On Sekizinci Mektup/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("Perhatikan cerita imajiner berikut untuk memperjelas hakikat di atas:" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    ("------ <center> SURAT KETUJUH BELAS ⇐ | Al-Maktûbât | ⇒ SURAT KESEMBILAN BELAS </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
     
    (Aynı kullanıcının aradaki diğer 41 değişikliği gösterilmiyor)
    16. satır: 16. satır:
    Perhatikan cerita imajiner berikut untuk memperjelas hakikat di atas:
    Perhatikan cerita imajiner berikut untuk memperjelas hakikat di atas:


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pada satu waktu, ada dua pengembala yang salih. Keduanya memeras susu dari kambing mereka dan meletakkannya di sebuah wadah yang terbuat dari kayu. Lalu mereka meletakkan seruling bambu mereka di atas wadah tersebut. Kemudian salah seorang dari mereka mengantuk hingga akhirnya tertidur. Ia tidur dengan pulas. Adapun orang yang kedua tetap terjaga seraya mengawasi temannya. Tiba-tiba ia melihat seolah-olah ada hewan kecil—seperti lalat—yang keluar dari hidung temannya yang sedang tidur itu. Hewan itu terbang dengan cepat dan hinggap di pinggir wadah tersebut seraya melihat kepada susu. Lalu ia masuk ke lubang suling lewat salah satu sisinya dan keluar dari sisi yang lain. Setelah itu, ia berlalu dan masuk ke lubang kecil yang berada di bawah tanaman berduri yang dekat darinya.Tidak lama kemudian, hewan itu kembali. Ia masuk pula ke seruling tadi dan keluar dari sisi yang lain. Selanjutnya ia mendatangi temannya yang tidur itu dan masuk ke dalam hidungnya. Seketika sang teman terbangun dari tidurnya seraya berkata, “Wahai teman, dalam tidurku tadi aku melihat mimpi yang menakjubkan!” “Ya Allah, perlihatkan dan perdengarkan kebaikan pada kami! Wahai teman, katakan apa yang kau lihat dalam mimpimu!” ujar temannya.“Dalam mimpi aku melihat lautan susu. Di atasnya terbentang jembatan yang menakjubkan. Jembatan itu beratap. Di atapnya terdapat sejumlah jendela. Aku melewati jembatan tersebut. Di ujungnya yang kedua kulihat ada hutan lebat yang penuh dengan pohon berduri. Saat melihat kepadanya dengan kagum, aku melihat sebuah goa berada di bawah pohon. Segera saja aku masuk ke dalamnya. Aku melihat tumpukan emas murni dalam jumlah besar. Wahai teman,  
    Bir zaman ehl-i kalp iki çoban varmış. Kendileri ağaç kâsesine süt sağıp yanlarına bıraktılar. Kaval tabir ettikleri düdüklerini, o süt kâsesi üzerine uzatmışlardı. Birisi “Uykum geldi.” deyip yatar. Uykuda bir zaman kalır. Ötekisi yatana dikkat eder, bakar ki sinek gibi bir şey, yatanın burnundan çıkıp süt kâsesine bakıyor ve sonra kaval içine girer, öbür ucundan çıkar gider, bir geven altındaki deliğe girip kaybolur. Bir zaman sonra yine o şey döner, yine kavaldan geçer, yatanın burnuna girer; o da uyanır. Der ki: “Ey arkadaş! Acib bir rüya gördüm.” O da der: “Allah hayır etsin, nedir?” Der ki: “Sütten bir deniz gördüm. Üstünde acib bir köprü uzanmış. O köprünün üstü kapalı, pencereli idi. Ben o köprüden geçtim. Bir meşelik gördüm ki başları hep sivri. Onun altında bir mağara gördüm, içine girdim, altın dolu bir hazine gördüm. Acaba tabiri nedir?”
    apa maksud dari mimpiku ini? ”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Teman yang terjaga itupun menjelaskan, “Lautan susu yang kau lihat itu sebenarnya adalah susu yang terdapat di wadah ini. Sementara jembatan yang berada di atasnya adalah seruling. Ujung pohon yang berduri tidak lain adalah tanaman getah ini. Dan goa besar yang kau sebut adalah lubang kecil yang berada di bawah tanaman yang berada di dekat kita ini. Tolong berikan cangkul padaku untuk ku- perlihatkan padamu harta yang kau katakan!Temannya itupun datang membawa cangkul dan mereka berdua mulai menggali tanah di bawah tanaman getah. Tidak lama kemudian terlihat oleh mereka harta berupa emas yang membuat mereka gembira.
    Uyanık arkadaşı dedi: “Gördüğün süt denizi, şu ağaç çanaktır. O köprü de şu kavalımızdır. O başı sivri meşelik de şu gevendir. O mağara da şu küçük deliktir. İşte kazmayı getir, sana hazineyi de göstereceğim.” Kazmayı getirir. O gevenin altını kazdılar, ikisini de dünyada mesud edecek altınları buldular.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Apa yang dilihat oleh orang yang bermimpi adalah benar. Ia melihat apa yang dilihatnya sebagai sebuah hakikat kebenaran. Akan tetapi, karena ia tenggelam dalam dunia mimpi, sementara dunia mimpi tidak memiliki kaidah dan batasan tertentu, maka orang yang bermimpi tadi tidak bisa menjelaskan mimpinya. Apalagi ia tidak mampu membedakan antara alam materi dan maknawi. Karena itu, sebagian penilaiannya keliru. Sehingga dengan jujur ia berkata kepada temannya, “Aku telah melihat lautan susu.” Sementara, temannya yang terjaga dapat dengan mudah membedakan alam maknawi dari alam materi. Ia dapat menjelaskan mimpinya dengan berkata kepada temannya, “Apa yang kau lihat adalah benar. Namun, lautan yang kau lihat bukan lautan yang sebenarnya. Namun dalam mimpimu wadah susu kayu ini berubah menjadi seperti lautan, dan seruling tersebut berubah menjadi jembatan.” Begitulah.
    İşte yatan adamın gördüğü doğrudur, doğru görmüş fakat rüyada iken ihatasız olduğu için tabirde hakkı olmadığından, âlem-i maddî ile âlem-i manevîyi birbirinden fark etmediğinden hükmü kısmen yanlıştır ki “Ben hakiki, maddî bir deniz gördüm.” der. Fakat uyanık adam, âlem-i misal ile âlem-i maddîyi fark ettiği için tabirde hakkı vardır ki dedi: “Gördüğün doğrudur fakat hakiki deniz değil; belki şu süt kâsemiz senin hayaline deniz gibi olmuş, kaval da köprü gibi olmuş ve hâkeza…”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Berdasarkan contoh di atas, alam materi harus dibedakan dengan alam rohani. Kalau keduanya dicampur, penilaian terhadap keduanya menjadi keliru dan tidak benar.
    Demek oluyor ki âlem-i maddî ile âlem-i ruhanîyi birbirinden fark etmek lâzım gelir. Birbirine mezcedilse hükümleri yanlış görünür. Mesela, senin dar bir odan var fakat dört duvarını kapayacak dört büyük âyine konulmuş. Sen içine girdiğin vakit, o dar odayı bir meydan kadar geniş görürsün. Eğer desen “Odamı geniş bir meydan kadar görüyorum.doğru dersin. Eğer “Odam bir meydan kadar geniştir.” diye hükmetsen yanlış edersin. Çünkü âlem-i misali, âlem-i hakikiye karıştırırsın.
    Contoh lain: Bayangkan engkau memiliki sebuah ruangan yang sempit. Pada keempat dindingnya kau pasang cermin besar yang me- nutup semua sisi dinding. Maka, ketika masuk ke dalam kamarmu, engkau melihat ruanganmu yang sempit menjadi luas dan menjadi seperti halaman. Apabila engkau berkata, “Aku melihat ruanganku seperti halaman luas,” maka perkataanmu benar. Namun jika engkau memberikan penilaian dengan berkata, “Kamarku sangat luas seperti halaman,ketika itu engkau telah keliru. Sebab, engkau mencampur antara alam mitsal yang di sini berupa alam cermin, dengan alam nyata yang sebenarnya yang di sini berupa kamarmu.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jadi, jelas bahwa ucapan sebagian ahli kasyaf atau tulisan mereka tentang tujuh lapis planet bumi berasal dari sejumlah persepsi tanpa ditimbang dengan neraca al-Qur’an dan as-Sunnah di mana ia tidak hanya melihat kondisi fisik dan geografis bumi.Mereka berkata, “Salah satu lapisan bumi khusus didiami jin dan Ifrit. Luasnya sejarak perjalanan ribuan tahun.” Padahal, bola bumi yang bisa dilintasi dalam beberapa tahun tidak mengandung lapisan yang aneh dan sangat luas itu. Akan tetapi, kalau kita berasumsi bahwa bola bumi seperti benih pohon cemara di alam maknawi, alam mitsal, alam barzakh, dan alam arwah, maka pohon mitsali yang akan terwujud di berbagai alam itu akan seperti pohon cemara yang sangat besar jika dibandingkan dengan benih tadi. Karena itu, sebagian ahli syuhud, dalam perjalanan spiritual, mereka melihat sejumlah tingkatan bumi di alam mitsal sangat luas dan mencengangkan. Mereka melihatnya seluas perjalanan ribuan tahun.
    İşte küre-i arzın tabakat-ı seb’asına dair bazı ehl-i keşfin, Kitap ve Sünnetin mizanıyla tartmadan beyan ettiği tasvirat, yalnız coğrafya nokta-i nazarındaki maddî vaziyetten ibaret değildir. Mesela demişler: “Bir tabaka-i arz, cin ve ifritlerindir. Binler sene genişliği var.” Halbuki bir iki senede devredilen küremizde, o acib tabakalar yerleşemez. Fakat âlem-i mana ve âlem-i misalde ve âlem-i berzah ve ervahta, küremizi bir çamın çekirdeği hükmünde farz etsek, ondan temessül ve teşekkül eden misalî şeceresi, o çekirdeğe nisbeten koca bir çam ağacı kadar olduğundan bir kısım ehl-i şuhud, seyr-i ruhanîlerinde, arzın tabakalarından bazılarını âlem-i misalde pek çok geniş görüyorlar; binler sene bir mesafe tuttuklarını görüyorlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Apa yang mereka lihat benar dan nyata. Hanya saja, karena gambaran alam mitsal menyerupai alam materi, maka mereka melihatnya—kedua alam tersebut—bercampur secara bersamaan. Sehingga mereka menjelaskan apa yang mereka lihat sebagaimana adanya. Namun karena apa yang mereka saksikan tidak ditimbang dengan neraca al-Qur’an dan as-Sunnah, dan menuliskan apa adanya dalam buku-buku mereka saat kembali ke alam sadar, maka orang-orang menerimanya dalam kondisi yang berbeda dengan kenyataan. Pasalnya, sebagaimana wujud mitsali dari istana besar dan taman yang luas bisa dimuat oleh sebuah cermin kecil, demikian pula luas ribuan tahun dari alam mitsal dan hakikat maknawi bisa dihimpun oleh jarak setahun dari alam materi.
    Gördükleri doğrudur fakat âlem-i misal, sureten âlem-i maddîye benzediği için iki âlemi memzuç görüyorlar; öyle tabir ediyorlar. Âlem-i sahveye döndükleri vakit, mizansız olduğu için meşhudatlarını aynen yazdıklarından hilaf-ı hakikat telakki ediliyor. Nasıl küçük bir âyinede büyük bir saray ile büyük bir bahçenin vücud-u misaliyeleri onda yerleşir. Öyle de âlem-i maddînin bir senelik mesafesinde, binler sene vüs’atinde vücud-u misalî ve hakaik-i maneviye yerleşir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Penutup'''
    '''Hâtime:''' Şu meseleden anlaşılıyor ki '''derece-i şuhud, derece-i iman-ı bilgaybdan çok aşağıdır.''' Yani yalnız şuhuduna istinad eden bir kısım ehl-i velayetin ihatasız keşfiyatı, veraset-i nübüvvet ehli olan asfiya ve muhakkikînin şuhuda değil, Kur’an’a ve vahye, gaybî fakat safi, ihatalı, doğru hakaik-i imaniyelerine dair ahkâmlarına yetişmez.
    Dari masalah ini dapat dipahami bahwa tingkat penyaksian (syuhud) jauh lebih rendah daripada tingkatan iman kepada alam gaib. Artinya, sejumlah ketersingkapan (kasyaf) yang tidak memiliki kaidah khusus yang dimiliki oleh sejumlah wali yang bersandar
    </div>
    kepada penyaksian semata tidak bisa mencapai penilaian dan ketetapan kalangan ashfiya dan ahli hakikat yang merupakan pewaris nabi di mana mereka tidak bersandar kepada penyaksian; tetapi kepada al-Qur’an dan wahyu.


