- syukur karena alam ditundukkan untuknya, maka ia akan diberi taufik untuk dapat menggapai permintaannya. Semua maksudnya menjadi tunduk serta impiannya akan terwujud. Sementara dia dengan kekua- tannya sendiri tidak dapat meraih seperseratusnya. Namun kadang keinginan yang dicapai lewat doa lisân hâl ia nisbatkan pada kemam- puannya sendiri.Sebagai contoh: Kekuatan yang terpendam dalam kelemahan anak ayam membuat sang induk menyerang singa. Lalu kekuatan yang tersimpan dalam kelemahan anak singa membuat sang induk yang buas mengalah untuk dirinya di mana ia rela menahan lapar demi anak-anaknya. Jadi, kekuatan besar yang terdapat dalam kelemahan layak diperhatikan.

    Bahkan, wujud manifestasi rahmat dalam kelema- han tersebut patut dicermati dan dikagumi. Sebagaimana dengan kelemahan, anak kecil yang manja men- dapatkan kasih sayang orang lain. Dan dengan tangisannya, ia mem- peroleh permintaannya. Maka, orang-orang kuat dan para pembesar pun tunduk padanya, sehingga ia bisa memperoleh apa yang tidak bisa diraihnya satu pun dari seribu keinginannya dengan kekuatannya yang kecil. Dengan demikian, kelemahan dan ketidakberdayaannya itulah yang menggerakkan dan membuat pihak lain mengasihi dan melin- dunginya. Bahkan dengan telunjuknya yang kecil, ia dapat menjinak- kan orang-orang besar.Andaikan anak kecil itu mengingkari kasih sayang tadi lalu me- nyangkal perlindungan tersebut di mana dengan sangat bodoh dan sombong ia berkata, “Akulah yang menundukkan semua orang kuat itu dengan kemampuan dan kehendakku sendiri,” tentu saja ia layak mendapat tamparan dan peringatan.

    Begitu pula kondisi manusia manakala ia mengingkari rah- mat Penciptanya serta menyangkal hikmah-Nya lalu berkata dengan penuh kekufuran seperti ucapan Qarun, “Sesungguhnya aku diberi harta tersebut karena ilmu yang ada padaku” (QS. al-Qashash [28]: 78.). Tentu saja sikap ini membuatnya layak mendapat siksa.

    Jadi, kedudukan dan kekuasaan yang diraih manusia, serta kema- juan dan peradaban umat manusia tidak bersumber dari keunggulan dan kekuatannya. Tetapi semua itu ditundukkan kepada manusia kare- na kelemahannya. Pertolongan diberikan karena ketidakberdayaan- nya, karunia diberikan karena kefakirannya, ilham diberikan karena kebodohannya, dan anugerah diberikan karena kebutuhannya.Kekuasaan yang didapat manusia bukan lantaran kekuatan yang ia miliki dan bukan karena pengetahuan yang ia punyai. Tetapi ia me- rupakan wujud kasih sayang, rahmat, dan hikmah ilahi sehingga sega- la sesuatu ditundukkan untuknya.Ya, manusia yang kalah oleh kalajengking yang tak memiliki mata, dan oleh ular yang tak memiliki kaki, bukan kekuatannya yang memakaikan ia sutra dari ulat kecil dan bukan pula yang memberi ia madu dari serangga beracun. Tetapi semua itu ia dapat dari buah kelemahannya yang berasal dari penundukan rabbani dan kemurahan rahmani.

    Wahai manusia! Jika demikian keadaannya, tinggalkan sifat sombong dan egoisme. Perlihatkan kelemahan dan ketidakberdayaan- mu di hadapan tangga Tuhan lewat permintaan. Tampakkan kefakiran dan kebutuhanmu dengan lisan doa. Serta tunjukkan bahwa engkau benar-benar hamba Allah seraya berkata (حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ) ‘Cukup- lah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’. Lalu naiklah menuju tangga kemuliaan.

    Jangan engkau berkata, “Aku tidak berarti. Apa pentingnya di- riku sehingga alam ini ditundukkan oleh Dzat Yang Mahabijak dan Maha Mengetahui untukku dengan penuh perhatian, dan bahkan di- tuntut untuk menunaikan syukur komprehensif.”

    Pasalnya, jika dilihat dari sisi dirimu dan bentuk lahiriahmu, eng- kau memang tidak berarti. Namun jika dilihat dari tugas dan kedudu- kanmu, maka engkau adalah penyaksi dan pengawas yang cerdas terhadap jagat raya. Engkau adalah lisan fasih yang berbicara atas nama seluruh entitas yang penuh hikmah. Engkau juga penelaah yang cer- mat terhadap kitab alam. Engkau pengawas yang penuh perenungan terhadap makhluk-makhluk yang bertasbih. Serta engkau laksana pro- fesor dan arsitek yang ahli dari alam yang beribadah dan bersujud ini.

