77.975
düzenleme
("Sebagaimana telah dijelaskan pada “Kalimat Kedua Puluh Enam” yang secara khusus membahas masalah takdir, bahwa sesungguhnya manusia tidak berhak mengeluhkan musibah dan penyakit yang menimpanya karena tiga alasan." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
("------ <center> CAHAYA PERTAMA ⇐ | Al-Lama’ât | ⇒ CAHAYA KETIGA </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
(Aynı kullanıcının aradaki diğer 31 değişikliği gösterilmiyor) | |||
34. satır: | 34. satır: | ||
Sebagaimana telah dijelaskan pada “Kalimat Kedua Puluh Enam” yang secara khusus membahas masalah takdir, bahwa sesungguhnya manusia tidak berhak mengeluhkan musibah dan penyakit yang menimpanya karena tiga alasan. | Sebagaimana telah dijelaskan pada “Kalimat Kedua Puluh Enam” yang secara khusus membahas masalah takdir, bahwa sesungguhnya manusia tidak berhak mengeluhkan musibah dan penyakit yang menimpanya karena tiga alasan. | ||
< | <span id="Birinci_Vecih:"></span> | ||
=== | ===Pertama=== | ||
Allah menjadikan busana eksistensi yang Dia pakaikan kepada manusia sebagai petunjuk atas kreasi-Nya. Sebab, Dia menciptakan manusia dalam bentuk “model” yang dipaparkan pada dirinya pakaian eksistensi, yang diganti, digunting, diubah, dan dimodifikasi untuk menjelaskan manifestasi Asmaul Husna yang be- raneka ragam. Sebagaimana nama-Nya “Asy-Syâfî” (Maha Menyem- buhkan) menuntut adanya penyakit. Begitu juga “Ar- Razzâq” (Maha Pemberi Rizki), menuntut adanya rasa lapar. | |||
Demikianlah, Allah adalah pemilik kerajaan. Dia berbuat dalam kerajaan-Nya apa saja yang dikehendaki-Nya. | |||
< | <span id="İkinci_Vecih:"></span> | ||
=== | ===Kedua=== | ||
sesungguhnya kehidupan menjadi jernih oleh musibah dan bala, serta menjadi bersih oleh penyakit dan bencana. Semua itu menjadikan hidup mencapai kesempurnaan, kuat, meningkat, produktif, serta mencapai tujuan dan targetnya. Dengan demikian, kehidupan telah melaksanakan kewajibannya. Sedangkan kehidupan monoton yang hanya berjalan dengan satu corak dan berjalan di atas hamparan kenikmatan, lebih dekat kepada “ketiadaan” yang merupakan keburukan mutlak ketimbang kepada “keberadaan” yang merupakan kebajikan mutlak. bahkan, ia sudah mengarah kepada ketiadaan. | |||
< | <span id="Üçüncü_Vecih:"></span> | ||
=== | ===Ketiga=== | ||
dunia merupakan medan ujian dan cobaan. Dunia adalah tempat beramal dan beribadah, bukan tempat bersenang-senang dan berleha-leha, serta bukan pula tempat menerima imbalan dan pahala. Nah, selama dunia merupakan tempat beramal dan beribadah, maka penyakit dan cobaaan—selain yang berkaitan dengan agama dan dengan syarat diterima dengan sabar—menjadi selaras dengan amal, bahkan amat harmonis dengan ibadah tersebut. Sebab, kedua hal tersebut menguatkan amal dan mengencangkan ibadah. Karena itu, tidak diperbolehkan mengeluhkannya. Justru kita harus bersyukur kepada Allah , karena penyakit dan musibah mentrans- formasi setiap jam dalam kehidupan mereka yang tertimpa mu- sibah menjadi ibadah sehari penuh. | |||