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Mereka menetapkan hukum dan penilaian tentang sejumlah hakikat iman yang bersifat gaib tetapi bersih, komprehensif dan benar. Ia juga dibatasi oleh sejumlah kaidah dan dapat diukur dengan sejumlah neraca.
    '''Demek, bütün ahval ve keşfiyatın ve ezvak ve müşahedatın mizanı, Kitap ve Sünnettir. Ve mihenkleri, Kitap ve Sünnetin desatir-i kudsiyeleri ve asfiya-i muhakkikînin kavanin-i hadsiyeleridir.'''
    Jadi, neraca dari seluruh kondisi spiritual, kasyaf, rasa, dan penyaksian adalah hukum-hukum al-Qur’an dan as-Sunnah yang mulia; serta rambu-rambu intuitif yang dimiliki oleh kalangan ash- fiya dan ahli hakikat.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="İKİNCİ_MESELE-İ_MÜHİMME"></span>
    == İKİNCİ MESELE-İ MÜHİMME ==
    ==Persoalan Kedua==
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Pertanyaan:'''Banyak orang menilai wahdatul wujud sebagai tingkatan spiritual yang paling tinggi, sementara kami tidak melihat jejaknya pada para sahabat Nabi yang mulia yang berada di tingkat kewalian agung, terutama khulafa ar-Rasyidin. Juga, pada imam- imam ahlul bait, terutama kelima orang yang dihimpun dalam jubah Nabi (Alu al-Abâ’), serta pada para mujtahid, terutama empat imamnya, dan para tabi’in. Apakah generasi yang datang sesudah mereka telah menyingkap sebuah jalan yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada jalan mereka? Apakah generasi tersebut dalam hal ini mengungguli mereka?
    '''Sual:''' Vahdetü’l-vücud meselesi, çoklar tarafından en yüksek makam telakki ediliyor. Halbuki velayet-i kübrada bulunan başta Hulefa-yı Erbaa olmak üzere sahabeler ve hem başta Hamse-i Âl-i Abâ olarak Eimme-i Ehl-i Beyt ve hem başta Eimme-i Erbaa olarak müçtehidîn ve tabiînden bu çeşit vahdetü’l-vücud meşrebi sarîhan görülmemiş. Acaba onlardan sonra çıkanlar daha ileri mi gitmişler, daha mükemmel bir cadde-i kübra mı bulmuşlar?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Jawaban:'''Tidak demikian. Kondisinya tidak seperti itu. Tidak ada seorangpun yang dapat sampai kepada tingkatan kalangan ashfiya di atas yang laksana bintang bersinar paling dekat dengan mentari risalah, sekaligus pewaris pertama dari khazanah kenabian, apalagi sampai mendahului mereka. Jalan yang lurus (shirat al-mustaqim) adalah jalan mereka dan manhaj yang benar adalah manhaj mereka.
    '''Elcevap:''' Hâşâ! Şems-i Risalet’in en yakın yıldızları ve en karib vereseleri bulunan o asfiyadan hiç kimsenin haddi değil, daha ileri gidebilsin. Belki cadde-i kübra onlarındır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Adapun wahdatul wujud adalah sebuah masyrab (jalan), pendekatan, serta sebuah keadaan. Ia adalah tingkatan yang tidak sempurna. Akan tetapi, karena bercampur dengan kenikmatan perasaan dan ekstase spiritual, maka sebagian besar orang yang masuk ke dalam maqam tersebut pada perjalanan suluk tidak ingin meninggal- kannya sehingga tetap bersamanya. Mereka mengira bahwa ia merupakan tingkatan terakhir yang di atasnya tidak ada lagi tingkatan lain.
    Vahdetü’l-vücud ise bir meşrep ve bir hal ve bir nâkıs mertebedir. Fakat zevkli, neşeli olduğundan seyr ü sülûkta o mertebeye girdikleri vakit çoğu çıkmak istemiyorlar, orada kalıyorlar; en münteha mertebe zannediyorlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Karena itu, orang yang berada di jalan ini, apabila memiliki ruh yang terlepas dari kungkungan materi dan berbagai sarananya, lalu merobek tirai sebab, bebas dari belenggunya, dan meraih penyaksian dalam ketenggelaman yang menyeluruh, maka orang seperti itu bisa jadi sampai kepada wahdatul wujud yang didasarkan pada kondisi yang dirasakan; bukan berdasarkan pengetahuan. Ia bersumber dari kesatuan penyaksian (wahdatusy-syuhud); bukan dari wahdatul wujud. Dari sanalah, pemiliknya merasakan kesempurnaan dan kedudukan yang ia miliki. Bahkan hal itu bisa membuatnya mengingkari wujud alam saat memusatkan perhatian pada wujud Allah.Adapun apabila pemilik jalan ini termasuk yang tenggelam dalam dunia materi, maka pengakuannya tentang wahdatul wujud bisa membuatnya mengingkari wujud Allah karena perhatiannya terbatas pada wujud alam.
    İşte şu meşrep sahibi, eğer maddiyattan ve vesaitten tecerrüd etmiş ve esbab perdesini yırtmış bir ruh ise istiğrakkârane bir şuhuda mazhar ise vahdetü’l-vücuddan değil belki vahdetü’ş-şuhuddan neş’et eden, ilmî değil, hâlî bir vahdet-i vücud onun için bir kemal, bir makam temin edebilir. Hattâ Allah hesabına kâinatı inkâr etmek derecesine gidebilir. Yoksa esbab içinde dalmış ise, maddiyata mütevaggil ise vahdetü’l-vücud demesi, kâinat hesabına Allah’ı inkâr etmeye kadar çıkar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya, jalan yang lurus adalah jalan para sahabat, tabi’in, dan kalangan ashfiya yang melihat bahwa  “Hakikat sesuatu adalah nyata”.
    Evet cadde-i kübra, sahabe ve tabiîn ve asfiyanın caddesidir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ia merupakan kaidah universal bagi mereka. Mereka mengetahui bahwa yang layak dengan hak Allah adalah firman-Nya:“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…” (QS. asy- Syûrâ [42]: 11). Artinya, Dia tidak diserupai oleh sesuatu, tidak berpihak, tidak parsial, dan tidak terbagi. Hubungan-Nya dengan entitas adalah hubungan antara Khalik dan makhluk (penciptaan). Entitas bukan ilusi seperti anggapan kalangan wahdatul wujud. Namun entitas yang tampak ini merupakan jejak kekuasaan Allah. Jadi, ung- kapan mereka  “Tiada yang ada selain Dia” tidaklah benar. Yang benar “Tiada yang ada selain dari-Nya.” Hal itu, karena entitas tidak mungkin bersifat qadim (tak bermula) atau azali.
    حَقَائِقُ ال۟اَش۟يَاءِ ثَابِتَةٌ cümlesi, onların kaide-i külliyeleridir. Ve Cenab-ı Hakk’ın لَي۟سَ كَمِث۟لِهٖ شَى۟ءٌ mazmunu üzere, hiçbir şey ile müşabeheti yok. Tahayyüz ve tecezziden münezzehtir. Mevcudatla alâkası, hâlıkıyettir. Ehl-i vahdetü’l-vücudun dedikleri gibi mevcudat, evham ve hayalat değil. Görünen eşya dahi Cenab-ı Hakk’ın âsârıdır. “Heme ost” değil “Heme ezost”tur. Yani her şey o değil belki her şey ondandır. Çünkü hâdisat, ayn-ı Kadîm olamaz. Şu meseleyi '''iki temsil''' ile fehme takrib edeceğiz:
    Persoalan ini mungkin bisa lebih dipahami dengan dua contoh berikut:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pertama, misalkan seorang penguasa memiliki lembaga penegak keadilan. Maka, lembaga tersebut mencerminkan nama “penguasa yang adil.” Pada waktu bersamaan penguasa tersebut juga merupakan sosok “khalifah”. Karena itu, ia memiliki lembaga keagamaan dan ilmiah yang memantulkan nama tersebut. Kemudian penguasa itu membawa nama “panglima militer.” Dengan nama tersebut, ia bertindak di wilayah militer. Tentaranya juga merupakan manifestasi dari nama tersebut.
