Sekizinci Söz/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("Wahai diriku! Wahai yang ikut menyimak cerita di atas! Jika engkau tidak ingin menjadi seperti orang pesimis di atas dan ingin menjadi seperti saudaranya yang optimis, camkan pesan al- Qur’an, tunduk dan berpeganglah pada ketetapannya, serta amalkan hukum-hukumnya." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    ("Kedua saudara di atas, yang satu jiwa seorang mukmin dan hati orang yang saleh, sementara yang lainnya jiwa orang kafir dan hati orang fasik." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    49. satır: 49. satır:
    Jika engkau tidak ingin menjadi seperti orang pesimis di atas dan ingin menjadi seperti saudaranya yang optimis, camkan pesan al- Qur’an, tunduk dan berpeganglah pada ketetapannya, serta amalkan hukum-hukumnya.
    Jika engkau tidak ingin menjadi seperti orang pesimis di atas dan ingin menjadi seperti saudaranya yang optimis, camkan pesan al- Qur’an, tunduk dan berpeganglah pada ketetapannya, serta amalkan hukum-hukumnya.


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jika engkau telah memahami berbagai hakikat yang terdapat pada cerita singkat di atas, engkau dapat menerapkan hakikat agama, dunia, manusia dan iman padanya. Aku akan menjelaskan pilar-pilar dasarnya, lalu detail-detailnya bisa kau simpulkan sendiri.
    Şu hikâye-i temsiliyede olan hakikatleri eğer fehmettin ise hakikat-i dini ve dünyayı ve insanı ve imanı ona tatbik edebilirsin. Mühimlerini ben söyleyeceğim, incelerini sen kendin istihraç et.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kedua saudara di atas, yang satu jiwa seorang mukmin dan hati orang yang saleh, sementara yang lainnya jiwa orang kafir dan hati orang fasik.
    İşte bak! O iki kardeş ise biri ruh-u mü’min ve kalb-i salihtir. Diğeri, ruh-u kâfir ve kalb-i fâsıktır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Adapun jalan sebelah kanan adalah jalan al-Qur’an dan iman, sementara jalan sebelah kiri adalah jalan kemaksiatan dan keku- furan.
    Ve o iki tarîkten sağ ise tarîk-i Kur’an ve imandır, sol ise tarîk-i isyan ve küfrandır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">

    11.43, 5 Kasım 2024 tarihindeki hâli

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

    “Allah, tiada Tuhan selain Dia Yang Mahahidup dan Berdiri sendiri.”(QS. al-Baqarah [2]: 255). “Agama (yang diakui) di sisi Allah hanya Islam.” (QS. Âli `Imrân [3]: 19).

    Jika engkau ingin memahami apa itu dunia dan peran jiwa ma- nusia di dalamnya; apa nilai agama bagi manusia dan bagaimana tanpa agama yang benar dunia akan berubah menjadi penjara menakutkan; bahwa orang ateis merupakan makhluk yang paling menderita; bah- wa yang bisa memecahkan misteri alam dan yang bisa menyelamatkan jiwa manusia dari kegelapan hanya Dia, Allah, tiada Tuhan selain Dia. Ya, jika engkau ingin memahami semua itu perhatikan dan simaklah cerita imajiner berikut ini:

    Dahulu kala ada dua orang bersaudara yang bersama-sama melakukan sebuah perjalanan panjang. Akhirnya perjalanan mereka sampai di persimpangan jalan. Di sana mereka melihat seorang lelaki yang berwibawa, lalu mereka bertanya kepada orang tersebut, “Mana jalan yang paling baik di antara keduanya?”Orang itu menjawab, “Di jalan sebelah kanan ada keharusan dan kewajiban untuk mengikuti hukum dan aturan. Namun di balik be- ban dan kewajiban tersebut terdapat keselamatan dan kebahagiaan. Adapun jalan yang sebelah kiri, ia berisi kebebasan. Namun di balik kebebasan tersebut terdapat bahaya dan penderitaan. Sekarang kalian boleh memilih yang mana di antara keduanya.”

    Setelah mendengar ucapan orang tersebut, saudara yang memi- liki perangai baik memilih jalan sebelah kanan seraya berkata, “Aku bertawakkal kepada Allah.” Lalu ia berjalan dengan mengikuti hukum dan aturan yang ada. Sebaliknya, saudaranya yang sesat lebih memilih jalan sebelah kiri karena sekadar mengikuti keinginan untuk bebas, tanpa beban.