Pada dasarnya, ibadah terbagi dua bagian: aktif dan pasif. Bagian yang pertama seperti yang kita kenal bersama. Sedangkan bagian yang kedua adalah berbagai penyakit dan cobaan yang membuat pende- ritanya merasakan ketidakberdayaan dan kelemahannya sehingga ia mencari perlindungan kepada Tuhannya yang Maha Pengasih. Dengan cara itulah, ia melaksanakan ibadah dengan ikhlas, murni, dan bebas dari riya. Apabila penderita tersebut menghiasi dirinya dengan sabar, memikirkan pahalanya di sisi Allah dan keindahan imbalan dari-Nya, serta bersyukur kepada Tuhan-Nya terhadap segala musibah, pada saat itu setiap jam dari usianya berubah laksana satu hari ibadah. Sehingga umurnya yang pendek menjadi demikian panjang. Bahkan bagi sebagian dari mereka, setiap detik dari usianya bernilai ibadah sehari penuh.Aku pernah sangat risau ketika salah seorang saudara seimanku, al-Hafidz Ahmad Muhajir, menderita penyakit yang dahsyat. Pada saat itu terbetik dalam hati, “Berikan kabar gembira kepadanya, ucapkan selamat kepadanya, karena setiap detik dari usianya bak ibadah satu hari penuh”. Sebab, ia benar-benar bersyukur kepada Tuhannya yang Maha Pengasih melalui kesabaran yang indah. | |||
< | <span id="Üçüncü_Nükte"></span> | ||
== | ==Nuktah Ketiga== | ||
Seperti yang telah kami paparkan dalam al-Kalimât bahwa apabila seseorang memikirkan masa lalunya, maka akan terbesit dalam hatinya dan akan terlontar dari mulutnya “Oh, alangkah ruginya!”, atau “Segala puji bagi Allah”. Artinya, orang tersebut mungkin akan menyesal dan kecewa, atau memuji dan mensyukuri Tuhannya. | |||
Rasa sedih dan kecewa muncul karena penderitaan jiwa yang bersumber dari keterpisahannya dari berbagai kenikmatan pada masa sebelumnya. Hal tersebut dikarenakan hilangnya kenikmatan merupakan sebuah penderitaan. Bahkan rasa nikmat yang hilang tersebut dapat menimbulkan penderitaan berkesinambungan. Merenungkan- nya akan memeras derita tersebut dan meneteskan rasa sesal dan duka. | |||
Adapun kenikmatan maknawi berkesinambungan dari hilangnya derita temporer yang dilalui seseorang dalamhidupnya, membuat lidahnya mengucapkan puja dan puji kepada Allah . Hal ini bersifat fitrah, dirasakan oleh setiap orang. Di samping itu, apabila si penderita mengingat imbalan yang indah dan ganjaran yang baik— yang disediakan di akhiratdan merenungkan umur pendeknya yang memanjang akibat sakit, maka ia tidak hanya bersabar terhadap derita yang ditimpakan kepadanya, tetapi juga mencapai derajat syukur kepada Allah dan ridha dengan segala ketentuan-Nya. Lidahnya pun akan mensyukuri Tuhannya seraya berkata: Segala puji bagi Allah dalam kondisi apa pun, kecuali kekufuran dan kesesatan.Ada peribahasa yang berbunyi, “Betapa panjangnya masa musibah”. Peribahasa tersebut memang benar, namun dengan pengertian yang berbeda dari apa yang dikenal dan diduga banyak orang. Mereka menganggap musibah itu panjang karena penderitaan dan kesengsaraan yang ada di dalamnya. Padahal sebetulnya ia menjadi terbentang panjang sepanjang umur manusia karena meng- hasilkan kehiupan yang mulia. | |||
< | <span id="Dördüncü_Nükte"></span> | ||
== | ==Nuktah Keempat== | ||
Pada bagian pertama dari “ Kalimat Kedua Puluh Satu”, kami telah jelaskan bahwa apabila manusia tidak mencerai-beraikan kekuatan kesabaran yang dianugerahkan kepadanya dan tidak menghamburkannya dalam berbagai ilusi dan kekhawatiran, maka kekuatan kesabaran tersebut sudah cukup membuatnya tegar menghadapi semua musibah dan bencana. Akan tetapi, keterkungkungan manusia dalam rasa cemas, kelalaiannya dari Allah, serta keteperdayaannya ia oleh kehidupan dunia fana yang seolah-olah abadi, membuatnya mencerai-beraikan kekuatan kesabarannya lantaran memikirkan penderitaan masa lalu dan kecemasan terhadap masa depan. Sehingga kesabaran yang dianugerahkan Allah kepadanya tak lagi bisa membuatnya sanggup dan tegar dalam menghadapi musibah yang ada. Dia pun mulai mengeluh. Seakan-akan dia mengadukan Allah kepada manusia seraya menampakkan sedikit atau bahkan habisnya kesabarannya sehingga menjadikannya bak orang gila. | |||