    '''Birincisi:''' Mesela, bir padişah var. O padişahın hâkim-i âdil ismiyle bir adliye dairesi var ki o ismin cilvesini gösteriyor. Bir ismi de halifedir. Bir meşihat ve bir ilmiye dairesi, o ismin mazharıdır. Bir de kumandan-ı a’zam ismi var. O isim ile devair-i askeriyede faaliyet gösterir. Ordu, o ismin mazharıdır.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Sekarang, kalau ada yang berkata bahwa pe- nguasa tersebut adalah penguasa yang adil saja, yakni hanya lembaga penegak keadilan yang mencerminkan nama sang penguasa, dalam kondisi demikian, sudah pasti bagi lembaga penegak keadilan, sifat dan kondisi para ulama urusan agama terlihat sebagai sesuatu yang relatif; bukan hakiki. Artinya, sifat yang dimiliki oleh lembaga urusan agama dan juga lembaga militer oleh lembaga penegak keadilan dianggap relatif dan aksesori; tidak hakiki dan tidak aktual.Dalam kondisi seperti itu, nama penguasa hakiki dan sifat kekuasaan hakikinya (penguasa yang adil) terwujud pada lembaga penegak keadilan. Sementara, sifat-sifatnya yang lain, seperti khalifah dan panglima tentara, bersifat relatif dan tidak hakiki. Padahal, esensi dan hakikat kekuasaan menuntut keberadaan seluruh nama tersebut dalam bentuk yang aktual dan hakiki. Di sisi lain, nama-nama hakiki tersebut menuntut keberadaan lembaga kekuasaan yang bersifat hakiki.
    Şimdi biri çıksa dese ki: “O padişah, yalnız hâkim-i âdildir; devair-i adliyeden başka daire yok.” O vakit bilmecburiye, adliye memurları içinde, hakiki değil itibarî bir surette, meşihat dairesindeki ulemanın evsafını ve ahvalini onlara tatbik edip zıllî ve hayalî bir tarzda, hakiki adliye içinde tebeî ve zıllî bir meşihat dairesi tasavvur edilir. Hem daire-i askeriyeye ait ahval ve muamelatını yine farazî bir tarzda, o memurîn-i adliye içinde itibar edip gayr-ı hakiki bir daire-i askeriye itibar edilir ve hâkeza… İşte şu halde, padişahın hakiki ismi ve hakiki hâkimiyeti, hâkim-i âdil ismidir ve adliyedeki hâkimiyettir. Halife, kumandan-ı a’zam, sultan gibi isimleri hakiki değiller, itibarîdirler. Halbuki padişahlık mahiyeti ve saltanat hakikati, bütün isimleri hakiki olarak iktiza eder. Hakiki isimler ise hakiki daireleri istiyor ve iktiza ediyorlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Demikianlah, kekuasaan uluhiyah menuntut keberadaan beragam nama dan sifat baik yang bersifat hakiki, seperti ar-Rahmân (Maha Pengasih), ar-Razzâq (Maha Pemberi rezeki), al-Wahhâb (Maha Pemberi), al-Khallâq (Maha Pencipta), al-Karîm (Maha Pe- murah), al-Fa’âl (Maha Berbuat), dan ar-Rahîm (Maha Penyayang). Semua nama tersebut juga menuntut keberadaan cermin hakiki bagi- nya.Nah, ketika penganut wahdatul wujud berkata “tidak ada se- suatu kecuali Dia” lalu menempatkan entitas pada posisi tiada dan khayalan, nama-nama Allah seperti Wajibul wujud (Wajib ada), al-Maujûd (Yang Mahaada), al-Ahad (Yang Mahaesa), al-Wâhid (Yang Mahatunggal), tetap memiliki manifestasi dan lingkup haki- ki. Bahkan meskipun lingkup dan cermin dari nama-nama tersebut tidak bersifat hakiki—dan menjadi sesuatu yang bersifat imajiner dan tiada—hal itu tidak berpengaruh pada nama-Nya sama sekali. Bahkan bisa jadi wujud hakikinya lebih bening dan lebih bersinar
    İşte saltanat-ı uluhiyet Rahman, Rezzak, Vehhab, Hallak, Faal, Kerîm, Rahîm gibi pek çok esma-i mukaddeseyi hakiki olarak iktiza ediyor. O hakiki esma dahi hakiki âyineleri iktiza ediyorlar. Şimdi ehl-i vahdetü’l-vücud madem لَا مَو۟جُودَ اِلَّا هُوَ der, hakaik-i eşyayı hayal derecesine indirir. Cenab-ı Hakk’ın Vâcibü’l-vücud ve Mevcud ve Vâhid ve Ehad isimlerinin hakiki cilveleri ve daireleri var. Belki âyineleri, daireleri hakiki olmazsa; hayalî, ademî dahi olsa onlara zarar etmez. Belki vücud-u hakikinin âyinesinde vücud rengi olmazsa daha ziyade safi ve parlak olur. Fakat Rahman, Rezzak, Kahhar, Cebbar, Hallak gibi isimleri ise tecellileri hakiki olmuyor, itibarî oluyor. Halbuki o esmalar, Mevcud ismi gibi hakikattirler, gölge olamazlar; aslîdirler, tebeî olamazlar.
    meskipun pada guratan wujud tidak ada pada cerminnya.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Hanya saja, pada kondisi tersebut, nama-nama Allah yang lain seperti ar- Rahmân, ar-Razzâq, al-Qahhâr, al-Jabbâr, al-Khallâq tidak memiliki manifestasi hakiki. Ia menjadi bersifat artifisial dan relatif. Padahal semua nama tersebut bersifat hakiki, sama seperti nama al-Maujûd. Ia tidak mungkin hanya berupa bayangan. Ia juga asli; bukan sekadar pelengkap atau aksesori.
    İşte sahabe ve asfiya-i müçtehidîn ve Eimme-i Ehl-i Beyt حَقَائِقُ ال۟اَش۟يَاءِ ثَابِتَةٌ derler ki '''Cenab-ı Hakk’ın bütün esmasıyla hakiki bir surette tecelliyatı var. Bütün eşyanın onun icadıyla bir vücud-u ârızîsi vardır. Ve o vücud çendan Vâcibü’l-vücud’un vücuduna nisbeten gayet zayıf ve kararsız bir zıll, bir gölgedir fakat hayal değil, vehim değildir. Cenab-ı Hak, Hallak ismiyle vücud veriyor ve o vücudu idame ediyor.'''
    Demikianlah, para sahabat, mujtahid, orang-orang pilihan (ashfiya), dan imam ahlul bait. Ketika mengatakan bahwa hakikat segala sesuatu adalah nyata, mereka menegaskan bahwa nama-nama Allah memiliki manifestasi hakiki, sementara segala sesuatu memiliki wujud non-subtansial yang Allah ciptakan. Meskipun wujud tersebut bersifat non-substansial, lemah, dan tidak permanen jika dibandingkan dengan wujud Wajibul wujud, namun ia bukan ilusi dan khayalan. Allah telah memberikan wujud pada segala sesuatu dengan manifestasi nama-Nya, al-Khallâq. Dia menjaga kelangsungan wujud tersebut.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kedua, bayangkan bahwa ruangan ini memiliki empat cermin besar yang terpasang di keempat temboknya. Maka, gambar ruangan terpantul pada setiap cermin dari seluruh cerminnya. Hanya saja, setiap cermin memantulkan gambar sesuatu dalam bentuk yang sesuai dengan sifat dan warnanya. Artinya, setiap cermin akan memantulkan sebuah pemandangan khusus dari ruangan tersebut.
    '''İkinci Temsil:''' Mesela, şu menzilin dört duvarında dört tane endam âyinesi bulunsa her bir âyine içinde her ne kadar o menzil öteki üç âyine ile beraber irtisam ediyor. Fakat her bir âyine, kendinin heyetine ve rengine göre eşyayı kendi içinde ihtiva eyler; kendine mahsus misalî bir menzil hükmündedir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Apabila dua orang masuk ke dalam ruangan dan salah satunya melihat kepada cermin-cermin itu, ia merasa dirinya melihat segala sesuatu tergambar di dalamnya. Ketika mendengar keberadaan cermin-cermin lain berikut gambar di dalamnya, ia merasa bahwa hal itu merupakan gambar dari cermin yang memantul pada cerminnya di mana ia ha- nya mengisi bagian kecil darinya. Yaitu setelah gambarnya mengecil dua kali dan setelah susbstansinya berubah. Iapun berkata, “Aku melihat gambarnya semacam itu.” Jadi, ia adalah sebuah hakikat dan kenyataan.
