77.975
düzenleme
("'''Jawaban:'''Sebab, takdir telah menetapkan kematiannya dengan senapan tersebut. Jika engkau mengasumsikan kematiannya bukan karena ditembak, berarti engkau menganggap ketidakterkaitan takdir. Lalu, dari mana engkau bisa memastikan kematiannya?! Terkecuali engkau meninggalkan pendekatan Ahlu Sunnah lalu masuk ke dalam berbagai kelompok sesat yang menganggap adanya takdir bagi sebab dan takdir bagi akibat seperti kalangan Jabariyah. Atau, engkau meng- in..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
("------ <center> KALIMAT KEDUA PULUH LIMA ⇐ | Al-Kalimât | ⇒ KALIMAT KEDUA PULUH TUJUH </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
(Aynı kullanıcının aradaki diğer 79 değişikliği gösterilmiyor) | |||
73. satır: | 73. satır: | ||
'''Jawaban:'''Sebab, takdir telah menetapkan kematiannya dengan senapan tersebut. Jika engkau mengasumsikan kematiannya bukan karena ditembak, berarti engkau menganggap ketidakterkaitan takdir. Lalu, dari mana engkau bisa memastikan kematiannya?! Terkecuali engkau meninggalkan pendekatan Ahlu Sunnah lalu masuk ke dalam berbagai kelompok sesat yang menganggap adanya takdir bagi sebab dan takdir bagi akibat seperti kalangan Jabariyah. Atau, engkau meng- ingkari adanya takdir seperti kalangan Muktazilah. Adapun kita se- bagai ahlul haq berpendapat bahwa andaikan ia tidak ditembak, maka kematian orang tersebut tidak kita ketahui. Sementara kalangan Ja- bariyah berpendapat bahwa andaikan ia tidak ditembak, ia tetap mati. Sedangkan kalangan Muktazilah berpendapat bahwa andaikan ia ti- dak ditembak, ia tidak mati. | '''Jawaban:'''Sebab, takdir telah menetapkan kematiannya dengan senapan tersebut. Jika engkau mengasumsikan kematiannya bukan karena ditembak, berarti engkau menganggap ketidakterkaitan takdir. Lalu, dari mana engkau bisa memastikan kematiannya?! Terkecuali engkau meninggalkan pendekatan Ahlu Sunnah lalu masuk ke dalam berbagai kelompok sesat yang menganggap adanya takdir bagi sebab dan takdir bagi akibat seperti kalangan Jabariyah. Atau, engkau meng- ingkari adanya takdir seperti kalangan Muktazilah. Adapun kita se- bagai ahlul haq berpendapat bahwa andaikan ia tidak ditembak, maka kematian orang tersebut tidak kita ketahui. Sementara kalangan Ja- bariyah berpendapat bahwa andaikan ia tidak ditembak, ia tetap mati. Sedangkan kalangan Muktazilah berpendapat bahwa andaikan ia ti- dak ditembak, ia tidak mati. | ||
Keenam:(*<ref>*Sebuah hakikat yang khusus untuk pakar ulama—Penulis.</ref>)“Kecenderungan” yang merupakan inti landasan ikh- tiar adalah persoalan yang bersifat maknawi menurut kalangan al-Mâturidiyah. Ia bisa berada di tangan hamba. Akan tetapi, bagi kalangan al-Asy’ariyah, kecenderungan tersebut benar-benar ada. Ia tidak ber- ada di tangan hamba. Namun mereka berpendapat bahwa penggunaan kecenderungan tersebut merupakan persoalan yang bersifat maknawi di tangan hamba. Karena itu, kecenderungan dan penggunaannya me- rupakan dua hal yang bersifat maknawi. Keduanya tidak memiliki wu- jud lahiriah yang nyata. Sesuatu yang bersifat maknawi, keberadaannya tidak membutuhkan sebab sempurna yang menuntut adanya kebutu- han yang bisa meniadakan ikhtiar. Namun, ketika sebab dari sesuatu yang bersifat maknawi itu menempati sebuah posisi yang cukup kuat, keberadaannya bisa menjadi jelas dan bisa ditinggalkan. Ketika itulah al-Qur’an berkata kepadanya, “Ini buruk, jangan kau lakukan!” | |||
Ya, andaikan manusia yang mencipta semua perbuatannya serta ia yang memiliki kemampuan untuk mencipta, tentu ikhtiar menjadi tiada. Sebab, seperti kaidah baku dalam ilmu ushul dan hikmah, “Se- suatu yang tidak wajib, tidak akan ada.” Artinya, sesuatu tidak berwu- jud selama wujudnya tidak wajib. Dengan kata lain, harus ada sebab sempurna terlebih dahulu, baru kemudian ia ada. Adapun sebab yang sempurna mengharuskan keberadaan akibat. Ketika itulah tidak ada ikhtiar. | |||
'''Barangkali engkau berkata:'''“Memilih” tanpa sebab adalah mus- tahil. Sementara perbuatan manusia yang disebut sesuatu yang bersifat maknawi di mana kadang disertai usaha dan kadang tidak, menuntut adanya pilihan tanpa sebab jika sebab tersebut memang tidak ada. Ini menghancurkan salah satu prinsip ilmu kalam yang paling utama.” | |||
''' | |||
'''Jawaban:'''“Mengutamakan” tanpa ada sebab adalah mustahil. Berbeda dengan “memilih” tanpa sebab adalah boleh dan nyata. Ke- hendak ilahi adalah salah satu sifat Allah. Ia melakukan perbuatan semacam itu (yakni pilihan Allah adalah sebab). | |||
''' | |||
'''Barangkali engkau bertanya:'''“Selama yang menciptakan pembunuhan adalah Allah, lalu mengapa manusia disebut sebagai pembunuh?” | |||
''' | |||