    Sekarang perhatikan orang ini, yang melewati jalan yang se- cara lahiriah mudah dan ringan, namun hakikatnya berat dan penat. Setelah melewati lembah yang dalam dan puncak yang tinggi, ia ma- suk ke dalam padang pasir yang lengang. Ia pun mendengar suara yang menakutkan. Ternyata seekor singa besar telah keluar dari tempatnya sedang menuju kepadanya. Ia berlari karena takut dan cemas. Tidak lama kemudian ia bertemu dengan sumur tua sedalam enam puluh hasta. Ia melompat ke dalam sumur tersebut untuk mencari kesela- matan. Ketika jatuh ke dalam, kedua tangannya tersangkut di tangkai sebuah pohon sehingga bergantung padanya. Pohon itu memiliki dua akar yang tumbuh di tembok sumur. Pada keduanya terdapat dua ekor tikus; hitam dan putih. Kedua tikus tersebut sedang menggigit akar tadi dengan giginya yang tajam. Ketika melihat ke atas, singa itu ber- diri seperti penjaga di atas mulut sumur. Ketika melihat ke bawah, ada ular yang sangat besar sedang mengangkat kepala hendak mendeka- tinya sementara jaraknya sekitar tiga puluh hasta. Mulut ular itu be- sar seluas sumur. Lalu ia juga melihat sejumlah serangga pengganggu yang bersengat mengelilinginya. Kemudian ia melihat kepada pohon tersebut yang ternyata adalah pohon tin. Hanya saja, anehnya ia meng- hasilkan beragam buah, mulai dari kenari hingga delima.

    Akibat kesalahpahaman dan kebodohannya, orang ini tidak me- mahami bahwa hal itu tidak lumrah. Semua itu tidak mungkin terja- di secara kebetulan. Ia juga tidak memahami bahwa semua persoalan aneh ini mengandung rahasia, serta bahwa di balik semuanya ada yang mengatur dan menjalankannya.Ketika kalbu orang itu merintih, lalu jiwanya meronta, dan akalnya terheran-heran melihat kondisi yang ia alami, tiba-tiba nafsu ammârah-nya mulai melahap sejumlah buah yang ada di pohon tanpa peduli dengan kondisi sekitar seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Ia ti- dak mendengar teriakan kalbu dan jiwanya seraya menipu diri dengan dirinya sendiri. Padahal sebagian dari buah tadi sebenarnya beracun dan berbahaya.

    Demikianlah, kita melihat bahwa orang malang tersebut diper- lakukan seperti yang disebutkan dalam hadis qudsi:“Aku bersama prasangka hamba-Ku terhadap diri-Ku.”(*[1])Maksud- nya, Aku memperlakukan hamba-Ku sesuai dengan pengetahuannya tentang diri-Ku. Nah, karena orang malang tersebut berlaku seperti itu, maka ia akan diperlakukan dengan hal yang sama. Ia pasti akan menuai perlakuan seperti itu lantaran menganggap semua yang ia li- hat sebagai hal yang biasa tanpa ada maksud dan hikmah di baliknya, seolah-olah itulah kenyataan sebenarnya. Hal itu karena kebodohan dan prasangkanya yang buruk. Sehingga ia pun bergelimang dalam penderitaan. Ia tidak bisa mati agar selamat dari hal itu, dan juga tidak hidup mulia. Demikianlah ia tersiksa dalam penderitaan. Sekarang kita tinggalkan orang malang yang sedang menderita ini untuk me- ngetahui kondisi yang terjadi pada saudara yang lain.