    İşte şimdi iki adam o menzile girse; birisi bir tek âyineye bakar, der ki: “Her şey bunun içindedir.” Başka âyineleri ve âyinelerin içlerindeki suretleri işittiği vakit, mesmuatını o tek âyinedeki iki derece gölge olmuş, hakikati küçülmüş, tagayyür etmiş o âyinenin küçük bir köşesinde tatbik eder. Hem der: “Ben öyle görüyorum, öyle ise hakikat böyledir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Mendengar hal tersebut orang yang kedua berkata, “Ya, engkau melihatnya, dan apa yang engkau lihat benar. Akan tetapi, sebenarnya ia bukan gambar hakikat yang sebenarnya. Terdapat banyak cermin lain selain cermin yang kau lihat. Cermin-cermin tersebut tidak
    Diğer adam ona der ki: “Evet, sen görüyorsun, gördüğün haktır fakat vakide ve nefsü’l-emirde hakikatin hakiki sureti öyle değil. Senin dikkat ettiğin âyine gibi daha başka âyineler var; gördüğün kadar küçücük, gölgenin gölgesi değiller.”
    kecil dan ia bukan pantulan dari bayangan seperti yang kau lihat dalam cerminmu.”
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Begitulah, setiap nama Allah menuntut keberadaan cermin masing-masing. Misalnya, seluruh nama Allah seperti ar-Rahmân (Maha Pengasih) dan ar-Razzâq (Maha Pemberi rezeki), karena merupakan nama hakiki dan asli, ia menuntut sejumlah entitas yang layak dengannya serta makhluk yang membutuhkan rezeki dan kasih semacam itu.
    İşte esma-i İlahiyenin her biri, ayrı ayrı birer âyine ister. Hem mesela Rahman, Rezzak hakikatli, asıl oldukları için kendilerine lâyık, rızka ve merhamete muhtaç mevcudatı ister. Rahman nasıl hakiki bir dünyada rızka muhtaç hakikatli zîruhları ister; Rahîm de öyle hakiki bir cenneti ister. Eğer yalnız Mevcud ve Vâcibü’l-vücud ve Vâhid-i Ehad isimleri hakiki tutulup öteki isimler onların içine gölge olmak haysiyetiyle alınsa o esmaya karşı bir haksızlık hükmüne geçer.
    Sebagaimana nama ar-Rahmân menuntut keberadaan makhluk hidup yang membutuhkan rezeki di alam hakiki, maka nama ar- Rahîm menuntut keberadaan surga hakiki pula. Karena itu, memandang sejumlah nama Allah seperti al-Maujûd, al-Wâhid, al-Ahad, dan Wâjibul wujûd sebagai nama-nama hakiki, sementara nama Allah yang lainnya sebagai pelengkap dan bayangan merupakan penila- ian yang tidak adil dan sikap kurang menghormati nama-nama Allah tersebut.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jadi, Jalan yang lurus (shirât al-Mustaqîm) adalah jalan para sahabat, kalangan ashfiya, tabi’in, imam ahlul bait, dan imam para mujtahid yang merupakan pemilik derajat kewalian agung. Ia juga merupakan jalan yang dilewati oleh murid-murid al-Qur’an yang pertama.
    İşte şu sırdandır ki cadde-i kübra, elbette velayet-i kübra sahipleri olan sahabe ve asfiya ve tabiîn ve Eimme-i Ehl-i Beyt ve eimme-i müçtehidînin caddesidir ki doğrudan doğruya Kur’an’ın birinci tabaka şakirdleridir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Engkaulah yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.”(*<ref>*Ayat ini biasanya dijadikan Said Nursi sebagai penutup pada sebagian besar risalah atau tulisannya. Karena sebagai munajat (doa penutup) dan sering berulang, maka untuk selanjutnya tidak disertakan terjemahannya—Peny.</ref>)
    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami. Karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi-Mu; karena sesungguhnya Engkaulah Maha pemberi (karunia).”
    رَبَّنَا لَا تُزِغ۟ قُلُوبَنَا بَع۟دَ اِذ۟ هَدَي۟تَنَا وَهَب۟ لَنَا مِن۟ لَدُن۟كَ رَح۟مَةً اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟وَهَّابُ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya Allah, limpahkan salawat kepada sosok yang Kau utus sebagai rahmat bagi semesta alam. Juga, kepada keluarga
    اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلٰى مَن۟ اَر۟سَل۟تَهُ رَح۟مَةً لِل۟عَالَمٖينَ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ اَج۟مَعٖينَ
    dan seluruh sahabatnya.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <span id="ÜÇÜNCÜ_MESELE"></span>
    == ÜÇÜNCÜ MESELE ==
    ==Persoalan Ketiga==
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Yaitu persoalan penting yang tidak bisa dipecahkan dengan akal serta tidak bisa disingkap oleh filsafat dan hikmah.
    '''Hikmet ve akıl ile halledilmeyen bir mesele-i mühimme.'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Allah berfirman:“Setiap waktu Dia berada dalam kesibukan.” (QS. ar-Rahmân [55]: 29),“Dia Maha Berbuat atas apa yang Dia kehendaki.” (QS. al-Burûj [85]: 16).
    كُلَّ يَو۟مٍ هُوَ فٖى شَا۟نٍ ۝ فَعَّالٌ لِمَا يُرٖيدُ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Pertanyaan:'''Apa rahasia di balik aktivitas yang mencengangkan akal yang terdapat di seluruh entitas? Apa hikmahnya? Mengapa entitas yang melata itu tidak tetap; melainkan terus berubah-ubah?
    '''Sual:''' Kâinattaki mütemadiyen şu hayret-engiz faaliyetin sırrı ve hikmeti nedir? Neden şu durmayanlar durmuyorlar, daima dönüp tazeleniyorlar?
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Jawaban: Penjelasan atas hikmah ini membutuhkan seribu halaman. Karena itu, kami tidak ingin menjelaskan panjang lebar. Kami hanya akan menjawab dengan sangat singkat dalam dua hala- man.
    '''Elcevap:''' Şu hikmetin izahı bin sahife ister. Öyle ise izahını bırakıp gayet muhtasar bir icmalini iki sahifeye sığıştıracağız.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kami tegaskan bahwa siapapun, apabila menunaikan sebuah tugas alami atau menunaikan tugas sosial, serta berusaha keras untuk menyelesaikannya, sudah pasti orang yang menyaksikan mengetahui bahwa ia menunaikan pekerjaan tersebut dengan dua motif:
    İşte nasıl ki bir şahıs, bir vazife-i fıtriyeyi veyahut bir vazife-i içtimaiyeyi yapsa ve o vazife için hararetli bir surette çalışsa; elbette ona dikkat eden anlar ki o vazifeyi ona gördüren iki şeydir:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Pertama, kemaslahatan, hasil, dan manfaat yang didapat dari tugas tersebut. Itulah yang disebut dengan tujuan akhir.
    '''Birisi:''' Vazifeye terettüp eden maslahatlar, semereler, faydalardır ki ona '''ille-i gaiye''' denilir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kedua, terdapat cinta, kerinduan, dan kenikmatan yang dirasakan manusia saat menunaikan tugas tersebut di mana itu mendorongnya untuk melaksanakannya dengan penuh semangat dan antusias. Inilah yang disebut dengan faktor stimulan dan tuntutan.
    '''İkincisi:''' Bir muhabbet, bir iştiyak, bir lezzet vardır ki hararetle o vazifeyi yaptırıyor ki ona '''dâî ve muktezî''' tabir edilir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Misalnya, makan merupakan kebiasaan alami yang disenangi manusia karena ada kenikmatan yang bersumber dari selera. Selanjutnya, terdapat proses pengembangan tubuh dan pemeliharaan kehidupan sebagai hasil dan buah darinya.