Padahal, tidak layak baginya untuk gelisah seperti itu. Sebab, kesulitan hari-hari yang telah lewat—jika dilalui dengan musibah— telah hilang dan menyisakan kelapangan. Kepenatan dan rasa sakitnya juga telah sirna, yang tersisa hanya kenikmatan. Tekanan dan himpitannya telah lenyap, yang masih ada hanyalah ganjarannya. Karena itu, ia tidak diperkenankan untuk mengeluh. Bahkan seharusnya ia bersyukur kepada Allah dengan penuh rasa rindu. Dia (manusia) juga tidak diperkenankan untuk benci dan marah terhadap musibah yang ada. Justru ia harus mengikat rasa cinta kepadanya. Sebab, usia manusia yang telah berlalu tersebut telah berubah menjadi usia yang berbahagia dan kekal karena melalui musibah. | |||
Karena itu, merupakan kebodohan dan kedunguan apabila seseorang mencerai-beraikan dan menyianyiakan kesabarannya dengan memikirkan penderitaan yang telah berlalu.Adalah kebodohan menghawatirkan musibah dan penyakit yang mungkin menimpa manusia pada masa mendatang. Sebab, saat itu masih belum tiba. Sebagaimana merupakan kedunguan apabila seseorang memakan banyak nasi dan meminum banyak air karena khawatir akan kelaparan dan kehausan keesokan harinya. Demikian pula dengan orang yang sejak sekarang sudah bersedih dan gelisah karena khawatir mendapatkan musibah dan penyakit di masa mendatang. Menampakkan kegelisahan terhadap berbagai musibah di masa depan tanpa alasan yang jelas adalah puncak ketololan yang sampai pada derajat merenggut kelembutan dan perasaan kasih dalam diri seseorang. Bahkan, dengan demikian ia telah menganiaya dirinya sendiri. | |||
Kesimpulan: sebagaimana rasa syukur dapat menambah kenikmatan itu sendiri, maka keluhan akan menambah musibah tersebut dan bisa membuat seseorang tidak lagi mengasihi dirinya. | |||
Seorang saleh dari Erzurum menderita penyakit kronis dan ganas. Hal itu terjadi setahun setelah Perang Dunia I berkobar. Aku pun pergi mengunjunginya dan ia mengeluh kepadaku seraya berkata, | |||
“Saudaraku, sejak seratus hari aku sama sekali belum merasakan lelapnya tidur”. Keluhannya membuatku sedih. Akan tetapi, pada saat itu aku teringat dan berkata kepadanya, “Saudaraku, seratus hari yang telah berlalu, pada saat ini menjadi senilai seratus hari yang menyenangkan. Karena itu, jangan Anda mengingat dan mengeluhkannya. Tapi renungkanlah hari-hari tersebut dari sisi hilang dan lenyapnya, lalu bersyukurlah kepada Allah atas segala hal tersebut.“Untuk hari-hari yang akan datang, karena semuanya belum lagi tiba, maka pasrahkan dan sandarkan dirimu kepada Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Jangan menangis sebelum dipukul. Jangan takut terhadap sesuatu yang tidak ada. Jangan pula mengada-ada. Fokuskan pikiran untuk saat ini saja, karena kekuatan sabar yang kau miliki cukup untuk saat ini. Jangan pernah meniru dan mengikuti | |||
jejak pemimpin dungu yang memecah kekuatan di markasnya ke kiri dan ke kanan. Padahal pada saat itu, kekuatan musuh yang berada di kiri bergerak ke sisi kanan yang belum lagi bersiap menyerang. Ketika musuh mengetahui hal ini, mereka segera menyerang kekuatan kecil yang ada di markas dan menghabisi mereka.“Saudaraku, jangan seperti pemimpin di atas. Konsentrasikan semua kekuatan Anda untuk saat ini saja. Nantikan rahmat Allah yang masih luas dan renungkan pahala di akhirat. Renungkan transformasi yang dilakukan derita sakit Anda dengan menjadikan umur fana Anda yang pendek menjadi panjang. | |||