    Ya, wahai manusia! Dari sisi fisik biologismu dan diri hewani- mu, engkau adalah partikel kecil dan hina, makhluk yang fakir, dan hewan yang lemah yang masuk ke dalam ombak entitas yang deras. Namun dari sisi kemanusiaanmu yang menjadi sempurna lewat tarbi- ah islamiah, yang bersinar dengan cahaya iman yang berisi kilau cinta Ilahi, engkau adalah raja dalam kehambaan ini. Engkau bersifat uni- versal dalam kondisi parsialmu. Engkau adalah alam yang luas dalam kekerdilanmu. Engkau memiliki kedudukan yang tinggi meski tam- pak remeh. Engkau pengawas alam yang memiliki basirah yang men- jangkau wilayah yang luas dan terlihat ini, hingga engkau bisa berkata, “Tuhanku Yang Maha Penyayang telah menjadikan dunia ini sebagai tempat tinggalku, menjadikan matahari dan bulan sebagai lentera, menjadikan musim semi sebagai karangan bunga mawar, menjadikan musim panas sebagai hidangan nikmat, menjadikan hewan sebagai pelayan yang tunduk, serta menjadikan tumbuhan sebagai hiasan bagi rumahku.”

    Kesimpulan: Jika engkau mendengar bisikan nafsu dan setan, engkau akan jatuh ke tingkat yang paling rendah. Namun jika engkau mendengar hakikat dan al-Qur’an, engkau akan naik ke tingkat yang paling tinggi dan menjadi ahsanu taqwîm di alam ini.

    Nuktah Kelima

    Manusia diutus ke dunia sebagai tamu dan petugas. Ia diberi sejumlah bakat dan potensi yang sangat penting. Karena itu, ia juga diberi berbagai tugas penting. Agar manusia dapat menunaikan tu- gasnya dan bersungguh-sungguh dalam mencapai tujuannya, ia diberi motivasi dan ancaman.Di sini kami akan menjelaskan secara global sejumlah tugas ma- nusia berikut landasan ubudiah yang telah kami jelaskan di tempat lain. Hal itu agar rahasia ahsanu taqwîm dapat dipahami.

    Kami tegaskan bahwa setelah datang ke dunia ini, manusia memiliki ubudiah dari dua sisi:Sisi pertama: ubudiah dan tafakkur secara gaib (tidak langsung). Sisi kedua: ubudiah dan munajat dalam bentuk dialog dan komu- nikasi langsung.

    Sisi pertama berupa sikap membenarkan disertai ketaatan terha- dap kekuasaan rububiyah yang terlihat di alam ini serta melihat kesem- purnaan dan keindahan-Nya dengan penuh takjub.

    Kemudian sikap mengambil pelajaran dari keindahan goresan Asmaul Husna yang suci serta menyerukan dan memperlihatkannya kepada pandangan sesama makhluk.

    Lalu menimbang permata dan mutiara nama-nama terse- but—sebagai kekayaan maknawi yang tersembunyi—dengan timba- ngan pengetahuan sekaligus menghargainya dengan penuh rasa hor- mat yang bersumber dari kalbu.

    Setelah itu, bertafakkur dengan penuh takjub di saat menelaah lembaran bumi dan langit serta seluruh entitas yang laksana tulisan pena qudrah.

    Selanjutnya, mengamati hiasan entitas dan kreasi indah dan halus yang terdapat di dalamnya, merasa senang untuk mengenal Pencipta Yang Mahaindah, dan merasa rindu untuk naik ke tingkatan hudhûr (hadir) di sisi Sang Pencipta Yang Mahasempurna sekaligus mendapat tatapan-Nya.

    Sisi kedua adalah tingkatan hudhûr (hadir) dan dialog langsung dengan-Nya di mana ia tembus dari jejak menuju pemilik jejak. Ia melihat Sang Pencipta Yang Mahaagung ingin memperkenalkan diri lewat berbagai mukjizat ciptaan-Nya. Maka, ia pun membalasnya de- ngan iman dan makrifat.

    Selanjutnya, ia melihat Tuhan Yang Maha Penyayang menarik simpatinya lewat berbagai buah rahmat-Nya yang indah. Maka, ia pun membalas hal itu dengan menjadikan dirinya sebagai makhluk yang dicinta lewat cinta dan pengabdiannya yang tulus.

    Setelah itu, ia melihat Pemberi nikmat Yang Maha Pemurah ingin memberikan nikmatnya yang lezat dalam bentuk materi dan imma- teri. Maka, ia membalas semua itu dengan perbuatan, kondisi, ucapan, lewat seluruh indra dan perangkatnya semampu mungkin dengan ber- syukur dan memuji-Nya.

    Kemudian, ia melihat Sang Mahaagung Yang Mahaindah mem- perlihatkan kebesaran dan kesempurnaan-Nya pada cermin entitas. Dia memperlihatkan keagungan dan keindahan-Nya di dalam cermin tersebut sehingga menarik perhatian semua mata. Maka, ia mem- balasnya dengan mengucap, “Allahu akbar, Subhânallah” secara be- rulang-ulang seraya bersujud dengan penuh rasa takjub dan dengan rasa cinta yang mendalam seperti sujudnya orang yang tidak pernah merasa jenuh.