    Mesela yemek yemek, iştihadan gelen bir lezzet, bir iştiyaktır ki onu yemeye sevk eder. Sonra da yemeğin neticesi vücudu beslemektir, hayatı idame etmektir.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    (Demikian pula halnya dengan Allah, tanpa ada maksud menyerupakan Dia dengan apa dan siapa pun). Aktivitas yang berlangsung di alam luas ini di mana ia mencengangkan akal dan membuatnya terkagum-kagum, semuanya merujuk kepada dua bagian nama-nama-Nya. Ia berlangsung sebagai hasil dari penampakan dua hikmah yang luas yang masing-masingnya tidak terbatas.
    Öyle de وَلِلّٰهِ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى şu kâinattaki dehşet-engiz ve hayret-nüma hadsiz faaliyet, iki kısım esma-i İlahiyeye istinad ederek '''iki hikmet-i vâsia''' içindir ki her bir hikmeti de nihayetsizdir:
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Hikmah Pertama'''
    '''Birincisi:''' Cenab-ı Hakk’ın esma-i hüsnasının hadd ü hesaba gelmez enva-ı tecelliyatı var. Mahlukatın tenevvüleri, o tecelliyatın tenevvüünden geliyor. O esma ise daimî bir surette tezahür isterler. Yani nakışlarını göstermek isterler. Yani nakışlarının âyinelerinde cilve-i cemallerini görmek ve göstermek isterler. Yani kâinat kitabını ve mevcudat mektubatını ânen fe-ânen tazelendirmek isterler. Yani yeniden yeniye manidar yazmak ve her bir mektubu, Zat-ı Mukaddes ve Müsemma-yı Akdes ile beraber, bütün zîşuurların nazar-ı mütalaasına göstermek ve okutturmak iktiza ederler.
    Asmaul Husna memiliki manifestasi tak terhingga dan tak terbatas. Keragaman makhluk menjadi berbagai spesies bersumber dari keragaman manifestasi. Nama-nama Allah ingin termanifestasi secara terus-menerus. Artinya, ia menuntut penampakan goresannya. Dengan kata lain, ia ingin menyaksikan manifestasi keindahannya dalam berbagai cermin ukiran dan memamerkannya. Artinya, nama-nama tersebut ingin memperbaharui kitab alam dan seluruh entitas setiap saat serta menulis ulang, di mana setiap tulisan memperlihatkan diri di hadapan Dzat Yang Mahasuci dan Pemilik nama-nama yang suci, dan memperlihatkannya di hadapan seluruh makhluk yang memiliki kesadaran sekaligus mendorong mereka untuk membacanya.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Sebab dan Hikmah Kedua'''
    '''İkinci sebep ve hikmet:''' Nasıl ki mahlukattaki faaliyet bir iştiha, bir iştiyak, bir lezzetten geliyor. Ve hattâ her bir faaliyette kat’iyen lezzet vardır; belki her bir faaliyet, bir nevi lezzettir.
    Sebagaimana aktivitas yang terdapat pada semua makhluk bersumber dari sebuah keinginan, kerinduan, dan kenikmatan; bahkan pada setiap aktivitas terdapat kenikmatan; bahkan setiap aktivitas itu sendiri merupakan satu bentuk kenikmatan.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Allah lebih daripada itu. Terdapat sebuah kasih sayang suci tak terbatas serta cinta suci tak terhingga yang layak disandang Sang Wajibul Wujud, yang sejalan dengan kekayaan-Nya yang bersifat mutlak, serta sesuai dengan kesempurnaan-Nya yang mutlak. Lalu, terdapat kerinduan suci-Nya yang bersumber dari kasih dan cinta yang suci tadi.
    Öyle de Vâcibü’l-vücud’a lâyık bir tarzda ve istiğna-i zatîsine ve gına-i mutlakına muvafık bir surette ve kemal-i mutlakına münasip bir şekilde hadsiz bir şefkat-i mukaddese ve hadsiz bir muhabbet-i mukaddese var.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Kemudian, terdapat kegembiraan suci tak terhingga yang bersumber dari kerinduan tersebut.
    Ve o şefkat-i mukaddese ve o muhabbet-i mukaddeseden gelen hadsiz bir şevk-i mukaddes var.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Lalu terdapat kenikmatan suci yang layak disandang-Nya—jika bisa dikatakan demikian—yang bersumber dari kegembiraan suci tadi.
    Ve o şevk-i mukaddesten gelen hadsiz bir sürur-u mukaddes var.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Rahmat mutlak yang bersumber dari kenikmatan suci di atas serta yang berasal dari seluruh entitas berupa rida dan kesempurnaan menyeluruh yang bertolak dari potensi kekuatannya menuju perbuatan dan penyempurnaanya dalam lingkup kreasi qudrah-Nya.
    Ve o sürur-u mukaddesten gelen –tabir caiz ise– hadsiz bir lezzet-i mukaddese var.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Rida yang suci—jika bisa dikatakan demikian—serta kebanggaan suci yang bersifat mutlak, semua itu sesuai dengan ar-Rahmân dan ar-Rahîm, menuntut adanya aktivitas dalam bentuk yang tak terhingga.
    Hem o lezzet-i mukaddeseden gelen hadsiz terahhumdan, mahlukatın faaliyet-i kudret içinde ve istidatları kuvveden fiile çıkmasından ve tekemmül etmesinden neş’et eden memnuniyetlerinden ve kemallerinden gelen ve Zat-ı Rahman-ı Rahîm’e ait –tabir caiz ise– hadsiz memnuniyet-i mukaddese ve hadsiz iftihar-ı mukaddes vardır ki hadsiz bir surette, hadsiz bir faaliyeti iktiza ediyor.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Karena filsafat dan sains tidak memahami hikmah halus di atas yang terdapat dalam aktivitas di alam wujud, maka orang-orang yang menggelutinya mencampur alam yang tuli, proses kebetulan yang buta dan sebab-sebab tak bernyawa, dengan aktivitas alam yang penuh ilmu, hikmah, dan pengawasan. Mereka tidak mendapat cahaya hakikat. Namun tersesat jauh.
    İşte şu hikmet-i dakikayı, felsefe ve fen ve hikmet bilmediği içindir ki şuursuz tabiatı ve kör tesadüfü ve camid esbabı; şu gayet derecede alîmane, hakîmane, basîrane faaliyete karıştırmışlar, dalalet zulümatına düşüp nur-u hakikati bulamamışlar.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Katakan, “Allah”, kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya. (QS. an-Nahl [16]: 91).
    قُلِ اللّٰهُ ثُمَّ ذَر۟هُم۟ فٖى خَو۟ضِهِم۟ يَل۟عَبُونَ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami. Karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi-Mu; karena sesungguhnya Engkaulah Maha pemberi (karunia).”
    رَبَّنَا لَا تُزِغ۟ قُلُوبَنَا بَع۟دَ اِذ۟ هَدَي۟تَنَا وَهَب۟ لَنَا مِن۟ لَدُن۟كَ رَح۟مَةً اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟وَهَّابُ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Ya Allah, limpahkan salawat dan salam kepada penyingkap misteri alam-Mu sebanyak partikel entitas. Juga, kepada keluarga dan para sahabatnya sepanjang keberadaan langit dan bumi.
    اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلٰى كَاشِفِ طِل۟سِمِ كَائِنَاتِكَ بِعَدَدِ ذَرَّاتِ ال۟مَو۟جُودَاتِ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ مَا دَامَ ال۟اَر۟ضُ وَ السَّمٰوَاتُ
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Yang kekal, hanyalah Dzat Yang Mahakekal.
    اَل۟بَاقٖى هُوَ ال۟بَاقٖى
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    '''Said Nursî'''
    '''Said Nursî'''
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    ------
    ------
    <center> [[On Yedinci Mektup]] ⇐ | [[Mektubat]] | ⇒ [[On Dokuzuncu Mektup]] </center>
    <center> [[On Yedinci Mektup/id|SURAT KETUJUH BELAS]] ⇐ | [[Mektubat/id|Al-Maktûbât]] | ⇒ [[On Dokuzuncu Mektup/id|SURAT KESEMBILAN BELAS]] </center>
    ------
    ------
    </div>

