Yirmi Altıncı Lem'a/id: Revizyonlar arasındaki fark
("CAHAYA KEDUA PULUH ENAM" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) Etiketler: Mobil değişiklik Mobil ağ değişikliği |
("Hanya saja kemudian takdir Ilahi mendorong kami untuk pergi ke tempat khalwat yang lain." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
(Aynı kullanıcının aradaki diğer 223 değişikliği gösterilmiyor) | |||
1. satır: | 1. satır: | ||
<languages/> | <languages/> | ||
< | <span id="İHTİYARLAR_LEM'ASI"></span> | ||
== | ==Risalah untuk Orang Tua Lanjut Usia (Lansia)== | ||
< | Cahaya ini berisi penjelasan tentang dua puluh enam harapan.(*<ref>*Pada naskah tulisan tangan yang sudah diedit sebelumnya, penulis menambahkan catatan kaki berikut ini: “Berbagai harapan yang tersisa (harapan ke-14 sampai harapan ke-26) belum ditulis karena datangnya musibah yang kita kenal bersama (penjara Eskisyehir). Kemudian karena tidak ada lagi kesempatan, akhirnya risalah ini tetap dalam kondisi kurang lengkap”.</ref>) | ||
</ | |||
'''Perhatian''' | |||
''' | Alasan mengapa aku mengungkapkan penderitaan jiwa yang kualami di setiap awal “harapan” dengan gaya bahasa yang sangat menyentuh sehingga membuat kalian juga ikut merasakannya adalah untuk menjelaskan efek luar biasa yang ditimbulkan oleh pengobatan yang bersumber dari al-Qur’an. | ||
Hanya saja, cahaya yang secara khusus terkait dengan para lansia ini tidak dipaparkan secara baik karena beberapa hal: | |||
Pertama, ia terkait dengan berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan pribadiku. Menulis dalam kondisi berimajinasi dan berinteraksi dengan masa-masa tersebut membuatku kurang memperhatikan sistematika penyampaiannya. | |||
Kedua, ia ditulis dalam kondisi yang tidak tenang karena dilakukan sesudah shalat subuh di mana ketika itu aku merasa sangat letih dan lemas, di samping harus terburu-buru. | |||
Ketiga, kami tidak mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan pengoreksian secara sempurna. Juru tulis yang tadinya bersamaku telah kelelahan dalam menulis berbagai risalah. Ia sering meminta izin untuk tidak masuk sehingga hal itu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan muatan isinya kurang padu. | |||
Keempat, aku hanya bisa mengoreksinya secara sepintas tanpa mengkaji secara lebih mendalam karena merasa capek sesudah menulis. Karenanya, tidak aneh kalau ada kekurangan dalam segi penyampaian. Aku berharap semoga para orang tua yang budiman mau memaafkan kekuranganku dari segi penyampaian. Sekaligus aku memohon kepada mereka agar tidak lupa mendoakanku dalam doa dan munajat mereka pada Sang Maha Penyayang Yang tak pernah menolak doa para orang tua yang baik hati. | |||
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ | بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ | ||
Kâf hâ yâ ‘ain shâd. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan mengenai rahmat Tuhan kepada hamba-Nya yang bernama Zakaria. | |||
Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata, Wahai Tuhan, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, namun aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu,wahai Tuhan.” (QS. Maryam [19]: 1-4). | |||
(Cahaya ini berisi penjelasan mengenai dua puluh enam harapan) | |||
< | <span id="Birinci_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Pertama== | ||
Wahai saudara-saudari tuaku yang terhormat dan telah mencapai usia sempurna! Aku juga telah lanjut usia seperti kalian. Aku akan menuliskan untuk kalian sejumlah kondisi yang kualami berikut pintu-pintu asa dan kilau harapan yang senantiasa kutemukan di masa tua agar kalian juga ikut-serta dalam cahaya pelipur lara yang bersinar dari seluruh asa dan harapan itu. Cahaya yang kusaksikan serta berbagai pintu harapan yang Allah bukakan untukku kulihat sesuai dengan kemampuanku yang kurang sempurna ini. Namun, kesiapan kalian yang tulus dan murni, dengan izin Allah, akan membuat cahaya tersebut lebih bersinar terang dibanding yang kulihat serta akan membuat harapan tadi lebih kuat dan lebih kukuh dibanding yang kudapat. | |||