    Orang yang berakal dan penuh berkah itu terus menempuh jalan tanpa mendapatkan kesulitan seperti saudaranya. Pasalnya, ia hanya memikirkan hal-hal yang indah karena memiliki akhlak yang mulia. Ia berkhayal tentang sesuatu yang indah dan baik. Karena itu, ia merasa nyaman dengan dirinya dan tidak menjumpai kesulitan sebagaimana saudaranya. Sebab, ia mengetahui aturan dan bertindak layaknya seo- rang pengikut sehingga ia mendapat kemudahan. Ia pun berjalan de- ngan bebas dalam kondisi aman dan selamat.Demikianlah ia berjalan sampai bertemu dengan sebuah kebun yang berisi bunga-bunga indah dan buah yang nikmat. Namun di da- lamnya juga terdapat bangkai binatang dan bau busuk yang bertebaran di sana sini karena tidak adanya perhatian terhadap kebersihan. Saudaranya yang malang sebelumnya juga telah masuk ke kebun semacam itu. Hanya saja, ia sibuk menyaksikan dan memperhatikan bangkai yang busuk hingga merasa mual dan pusing. Akhirnya, ia meninggal- kan kebun tadi tanpa mendapatkan kenyamanan untuk meneruskan perjalanan. Adapun saudara yang satu ini, ia menerapkan kaidah yang berbunyi, “Lihatlah hal terbaik dari segala sesuatu!” Maka, ia meng- abaikan bangkai tersebut dan tidak menoleh kepadanya sama sekali. Bahkan, ia mengambil manfaat dari sisi baik yang terdapat di kebun. Setelah beristirahat di dalamnya, ia pun meneruskan perjalanan.

    Sebagaimana saudaranya, ia juga memasuki padang pasir yang luas. Tiba-tiba ia mendengar suara singa yang hendak menyerang- nya. Ia pun merasa takut, namun tidak seperti takut yang dialami oleh saudaranya. Sebab, dengan prasangkanya yang baik dan pikirann- ya yang positif, ia berkata di dalam hati, “Pasti ada yang menguasai padang pasir ini. Jadi, singa ini pasti merupakan salah satu pelayan yang berada di bawah perintahnya.” Karena itu, ia merasa tenang. Na- mun ia tetap berlari sampai bertemu dengan sebuah sumur tua sedalam enam puluh hasta. Ia melompat ke dalamnya dan seperti saudaranya ia berpegang pada tangkai sebuah pohon yang berada di pertengahan sumur. Ia pun bergantung padanya. Ia melihat bahwa ada dua hewan yang sedang memotong akar-akar pohon tersebut sedikit demi sedikit. Ketika melihat ke atas, ia melihat singa. Ketika melihat ke bawah ter- dapat seekor ular besar. Lalu sama seperti saudaranya ia melihat pada dirinya dalam kondisi yang aneh. Ia juga takut dengan apa yang terjadi. Hanya saja ti- dak setakut saudaranya. Pasalnya, perangainya yang baik dan pikiran- nya yang positif membuatnya selalu melihat sisi baik dari segala se- suatu.

    Karena itulah ia berpikir, “Semua hal menakjubkan ini pasti memiliki hubungan yang kuat antara satu dan yang lain. Seakan-akan ada satu pemberi perintah yang menggerakkannya. Jadi, di balik peris- tiwa yang menakjubkan ini pasti ada rahasia dan misteri. Ya, semua ini mengacu kepada perintah penguasa yang tersembunyi. Karena itu, aku tidak sendirian. Namun penguasa yang tersembunyi itu pasti me- lihat, mengawasi, dan sedang mengujiku, serta dengan sebuah tujuan ia mengajak dan menggiringku ke suatu tempat.”

    Maka, dari cara berpikir yang positif dan rasa takut yang mela- hirkan kenikmatan semacam ini muncul sebuah pertanyaan, “Kira-ki- ra siapa yang sedang mengujiku dan ingin memperkenalkan dirinya kepadaku? Siapa yang menggiringku di jalan aneh ini menuju suatu tujuan?” Kemudian dari rasa rindu untuk mengenal, muncul rasa cin- ta kepada pemilik misteri tersebut. Dari cinta itu muncul keinginan untuk memecahkan misteri yang ada. Lalu dari keinginan tersebut tumbuh kehendak untuk mengambil kondisi yang diterima oleh sang pemilik misteri tadi sesuai dengan apa yang ia cintai dan ia ridai.