'''Jawaban:'''Sesuai kaidah ilmu sharaf (sintaksis), partisipel aktif (isim fâ`il) adalah kata bentukan dari nomina verbal (masdar = kata dasar) yang bersifat relatif. Ia tidak terbentuk dari (akibat) yang di- | |||
''' | hasilkan lewat masdar yang jelas ada. Dalam hal ini, masdar adalah perbuatan kita. Dengan itu, kita menyandang gelar sebagai pelaku (pembunuh). Sementara yang dihasilkan lewat masdar (akibat) adalah ciptaan Allah. Tanggungjawab yang dipikul pelaku tidak diambil dari akibat. | ||
'''Ketujuh:'''Kehendak dan ikhtiar parsial manusia sangat lemah dan bersifat relatif. Namun Allah sebagai Dzat Yang Mahabijak te- lah menjadikan kehendak yang parsial dan lemah tadi sebagai syarat bagi kehendak-Nya yang bersifat universal. Seolah-olah secara implisit Dia berkata, “Wahai hamba-Ku, jalan mana saja yang kau pilih untuk dilalui, Aku akan menggiringmu kepadanya. Karena itu, tanggung- jawab ada padamu.” Sebagai contoh: suatu saat engkau menggendong seorang anak kecil yang lemah seraya memberikan pilihan kepadanya, “Ke mana saja engkau ingin pergi, aku akan membawamu kepadanya.” Lalu si anak kecil itu ingin naik ke atas gunung yang tinggi, dan engkau pun membawanya ke sana. | |||
''' | |||
Hanya saja, ia kemudian sakit atau terjatuh. Ketika itu engkau pasti berkata kepadanya, “Engkau sendiri yang me- minta!” Engkau pun memberi teguran dan peringatan keras kepada- nya. Begitu pula Allah Dzat Yang Mahabijak. Dia menjadikan kehen- dak hamba-Nya yang lemah sebagai syarat lazim bagi kehendak-Nya yang bersifat universal. | |||
'''Kesimpulan:''' | |||
''' | Wahai manusia, engkau memiliki kehendak yang sangat lemah. Namun, ia sangat mampu berbuat buruk dan merusak, tapi lemah da- lam berbuat baik. Kehendak inilah yang disebut dengan ikhtiar. Maka, persembahkan doa untuk salah satu dari kedua tangan kehendak itu, agar bisa menggapai surga yang merupakan buah dari rangkaian ke- baikan dan bisa meraih kebahagiaan abadi yang merupakan salah satu bunganya. Lalu, persembahkan istigfar untuk tangan yang lain agar tangannya tak mampu melakukan keburukan dan tak dapat meraih buah pohon terlaknat; zaqqum neraka. | ||
Dengan kata lain, doa dan tawakkal menopang kecenderungan yang positif dengan kekuatan besar, sebagaimana istigfar dan taubat memutus dan membatasi kecenderungan yang negatif. | |||
< | <span id="ÜÇÜNCÜ_MEBHAS"></span> | ||
=== | ===BAHASAN KETIGA=== | ||
Beriman kepada takdir termasuk salah satu rukun iman. Artinya, segala sesuatu terwujud dengan takdir Allah. Berbagai bukti yang menunjukkan takdir Allah sangat banyak; tak terhitung. Di sini, kami akan menjelaskan sejauh mana kekuatan dan keluasan rukun iman ini dalam bentuk sederhana dan jelas pada pendahuluan berikut. | |||
'''Pendahuluan''' | |||
''' | Segala sesuatu, sebelum dan sesudah keberadaannya, tertulis dalam satu kitab. Hal ini ditegaskan oleh al-Qur’an dalam banyak ayat. Di antaranya adalah: | ||
“Tidak ada yang basah dan yang kering kecuali terdapat dalam kitab yang nyata (lauhil mahfudz).” (QS. al-An’am [6]: 59).Ketentuan al-Qur’an tersebut dibenarkan oleh seluruh alam yang merupakan qur’an qudrah ilahi yang besar lewat ayat-ayat tatanan, keseimbangan, keteraturan, keistimewaan, pembentukan, penghiasan, dan berbagai ayat penciptaan lainnya. | |||
Ya, tulisan kitab alam yang tertata dan keteraturan ayat-ayatnya menjadi saksi bahwa segala sesuatu tertulis. | |||
Adapun dalil yang menun- jukkan bahwa segala sesuatu tertulis dan ditentukan sebelum berwu- jud adalah seluruh permulaan, benih, ukuran, dan bentuknya. Semua itu menjadi saksi yang jujur atasnya. Pasalnya, benih tidak lain me- rupakan kotak kecil yang dibuat oleh pabrik kâf nûn (kun). Di dalam- nya, takdir (qadar) merancang konsep atau desainnya, lalu berdasar- kan konsep qadar itu qudrah ilahi membangun berbagai mukjizatnya yang agung pada benih-benih tadi dengan perantaraan partikel. Arti- nya, segala sesuatu yang akan terjadi pada pohon berikut berbagai fase yang dilaluinya telah tertulis dalam benihnya. Sebab, benih secara ma- teri sangat sederhana dan serupa. | |||
Kemudian ukuran yang tertata rapi untuk segala sesuatu me- nerangkan takdir secara jelas. Jika kita mencermati makhluk hidup, tentu akan diketahui bahwa ia memiliki sebuah bentuk dan ukuran, seakan-akan ia keluar dari satu cetakan yang penuh hikmah dan rapi di mana pemberian ukuran, bentuk, dan rupa tersebut bisa bersumber dari sebuah cetakan materi yang luar biasa atau qudrah ilahi mengurai bentuk dan rupa tadi, lalu memakaikannya dengan cetakan maknawi yang tersusun rapi yang berasal dari takdir. | |||