Tentu saja, sumber seluruh cahaya dan harapan yang akan disebutkan tidak lain kecuali iman. | |||
< | <span id="İkinci_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Kedua== | ||
Ketika aku sudah hampir memasuki usia senja, di salah satu musim gugur dan di waktu Ashar, aku menatap dunia dari atas puncak gunung. Ketika itu tiba-tiba aku merasakan kondisi yang sangat sedih dan pilu disertai kegelapan yang menyelimuti. Kulihat diriku telah beranjak tua. Siang telah berubah menjadi senja. Tahun telah menjadi renta. Dunia pun sudah lanjut usia. Maka kerentaaan itu telah membuatku sangat berguncang. Saat perpisahan dengan dunia telah dekat dan perpisahan dengan orang-orang yang kucinta hampir tiba. Saat berada dalam kondisi putus asa dan sedih seperti itu, tiba-tiba rahmat Tuhan tampak di hadapanku sehingga kesedihan dan perpisahan yang memilukan tadi berubah menjadi harapan yang kuat dan cahaya pelipur lara yang terang. | |||
Wahai yang telah lanjut usia seperti diriku! | |||
Allah yang telah mempersembahkan sekaligus memper- kenalkan diri-Nya yang mulia kepada kita pada—lebih dari—seratus tempat dalam al-Qur’an dengan sifat ar-Rahmân ar-Rahîm (Maha Pengasih dan Penyayang). Dia yang telah mengirimkan rahmat-Nya lewat berbagai nikmat yang Dia tebarkan di atas bumi sebagai bantuan bagi seluruh makhluk yang membutuhkan rahmat-Nya. Dia pula yang telah memberikan berbagai karunia dari alam gaib, sehingga musim semi pada setiap tahun penuh dengan nikmat yang tak terhingga dan tak terhitung banyaknya. Dia kirimkan semua itu untuk kita yang membutuhkan rezeki seraya memperlihatkan dengan jelas manifestasi kasih sayang-Nya yang demikian menyeluruh sesuai de- ngan tingkat kelemahan dan ketidakberdayaan yang terdapat dalam diri kita. Rahmat Sang Pencipta Yang Maha Penyayang tersebut merupakan harapan yang besar dan cahaya yang kuat di masa tua kita ini. | |||
Rahmat tersebut hanya bisa dicapai dengan cara menghubungkan diri dengan Dzat Yang Maha Pengasih melalui iman dan taat pada-Nya dengan melaksanakan kewajiban. | |||
< | <span id="Üçüncü_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Ketiga== | ||
Ketika aku terbangun di “pagi masa tua” dari tidur “malam masa muda”, aku menatap diriku seraya merenungkan kondisinya. Kurasakan ia seolah-olah telah terjatuh dari tempat yang tinggi menuju dasar kubur seperti yang dikatakan oleh Niyâzi al-Mishri: | |||
Batu demi batu dari bangunan umur ini telah jatuh, | |||
tanpa disadari menimpa jiwa dan bangunan itu pun runtuh. | |||
Seiring dengan perjalanan waktu, tubuhku yang menjadi wadah bagi rohku perlahan-lahan batu demi batunya sudah mulai rapuh dan berjatuhan. Semua impian dan harapanku yang membuat diri ini demikian terpaut dengan dunia ikatannya sudah mulai putus dan lepas. Aku merasa waktu perpisahan dengan para kekasih dan teman yang jumlahnya tak terhingga telah semakin dekat. Aku pun mulai mencari obat salep yang bisa membalut luka hati yang sangat dalam ini yang kelihatannya tak bisa disembuhkan. Namun ternyata aku tidak bisa menemukan obatnya. Akhirnya, aku juga mengucapkan seperti yang diucapkan Niyâzi al-Mishri: | |||
Hikmah Tuhan menetapkan musnahnya badan Sementara kalbu merindukan keabadian | |||
Jiwaku meradang karena ujian dan kesedihan Luqman pun bingung mencari balutan | |||
Saat berada dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba cahaya Rasul—yang merupakan rahmat Allah bagi alam semesta, sekaligus sebagai sosok yang mencerminkan, menyerukan, dan menuturkan rahmat tersebut—serta syafaat beliau berikut petunjuk yang beliau berikan kepada umat manusia, menjadi balsam penyembuh dan obat ampuh bagi penyakit kronis yang kukira tidak ada obatnya. Keputusasaanku yang diselimuti oleh kegelapan diubahnya menjadi harapan yang bersinar terang. | |||
