On İkinci Söz/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("Ya, sebagaimana peristiwa terbelahnya bulan merupakan sebuah mukjizat yang menetapkan kerasulan dan memperlihatkan kenabian- nya kepada jin dan manusia, perjalanan mi’raj juga merupakan mukjizat ubudiah Nabi x yang memperlihatkan kepada seluruh roh dan malaikat tentang cinta Tuhan terhadapnya." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    ("------ <center> KALIMAT KESEBELAS ⇐ | Al-Kalimât | ⇒ KALIMAT KETIGA BELAS </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
     
    127. satır: 127. satır:




    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    ------
    ------
    <center> [[On Birinci Söz]] ⇐ | [[Sözler]] | ⇒ [[On Üçüncü Söz]] </center>
    <center> [[On Birinci Söz/id|KALIMAT KESEBELAS]] ⇐ | [[Sözler/id|Al-Kalimât]] | ⇒ [[On Üçüncü Söz/id|KALIMAT KETIGA BELAS]] </center>
    ------
    ------
    </div>

    16.41, 4 Aralık 2024 itibarı ile sayfanın şu anki hâli

    Diğer diller:


    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

    “Barang siapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. ”(QS. al-Baqarah [2]: 269).

    Kalimat ini menjelaskan komparasi secara umum antara hikmah al-Qur’an al-Karim yang suci dengan hikmah filsafat. Ia juga menjelaskan ringkasan singkat tentang pembinaan manusia dalam kehidupan pribadi dan sosial yang diajarkan oleh al-Qur’an. Di samping itu, ia berisi penjelasan mengenai sisi keutamaan al-Qur’an dibandingkan dengan seluruh firman Ilahi dan seluruh ucapan yang ada. Artinya, terdapat empat pilar yang dibahas dalam kalimat ini.

    Pilar Pertama

    Lewat cerita imajiner berikut ini engkau bisa melihat perbedaan antara hikmah al-Qur’an dengan hikmah sains:

    Seorang penguasa besar yang sangat religius, cakap, dan kreatif ingin menulis al-Qur’an al-Hakim dengan tulisan yang sesuai dengan kesucian maknanya yang agung dan kemukjizatan kalimatnya yang indah. Ia ingin membungkus al-Qur’an dengan pakaian istimewa yang sesuai dengan kemukjizatannya.Sebagai penulis handal iapun mulai menulis al-Qur’an dengan tulisan yang sangat mengagumkan seraya menggunakan seluruh jenis permata berharga dan batu mulia guna menunjukkan berbagai hakikatnya yang agung. Ia menulis sejumlah huruf-huruf besarnya dengan berlian dan zamrud. Lalu menulis sebagiannya lagi dengan mutiara, sebagian lagi dengan permata dan akik, serta sebagian lagi dengan emas dan perak. Sampai akhirnya ia memberikan sentuhan yang indah dan menakjubkan, serta membuat kagum setiap orang yang melihatnya, bisa membaca atau tidak. Seluruh orang berdiri di hadapan tulisan indah tersebut dengan penuh kekaguman. Terutama, para ahli hakikat yang melihatnya dengan pandangan yang menunjukkan kekaguman dan apresiasi yang lebih besar. Pasalnya, mereka mengetahui bahwa keindahan yang luar biasa itu mengungkap keindahan maknawi yang berada di baliknya di mana ia sangat cemerlang, bersinar, dan memikat.

    Kemudian sang penguasa bijak itu memamerkan al-Qur’an yang memiliki tulisan indah dan menakjubkan itu kepada filsuf asing dan ulama muslim. Ia memerintahkan kepada keduanya dengan berkata:“Tulislah buku yang membahas tentang hikmah al-Qur’an!” Ia ingin menguji mereka untuk memberikan imbalan kepada keduanya.