Sekarang, perhatikanlah pohon dan binatang. Partikel yang tuli, buta, dan tak bernyawa di mana ia tidak memiliki perasaan dan sa- ling serupa, bergerak dalam perkembangan segala sesuatu. Setelah itu, ia berhenti pada batas-batas tertentu layaknya orang yang menge- tahui betul tentang manfaat dan buahnya. Lalu ia mengubah sejum- lah posisinya seakan-akan ia mengarah kepada tujuan besar. Dengan kata lain, partikel tadi bergerak sesuai dengan ukuran maknawi yang datang dari takdir serta sesuai dengan urusan maknawi darinya. | |||
Nah, selama manifestasi takdir terdapat pada sejumlah materi sampai pada tingkatan semacam itu, tentu berbagai kondisi yang ter- jadi, bentuk yang diberikan padanya, serta gerakan yang dilakukan sepanjang waktu, semuanya juga mengikuti tatanan takdir.Ya, dalam benih terdapat dua manifestasi takdir: | |||
Pertama, manifestasi “aksiomatis” di mana ia menginformasikan dan mengarah kepada al-kitâb al-mubîn yang merupakan perlambang kehendak dan perintah penciptaan Ilahi. | |||
Kedua, manifestasi “teoritis” dan rasional di mana ia menginfor- masikan dan mengarah kepada al-imâm al-mubîn yang merupakan perlambang perintah dan ilmu ilahi. | |||
Jadi, “takdir aksiomatis” berisi kondisi, cara, dan bentuk materi pohon yang dikandung oleh benih serta yang akan disaksikan nantinya.Sementara “takdir teoritis” adalah sejumlah kondisi, bentuk, dan gerakan sepanjang kehidupan pohon yang akan tercipta dari benih tadi di mana ia disebut dengan sejarah kehidupan pohon. Kondisi, bentuk, dan berbagai aktivitas tersebut selalu berubah-ubah. Namun ia memiliki ukuran yang sudah ditentukan dengan rapi seperti yang tampak pada ranting pohon dan daun-daunnya. | |||
Jika takdir memiliki manifestasi semacam itu pada berbagai hal yang sederhana, ini berarti bahwa segala sesuatu sebelum penciptaan dan keberadaannya tertulis | |||
dalam sebuah kitab. Hal itu dapat dipahami dengan sedikit melakukan perenungan. | |||
Adapun dalil bahwa sejarah kehidupan segala sesuatu—setelah berwujud dan tertulis—adalah semua buah yang menginformasikan keberadaan kitab mubîn dan imam mubîn, serta memori manusia yang menjelaskan keberadaan lauhil mahfûdz. Semuanya menjadi saksi yang jujur dan menjadi petunjuk atasnya. Ya, setiap buah telah ditu- liskan dalam benihnya—yang berposisi sebagai jantungnya—sejum- lah ketentuan hidup pohon berikut masa depannya. | |||
Memori manusia—yang ukurannya sekecil benih—berisi sejarah kehidupannya dan berbagai peristiwa alam di masa lalu yang ditulis oleh tangan qudrah lewat pena qadar (takdir) secara sangat cermat. Ia laksana dokumen dan catatan kecil dari lembaran amal yang diberi- kan oleh qudrah ilahi kepada manusia serta diletakkan di satu sisi dari otaknya agar dengannya ia bisa mengingat saat hisab dilakukan serta agar ia yakin bahwa penciptaan kekacauan, kefanaan, dan kelenyap- an merupakan cermin keabadian yang padanya Dzat Yang Mahakuasa dan Mahabijak menggoreskan esensi dari berbagai hal yang lenyap, serta merupakan lembaran-lembaran keabadian yang padanya Dzat Yang Maha Memelihara dan Mengetahui mencatat substansi dari se- gala hal yang fana. | |||
Dari penjelasan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ketika kehidupan tumbuhan tunduk pada aturan takdir meski ia merupakan kehidupan yang paling sederhana, maka kehidupan manusia yang be- rada pada tingkatan kehidupan yang paling tinggi, sudah pasti telah digariskan berikut semua cabang-cabangnya lewat ukuran takdir dan telah ditulis lewat pena takdir. | |||
Ya, sebagaimana tetesan air hujan menginformasikan ke- beradaan awan, percikan air menunjukkan adanya pancuran, dan dokumen menunjukkan adanya catatan besar. Demikian pula dengan buah, benih, dan beragam bentuk yang tampak jelas di hadapan kita. Ia berposisi sebagai percikan takdir aksiomatis (yaitu tatanan materi pada makhluk hidup), tetesan takdir teoritis (tatanan maknawi pada- nya), dan dokumennya di mana dengan sangat jelas menunjukkan keberadaan al-kitâb al-mubîn sebagai catatan kehendak dan perintah penciptaan, serta menunjukkan keberadaan lauhil mahfudz sebagai ki- tab ilmu ilahi yang disebut sebagai al-imâm al-mubîn. | |||
Kesimpulan: selama kita melihat bahwa partikel setiap makhluk hidup, saat tumbuh berkembang, pergi menuju batas dan akhir yang ditetapkan lalu berhenti padanya di mana kemudian ia mengubah jalannya di akhir perkembangan tadi untuk menghasilkan sejumlah hikmah, manfaat, dan maslahat, maka jelas bahwa ukuran dan keteta- pan lahiriah pada sesuatu tersebut telah digariskan dengan pena takdir.Demikianlah, takdir aksiomatis yang tampak juga menunjukkan batas-batas yang rapi dan membuahkan serta penghujung yang mem- berikan makna yang terdapat pada kondisi maknawiyah makhluk tersebut di mana ia digariskan lewat pena takdir. Jadi, qudrah Tuhan menjadi masdar (sosok yang menggaris), sementara qadar (takdir) adalah mistar (penggaris). Qudrah menggaris pada kitab tersebut se- suai dengan pola qadar untuk menunjukkan sejumlah makna. | |||
