İçeriğe atla

On Üçüncü Lem'a/id: Revizyonlar arasındaki fark

"Kesimpulannya, keadaan orang kafir bagaikan burung unta. Ketika ia melihat kematian sebagai lenyapnya eksistensi dirinya, ia pun berupaya menyelamatkan diri dengan meyakini adanya ke- hidupan akhirat, sebagaimana telah diberitakan secara tegas oleh al- Qur’an dan kitab-kitab samawi. Keyakinan inilah yang melahirkan optimisme baginya bahwa ia bakal tetap hidup sesudah mati.Namun ketika dikatakan kepadanya, “Jika kamu menyadari bahwa tempat kembali ada..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu
Değişiklik özeti yok
("Kesimpulannya, keadaan orang kafir bagaikan burung unta. Ketika ia melihat kematian sebagai lenyapnya eksistensi dirinya, ia pun berupaya menyelamatkan diri dengan meyakini adanya ke- hidupan akhirat, sebagaimana telah diberitakan secara tegas oleh al- Qur’an dan kitab-kitab samawi. Keyakinan inilah yang melahirkan optimisme baginya bahwa ia bakal tetap hidup sesudah mati.Namun ketika dikatakan kepadanya, “Jika kamu menyadari bahwa tempat kembali ada..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
173. satır: 173. satır:
Demikianlah halnya dengan orang kafir. Ia meninggalkan kekafiran mutlak akibat peringatan-peringatan dari al-Qur’an dan pindah ke kekafiran yang ragu-ragu. Jika ia ditanya bagaimana ia bisa enak-enakan hidup padahal kematian menghadangnya? Dan apakah orang yang akan diseret ke tiang gantungan dapat hidup tenang? maka ia menjawab, “Tidak... kematian bukanlah kehampaan karena kemungkinan ada keabadiaan.” Hal ini terjadi setelah orang-orang kafir menyadari keuniversalan al-Qur’an dan kebesaran rahmat Allah yang membuatnya bimbang dalam kekafirannya. Atau ia memasuk- kan kepalanya dalam lumpur kelalaian seperti burung unta agar ajal tidak menjemputnya, kubur tidak melihatnya, dan kefanaan tidak mengejarnya.
Demikianlah halnya dengan orang kafir. Ia meninggalkan kekafiran mutlak akibat peringatan-peringatan dari al-Qur’an dan pindah ke kekafiran yang ragu-ragu. Jika ia ditanya bagaimana ia bisa enak-enakan hidup padahal kematian menghadangnya? Dan apakah orang yang akan diseret ke tiang gantungan dapat hidup tenang? maka ia menjawab, “Tidak... kematian bukanlah kehampaan karena kemungkinan ada keabadiaan.” Hal ini terjadi setelah orang-orang kafir menyadari keuniversalan al-Qur’an dan kebesaran rahmat Allah yang membuatnya bimbang dalam kekafirannya. Atau ia memasuk- kan kepalanya dalam lumpur kelalaian seperti burung unta agar ajal tidak menjemputnya, kubur tidak melihatnya, dan kefanaan tidak mengejarnya.


<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
Kesimpulannya, keadaan orang kafir bagaikan burung unta. Ketika ia melihat kematian sebagai lenyapnya eksistensi dirinya, ia pun berupaya menyelamatkan diri dengan meyakini adanya ke- hidupan akhirat, sebagaimana telah diberitakan secara tegas oleh al- Qur’an dan kitab-kitab samawi. Keyakinan inilah yang melahirkan optimisme baginya bahwa ia bakal tetap hidup sesudah mati.Namun ketika dikatakan kepadanya, “Jika kamu menyadari bahwa tempat kembali adalah alam akhirat, lalu mengapa kamu tidak melaksanakan perintah-perintah agama yang telah diwajibkan kepadamu agar kamu bahagia di alam itu?
'''Elhasıl:''' O meşkuk küfür vasıtasıyla deve kuşu gibi mevt ve zevali idam manasında gördüğü vakit Kur’an ve semavî kitapların iman-ı bi’l-âhirete dair kat’î ihbaratı ona bir ihtimal verir. O kâfir, o ihtimale yapışır, o dehşetli elemi üzerine almaz. O vakit ona denilse: “Madem bâki bir âleme gidilecek, o âlemde güzel yaşamak için tekâlif-i diniye meşakkatini çekmek gerektir.
</div>


<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
Maka ia, didasari kebimbangan dalam kekafiran, menjawab, “Mungkin tidak ada alam lain selain alam dunia ini, jadi untuk apa saya menyusahkan diri sendiri?”. Artinya, ia menyelamatkan diri dari getirnya ketiadaan eksistensi diri setelah kematian dengan berpegang pada janji al-Qur’an tentang hari akhirat yang kekal. Namun, ketika kewajiban-kewajiban agama disodorkan kepadanya, ia mengangkat tangan dan mengabaikan kewajiban-kewajiban itu karena masih adanya kekufuran yang bimbang itu.
O adam şekk-i küfrî cihetiyle der: “Belki yoktur, yok için neden çalışayım?” Yani vaktâ ki o hükm-ü Kur’an’ın verdiği ihtimal-i beka cihetiyle idam-ı ebedî âlâmından kurtulur ve meşkuk küfrün verdiği ihtimal-i adem cihetiyle tekâlif-i diniye meşakkati ona müteveccih olur, ona karşı küfür ihtimaline yapışır, o zahmetten kurtulur.
</div>


<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
Dari sisi ini maka orang kafir menyangka bahwa ia menikmati kehidupan dunia lebih banyak dari orang mukmin karena ia tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban agama dan pada saat yang sama ia terhindar dari siksa neraka karena ia juga merasa beriman. Namun, sebenarnya hal ini adalah kesalahan yang berasal dari bisikan setan yang tidak memiliki manfaat dan semu.
Demek, bu nokta-i nazarda, mü’minden ziyade bu hayatta lezzet alır zannediyor. Çünkü tekâlif-i diniyenin zahmetinden ihtimal-i küfrî ile kurtuluyor ve âlâm-ı ebediyeden ise ihtimal-i imanî cihetiyle kendi üzerine almaz. Halbuki bu mağlata-i şeytaniyenin hükmü, gayet sathî ve faydasız ve muvakkattır.
</div>


<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">