Karena itu, bersyukurlah kepada Allah sebagai ganti dari berbagai keluhan ini”.Nasihat ini memberikan pencerahan kepada si sakit tersebut sehingga ia berkata, “Alhamdulillah, derita sakitku sudah banyak berkurang”. | |||
< | <span id="Beşinci_Nükte"></span> | ||
== | ==Nuktah Kelima== | ||
Nuktah ini terdiri atas tiga persoalan: | |||
< | <span id="Birinci_Mesele:"></span> | ||
=== | ===Persoalan pertama:=== | ||
Sesungguhnya musibah dan ben- cana yang hakiki dan dianggap sangat berbahaya adalah yang menyerang agama. Apabila kondisi tersebut yang terjadi, maka manusia harus segera berlindung kepada Allah dan bersimpuh di hadapan-Nya. Adapun musibah yang tidak menyerang agama, pada hakikatnya bukanlah musibah. Sebab, musibah jenis ini memiliki beberapa makna:Pertama, ia sebagai peringatan (teguran penuh kasih) yang Allah tujukan kepada hamba-Nya yang lalai. | |||
< | Ia sama seperti peringatan seorang penggembala kepada kambing gembalaannya ketika melewati batas penggembalaan dengan melemeparkan bebatuan. Sehingga kambing tersebut menyadari bahwa penggembalanya memberikan peringatan untuk menghindari perkara yang berbahaya dengan lemparan batu, dan akhirnya kembali masuk ke daerah penggembalaannya dengan ridha dan perasaan tenang. Demikian halnya dengan musibah, sesungguhnya sebagian besar dari musibah itu sendiri adalah peringatan Ilahi dan teguran penuh kasih untuk manusia.Kedua, musibah sebagai penebus dosa.(*<ref>*Lihat: al-Bukhari , al-Mardhâ, 1; Muslim, al-Birru, 14; ad-Dârimi, ar-Riqâq, 57; dan Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 1/371, 2/303.</ref>)Ketiga, musibah sebagai anugerah ilahi untuk memberikan ketenangan kepada manusia dengan cara membendung kelalaian, serta memberitahukan ketidakberdayaan dan kefakirannya yang tertanam dalam fitrahnya. | ||
</ | |||
< | Adapun musibah yang diderita oleh manusia saat sakit— sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnyasudah dapat dipastikan bahwa ia bukanlah musibah yang sesungguhnya, akan tetapi kelembutan rabbani karena ia membebaskan manusia dari dosa dan kesalahan. Sebagaimana telah diriwayatkan dalam sebuah hadis sahih:“Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah, melainkan Allah menggugurkan kesalahan-kesalahannya (menghapus dosa-dosanya) seperti halnya dedaunan pohon yang berguguran.(*<ref>*HR. al-Bukhari, al-Mardhâ, 2, 14; Tafsir Surah Ibrahim, 1; Muslim, Shifatul Munâfiqiîn, 64; dan ad-Dârimi, al-Wudhû, 45.</ref>) | ||
</ | |||
Demikianlah, dalam munajatnya, Nabi Ayyub tidak berdoa untuk kenyamanan dirinya. Akan tetapi, ia memohon kesembuhan kepada Allah ketika penyakit telah menghalangi lisannya untuk berzikir dan kalbunya untuk bertafakkur. Ia memohon kesembuhan agar bisa melakukan tugas-tugas ubudiyah dengan penuh ketulusan. Oleh karena itu, sudah seharusnya hal pertama yang menjadi tujuan kita dalam bermunajat adalah niat mengharapkan kesembuhan atas luka-luka rohani kita dan penyakit-penyakit batin akibat melakukan dosa. Dan kita juga harus memohon perlindungan kepada Allah Yang Mahakuasa ketika penyakit fisik yang kita derita menghalangi kita untuk beribadah. Saat itu kita berlindung dengan merendahkan diri dan memohon pertolongan-Nya tanpa mengeluh dan memprotes. | |||