Selama kita bisa memahami dengan benar bahwa batas, buah, dan akhir penuh hikmah yang digariskan hanya terwujud dengan pena takdir materi dan maknawi, maka berbagai kondisi dan fase yang dija- lani oleh makhluk sepanjang hidup terwujud karena pena takdir terse- but. | |||
Sebab, sejarah hidupnya berjalan sesuai dengan sebuah sistem dan tatanan yang rapi disertai perubahan bentuk yang dialaminya. Selama pena takdir mengendalikan seluruh makhluk, tentu sejarah kehidupan manusia—yang merupakan buah alam yang paling sempurna, khali- fah di muka bumi, dan pengemban amanat besar—lebih tunduk pada rambu takdir daripada yang lain. | |||
'''Barangkali ada yang bertanya,''' “Takdir telah membelenggu dan merampas kebebasan kita. Tidakkah engkau bisa melihat bahwa iman kepada takdir mendatangkan beban terhadap kalbu dan melahirkan kesempitan dalam jiwa, padahal keduanya menginginkan kelapa- ngan?” | |||
''' | |||
'''Jawaban:'''sama sekali tidak benar. Di samping tidak melahirkan kesempitan, ia justru memberikan keringanan tak bertepi, kelapangan tak terhingga, serta kesenangan dan cahaya yang dapat mewujudkan rasa aman, damai, dan tenteram. Sebab, jika manusia tidak beriman ke- pada takdir, tentu ia harus memikul beban seberat dunia pada jiwanya yang lemah dalam sebuah wilayah yang sempit dan kebebasan parsial yang terbatas. Pasalnya, manusia memiliki relasi dengan seluruh alam. Ia juga memiliki tujuan dan impian tak terhingga. Namun kekuatan, kehendak, dan kebebasannya tidak memadai untuk memenuhi satu saja dari impian dan tujuan tersebut. Dari sini, dapat dipahami beban maknawi yang dirasakan manusia saat tidak beriman kepada takdir. Betapa ia melahirkan ketakutan dan kecemasan. | |||
''' | |||
Sementara iman kepada takdir mengantar manusia untuk mele- takkan seluruh beban tadi ke perahu takdir sehingga membuatnya merasa lapang. Sebab, medan yang luas terbuka di hadapan ruh dan kalbu sehingga keduanya bisa berjalan di jalan kesempurnaannya se- cara sangat bebas. Hanya saja, iman ini memang akan membuat nafsu ammârah kehilangan kebebasan parsialnya. Ia juga menghancurkan egoisme dan kekuasaannya serta menghambat gerakannya yang bebas. | |||
Ingatlah bahwa iman kepada takdir merupakan puncak kenik- matan dan kebahagiaan. Karena tidak mampu menjelaskan kenik- matan dan kebahagiaan tersebut, kami akan menunjukkannya dengan contoh berikut: | |||
Ada dua orang yang sama-sama melakukan perjalanan menuju markas seorang penguasa besar. Mereka masuk ke dalam istana sang penguasa yang memiliki banyak keajaiban. Salah satu di antara me- reka tidak mengenal sang penguasa dan ingin tinggal sejenak di istana seraya menjalani hidupnya dengan mencuri harta. Akan tetapi, proses penataan dan pengaturan taman dan istana tersebut, cara menjalan- kan sejumlah mesinnya, serta pemberian makanan kepada hewan-he- wannya yang unik membuatnya selalu berada dalam kondisi gelisah dan risau sehingga taman indah yang menyerupai surga itu menjadi seperti neraka. Sebab, ia sedih dengan segala hal yang tak mampu ia lakukan. Maka ia menghabiskan waktunya dengan keluhan dan penye- salan. Akhirnya, iapun dilemparkan ke penjara sebagai hukuman atas sikap dan perilakunya yang buruk.Adapun orang yang kedua mengenal sang penguasa. Ia memo- sisikan dirinya sebagai tamu. Ia percaya bahwa semua pekerjaan di istana dan taman itu bisa dikendalikan dengan mudah lewat aturan yang rapi serta sesuai dengan program dan perencanaan yang ada. Ia pun menyerahkan seluruh kesulitan dan beban kepada hukum dan ketentuan penguasa. Dengan nyaman ia menikmati semua hal yang terdapat di taman hijau laksana surga itu. Ia melihat semuanya benar-benar indah seraya bersandar kepada kasih sayang penguasa dan bergantung kepada ketentuan tatanannya yang indah. Ia menghabiskan hidupnya dalam kenikmatan dan kebahagiaan yang sempurna. | |||
Dari sini engkau bisa memahami rahasia:“Siapa yang beriman kepada takdir, ia selamat dari kesedihan.” | |||
< | <span id="DÖRDÜNCÜ_MEBHAS"></span> | ||
=== | ===BAHASAN KEEMPAT=== | ||
'''Barangkali engkau bertanya,'''“Dalam bahasan pertama engkau telah menegaskan bahwa semua yang ada pada takdir adalah indah dan baik. Bahkan, keburukan yang datang darinya juga baik dan in- dah. Namun, musibah dan bencana yang turun ke dunia membantah pernyataan tersebut?” | |||
''' | |||