    Maka, mereka berdua pun mulai menulis buku. Buku sang fil- suf membahas sejumlah ukiran huruf dan keindahannya berikut keterkaitan antar bagiannya, posisi masing-masing, serta sifat-sifat permatanya semata. Bukunya sama sekali tidak mengulas makna al- Qur’an. Pasalnya, ia tidak memahami bahasa Arab sedikit pun. Bahkan, ia tidak memahami kalau al-Qur’an yang indah itu merupakan buku agung yang setiap hurufnya mengandung berbagai makna yang indah. Ia hanya memusatkan perhatian pada keindahan hurufnya yang luar biasa. Di samping itu, ia merupakan arsitek ulung, pelukis handal, ahli kimia, dan tukang emas. Karenanya, ia menulis bukunya sesuai dengan kepandaian yang ia miliki.

    Adapun ulama muslim tadi, ketika melihat tulisan indah di atas, ia langsung memahami bahwa buku itu merupakan kitab yang berisi penjelasan dan al-Qur’an yang penuh hikmah. Perhatiannya tidak tertuju kepada hiasan lahiriahnya. Ia juga tidak sibuk dengan dekorasi hurufnya yang indah. Namun ia tertuju kepada sesuatu yang ribuan kali lebih mulia, lebih berharga, lebih berguna, dan lebih mencakup daripada yang dikerjakan filsuf asing tadi. Ia membahas sejumlah hakikat istimewa serta berbagai rahasia bersinar dan menakjubkan yang terdapat di balik ukiran indah tersebut. Ia pun menulis tafsir yang berisi penjelasan berharga terhadap al-Qur’an dengan sangat baik.

    Selanjutnya, mereka berdua menyerahkan tulisannya kepada sang penguasa. Pertama-tama, sang penguasa mengambil tulisan filsuf seraya menatapnya sepintas. Ia melihat bahwa sosok yang kagum terhadap diri sendiri dan mengkultuskan alam itu tidak menulis sebuah hikmah hakiki sedikit pun. Padahal ia telah mencurahkan seluruh kemampuannya. Pasalnya, ia tidak memahami makna kitab tersebut. Bahkan bisa jadi ia bingung dan tidak mengerti. Ia memperlihatkan sikap yang kurang menghormati dan kurang menghargai al-Qur’an di mana ia tidak memedulikan sejumlah maknanya yang mulia. Ia menganggapnya sekadar sebagai ukiran dan huruf-huruf yang indah sehingga merendahkan kedudukan al-Qur’an dari sisi maknanya. Karena itu, sang penguasa yang bijak menolak tulisan sang filsuf. Ia melemparkan ke wajahnya dan mengusir dari majelisnya.

    Lalu sang penguasa mengambil tulisan ulama muslim yang cermat dan teliti. Ia melihatnya sebagai sebuah tafsiran yang sangat bernilai dan bermanfaat. Ia mengucapkan selamat dan mengapresiasi- nya seraya berkata, “Ini benar-benar hikmah. Penulisnya layak dise- but sebagai seorang ulama yang ahli hikmah. Sementara yang satunya hanyalah sosok seniman yang melampui batas.” Sebagai upahnya, ia memberikan ganjaran dan upah yang besar kepada ulama muslim tadi. Ia memberikan sepuluh koin emas untuk setiap huruf yang terdapat di bukunya.

    Wahai saudaraku, jika engkau telah memahami cerita imajiner di atas, maka perhatikan sisi hakikatnya sebagai berikut:

    Al-Qur’an yang berhias itu adalah alam yang menakjubkan ini. Sang penguasa yang mulia itu adalah Tuhan Yang Mahakekal abadi. Adapun kedua lelaki tersebut, yang pertama (yang asing) adalah ilmu filsafat dan para tokohnya, sementara yang kedua adalah al-Qur’an dan para muridnya.

    Ya, al-Qur’an al-Karim (yang dibaca) merupakan mufasir yang paling agung dan penerjemah yang retoris terhadap alam besar yang merupakan “al- Qur’an visual” (yang dilihat).Kitab al-Furqan yang penuh hikmah tersebut mengajarkan kepada jin dan manusia ayat kauniyah yang ditulis oleh pena qudrah Ilahi di atas lembaran alam dan zaman. Al-Qur’anlah yang melihat semua entitasdi mana setiap hurufnya memiliki maksuddengan makna harfi. Artinya, ia melihatnya sebagai petunjuk atas keberadaan Sang Pencipta Yang Magaagung. Ia berkata, “Betapa indah penciptaannya! Betapa ia menunjukkan keindahan Penciptanya Yang Mahaagung!” Demikianlah ia menyingkap keindahan alam yang sebenarnya di ha- dapan seluruh mata.