    Setelah itu, ia melihat ke bagian atas pohon. Ternyata ia adalah pohon tin. Namun, ujung dahannya berisi berbagai macam buah. Ke- tika itulah rasa takutnya menjadi lenyap, sebab ia mengetahui dengan yakin bahwa pohon tin tersebut tidak lain merupakan indeks dan galeri. Sang penguasa yang tersembunyi memasang seluruh sampel buah yang terdapat di dalam kebun dan tamannya di pohon tersebut lewat sebuah misteri dan cara yang menakjubkan. Hal itu sebagai pe- tunjuk tentang berbagai makanan dan kenikmatan yang disediakan untuk para tamunya. Jika tidak demikian, tentu sebuah pohon tidak akan bisa memberi buah sebanyak ribuan pohon.

    Setelah itu, ia mu- lai berdoa. Ia memohon dengan penuh harap agar diilhamkan kunci pembuka misteri tadi. Ia berujar:“Wahai penguasa negeri ini! Aku berada dalam genggamanmu. Aku berlindung kepadamu. Aku adalah pelayanmu. Aku mengharap ridamu. Aku mencarimu.” Seusai berdoa, dinding sumur itu pun seketika terbelah. Tampak sebuah pintu menuju kebun yang rimbun, suci dan indah. Barangkali mulut ular itu berubah menjadi pintu tersebut. Sementara singa dan ularnya menjadi seperti pelayan. Maka, keduanya mulai mengajak- nya menuju kebun tadi hingga singa itu berubah bentuk menjadi kuda yang jinak.

    Wahai diri yang malas! Wahai sahabat dalam khayalan! Mari kita bandingkan antara kondisi kedua saudara di atas untuk mengetahui bahwa kebaikan menghasilkan kebaikan, dan keburukan akan mendatangkan keburukan.

    Musafir pesimis yang meniti jalan sebelah kiri itu setiap waktu berpotensi masuk ke dalam mulut ular. Karenanya, ia senantiasa mera- sa takut dan cemas. Sementara, musafir yang optimis tersebut diajak ke kebun indah yang memiliki beragam buah. Lalu, kalbu orang pesimis itu tercabik-cabik dalam rasa takut yang luar biasa, sementara orang yang optimis tersebut melihat segala sesuatu yang aneh sebagai sebuah pelajaran yang indah, rasa takut yang nikmat, dan pengetahuan yang disuka. Orang pesimis itu merasa sangat tersiksa akibat kesepian dan putus asa, sementara orang yang optimis tersebut merasa nyaman de- ngan rasa harap dan rindunya.Selanjutnya, orang yang sial itu melihat dirinya dihukum—la- yaknya narapidana—dengan serangan serangga yang mengganggu, sementara orang yang beruntung tersebut merasakan kenikmatan layaknya tamu yang mulia. Bagaimana tidak, sedangkan ia menjadi tamu bagi tuan rumah yang sangat pemurah. Ia merasa nyaman dan bersenang-senang dengan para pelayan tuan rumah.Kemudian, orang yang bernasib buruk itu mempercepat siksanya dengan memakan makanan yang secara lahiriah nikmat, namun pada hakikatnya beracun. Pasalnya, buah-buahan itu hanyalah sampel. Ia hanya diizinkan untuk dicicipi guna menjadi pemicu untuk meminta (barang) orisinalnya dan perangsang untuk menikmati buah aslinya. Jika tidak demikian, tentu ia tidak diperbolehkan untuk melahapnya seperti hewan. Adapun orang yang bernasib baik dan mulia tersebut, ia mencicipinya dengan penuh kesadaran di mana ia menunda untuk memakannya dan menikmati masa penantiannya. Lalu, orang yang malang itu telah berbuat zalim kepada dirinya sendiri dengan cara menempatkan diri pada kegelapan dan ilusi yang pekat sehingga seolah-olah ia sedang berada di neraka lantaran tidak melihat berbagai hakikat yang demikian terang laksana siang dan berbagai kondisi indah. Karenanya, ia tidak layak mendapat rasa kasi- han dan tidak berhak mengeluh.