'''Jawaban:'''Wahai diri dan wahai sahabatku yang tersiksa akibat besarnya kasih sayang yang kalian pikul. Ketahuilah bahwa wujud atau eksistensi merupakan kebaikan mutlak, sementara ketiadaan merupa- kan keburukan mutlak. Dalilnya adalah kembalinya seluruh kebaikan, kesempurnaan, dan keutamaan kepada alam wujud serta kondisi ketiadaan yang menjadi landasan dari semua kemaksiatan, musibah, dan cacat.Ketika ketiadaan merupakan keburukan mutlak, maka berbagai kondisi yang mengalir menuju ketiadaan atau beraroma tiada, juga mengandung keburukan. Karena itu, kehidupan yang merupakan cahaya wujud paling terang menjadi kuat lewat keadaannya yang berubah-ubah dalam kondisi yang beragam; menjadi bersih lewat keadaannya yang masuk ke dalam beragam kondisi; melahirkan berbagai buah yang diharapkan lewat kondisinya yang mengalami perubahan banyak bentuk; serta menerangkan secara jelas dan indah ukiran nama-nama Pemberi kehidupan lewat kondisinya yang bertransformasi dalam beragam fase. | |||
''' | |||
Atas dasar itulah, berbagai kondisi dihamparkan kepada makhuk dalam bentuk kepedihan, musibah, kesulitan, dan bencana agar dengan berbagai kondisi itu cahaya wujud dalam kehidupan mereka menjadi terbaharui, dan sebaliknya gelap ketiadaan semakin jauh. Seketika hidup mereka bersih dan bening. Hal itu karena keterhentian, diam, kevakuman, kemalasan dan keadaan monoton, semuanya adalah ketiadaan dalam beragam bentuk dan kondisi. Bahkan, kenikmatan terbesar sekalipun menjadi berkurang dan lenyap dalam keadaan yang monoton. | |||
Dari sana dapat disimpulkan bahwa selama kehidupan menjelaskan ukiran Asmaul Husna, maka semua yang menimpa kehidupan adalah indah dan baik. | |||
Sebagai contoh: seorang desainer kaya dan mahir menugaskan seorang miskin untuk menjadi modelnya dalam satu jam dengan im- balan tertentu. Tujuannya untuk memperlihatkan kreasinya yang in- dah dan menampakkan aset-asetnya yang bernilai. Ia memakaikan kepadanya busana yang ia buat dari kain baru dalam bentuk yang sa- ngat indah. Ia menyuruhnya melakukan sejumlah gerakan dan mem- perlihatkan berbagai kondisi guna menampilkan berbagai kreasi dan keahliannya yang luar biasa. Ia memotong, mengganti, memanjang- kan, memendekkan dan seterusnya.Menurutmu, layakkah orang miskin upahan itu berkata ke- pada sang desainer, “Engkau membuatku penat dan lelah dengan menyuruhku untuk membungkuk di satu waktu dan berdiri tegak di lain kesempatan. Engkau merusak baju yang menghiasiku ini dengan tindakanmu memotong dan menggunting.” Kira-kira layakkah ia berkata padanya, “Engkau telah berbuat aniaya dan tidak adil” | |||
Demikian pula dengan Sang Pencipta Yang Mahaagung dan Ma- haindah. Dia mengganti busana wujud berupa sejumlah perangkat halus dan indra seperti mata, telinga, akal, kalbu yang Dia pakaikan kepada makhluk hidup serta mengubahnya dalam berbagai kondisi. Dia mengganti dan membolak-balikkannya untuk memperlihatkan goresan Asmaul Husna. | |||
< | <span id="Hâtime"></span> | ||
=== | ===PENUTUP=== | ||
Lima bagian berikut ini membungkam nafsu ammârah milik “Said Lama”. Ia adalah nafsu yang bodoh, membanggakan diri, sombong, riya, dan ujub. | |||
'''Bagian Pertama''' | |||
''' | Selama segala sesuatu ada dan tercipta dengan rapi, tentu ada Penciptanya. Kami telah menegaskan dalam “Kalimat Kedua Puluh Dua” secara sangat jelas bahwa jika segala sesuatu tidak dinisbatkan kepada Dzat Yang Mahaesa, maka segala sesuatu menjadi sulit sesulit seluruhnya. Namun jika segala sesuatu dinisbatkan kepada Dzat Yang Mahaesa, ia akan menjadi mudah semudah sesuatu.Nah, karena yang menciptakan langit dan bumi adalah Dzat Yang Mahaesa, sudah pasti Sang Pencipta Yang Mahabijak itu tidak memberikan buah bumi dan langit berikut hasil dan tujuannya—yaitu makhluk hidup—kepada selain-Nya sehingga merusak segalanya. Tidak mungkin Dia menyerahkannya pada tangan-tangan lain sehingga seluruh karya-Nya yang penuh hikmah menjadi sia-sia. Serta tidak mungkin Dia menghancurkannya. Dia juga tidak akan menyerahkan syukur dan ibadahnya kepada yang lain. | ||
'''Bagian Kedua''' | |||
''' | Wahai diriku yang sombong! Engkau seperti tangkai anggur. Janganlah merasa bangga. Tangkai itu tidak menggantungkan rantingnya sendiri. Namun yang menggantungkannya adalah pihak lain. | ||
'''Bagian Ketiga''' | |||
''' | Wahai diriku yang riya! Jangan terpedaya dengan berkata, “Aku telah mengabdi pada agama.” Sebab, hadis Nabi dengan jelas menga- takan bahwa اِنَّ اللّٰهَ لَيُؤَيِّدُ هٰذَا الدّٖينَ بِالرَّجُلِ ال۟فَاجِرِ ‘Allah bisa saja menolong agama ini dengan seorang pendosa’.(*<ref>*HR. al-Bukhari, al-Jihâd 182. </ref>)Maka, engkau harus mengang- gap dirimu sebagai orang tersebut, sebab dirimu tidak suci. Ketahuilah bahwa pengabdianmu terhadap agama dan ibadahmu hanyalah wujud syukur atas nikmat yang telah Allah berikan padamu. Ia adalah bentuk penunaian tugas fitrah, kewajiban penciptaan, serta hasil kreasi ilahi. Ketahuilah hal ini dengan baik serta selamatkan dirimu dari rasa ujub dan riya. | ||
</ | |||
'''Bagian Keempat''' | |||