    Selanjutnya, ia melihat Dzat Mahakaya menawarkan khazanah dan kekayaan-Nya yang berlimpah. Maka, ia menyikapi hal itu dengan meminta dan berdoa dengan menunjukkan kepapaan disertai peng- hormatan dan pujian.

    Lalu, ia melihat Tuhan Sang Pencipta Yang Mahagung menja- dikan bumi sebagai galeri menakjubkan yang memamerkan seluruh ciptaan unik dan langka. Maka, ia menyikapinya lewat ucapan mâsyâ Allah sebagai bentuk apresiasi terhadapnya, lewat ucapan bârakallah sebagai bentuk penghargaan atasnya, lewat ucapan subhânallah se- bagai bentuk ketakjuban terhadapnya, dan lewat ucapan Allahu akbar sebagai bentuk pengagungan terhadap Penciptanya.

    Setelah itu, ia melihat Dzat Yang Maha Esa menstempel seluruh entitas dengan stempel tauhid dan cap-Nya yang tak bisa ditiru. Dia tuliskan padanya ayat-ayat tauhid dan Dia tancapkan padanya panji tauhid di cakrawala alam seraya menampakkan rububiyah-Nya. Maka, ia menyikapi hal itu dengan sikap pembenaran, iman, tauhid, ketun- dukan, kesaksian, dan ubudiah.

    Dengan ibadah dan tafakkur semacam itu, manusia menjadi ma- nusia hakiki sekaligus menampakkan dirinya sebagai ahsanu taqwîm. Maka, dengan keberkahan iman ia layak mendapat amanat besar dan menjadi khalifah yang amanah di muka bumi.

    Wahai manusia lalai yang tercipta dalam bentuk terbaik (ahsanu taqwîm), namun menuju tingkatan yang paling rendah karena salah memilih dan ceroboh! Dengarkan baik-baik dan perhatikan dua “Po- tret” yang termuat pada ‘kedudukan kedua’ dari ‘Kalimat Ketujuh Be- las’ sehingga engkau juga bisa melihat bagaimana aku tadinya melihat dunia sepertimu tampak manis dan hijau saat aku dalam kondisi lalai dan mabuknya masa muda. Akan tetapi, ketika bangun dari kelalaian masa muda di pagi masa tua, wajah dunia yang tidak mengarah ke akhirat—dan yang tadinya kuanggap indah—ternyata sangat buruk. Sementara wajah dunia yang mengarah ke akhirat sangat indah.

    Potret Pertama:Menggambarkan dunia kaum lalai. Aku me- lihatnya—tanpa mabuk padanya—serupa dengan dunia kaum sesat yang tertutupi oleh tirai kelalaian.

    Potret Kedua:Menunjukkan hakikat kalangan yang mendapat petunjuk dan pemilik kalbu yang tenteram. Aku tidak mengganti kedua potret itu. Keduanya kubiarkan sebagaimana adanya. Meskipun menyerupai syair, namun ia bukanlah syair.

    Mahasuci Engkau. Tidak ada yang kami ketahui, kecuali yang Kau ajarkan pada kami. Engkau Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.

    “Ya Tuhan, lapangkan dadaku, mudahkan urusanku, dan lepaskan ikatan dari lisanku sehingga mereka memahami ucapanku”.

    Ya Allah, limpahkan salawat dan salam atas Dzat Muhammad yang halus, mentari langit rahasia, manifestasi cahaya, pusat orbit keagungan, dan poros cakrawala keindahan.Ya Allah, dengan rahasianya di sisi-Mu dan dengan perjalanannya me- nuju kepada-Mu, berikan rasa aman padaku, maafkan kesalahanku, serta hilangkan rasa sedih dan tamak dari diriku. Jadilah Engkau untukku, raihlah diriku agar menuju kepada-Mu, serta anu-gerahkan diriku rasa fana dari diri ini. Jangan jadikan diriku diuji dengan diri sendiri, dan terhijab dengan perasaan sendiri. Singkapkan untukku semua rahasia yang tersembunyi. Wahai Yang Mahahidup dan Maha Berdiri sendi- ri. Wahai Yang Mahahidup dan Berdiri sendiri.Kasihi aku, kasihi teman-temanku, kasihi kaum beriman, dan semua pengemban misi al-Qur’an. Kabulkanlah wahai Dzat Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah. Segala puji milik Allah Tuhan semesta alam.

    Dan, akhir doa mereka adalah segala puji bagi Allah; Tuhan semesta alam.



    KALIMAT KEDUA PULUH DUA ⇐ | Al-Kalimât | ⇒ KALIMAT KEDUA PULUH EMPAT

    1. *Misalnya: indra pengecap pada anjing, indra penglihatan pada burung elang, dan indra pendengaran pada kelelawar—Peny.