    Adapun yang disebut dengan ilmu hikmah yaitu filsafat, ia teng- gelam dan sibuk dengan dekorasi setiap huruf entitas. Ia terheran-heran melihat korelasi antara yang satu dan lainnya sehingga tidak me- lihat hakikat yang sebenarnya. Ketika seharusnya melihat kitab alam dengan tertuju kepada huruf-hurufnya yang menunjukkan Sang Penulisnya, ia malah melihat dengan makna ismi, yaitu bahwa entitas tegak dengan sendirinya. Alih-alih berkata, “Betapa indah penciptaannya!” Ia malah berkata, “Betapa indah alam ini!”Dengan ungkapan tersebut ia menghilangkan keindahan hakiki dari sesuatu. Dengan menisbatkan keindahan kepada entitas itu sendiri berarti ia telah merendahkan seluruh makhluk sehingga menjadikan mereka mengadu pada hari kiamat. Ya, filsafat ateis hanya omong kosong dan merupakan bentuk penghinaan terhadap alam.

    Pilar Kedua

    Untuk mengetahui sejauh mana perbedaan antara pendidikan akhlak yang diajarkan al-Qur’an kepada para muridnya dengan pelajaran yang diberikan oleh filsafat, kita akan melakukan komparasi terhadap masing-masing muridnya.

    Murid yang setia terhadap filsafat adalah Firaun, tetapi Firaun yang hina lantaran menyembah entitas yang paling rendah untuk kepentingan pribadi serta memosisikan semua yang memberi manfaat sebagai tuhannya. Lalu murid yang ateis ini juga keras kepala, namun sangat malang karena rela dirinya hina hanya karena ingin mendapatkan sebuah kenikmatan. Ia keras kepala dan hina karena merendah dan tunduk kepada sosok-sosok seperti setan. Bahkan ia rela mencium kaki mereka.Selain itu, murid yang ateis itu juga angkuh. Hanya saja ia lemah karena merasa tidak berdaya di mana dalam kalbunya ia tidak menemukan sandaran. Murid tersebut juga oportunis. Ia hanya melihat dirinya sendiri. Puncak perhatiannya adalah bagaimana memenuhi keinginan hawa nafsu, perut, dan kemaluan. Ia pembuat makar dan penipu yang berusaha meraih kepentingan pribadi yang dibungkus dengan kepentingan umat.

    Adapun murid al-Qur’an yang setia adalah hamba. Akan tetapi ia hamba yang memiliki harga diri karena tidak mau tunduk kepada apa pun, bahkan kepada makhluk yang paling besar sekalipun. Ia tidak mau menjadikan surga sekalipun—yang merupakan nikmat paling besar—sebagai tujuan pengabdiannya kepada Allah. Kemudian ia merupakan murid yang rendah hati dan lembut. Namun ia tidak mau merendah kepada selain Penciptanya dan di luar perintah-Nya.Ia juga fakir dan lemah seraya menyadari itu semua. Hanya saja ia merasa cukup dengan perbendaharaan kekayaan ukhrawi yang disimpan Tuhan untuknya. Ia menjadi kuat karena bersandar kepada kekuatan Tuhan yang bersifat mutlak. Selanjutnya, ia bekerja dan berupaya menggapai berbagai kemuliaan sekaligus menyebarkannya hanya untuk-Nya dan dalam rangka meraih rida-Nya.

    Demikianlah pendidikan yang melatarbelakangi kedua hikmah dapat dipahami saat melakukan komparasi antara kedua muridnya.