''' | Jika engkau ingin mendapat ilmu hakikat dan hikmah yang be- nar, maka gapailah makrifatullah. Sebab, seluruh hakikat entitas ha- nyalah kilau nama Allah al-Haq, wujud nama-nama-Nya yang mulia, serta manifestasi sifat-sifat-Nya yang agung. Ketahuilah bahwa haki- kat segala sesuatu, baik yang bersifat materi atau maknawi, esensial ataupun non-esensial, serta hakikat manusia sendiri tidak lain ber- sandar kepada salah satu cahaya-Nya dan berpusat pada hakikat-Nya. Jika tidak, pasti ia merupakan bentuk yang tidak signifikan dan tidak memiliki hakikat. Dalam penutup “Kalimat Kedua Puluh”, kami telah menyebutkan sebagian dari masalah ini. | ||
Wahai diriku! Jika engkau merindukan dunia serta lari dari ke- matian, maka ketahuilah dengan yakin bahwa apa yang kau anggap se- bagai kehidupan hanyalah satu menit yang kau lewati. Adapun zaman dan segala hal duniawi yang sebelum itu sudah mati, serta zaman dan segala hal di dalamnya sesudah itu bersifat tiada. Artinya, kehidupan fana yang kau banggakan hanyalah satu menit. Bahkan sebagian ahli peneliti berkata, “Kehidupan hanya sepersekian menit saja, dan bahkan ia waktu yang cepat berlalu. Dari sini, sebagian wali dan orang saleh menganggap dunia dilihat dari kedudukannya sebagai dunia adalah tidak ada. | |||
Jika demikian, tinggalkan kehidupan materi yang berhias nafsu ini. Naiklah menuju tingkatan kehidupan kalbu, ruh, dan jiwa. Lihat- lah betapa wilayah kehidupannya lebih luas. Masa lalu dan masa depan yang mati bagimu, hidup dan ada baginya.Wahai diri! Jika demikian keadaannya, menangislah sebagaima- na kalbuku menangis. Minta tolonglah dengan berkata: | |||
Aku fana. Aku tidak menginginkan yang fana. Aku lemah. Aku tidak menginginkan yang lemah.Kuserahkan ruhku kepada ar-Rahman. Aku tidak ingin selain-Nya. | |||
Yang kuinginkan Kekasih abadi.Aku hanyalah partikel. Namun aku menginginkan matahari yang kekal. | |||
Aku bukan apa-apa. Namun aku menginginkan seluruh entitas. | |||
'''Bagian Kelima''' | |||
''' | Bagian ini terlintas dalam bahasa Arab dan kutulis sebagaimana adanya. Ia merupakan petunjuk tentang salah satu dari tiga puluh tiga tingkatan dalam zikir “Allâhu Akbar.” | ||
Allâhu Akbar. Sebab, Dialah Mahakuasa Yang Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Mahaindah, Maha Mengukir, dan azali di mana hakikat alam, baik semuanya maupun sebagiannya, lembaran maupun sejumlah tingkatannya, serta hakikat entitas yang bersifat universal, parsial, eksis dan abadi tidak lain me- rupakan goresan “pena” ketentuan, takdir, dan ketetapan-Nya dengan berlandaskan ilmu dan hikmah; ukiran “jangka” ilmu, hikmah, lukisan, dan penataan-Nya lewat kreasi dan perhatian; hiasan “tangan putih” kreasi, perhatian, dekorasi, dan penerangan-Nya dengan lembut dan pemurah; bunga halus kelembutan, kemurahan, cinta, dan perkena- lan-Nya lewat kasih sayang dan nikmat-Nya; buah rahmat, karunia, kasih sayang, dan cinta-Nya yang berlimpah lewat keindahan dan ke- sempurnaan-Nya; kilau dan manifestasi keindahan dan kesempur- naan-Nya lewat bukti kefanaan cermin dan lenyapnya wujud lahiri di mana keindahan-Nya yang kekal, yang terus tampak sepanjang musim, masa, dan zaman, serta yang terus memberi sepanjang generasi, hari, dan tahun tetap abadi. | |||
Ya, jejak yang sempurna memberikan petunjuk kepada orang be- rakal akan adanya perbuatan yang sempurna. Lalu perbuatan yang sem- purna memberi petunjuk kepada orang yang paham akan nama yang sempurna. Lalu nama yang sempurna memberi petunjuk secara jelas tentang sifat yang sempurna. Kemudian sifat yang sempurna memberi petunjuk tentang potensi yang sempurna. Lalu potensi yang sempurna memberi petunjuk secara pasti tentang kesempurnaan Dzat-Nya yang layak untuk-Nya di mana ia bersifat haqqul yaqin.Ya, kefanaan cermin, kepergian entitas, disertai manifestasi yang permanen dan limpahan karunia yang terus tercurah menjadi salah satu kenyataan yang paling jelas yang menunjukkan bahwa keindahan lahiriah bukan milik makhluk. Ia menjadi penjelasan paling fasih serta bukti yang paling jelas bagi keindahan mutlak dan kebaikan Sang Wâ- jibul wujûd; Dzat yang Mahakekal dan Mahakasih.Ya Allah, limpahkan salawat dan salam untuk junjungan kami, Mu- hammad x, dari azali hingga abadi, sebanyak apa yang | |||
terdapat dalam pengetahuan Allah, serta untuk keluarga dan sahabat beliau. | |||
< | <span id="ZEYL"></span> | ||
== | ==LAMPIRAN== | ||
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ | بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ | ||
'''Lampiran yang sangat singkat ini sangat penting dan bermanfaat untuk semua''' | |||
Untuk sampai kepada Allah ada banyak jalan. Sumber seluruh jalan yang benar adalah al-Qur’an al-Karim. Hanya saja, dari semua jalan tersebut ada jalan-jalan yang lebih singkat, lebih selamat, dan lebih luas. Meski pemahamanku terbatas, aku telah mengambil dari limpahan karunia al-Qur’an sebuah jalan. Yaitu: jalan ketidakber- dayaan, kefakiran, kasih sayang, dan tafakkur. | |||