    16.30, 6 Ocak 2025 itibarı ile sayfanın şu anki hâli

    Diğer diller:

    بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ

    وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    (Surat ini Berisi Tiga Persoalan Penting)

    Persoalan Pertama

    Pertanyaan:Para wali terkenal seperti Syekh Muhyiddin ibn Arabi, penulis kitab al-Futûhât al-Makkiyyah, dan Syekh Abdul Karim al-Jîlî, penulis kitab al-Insân al-Kâmil, membahas tentang tujuh lapis bumi, bumi putih di balik gunung Qâf, serta sejumlah hal aneh semisal al-Masymasyiyah seperti yang terdapat dalam al-Futûhât. Mereka berkata, “Kami telah melihatnya.” Nah, apakah yang mereka katakan itu benar? Jika memang demikian, di bumi tidak ada seperti yang mereka katakan. Geografi dan sains modern menyangkal ucapan mereka. Namun jika ucapan mereka tidak benar, bagaimana mungkin mereka menjadi wali yang salih? Sebab, bagaimana mungkin orang yang mengutarakan sesuatu yang bertentangan dengan realitas yang terlihat dan terindra, serta menafikan hakikat kebenaran dikatakan sebagai ahlul haq dan ahli hakikat?!

    Jawaban:Mereka termasuk ahlul haq dan ahli hakikat. Mereka juga termasuk kalangan wali. Apa yang mereka saksikan, benar adanya. Hanya saja, kekeliruan terjadi pada sebagian penilaian mereka terhadap apa yang mereka saksikan saat kondisi syuhud yang memang tidak memiliki kaidah dan batasan, serta terhadap ekspresi penglihatan mereka yang sebenarnya tidak bisa dijelaskan.Sebagaimana orang yang bermimpi tidak bisa menjelaskan mimpinya sendiri, maka para ahli syuhud dan kasyaf itu juga tidak bisa menjelaskan penyaksian mereka pada kondisi syuhud tersebut. Yang berhak dan bisa menjelaskannya hanyalah ulama pewaris para nabi yang dikenal sebagai orang pilihan (ashfiya). Tentu saja, ketika ahli syuhud itu naik ke tingkatan ashfiya, mereka bisa menangkap dan meluruskan kekeliruan mereka sendiri lewat petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Kenyataannya, sebagian mereka memang telah meluruskan kekeliruan tersebut.

    Perhatikan cerita imajiner berikut untuk memperjelas hakikat di atas:

    Pada satu waktu, ada dua pengembala yang salih. Keduanya memeras susu dari kambing mereka dan meletakkannya di sebuah wadah yang terbuat dari kayu. Lalu mereka meletakkan seruling bambu mereka di atas wadah tersebut. Kemudian salah seorang dari mereka mengantuk hingga akhirnya tertidur. Ia tidur dengan pulas. Adapun orang yang kedua tetap terjaga seraya mengawasi temannya. Tiba-tiba ia melihat seolah-olah ada hewan kecil—seperti lalat—yang keluar dari hidung temannya yang sedang tidur itu. Hewan itu terbang dengan cepat dan hinggap di pinggir wadah tersebut seraya melihat kepada susu. Lalu ia masuk ke lubang suling lewat salah satu sisinya dan keluar dari sisi yang lain. Setelah itu, ia berlalu dan masuk ke lubang kecil yang berada di bawah tanaman berduri yang dekat darinya.Tidak lama kemudian, hewan itu kembali. Ia masuk pula ke seruling tadi dan keluar dari sisi yang lain. Selanjutnya ia mendatangi temannya yang tidur itu dan masuk ke dalam hidungnya. Seketika sang teman terbangun dari tidurnya seraya berkata, “Wahai teman, dalam tidurku tadi aku melihat mimpi yang menakjubkan!” “Ya Allah, perlihatkan dan perdengarkan kebaikan pada kami! Wahai teman, katakan apa yang kau lihat dalam mimpimu!” ujar temannya.“Dalam mimpi aku melihat lautan susu. Di atasnya terbentang jembatan yang menakjubkan. Jembatan itu beratap. Di atapnya terdapat sejumlah jendela. Aku melewati jembatan tersebut. Di ujungnya yang kedua kulihat ada hutan lebat yang penuh dengan pohon berduri. Saat melihat kepadanya dengan kagum, aku melihat sebuah goa berada di bawah pohon. Segera saja aku masuk ke dalamnya. Aku melihat tumpukan emas murni dalam jumlah besar. Wahai teman, apa maksud dari mimpiku ini? ”

    Teman yang terjaga itupun menjelaskan, “Lautan susu yang kau lihat itu sebenarnya adalah susu yang terdapat di wadah ini. Sementara jembatan yang berada di atasnya adalah seruling. Ujung pohon yang berduri tidak lain adalah tanaman getah ini. Dan goa besar yang kau sebut adalah lubang kecil yang berada di bawah tanaman yang berada di dekat kita ini. Tolong berikan cangkul padaku untuk ku- perlihatkan padamu harta yang kau katakan!” Temannya itupun datang membawa cangkul dan mereka berdua mulai menggali tanah di bawah tanaman getah. Tidak lama kemudian terlihat oleh mereka harta berupa emas yang membuat mereka gembira.

    Apa yang dilihat oleh orang yang bermimpi adalah benar. Ia melihat apa yang dilihatnya sebagai sebuah hakikat kebenaran. Akan tetapi, karena ia tenggelam dalam dunia mimpi, sementara dunia mimpi tidak memiliki kaidah dan batasan tertentu, maka orang yang bermimpi tadi tidak bisa menjelaskan mimpinya. Apalagi ia tidak mampu membedakan antara alam materi dan maknawi. Karena itu, sebagian penilaiannya keliru. Sehingga dengan jujur ia berkata kepada temannya, “Aku telah melihat lautan susu.” Sementara, temannya yang terjaga dapat dengan mudah membedakan alam maknawi dari alam materi. Ia dapat menjelaskan mimpinya dengan berkata kepada temannya, “Apa yang kau lihat adalah benar. Namun, lautan yang kau lihat bukan lautan yang sebenarnya. Namun dalam mimpimu wadah susu kayu ini berubah menjadi seperti lautan, dan seruling tersebut berubah menjadi jembatan.” Begitulah.

    Berdasarkan contoh di atas, alam materi harus dibedakan dengan alam rohani. Kalau keduanya dicampur, penilaian terhadap keduanya menjadi keliru dan tidak benar. Contoh lain: Bayangkan engkau memiliki sebuah ruangan yang sempit. Pada keempat dindingnya kau pasang cermin besar yang me- nutup semua sisi dinding. Maka, ketika masuk ke dalam kamarmu, engkau melihat ruanganmu yang sempit menjadi luas dan menjadi seperti halaman. Apabila engkau berkata, “Aku melihat ruanganku seperti halaman luas,” maka perkataanmu benar. Namun jika engkau memberikan penilaian dengan berkata, “Kamarku sangat luas seperti halaman,” ketika itu engkau telah keliru. Sebab, engkau mencampur antara alam mitsal yang di sini berupa alam cermin, dengan alam nyata yang sebenarnya yang di sini berupa kamarmu.

    Jadi, jelas bahwa ucapan sebagian ahli kasyaf atau tulisan mereka tentang tujuh lapis planet bumi berasal dari sejumlah persepsi tanpa ditimbang dengan neraca al-Qur’an dan as-Sunnah di mana ia tidak hanya melihat kondisi fisik dan geografis bumi.Mereka berkata, “Salah satu lapisan bumi khusus didiami jin dan Ifrit. Luasnya sejarak perjalanan ribuan tahun.” Padahal, bola bumi yang bisa dilintasi dalam beberapa tahun tidak mengandung lapisan yang aneh dan sangat luas itu. Akan tetapi, kalau kita berasumsi bahwa bola bumi seperti benih pohon cemara di alam maknawi, alam mitsal, alam barzakh, dan alam arwah, maka pohon mitsali yang akan terwujud di berbagai alam itu akan seperti pohon cemara yang sangat besar jika dibandingkan dengan benih tadi. Karena itu, sebagian ahli syuhud, dalam perjalanan spiritual, mereka melihat sejumlah tingkatan bumi di alam mitsal sangat luas dan mencengangkan. Mereka melihatnya seluas perjalanan ribuan tahun.

    Apa yang mereka lihat benar dan nyata. Hanya saja, karena gambaran alam mitsal menyerupai alam materi, maka mereka melihatnya—kedua alam tersebut—bercampur secara bersamaan. Sehingga mereka menjelaskan apa yang mereka lihat sebagaimana adanya. Namun karena apa yang mereka saksikan tidak ditimbang dengan neraca al-Qur’an dan as-Sunnah, dan menuliskan apa adanya dalam buku-buku mereka saat kembali ke alam sadar, maka orang-orang menerimanya dalam kondisi yang berbeda dengan kenyataan. Pasalnya, sebagaimana wujud mitsali dari istana besar dan taman yang luas bisa dimuat oleh sebuah cermin kecil, demikian pula luas ribuan tahun dari alam mitsal dan hakikat maknawi bisa dihimpun oleh jarak setahun dari alam materi.