    Kondisinya sama seperti orang yang berada di tengah-tengah orang yang dicintai pada musim panas di se- buah taman indah dalam satu pesta kebahagiaan. Namun karena tidak merasa puas dengannya, ia mereguk minuman keras hingga mabuk. Akhirnya ia berteriak dan merintih serta mulai menangis. Ia mengira dirinya sedang berada di puncak musim dingin. Ia juga mengira dirinya sedang lapar, telanjang, dan berada di tengah-tengah binatang buas. Nah, sebagaimana orang ini tidak layak dikasihani karena telah berbuat zalim kepada dirinya sendiri dengan menganggap temannya sebagai binatang buas, demikian pula dengan musafir malang di atas. Sebaliknya, orang beruntung tersebut melihat hakikat. Hakikat tersebut demikian indah. Dengan mengetahui keindahan hakikat yang ada, ia juga menghormati kesempurnaan pemilik hakikat sehingga layak mendapat kasih sayangnya. Dengan demikian, engkau dapat mengetahui salah satu rahasia ayat yang berbunyi: “Kebaikan yang kau terima berasal dari Allah. sementara, keburu- kan yang kau terima berasal dari dirimu sendiri.” (QS. an-Nisâ [4]: 79).

    Jika engkau membandingkan seluruh perbedaan di atas dan se- jenisnya, tentu engkau mengetahui bahwa nafsu ammârah milik orang pertama telah menghasilkan neraka maknawi dalam dirinya. Semen- tara yang kedua, lewat niat, prasangka, perangai dan pikiran baiknya mendapatkan limpahan karunia, kebahagiaan dan kebaikan.

    Wahai diriku! Wahai yang ikut menyimak cerita di atas! Jika engkau tidak ingin menjadi seperti orang pesimis di atas dan ingin menjadi seperti saudaranya yang optimis, camkan pesan al- Qur’an, tunduk dan berpeganglah pada ketetapannya, serta amalkan hukum-hukumnya.

    Jika engkau telah memahami berbagai hakikat yang terdapat pada cerita singkat di atas, engkau dapat menerapkan hakikat agama, dunia, manusia dan iman padanya. Aku akan menjelaskan pilar-pilar dasarnya, lalu detail-detailnya bisa kau simpulkan sendiri.

    Kedua saudara di atas, yang satu jiwa seorang mukmin dan hati orang yang saleh, sementara yang lainnya jiwa orang kafir dan hati orang fasik.

    Adapun jalan sebelah kanan adalah jalan al-Qur’an dan iman, sementara jalan sebelah kiri adalah jalan kemaksiatan dan keku- furan.

    Ve o yoldaki bahçe ise cemiyet-i beşeriye ve medeniyet-i insaniye içinde muvakkat hayat-ı içtimaiyedir ki hayır ve şer, iyi ve fena, temiz ve pis şeyler beraber bulunur. Âkıl odur ki: خُذْ مَا صَفَا دَعْ مَا كَدَرْ kaidesiyle amel eder, selâmet-i kalp ile gider.

    Ve o sahra ise şu arz ve dünyadır. Ve o arslan ise ölüm ve eceldir. Ve o kuyu ise beden-i insan ve zaman-ı hayattır. Ve o altmış arşın derinlik ise ömr-ü vasatî ve ömr-ü galibî olan altmış seneye işarettir. Ve o ağaç ise müddet-i ömür ve madde-i hayattır. Ve o siyah ve beyaz iki hayvan ise gece ve gündüzdür.

    Ve o ejderha ise ağzı kabir olan tarîk-i berzahiye ve revak-ı uhrevîdir. Fakat o ağız, mü’min için zindandan bir bahçeye açılan bir kapıdır.

    Ve o haşerat-ı muzırra ise musibat-ı dünyeviyedir. Fakat mü’min için gaflet uykusuna dalmamak için tatlı ikazat-ı İlahiye ve iltifatat-ı Rahmaniye hükmündedir.

    Ve o ağaçtaki yemişler ise dünyevî nimetlerdir ki Cenab-ı Kerîm-i Mutlak, onları âhiret nimetlerine bir liste hem ihtar edici hem müşabihleri hem cennet meyvelerine müşterileri davet eden numuneler suretinde yapmış.