Ya, sama seperti kerinduan, '''ketidakberdayaan''' merupakan jalan yang bisa mengantar menuju Allah. Bahkan ia lebih selamat. Pasalnya, ia mengantarkan kepada cinta-Nya lewat jalan ubudiyah. | |||
Begitupun '''kefakiran''' bisa mengantar menuju nama Allah, ar-Rahman. | |||
Sama seperti kerinduan, '''kasih sayang''' bisa mengantar menuju Allah. Hanya saja, perjalanannya lebih cepat dan cakupannya lebih luas. Kasih sayang bisa mengantar pada nama Allah, ar-Rahîm. | |||
'''Tafakkur''' juga sama seperti kerinduan. Hanya saja, ia lebih kaya dan lebih bersinar. Pasalnya, ia mengantar kepada nama Allah, al- Hakîm. | |||
Jalan ini berbeda dari jalan yang dilalui oleh ahli suluk pada jalan khafâ’ yang memiliki sepuluh langkah (seperti sepuluh latîfah) dan jalan jahr yang memiliki tujuh langkah sesuai dengan tujuh jenis nafsu. Sementara jalan ini hanya berupa empat langkah saja. Ia lebih kepada hakikat syar’i daripada tarekat sufi . | |||
Jangan sampai kalian salah paham. Yang dimaksud dengan ketidakberdayaan, kefakiran, dan ketidaksempurnaan di sini adalah menampilkan itu semua di hadapan Allah ; bukan di hadapan ma- nusia. | |||
Adapun wirid dan zikir jalan yang singkat ini adalah (1) mengi- kuti sunnah Nabi x (2) menunaikan kewajiban, terutama mendirikan salat dengan rukun-rukunnya, (3) membaca zikir sesudah salat, dan (4) meninggalkan dosa besar. Sumber dari semua langkah ini adalah al-Qur’an. Yaitu: | |||
1.Firman Allah:“Jangan menganggap diri kalian suci…” (QS. an-Najm [53]: 32).Ayat ini mengarah kepada langkah pertama. | |||
2.Firman Allah:“Jangan kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah se- hingga Allah membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri...” (QS. al-Hasyr [59]: 19). Ayat ini mengarah kepada langkah kedua. | |||
3.Firman Allah:“Kebaikan yang kau terima berasal dari Allah, sementara keburu- kan yang kau terima berasal dari dirimu...” (QS. an-Nisa [4]: 79). Ayat ini mengarah kepada langkah ketiga. | |||
4.Firman Allah:“Segala sesuatu binasa kecuali Dzat-Nya.” (QS. al-Qashash [28]: 88). Ayat ini mengarah kepada langkah keempat. | |||
Penjelasan ringkas mengenai keempat langkah tersebut sebagai berikut: | |||
'''Langkah Pertama''' | |||
''' | Ia seperti yang disebutkan oleh ayat:“Jangan menganggap diri kalian suci.”Yaitu tidak merasa diri sudah bersih dan suci. Hal itu karena sesuai watak dan fitrahnya, manusia mencintai dirinya sendiri. Bahkan itulah yang pertama kali ia cintai. Ia rela mengorbankan segala sesuatu untuk dirinya. Ia berikan pada dirinya pujian yang hanya layak untuk Tuhan. Ia kultuskan dirinya dan ia bebaskan dari segala aib. Bahkan ia tidak menerima adanya kekurangan untuk dirinya. Ia sangat membela dirinya dengan sangat kuat lewat kecintaan yang berlebihan. Sehingga sejumlah perangkat yang Allah berikan untuk bertahmid dan menyucikan Dzat yang layak disembah, ia alihkan kepada dirinya. Akhirnya ia seperti yang digambarkan oleh al-Qur’an, “Orang yang menuhankan hawa nafsunya.” (QS. al-Furqan [25]: 43). | ||
Ia kagum pada dirinya. Karenanya, hal tersebut perlu dibersihkan dan disucikan. Cara menyucikannya adalah dengan tidak menganggapnya suci. | |||
'''Langkah Kedua''' | |||
''' | Ia seperti pelajaran yang diberikan oleh ayat:“Jangan kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri.”Hal itu karena manusia kerap lupa dan lalai kepada dirinya. Ketika ingat mati, ia mengalihkannya kepada yang lain. Ketika melihat kondisi fana, ia mengembalikannya kepada orang lain. Seolah-olah itu tidak terkait dengannya sama sekali. Pasalnya, sesuai tuntutannya, nafsu ammârah mengingat dirinya saat pengambilan upah dan bagian, namun di sisi lain melupakan dirinya saat penunaian tugas dan ber- amal. | ||
Maka, cara membersihkan dan mentarbiyah nafsu pada langkah ini adalah dengan mengamalkan kondisi sebaliknya. Yaitu tidak lupa di saat lupa diri. Dengan kata lain, lupa meraih kesenangan dan upah untuk diri, serta memikirkan diri saat pengabdian dan kematian. | |||
'''Langkah Ketiga''' | |||
''' | Ia seperti yang dijelaskan oleh ayat: | ||
“Kebaikan yang kau terima berasal dari Allah, sementara keburukan yang kau terima berasal dari dirimu.” | |||
Hal itu karena nafsu manusia selalu ingin menisbatkan kebaikan kepada dirinya sehingga mengantarkan kepada sikap ujub dan sombong. Maka, pada langkah ini seseorang hendaknya hanya melihat kekurangan, ketidakberdayaan, dan kefakiran dirinya, serta melihat semua kebaikan dan kesempurnaannya sebagai karunia Penciptanya Yang Mahaagung. Ia terima hal itu sebagai karunia dari-Nya seraya bersyukur sebagai ganti dari sikap bangga diri, dan memuji Allah | |||
sebagai ganti dari memuji diri. | |||