    Penutup Dari masalah ini dapat dipahami bahwa tingkat penyaksian (syuhud) jauh lebih rendah daripada tingkatan iman kepada alam gaib. Artinya, sejumlah ketersingkapan (kasyaf) yang tidak memiliki kaidah khusus yang dimiliki oleh sejumlah wali yang bersandar kepada penyaksian semata tidak bisa mencapai penilaian dan ketetapan kalangan ashfiya dan ahli hakikat yang merupakan pewaris nabi di mana mereka tidak bersandar kepada penyaksian; tetapi kepada al-Qur’an dan wahyu.

    Mereka menetapkan hukum dan penilaian tentang sejumlah hakikat iman yang bersifat gaib tetapi bersih, komprehensif dan benar. Ia juga dibatasi oleh sejumlah kaidah dan dapat diukur dengan sejumlah neraca. Jadi, neraca dari seluruh kondisi spiritual, kasyaf, rasa, dan penyaksian adalah hukum-hukum al-Qur’an dan as-Sunnah yang mulia; serta rambu-rambu intuitif yang dimiliki oleh kalangan ash- fiya dan ahli hakikat.

    Persoalan Kedua

    Pertanyaan:Banyak orang menilai wahdatul wujud sebagai tingkatan spiritual yang paling tinggi, sementara kami tidak melihat jejaknya pada para sahabat Nabi yang mulia yang berada di tingkat kewalian agung, terutama khulafa ar-Rasyidin. Juga, pada imam- imam ahlul bait, terutama kelima orang yang dihimpun dalam jubah Nabi (Alu al-Abâ’), serta pada para mujtahid, terutama empat imamnya, dan para tabi’in. Apakah generasi yang datang sesudah mereka telah menyingkap sebuah jalan yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada jalan mereka? Apakah generasi tersebut dalam hal ini mengungguli mereka?

    Jawaban:Tidak demikian. Kondisinya tidak seperti itu. Tidak ada seorangpun yang dapat sampai kepada tingkatan kalangan ashfiya di atas yang laksana bintang bersinar paling dekat dengan mentari risalah, sekaligus pewaris pertama dari khazanah kenabian, apalagi sampai mendahului mereka. Jalan yang lurus (shirat al-mustaqim) adalah jalan mereka dan manhaj yang benar adalah manhaj mereka.

    Adapun wahdatul wujud adalah sebuah masyrab (jalan), pendekatan, serta sebuah keadaan. Ia adalah tingkatan yang tidak sempurna. Akan tetapi, karena bercampur dengan kenikmatan perasaan dan ekstase spiritual, maka sebagian besar orang yang masuk ke dalam maqam tersebut pada perjalanan suluk tidak ingin meninggal- kannya sehingga tetap bersamanya. Mereka mengira bahwa ia merupakan tingkatan terakhir yang di atasnya tidak ada lagi tingkatan lain.

    Karena itu, orang yang berada di jalan ini, apabila memiliki ruh yang terlepas dari kungkungan materi dan berbagai sarananya, lalu merobek tirai sebab, bebas dari belenggunya, dan meraih penyaksian dalam ketenggelaman yang menyeluruh, maka orang seperti itu bisa jadi sampai kepada wahdatul wujud yang didasarkan pada kondisi yang dirasakan; bukan berdasarkan pengetahuan. Ia bersumber dari kesatuan penyaksian (wahdatusy-syuhud); bukan dari wahdatul wujud. Dari sanalah, pemiliknya merasakan kesempurnaan dan kedudukan yang ia miliki. Bahkan hal itu bisa membuatnya mengingkari wujud alam saat memusatkan perhatian pada wujud Allah.Adapun apabila pemilik jalan ini termasuk yang tenggelam dalam dunia materi, maka pengakuannya tentang wahdatul wujud bisa membuatnya mengingkari wujud Allah karena perhatiannya terbatas pada wujud alam.

    Ya, jalan yang lurus adalah jalan para sahabat, tabi’in, dan kalangan ashfiya yang melihat bahwa “Hakikat sesuatu adalah nyata”.

    Ia merupakan kaidah universal bagi mereka. Mereka mengetahui bahwa yang layak dengan hak Allah adalah firman-Nya:“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…” (QS. asy- Syûrâ [42]: 11). Artinya, Dia tidak diserupai oleh sesuatu, tidak berpihak, tidak parsial, dan tidak terbagi. Hubungan-Nya dengan entitas adalah hubungan antara Khalik dan makhluk (penciptaan). Entitas bukan ilusi seperti anggapan kalangan wahdatul wujud. Namun entitas yang tampak ini merupakan jejak kekuasaan Allah. Jadi, ung- kapan mereka “Tiada yang ada selain Dia” tidaklah benar. Yang benar “Tiada yang ada selain dari-Nya.” Hal itu, karena entitas tidak mungkin bersifat qadim (tak bermula) atau azali. Persoalan ini mungkin bisa lebih dipahami dengan dua contoh berikut:

    Pertama, misalkan seorang penguasa memiliki lembaga penegak keadilan. Maka, lembaga tersebut mencerminkan nama “penguasa yang adil.” Pada waktu bersamaan penguasa tersebut juga merupakan sosok “khalifah”. Karena itu, ia memiliki lembaga keagamaan dan ilmiah yang memantulkan nama tersebut. Kemudian penguasa itu membawa nama “panglima militer.” Dengan nama tersebut, ia bertindak di wilayah militer. Tentaranya juga merupakan manifestasi dari nama tersebut.

    Sekarang, kalau ada yang berkata bahwa pe- nguasa tersebut adalah penguasa yang adil saja, yakni hanya lembaga penegak keadilan yang mencerminkan nama sang penguasa, dalam kondisi demikian, sudah pasti bagi lembaga penegak keadilan, sifat dan kondisi para ulama urusan agama terlihat sebagai sesuatu yang relatif; bukan hakiki. Artinya, sifat yang dimiliki oleh lembaga urusan agama dan juga lembaga militer oleh lembaga penegak keadilan dianggap relatif dan aksesori; tidak hakiki dan tidak aktual.Dalam kondisi seperti itu, nama penguasa hakiki dan sifat kekuasaan hakikinya (penguasa yang adil) terwujud pada lembaga penegak keadilan. Sementara, sifat-sifatnya yang lain, seperti khalifah dan panglima tentara, bersifat relatif dan tidak hakiki. Padahal, esensi dan hakikat kekuasaan menuntut keberadaan seluruh nama tersebut dalam bentuk yang aktual dan hakiki. Di sisi lain, nama-nama hakiki tersebut menuntut keberadaan lembaga kekuasaan yang bersifat hakiki.

    Demikianlah, kekuasaan uluhiyah menuntut keberadaan beragam nama dan sifat baik yang bersifat hakiki, seperti ar-Rahmân (Maha Pengasih), ar-Razzâq (Maha Pemberi rezeki), al-Wahhâb (Maha Pemberi), al-Khallâq (Maha Pencipta), al-Karîm (Maha Pe- murah), al-Fa’âl (Maha Berbuat), dan ar-Rahîm (Maha Penyayang). Semua nama tersebut juga menuntut keberadaan cermin hakiki bagi- nya.Nah, ketika penganut wahdatul wujud berkata “tidak ada se- suatu kecuali Dia” lalu menempatkan entitas pada posisi tiada dan khayalan, nama-nama Allah seperti Wajibul wujud (Wajib ada), al-Maujûd (Yang Mahaada), al-Ahad (Yang Mahaesa), al-Wâhid (Yang Mahatunggal), tetap memiliki manifestasi dan lingkup haki- ki. Bahkan meskipun lingkup dan cermin dari nama-nama tersebut tidak bersifat hakiki—dan menjadi sesuatu yang bersifat imajiner dan tiada—hal itu tidak berpengaruh pada nama-Nya sama sekali. Bahkan bisa jadi wujud hakikinya lebih bening dan lebih bersinar meskipun pada guratan wujud tidak ada pada cerminnya.

    Hanya saja, pada kondisi tersebut, nama-nama Allah yang lain seperti ar- Rahmân, ar-Razzâq, al-Qahhâr, al-Jabbâr, al-Khallâq tidak memiliki manifestasi hakiki. Ia menjadi bersifat artifisial dan relatif. Padahal semua nama tersebut bersifat hakiki, sama seperti nama al-Maujûd. Ia tidak mungkin hanya berupa bayangan. Ia juga asli; bukan sekadar pelengkap atau aksesori. Demikianlah, para sahabat, mujtahid, orang-orang pilihan (ashfiya), dan imam ahlul bait. Ketika mengatakan bahwa hakikat segala sesuatu adalah nyata, mereka menegaskan bahwa nama-nama Allah memiliki manifestasi hakiki, sementara segala sesuatu memiliki wujud non-subtansial yang Allah ciptakan. Meskipun wujud tersebut bersifat non-substansial, lemah, dan tidak permanen jika dibandingkan dengan wujud Wajibul wujud, namun ia bukan ilusi dan khayalan. Allah telah memberikan wujud pada segala sesuatu dengan manifestasi nama-Nya, al-Khallâq. Dia menjaga kelangsungan wujud tersebut.