    Pilar Ketiga

    Pendidikan yang diberikan oleh hikmah filsafat dan hikmah al- Qur’an kepada kehidupan sosial umat manusia adalah sebagai berikut:

    Hikmah filsafat melihat “kekuatan” sebagai titik sandaran dalam kehidupan sosial, menjadikan “kepentingan” sebagai tujuan dalam segala hal, menjadikan “konflik” sebagai hukum kehidupan, serta menjadikan “rasisme dan kesukuan” sebagai unsur pengikat kelompok. Sedangkan buahnya adalah memuaskan keinginan hawa nafsu dan memperbanyak kebutuhan manusia.

    Seperti diketahui, ciri “kekuatan” adalah melampui batas, ciri kepentingan adalah perseteruan karena tidak mungkin dapat memenuhi keinginan semua pihak, ciri dari konflik adalah perselisihan dan perdebatan, serta ciri dari rasisme adalah agresi, yaitu kenyang dengan cara menelan ras yang lain. Dari sini kita memahami mengapa umat manusia menjadi tidak bahagia.

    Adapun hikmah al-Qur’an al-Karim, ia menjadikan “kebenaran” sebagai titik sandaran dalam kehidupan social, bukan kekuatan. Ia menjadikan rida Allah dan kemuliaan sebagai tujuan, bukan kepentingan. Ia menjadikan “kerjasama” sebagai landasan kehidupan, bukan konflik. Serta ia menjadikan ikatan agama, profesi, dan nasionalisme sebagai pemersatu berbagai kelompok masyarakat, bukan rasisme dan kesukuan. Tujuannya adalah mengekang nafsu ammârah, mendorong jiwa menuju keluhuran, dan menggerakkan perasaannya yang mulia menuju kesempurnaan.

    Ciri dari kebenaran adalah kesepakatan, ciri kemuliaan adalah kekompakan, ciri kerjasama adalah tolong-menolong, serta ciri dari agama adalah persaudaraan dan solidaritas. Lalu mengendalikan nafsu dan mendorong jiwa menuju kesempurnaan mengarah kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

    Pilar Keempat

    Jika engkau ingin memahami bagaimana al-Qur’an mengungguli seluruh kalam Ilahi serta sejauh mana ia mengalahkan semua ucapan, perhatikan dan renungkan dua contoh berikut:

    Contoh pertama: seorang raja memiliki dua bentuk komunikasi. Pertama, komunikasi pribadi lewat sambungan telepon khusus dengan salah satu rakyatnya dalam persoalan parsial yang terkait dengan kebutuhannya pribadi. Kedua, komunikasi atas nama pemerintahannya yang agung, gelarnya sebagai khalifah agung dan kekuasaannya yang bersifat universal di mana ia ditujukan untuk menyebarkan berbagai instruksi kerajaan ke seluruh penjuru. Ini adalah bentuk komunikasi yang dilakukan dengan salah satu utusan atau salah satu ajudan uta- manya. Ia merupakan komunikasi terkait dengan persoalan penting yang tertuju kepada semua pihak.

    Contoh kedua: seseorang memegang sebuah cermin yang mengarah ke matahari. Sesuai dengan luasnya, cermin ini menangkap sinar dan cahaya yang mencakup tujuh warna matahari. Dengan cermin tadi, orang tersebut memiliki hubungan dengan matahari. Ia dapat memanfaatkannya dengan mengarahkan cermin tadi ke kamarnya yang gelap. Hanya saja, manfaat yang dapat diambil dari cahaya itu terbatas sesuai dengan kemampuan cermin dalam memantulkan sinar matahari, bukan sesuai dengan kadar besarnya matahari.

    Sementara, orang lain membuka sejumlah jendela besar yang menuju ke matahari dari rumahnya yang kecil. Ia menemukan sejumlah jalan menuju matahari yang terdapat di langit yang tinggi. Se- lanjutnya, ia berdialog dengan cahaya matahari hakiki yang bersifat permanen. Ia menyeru matahari tersebut lewat kondisi fisiknya dan berbicara dengannya lewat perasaan penuh syukur. Ia berkata, “Wa- hai matahari! Wahai yang bertengger di arasy keindahan alam! Wahai yang menjadi kembang langit! Wahai yang menerangi bumi dan mem- buat bunga tersenyum gembira! Engkau telah memberikan cahaya dan kehangatan kepada rumahku sebagaimana hal itu juga kau berikan kepada seluruh alam.” Orang yang pertama tidak dapat berbicara dan berdialog dengan matahari seperti di atas. Sebab, bekas cahaya mataharinya sangat terbatas sesuai dengan ukuran cermin dan kemampuannya dalam menyerap sinar matahari.