Karena jika kita ridha akan sifat ketuhanan-Nya (Rububiyah-Nya) yang menyeluruh, maka selama itu pula kita harus ridha dan menerima dengan total apa yang diberikan-Nya kepada kita melalui sifat rububiyah-Nya. | |||
Adapun keluhan yang mengisyaratkan penolakan dan keberatan atas qadha dan qadar-Nya, ia persis seperti mengkritik ketentuan Ilahi yang adil dan meragukan rahmat-Nya yang amat luas. Dan siapa pun yang mengkritik takdirNya akan terkapar oleh takdir itu sendiri, dan yang meragukan rahmat Allah akan terhalang dari rahmat itu. Sebab, sebagaimana menggunakan tangan yang patah untuk membalas dendam akan memperparah kondisinya, demikian pula menghadapi musibah dengan keluh kesah, kerisauan, kritikan, dan kegelisahan akan melipatgandakan musibah tersebut. | |||
< | <span id="İkinci_Mesele:"></span> | ||
=== | ===Persoalan kedua:=== | ||
Jika anda membesar-besarkan musibah fisik, maka ia akan membesar. Dan setiap kali anda menyepelekannya, ia akan mengecil. Misalnya, setiap kali seseorang menaruh perhatian kepada ilusi yang dilihatnya di malam hari, maka ilusi tersebut akan menjadi besar. Padahal jika diabaikan, ilusi tersebut akan lenyap. Demikian pula, setiap kali seseorang mengganggu sarang lebah, maka lebah-lebah itu akan menyerangnya. Akan tetapi jika diabaikan, maka lebah-lebah itu akan diam di tempat. | |||
Demikian pula dengan musibah fisik. Ketika seseorang membesar-besarkan musibah tersebut, memfokuskan perhatian kepadanya serta merisaukannya, maka ia akan menembus jasad dan menancap di hati. Dan ketika musibah maknawi yang ada dalam hati tumbuh dan menjadi pendukung musibah fisik, maka musibah fisik akan berlanjut dan berlangsung lama. Akan tetapi, ketika seseorang dapat menghilangkan kerisauan dan kegelisahan dari akarnya dengan ridha terhadap qadha Allah dan bertawakkal terhadap rahmat-Nya, musibah fisik tersebut akan berangsur pergi dan menghilang, bagaikan pohon yang layu dan kering dedaunannya lantaran terpotong akarnya.Aku pernah mengungkapkan hakikat ini dalam untaian kalimat berikut: | |||
Tidak usah mengeluh wahai yang malang, namun bertawakkallah kepada Allah dalam menghadapi ujian yang menimpa. | |||
Mengeluh adalah musibah, bahkan melebihi musibah dan merupakan kesalahan besar. | |||
Jika engkau mengetahui Dzat yang mengujimu, maka musibah akan menjadi karunia dan kebahagiaan. | |||
Tidak usah mengeluh dan banyaklah bersyukur. Bunga tersenyum melihat rasa senang sang kekasih, burung bulbul. | |||
Jika tidak menemukan Allah, duniamu menjadi petaka dan derita, lenyap dan fana, serta sia-sia. | |||
Mari bertawakkal kepada-Nya dalam menghadapi musibah. | |||
Mengapa engkau mengeluhkan musibah yang kecil, padahal engkau terbebani dengan berbagai musibah seluas dunia. | |||
Tersenyumlah dengan sikap tawakkal dalam menghadapi musibah agar musibah itu pun tersenyum.Setiap kali tersenyum, ia akan mengecil hingga akhirnya menghilang. | |||
Ya, sebagaimana manusia meredam kemarahan musuhnya dengan menampakkan wajah ceria dan senyuman, kerasnya permusuhan akan melentur dan api perselisihan akan padam. Bahkan kondisinya bisa berubah menjadi sebuah persahabatan dan perdamaian. Demikian pula dampak dari sebuah musibah akan hilang apabila musibah tersebut dihadapi dengan tawakkal kepada Allah. | |||
< | <span id="Üçüncü_Mesele:"></span> | ||
=== | ===Persoalan ketiga:=== | ||