    Kedua, bayangkan bahwa ruangan ini memiliki empat cermin besar yang terpasang di keempat temboknya. Maka, gambar ruangan terpantul pada setiap cermin dari seluruh cerminnya. Hanya saja, setiap cermin memantulkan gambar sesuatu dalam bentuk yang sesuai dengan sifat dan warnanya. Artinya, setiap cermin akan memantulkan sebuah pemandangan khusus dari ruangan tersebut.

    Apabila dua orang masuk ke dalam ruangan dan salah satunya melihat kepada cermin-cermin itu, ia merasa dirinya melihat segala sesuatu tergambar di dalamnya. Ketika mendengar keberadaan cermin-cermin lain berikut gambar di dalamnya, ia merasa bahwa hal itu merupakan gambar dari cermin yang memantul pada cerminnya di mana ia ha- nya mengisi bagian kecil darinya. Yaitu setelah gambarnya mengecil dua kali dan setelah susbstansinya berubah. Iapun berkata, “Aku melihat gambarnya semacam itu.” Jadi, ia adalah sebuah hakikat dan kenyataan.

    Mendengar hal tersebut orang yang kedua berkata, “Ya, engkau melihatnya, dan apa yang engkau lihat benar. Akan tetapi, sebenarnya ia bukan gambar hakikat yang sebenarnya. Terdapat banyak cermin lain selain cermin yang kau lihat. Cermin-cermin tersebut tidak kecil dan ia bukan pantulan dari bayangan seperti yang kau lihat dalam cerminmu.”

    Begitulah, setiap nama Allah menuntut keberadaan cermin masing-masing. Misalnya, seluruh nama Allah seperti ar-Rahmân (Maha Pengasih) dan ar-Razzâq (Maha Pemberi rezeki), karena merupakan nama hakiki dan asli, ia menuntut sejumlah entitas yang layak dengannya serta makhluk yang membutuhkan rezeki dan kasih semacam itu. Sebagaimana nama ar-Rahmân menuntut keberadaan makhluk hidup yang membutuhkan rezeki di alam hakiki, maka nama ar- Rahîm menuntut keberadaan surga hakiki pula. Karena itu, memandang sejumlah nama Allah seperti al-Maujûd, al-Wâhid, al-Ahad, dan Wâjibul wujûd sebagai nama-nama hakiki, sementara nama Allah yang lainnya sebagai pelengkap dan bayangan merupakan penila- ian yang tidak adil dan sikap kurang menghormati nama-nama Allah tersebut.

    Jadi, Jalan yang lurus (shirât al-Mustaqîm) adalah jalan para sahabat, kalangan ashfiya, tabi’in, imam ahlul bait, dan imam para mujtahid yang merupakan pemilik derajat kewalian agung. Ia juga merupakan jalan yang dilewati oleh murid-murid al-Qur’an yang pertama.

    “Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Engkaulah yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.”(*[1])

    “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami. Karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi-Mu; karena sesungguhnya Engkaulah Maha pemberi (karunia).”

    Ya Allah, limpahkan salawat kepada sosok yang Kau utus sebagai rahmat bagi semesta alam. Juga, kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.

    Persoalan Ketiga

    Yaitu persoalan penting yang tidak bisa dipecahkan dengan akal serta tidak bisa disingkap oleh filsafat dan hikmah.

    Allah berfirman:“Setiap waktu Dia berada dalam kesibukan.” (QS. ar-Rahmân [55]: 29),“Dia Maha Berbuat atas apa yang Dia kehendaki.” (QS. al-Burûj [85]: 16).

    Pertanyaan:Apa rahasia di balik aktivitas yang mencengangkan akal yang terdapat di seluruh entitas? Apa hikmahnya? Mengapa entitas yang melata itu tidak tetap; melainkan terus berubah-ubah?

    Jawaban: Penjelasan atas hikmah ini membutuhkan seribu halaman. Karena itu, kami tidak ingin menjelaskan panjang lebar. Kami hanya akan menjawab dengan sangat singkat dalam dua hala- man.

    Kami tegaskan bahwa siapapun, apabila menunaikan sebuah tugas alami atau menunaikan tugas sosial, serta berusaha keras untuk menyelesaikannya, sudah pasti orang yang menyaksikan mengetahui bahwa ia menunaikan pekerjaan tersebut dengan dua motif:

    Pertama, kemaslahatan, hasil, dan manfaat yang didapat dari tugas tersebut. Itulah yang disebut dengan tujuan akhir.

    Kedua, terdapat cinta, kerinduan, dan kenikmatan yang dirasakan manusia saat menunaikan tugas tersebut di mana itu mendorongnya untuk melaksanakannya dengan penuh semangat dan antusias. Inilah yang disebut dengan faktor stimulan dan tuntutan.

    Misalnya, makan merupakan kebiasaan alami yang disenangi manusia karena ada kenikmatan yang bersumber dari selera. Selanjutnya, terdapat proses pengembangan tubuh dan pemeliharaan kehidupan sebagai hasil dan buah darinya.

    (Demikian pula halnya dengan Allah, tanpa ada maksud menyerupakan Dia dengan apa dan siapa pun). Aktivitas yang berlangsung di alam luas ini di mana ia mencengangkan akal dan membuatnya terkagum-kagum, semuanya merujuk kepada dua bagian nama-nama-Nya. Ia berlangsung sebagai hasil dari penampakan dua hikmah yang luas yang masing-masingnya tidak terbatas.

    Hikmah Pertama Asmaul Husna memiliki manifestasi tak terhingga dan tak terbatas. Keragaman makhluk menjadi berbagai spesies bersumber dari keragaman manifestasi. Nama-nama Allah ingin termanifestasi secara terus-menerus. Artinya, ia menuntut penampakan goresannya. Dengan kata lain, ia ingin menyaksikan manifestasi keindahannya dalam berbagai cermin ukiran dan memamerkannya. Artinya, nama-nama tersebut ingin memperbaharui kitab alam dan seluruh entitas setiap saat serta menulis ulang, di mana setiap tulisan memperlihatkan diri di hadapan Dzat Yang Mahasuci dan Pemilik nama-nama yang suci, dan memperlihatkannya di hadapan seluruh makhluk yang memiliki kesadaran sekaligus mendorong mereka untuk membacanya.

    Sebab dan Hikmah Kedua Sebagaimana aktivitas yang terdapat pada semua makhluk bersumber dari sebuah keinginan, kerinduan, dan kenikmatan; bahkan pada setiap aktivitas terdapat kenikmatan; bahkan setiap aktivitas itu sendiri merupakan satu bentuk kenikmatan.

    Allah lebih daripada itu. Terdapat sebuah kasih sayang suci tak terbatas serta cinta suci tak terhingga yang layak disandang Sang Wajibul Wujud, yang sejalan dengan kekayaan-Nya yang bersifat mutlak, serta sesuai dengan kesempurnaan-Nya yang mutlak. Lalu, terdapat kerinduan suci-Nya yang bersumber dari kasih dan cinta yang suci tadi.

    Kemudian, terdapat kegembiraan suci tak terhingga yang bersumber dari kerinduan tersebut.

    Lalu terdapat kenikmatan suci yang layak disandang-Nya—jika bisa dikatakan demikian—yang bersumber dari kegembiraan suci tadi.

    Rahmat mutlak yang bersumber dari kenikmatan suci di atas serta yang berasal dari seluruh entitas berupa rida dan kesempurnaan menyeluruh yang bertolak dari potensi kekuatannya menuju perbuatan dan penyempurnaanya dalam lingkup kreasi qudrah-Nya.

    Rida yang suci—jika bisa dikatakan demikian—serta kebanggaan suci yang bersifat mutlak, semua itu sesuai dengan ar-Rahmân dan ar-Rahîm, menuntut adanya aktivitas dalam bentuk yang tak terhingga.

    Karena filsafat dan sains tidak memahami hikmah halus di atas yang terdapat dalam aktivitas di alam wujud, maka orang-orang yang menggelutinya mencampur alam yang tuli, proses kebetulan yang buta dan sebab-sebab tak bernyawa, dengan aktivitas alam yang penuh ilmu, hikmah, dan pengawasan. Mereka tidak mendapat cahaya hakikat. Namun tersesat jauh.

    Katakan, “Allah”, kemudian biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya. (QS. an-Nahl [16]: 91).

    “Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami. Karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi-Mu; karena sesungguhnya Engkaulah Maha pemberi (karunia).”

    Ya Allah, limpahkan salawat dan salam kepada penyingkap misteri alam-Mu sebanyak partikel entitas. Juga, kepada keluarga dan para sahabatnya sepanjang keberadaan langit dan bumi.

    Yang kekal, hanyalah Dzat Yang Mahakekal.

    Said Nursî


    SURAT KETUJUH BELAS ⇐ | Al-Maktûbât | ⇒ SURAT KESEMBILAN BELAS

    1. *Ayat ini biasanya dijadikan Said Nursi sebagai penutup pada sebagian besar risalah atau tulisannya. Karena sebagai munajat (doa penutup) dan sering berulang, maka untuk selanjutnya tidak disertakan terjemahannya—Peny.