    Selanjutnya, lewat kedua contoh tersebut perhatikan isi al-Qur’an untuk menyaksikan kemukjizatannya dan untuk mengetahui kesuciannya.

    Ya, al-Qur’an al-Karim berkata:“Seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (men- jadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi), niscaya kalimat Allah tidak akan pernah habis untuk ditulis. Allah Maha Perkasa dan Maha bijaksana. (QS. Luqman [31]: 27).

    Demikianlah, al-Qur’an diberi posisi paling tinggi di antara seluruh kalimat yang jumlahnya tak terhingga karena al-Qur’an turun dari nama yang paling agung dan dari kedudukan nama-Nya yang paling tinggi. Ia merupakan kalam Allah sebagai Pencipta dan Pemelihara semesta alam. Ia merupakan perintah-Nya sebagai Tuhan seluruh entitas. Ia merupakan firman-Nya atas nama Pencipta langit dan bumi. Ia juga lembaran penghormatan Tuhan Yang Maha Penyayang yang bersumber dari rahmat-Nya yang luas dan menyeluruh. Ia kumpulan risalah rabbani yang menjelaskan keagungan uluhiyah-Nya. Ia juga merupakan kitab suci yang memancarkan hikmah yang turun dari nama agung (ismul a’zam) dan mengawasi arasy Tuhan.

    Dengan sejumlah rahasia di atas, al-Qur’an disebut dengan nama “kalam Allah” yang memang layak untuk disandangnya.

    Adapun seluruh kalimat Ilahi lainnya, sebagiannya merupakan perkataan yang bersifat pribadi dan khusus dengan manifestasi dari nama, rububiyah, kekuasaan, dan rahmat yang bersifat spesifik. Tingkatan kalimat dan perkataan tersebut berbeda-beda dilihat dari sifat- nya yang bersifat khusus dan menyeluruh. Sebagian besar ilham berasal dari jenis ini. Hanya saja tingkatannya sangat berbeda-beda.

    Misalnya, yang paling sederhana dan terbatas adalah ilham yang diberikan kepada hewan. Lalu yang diberikan kepada manusia secara umum. Kemudian yang diberikan kepada malaikat secara umum. Selanjutnya, yang diberikan kepada para wali. Serta yang diberikan ke- pada malaikat ternama.

    Dari rahasia ini kita memahami adanya seorang wali yang ber- munajat lewat telepon kalbu tanpa perantaraan malaikat seraya berkata, “Kalbuku memberitahukan tentang Tuhanku.”(*[1])Ia tidak berkata, “Kalbuku memberitahukan tentang Tuhan semesta alam.” Dia juga berkata, “Kalbuku menjadi arasy atau cermin yang memantulkan berbagai manifestasi Tuhanku.” Ia tidak berkata, “Kalbuku menjadi arasy Tuhan semesta alam.” Sebab, ia dapat berkomunikasi dengan Tuhan sesuai dengan kesiapan dan tingkat penerimaannya dengan me- nyingkap sekitar tujuh puluh ribu tabir.

    Ya, sesuai dengan tingkat keluhuran perintah penguasa yang lebih tinggi daripada perintahnya terhadap salah seorang rakyatnya, serta sesuai dengan tingkat manfaat manifestasi cahaya matahari di langit yang lebih besar daripada manfaat yang didapat dari cermin, maka dapat dipahami bahwa al-Qur’an lebih mulia daripada seluruh kalam Ilahi dan kitab samawi lainnya.

    Ya, sesuai dengan tingkat keluhuran perintah penguasa yang lebih tinggi daripada perintahnya terhadap salah seorang rakyatnya, serta sesuai dengan tingkat manfaat manifestasi cahaya matahari di Kitab suci dan suhuf samawi yang lain berada di urutan kedua setelah al-Qur’an sesuai dengan derajatnya sendiri.