Setiap zaman tentu memiliki aturan dan ketentuan khusus. Pada masa kelalaian sekarang ini, musibah telah berubah bentuk. Bagi sebagian orang, musibah tidak selamanya merupakan musibah, tapi kemurahan Ilahi dan kelembutan dari-Nya. Aku melihat mereka yang mendapatkan musibah pada saat sekarang ini adalah orang-orang yang beruntung dan bahagia, selama hal tersebut tidak merusak agamanya. Dalam pandanganku, penyakit dan musibah tersebut tidak mengakibatkan bahaya sehingga harus dilawan dan penderitanya harus dikasihani. | |||
Sebab, aku menyaksikan setiap pemuda yang menderita sakit yang mendatangiku lebih memiliki komitmen kepada agama dan ikatan dengan akhirat dibanding pemuda lain yang sebaya.Hal tersebut membuat saya sadar bahwa penyakit dan penderitaan bagi orang-orang ini bukanlah musibah, tapi salah satu nikmat Allah . Sebab, nukhrawi penderitanya dan menjadi salah satu bentuk ibadah, wapenyakit tersebut memberikan manfaat yang besar bagi kehidupalaupun hal tersebut memberatkan kehidupan dunianya yang fana. Jika berada dalam kondisi sehat, pemuda ini bisa saja tidak mengerjakan perintah Ilahi sebagaimana ketika ia menderita sakit. Bahkan bisa jadi dia akan terbawa arus melakukan berbagai hal ceroboh, gegabah, dan buruk, seperti yang dilakukan para pemuda pada umumnya. | |||
< | <span id="Hâtime"></span> | ||
== | ==Penutup== | ||
Allah telah menyertakan kelemahan tak terbatas dan kefakiran tak berujung ke dalam diri manusia demi menunjukkan kekuasan-Nya yang mutlak dan rahmat-Nya yang sangat luas. Allah juga telah menciptakan manusia dalam bentuk dan penampilan spesifik, yang mana ia terkadang amat sedih dan kadang sangat gembira, untuk memperlihatkan goresan nama-nama-Nya yang mulia. | |||
Allah menciptakan manusia dalam bentuk mesin ajaib yang memiliki ratusan perangkat dan roda. Masing-masing memiliki kesenangan, tugas, upah, dan ganjaran yang berbeda. Seakan-akan nama-nama Allah yang mulia, yang termanifestasi di alam yang disebut sebagai makrokosmos ini, sebagian besar tampak pula di dalam diri manusia yang merupakan alam kecil (mikrokosmos). Di samping itu, berbagai hal yang bermanfaat seperti kesehatan, kese- lamatan, dan kenikmatan yang ada pada diri manusia mendorongnya untuk bersyukur dan melakukan berbagai kewajiban sehingga ma- nusia tersebut seakan-akan seperti mesin syukur. | |||
Demikian halnya pada berbagai musibah, penyakit, derita, dan berbagai faktor pengaruh yang menstimulasi dan menggerakkan emosinya, mendorong roda-roda dari mesin tersebut untuk bekerja dan bergerak. Dari tempat yang tersembunyi, ia rangsang mesin itu sehingga memancarkan kelemahan, ketidakberdayaan, dan ke- fakiran yang merupakan fitrah kemanusiaan. Musibah tidak mendorong manusia untuk berlindung kepada Allah dengan satu lidah saja, tapi dengan seluruh anggota tubuhnya. Dengan segala musibah,rintangan, dan hambatan tersebut, manusia tampak seperti sebuah pena yang berisi ribuan mata pena. Ia tuliskan garis kehidupan- nya dalam lembaran hidupnya, kemudian membentuk lembaran menakjubkan dari nama Allah yang mulia hingga menyerupai satu kasidah indah dan sebuah lembaran pengumuman. Dengan demikian, ia telah melaksanakan tugas fitrahnya. | |||
------ | ------ | ||
<center> [[Birinci Lem'a]] ⇐ [[Lem'alar]] | ⇒ [[Üçüncü Lem'a]] </center> | <center> [[Birinci Lem'a/id|CAHAYA PERTAMA]] ⇐ | [[Lem'alar/id|Al-Lama’ât]] | ⇒ [[Üçüncü Lem'a/id|CAHAYA KETIGA]] </center> | ||
------ | ------ | ||
düzenleme