Cara menyucikan diri di tingkatan ini terdapat pada rahasia ayat, “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya.” (QS. asy-Syams [91]: 9). Yaitu mengetahui bahwa kesempurnaannya terletak pada ketidaksempurnaannya, kemampuannya terletak pada ketidakberdayaannya, dan kekayaannya terletak pada kefakirannya. | |||
'''Langkah Keempat'''Ia adalah apa yang diajarkan oleh ayat:“Segala sesuatu binasa kecuali Dzat-Nya.” | |||
''' | Hal itu karena diri manusia merasa merdeka dan mandiri. Kare- nanya, ia menganggap memiliki semacam kekuasaan rububiyah dan menyimpan sifat pembangkangan terhadap Dzat yang layak disembah. Dengan mengenal hakikat berikut ini, manusia akan selamat darinya. | ||
Yaitu dari sisi makna ismi segala sesuatu bersifat fana, baru, dan tiada. Namun dilihat dari makna harfi dan kedudukannya sebagai cermin yang memantulkan nama-nama Sang Pencipta serta dilihat dari tugas dan fungsinya, ia menjadi saksi dan yang disaksikan, serta menjadi pengada dan yang diadakan. | |||
Nah dalam hal ini, cara menyucikannya adalah dengan me- ngetahui bahwa ketiadaannya terletak pada keberadaannya, dan ke- beradaannya terletak pada ketiadaannya. Maksudnya, bila melihat dirinya dan memberikan sifat ada pada wujudnya, berarti ia tenggelam dalam gelap ketiadaan seluas jagat raya. Yaitu ketika ia lalai terhadap Dzat yang menghadirkannya, Allah, dan bersandar pada wujudnya sendiri, maka ia melihat dirinya sendirian tenggelam dalam gelapnya perpisahan dan ketiadaan yang tak bertepi laksana kunang-kunang dalam cahayanya yang redup di gelap malam yang pekat. Akan tetapi, ketika ia meninggalkan sikap ego, ia akan melihat dirinya sebagai sesuatu yang tiada. Ia hanya cermin yang memantulkan manifestasi Penciptanya yang hakiki. Dengan begitu, ia mendapatkan wujud tak bertepi dan meraih wujud seluruh makhluk.Ya, siapa yang menemukan Allah, maka ia menemukan segala sesuatu. Sebab, seluruh entitas hanyalah manifestasi dari nama-nama-Nya yang mulia. | |||
< | <span id="HÂTİME"></span> | ||
== | ==Penutup== | ||
Jalan yang terdiri dari empat langkah ini: ketidakberdayaan, kefakiran, kasih sayang, dan tafakkur telah dijelaskan pada dua pu- luh enam kalimat dari kitab al-Kalimât yang membahas tentang ilmu hakikat, hakikat syariat, dan hikmah al-Qur’an al-Karim. Di sini kami hanya ingin memberikan penjelasan singkat tentang beberapa poin se- bagai berikut: | |||
Jalan ini merupakan jalan yang paling singkat. Pasalnya, ia hanya terdiri dari empat langkah. Bila ketidakberdayaan tertanam dalam diri, ia akan segera diserahkan kepada al-Qadîr Yang Mahaagung. Namun bila kerinduan yang menguasai diri—sebagai jalan yang paling pintas menuju Allah—ia akan bergantung pada kekasih majasi. Ketika ia melihatnya pergi, barulah sampai pada kekasih hakiki. | |||
Kemudian jalan ini juga paling selamat. Karena, padanya diri tidak memiliki syatahât atau klaim di luar kemampuan. Sebab, yang dilihat seseorang pada dirinya hanya ketidakberdayaan, kefakiran, dan ketidaksempurnaan, sehingga tidak melampaui batas. | |||
Lalu jalan ini juga bersifat luas dan besar. Pasalnya, ia tidak perlu menafikan entitas dan tidak perlu memenjarakannya di mana penga- nut wahdatul wujud menganggap entitas tiada. Mereka berkata, “Yang ada hanyalah Dia,” untuk mencapai ketenangan dan kehadiran hati. Begitu pula dengan penganut wahdatusy syuhûd. Mereka memenja- rakan entitas dalam penjara kealpaan. Mereka berkata, “Yang terlihat hanyalah Dia,” untuk sampai kepada ketenangan kalbu.Adapun al-Qur’an, dengan sangat jelas, menjauhkan entitas dan makhluk dari penafian serta melepaskan ikatannya dari penjara. Jalan yang sesuai dengan pendekatan al-Qur’an ini melihat alam sebagai sesuatu yang tunduk pada Penciptanya Yang Mahaagung sekaligus berkhidmah untuk-Nya. Ia merupakan wujud manifestasi Asmaul Husna laksana cermin yang memantulkan manifestasi tadi. Artinya, ia dipergunakan dengan makna harfi sehingga tidak berkhidmah dan tunduk dengan sendirinya. Dengan demikian, manusia akan selamat dari kelalaian dan kalbunya selalu hadir sesuai dengan pendekatan al- Qur’an al-Karim. Ia pun menemukan jalan menuju Allah dari segala arah. | |||
'''Kesimpulan''' | |||
''' | Jalan ini tidak melihat entitas dengan makna ismi. Yakni, tidak melihatnya sebagai pesuruh yang tunduk dengan sendirinya untuk dirinya. Namun, ia membebaskan entitas dari semua itu, dan mempersandangkan untuknya sebuah tugas, serta melihatnya sebagai pesuruh yang tunduk kepada Allah. | ||
------ | ------ | ||
<center> [[Yirmi Beşinci Söz]] ⇐ | [[Sözler]] | ⇒ [[Yirmi Yedinci Söz]] </center> | <center> [[Yirmi Beşinci Söz/id|KALIMAT KEDUA PULUH LIMA]] ⇐ | [[Sözler/id|Al-Kalimât]] | ⇒ [[Yirmi Yedinci Söz/id|KALIMAT KEDUA PULUH TUJUH]] </center> | ||
------ | ------ | ||
düzenleme