    Masing-masing memiliki rahasia keunggulan. Andaikan seluruh ucapan baik dan indah milik manusia dan jin yang tidak bersumber dari al-Qur’an dikumpulkan, ia tidak dapat menandingi al-Qur’an dan tidak dapat mendekatinya.

    Jika engkau ingin sedikit memahami bahwa al-Qur’an turun dari al-ism al-a’zham (nama yang paling agung) dan dari kedudukan paling agung dari setiap nama-Nya, perhatikan ayat kursi dan ayat-ayat lain berikut ini. Renungkan maknanya yang bersifat komprehensif, menyeluruh, dan mulia.

    “Pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib...” (QS. al-An’âm [6]: 59).

    “Katakanlah: Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan...” (QS. Ali-Imrân [3]: 26).

    “Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang- bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya…”(QS. al-A’râf [7]: 54).

    “Wahai bumi telanlah airmu, dan wahai langit (hujan) Berhentilah..!” (QS. Hûd [11]: 44).

    “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah...” (QS. al-Isrâ [17]: 44).

    “Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja…” (QS. Lukman [31]: 28).

    “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung...” (QS. al-Ahzâb [33]: 72)

    “(Yaitu) pada hari Kami gulung langit seperti menggulung lembaran- lembaran kertas...” (QS. al-Anbiyâ [21]: 104).

    “Mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya berada dalam genggaman-Nyapada hari kiamat...” (QS. az-Zumar [39]: 67).

    “Sekiranya Kami turunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya...” (QS. al-Hasyr [59]: 21).

    Serta ayat-ayat lain yang sejenis.

    Kemudian perhatikan secara saksama surah-surah yang dimulai dengan lafal hamdalah dan tasbih agar engkau dapat menyaksikan kilau rahasia agung tersebut. Selanjutnya, perhatikan surah-surah yang diawali dengan حٰمٓ, الٓرٰ , الٓمٓ untuk memahami urgensi al-Qur’an di sisi Tuhan semesta alam.

    Jika engkau memahami rahasia dari pilar keempat ini, engkau akan mengetahui rahasia mengapa sebagian besar wahyu yang turun kepada para nabi lewat perantaraan malaikat, sementara ilham tidak demikian. Engkau juga akan memahami mengapa wali yang paling mulia tidak dapat menyamai kedudukan nabi yang mana pun juga. Engkau akan memahami rahasia yang tersembunyi di balik keagu- ngan, kemuliaan, dan ketinggian mukjizat al-Qur’an. Serta akan memahami urgensi mi’raj, yaitu perjalanan Nabi x ke langit yang tinggi dan ke Sidratulmuntahâ hingga ke tempat antara dua busur atau lebih dekat lagi, di mana beliau berdialog dengan Allah yang lebih dekat kepada hamba-Nya daripada urat nadi. Setelah itu, beliau kembali ke tempat semula hanya dalam sekejap.

    Ya, sebagaimana peristiwa terbelahnya bulan merupakan sebuah mukjizat yang menetapkan kerasulan dan memperlihatkan kenabian- nya kepada jin dan manusia, perjalanan mi’raj juga merupakan mukjizat ubudiah Nabi x yang memperlihatkan kepada seluruh roh dan malaikat tentang cinta Tuhan terhadapnya.

    Ya Allah, limpahkan selawat dan salam-Mu kepadanya dan kepada keluarganya sesuai dengan rahmat-Mu dan kemuliaannya.Amin.



    KALIMAT KESEBELAS ⇐ | Al-Kalimât | ⇒ KALIMAT KETIGA BELAS

    1. *Lihat: Ibnu Hajar, Fath al-Bârî 11/345; al-Ishâbah 2/528; Lisân al-Mîzân 2/452; al-Manâwi, Faidh al-Qadîr 5/401; Ibnu al-Qayyim, Igâtsah al-Lahfân 1/123; dan Madârij as-Sâlikîn 1/40; 3/412.