    Ve o ağacın birliğiyle beraber muhtelif başka başka meyveler vermesi ise kudret-i Samedaniyenin sikkesine ve rububiyet-i İlahiyenin hâtemine ve saltanat-ı uluhiyetin turrasına işarettir. Çünkü “Bir tek şeyden her şeyi yapmak” yani bir topraktan bütün nebatat ve meyveleri yapmak, hem bir sudan bütün hayvanatı halk etmek, hem basit bir yemekten bütün cihazat-ı hayvaniyeyi icad etmek; bununla beraber “Her şeyi bir tek şey yapmak” yani zîhayatın yediği gayet muhtelifü’l-cins taamlardan o zîhayata bir lahm-ı mahsus yapmak, bir cild-i basit dokumak gibi sanatlar; Zat-ı Ehad-i Samed olan Sultan-ı ezel ve ebed’in sikke-i hâssasıdır, hâtem-i mahsusudur, taklit edilmez bir turrasıdır. Evet, bir şeyi her şey ve her şeyi bir şey yapmak; her şeyin Hâlık’ına has ve Kādir-i külli şey’e mahsus bir nişandır, bir âyettir.

    Ve o tılsım ise sırr-ı iman ile açılan sırr-ı hikmet-i hilkattir ve o miftah ise   يَا اَللّٰهُ ❀ لَااِلٰهَ اِلَّااللّٰهُ ❀ اَللّٰهُ لااِلٰهَ اِلَّاهُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ dur.

    Ve o ejderha ağzı bahçe kapısına inkılab etmesi ise işarettir ki kabir ehl-i dalalet ve tuğyan için vahşet ve nisyan içinde, zindan gibi sıkıntılı ve bir ejderha batnı gibi dar bir mezara açılan bir kapı olduğu halde, ehl-i Kur’an ve iman için zindan-ı dünyadan bostan-ı bekaya ve meydan-ı imtihandan ravza-i cinana ve zahmet-i hayattan rahmet-i Rahman’a açılan bir kapıdır. Ve o vahşi arslanın dahi munis bir hizmetkâra dönmesi ve musahhar bir at olması ise işarettir ki mevt, ehl-i dalalet için bütün mahbubatından elîm bir firak-ı ebedîdir. Hem kendi cennet-i kâzibe-i dünyeviyesinden ihraç ve vahşet ve yalnızlık içinde zindan-ı mezara idhal ve hapis olduğu halde, ehl-i hidayet ve ehl-i Kur’an için öteki âleme gitmiş eski dost ve ahbaplarına kavuşmaya vesiledir. Hem hakiki vatanlarına ve ebedî makam-ı saadetlerine girmeye vasıtadır. Hem zindan-ı dünyadan bostan-ı cinana bir davettir. Hem Rahman-ı Rahîm’in fazlından kendi hizmetine mukabil ahz-ı ücret etmeye bir nöbettir. Hem vazife-i hayat külfetinden bir terhistir. Hem ubudiyet ve imtihanın talim ve talimatından bir paydostur.

    Elhasıl: Her kim hayat-ı fâniyeyi esas maksat yapsa zâhiren bir cennet içinde olsa da manen cehennemdedir. Ve her kim hayat-ı bâkiyeye ciddi müteveccih ise saadet-i dâreyne mazhardır. Dünyası ne kadar fena ve sıkıntılı olsa da dünyasını, cennetin intizar salonu hükmünde gördüğü için hoş görür, tahammül eder, sabır içinde şükreder.

    اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ اَهْلِ السَّعَادَةِ وَالسَّلَامَةِ وَالْقُرْآنِ وَالْاِيمَانِ آمِينَ ❀ اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِهِ وَصَحْبِهِ بِعَدَدِ جَمِيعِ الْحُرُوفَاتِ الْمُتَشَكِّلَةِ فِي جَمِيعِ الْكَلِمَاتِ الْمُتَمَثِّلَةِ بِاِذْنِ الرَحْمٰنِ فِي مَرَايَا تَمَوُّجَاتِ الْهَوَاءِ عِنْدَ قِرَائَةِ كُلِّ كَلِمَةٍ مِنَ الْقُرْآنِ مِنْ كُلِّ قَارِئٍ مِنْ اَوَّلِ النُّزُولِ اِلٰى آخِرِ الزَّمَانِ وَارْحَمْنَا وَوَالِدَيْنَا وَارْحَمِ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِعَدَدِهَا بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ ❀ آمِينَ وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ


    1. *Lihat: al-Bukhari dalam bab tauhid 35, 15; Muslim dalam bab zikir 2,19, dan bab taubat 1; at-Tirmidzi dalam bab zuhud 51, dan da`awât 131; Ibnu Majah dalam bab adab 58.