Wahai para lansia yang mulia, wahai yang sudah merasa tua seperti diriku! Kita semua pasti akan pergi. Kita tidak akan tinggal di sini selamanya dengan menipu diri dan memejamkan mata. Kita akan diantar menuju tempat abadi. Akan tetapi, alam Barzakh tidak seperti yang terlihat dengan gelapnya ilusi akibat kelalaian dan bukan pula seperti yang digambarkan kaum yang sesat. Ia bukanlah alam perpisahan dan alam kegelapan, namun ia tempat berkumpulnya para kekasih dan tempat bertemu dengan orang-orang yang dicintai, terutama Nabi yang merupakan kekasih Tuhan dan pemberi syafaat di sisi-Nya pada Hari Kiamat. | |||
Ya, kita akan pergi ke sebuah alam tempat perginya seseorang yang telah memimpin 350 juta orang pada setiap masa selama lebih dari 1350 tahun, di mana beliau menjadi pendidik jiwa, pembimbing akal, dan pujaan hati mereka, yang dituliskan pada lembaran kebajikannya seluruh amal saleh umatnya dengan rahasia اَلسَّبَبُ كَال۟فَاعِلِ ‘per- antara sama seperti pelaku’ yang menjadi poros bagi semua maksud Tuhan dan pusat tujuan Ilahi yang mulia di alam, serta yang menjadi sebab bagi mulianya seluruh entitas. Ia tidak lain adalah Rasulullah, sebagaimana ketika beliau baru dilahirkan, berucap, “Umatku umatku” seperti yang ditegaskan oleh berbagai riwayat sahih(*<ref>*Lihat takhrij-nya pada Cahaya Keempat.</ref>)dan kasyaf yang benar, begitu juga di hari kebangkitan nanti beliau juga berucap, “Umatku umatku” dan berusaha menolong umatnya dengan pengorbanan yang paling suci dan tinggi dan syafaatnya ketika setiap orang hanya memikirkan dirinya sendiri dengan mengucap, “Nafsî nafsî (diriku diriku)”. | |||
Jadi, kita akan pergi ke sebuah alam yang telah dituju oleh sosok Nabi yang mulia itu. Sebuah alam yang terang oleh sang mentari itu (Muhammad ) serta bintang-gemintang para ulama dan wali tak terhingga yang mengitarinya. | |||
</ | |||
Ya, mengikuti sunnah Nabi yang mulia ini merupakan cara untuk mendapatkan syafaatnya, meraih cahayanya, dan selamat dari gelapnya alam Barzakh. | |||
< | <span id="Dördüncü_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Keempat== | ||
Ketika dua kakiku menginjak ambang pintu kerentaan, kesehatan fisikku yang tadinya membuat lalai juga sudah sakit-sakitan sehingga kerentaan dan penyakit fisik itu pun bergabung menyerangku. Keduanya terus-menerus memukul kepalaku hingga memba- ngunkanku dari tidur kelalaian. Tidak ada lagi yang mengikatku de- ngan dunia, baik itu harta, anak maupun yang lainnya. Aku melihat umur yang telah kusia-siakan dalam kelalaian masa muda hanyalah merupakan tumpukan dosa dan kesalahan. Maka, aku pun bermu- najat memohon pertolongan seperti yang diucapkan oleh Niyazi al- Mishri:(*<ref>*Niyazi al-Mishri adalah seorang penyair Turki dan penganut tarekat sufi (1618 – 1694 M). Ia dilahirkan di sebuah desa yang dekat dengan kota Malatya. Ia menyelesaikan studinya di universitas al-Azhar-Mesir sehingga dijuluki al-Mishri. Ia banyak menulis ontologi syair dan berbagai karya tulis lainnya, di antaranya adalah: Risalah al-Hasanain, Mawâ’id al-‘Irfân wa ‘Awa’id al-Ihsân, dan Hidâyah al-Ikhwân. Ia telah mengajar di se- jumlah sekolah di Istanbul.</ref>) | |||
</ | |||
Umur telah berlalu dengan sia-sia tanpa mendapatkan hasil apa-apa | |||
Aku kembali ke jalan, namun rombongan itu telah jauh pergi | |||
Aku pun menangis, aku sendirian tersesat meniti jalan | |||
Kedua mataku menangis, dadaku terasa sesak, dan pikiranku kacau…! | |||
Saat itu aku berada dalam keterasingan. Aku merasakan kesedihan yang diiringi keputusasaan, serta kekecewaan yang penuh penyesalan atas umur yang telah berlalu. Dari lubuk hati, aku memohon pertolongan dan mencari secercah harapan. Ketika itulah al-Qur’an al-Karim membantuku. Ia membukakan pintu harapan yang besar di hadapanku dan memberikan cahaya asa yang hakiki, yang bisa melenyapkan seratus kali lipat dari segala keputusasaanku dan kegelapan yang menyelimutiku. | |||
Wahai mereka yang sudah tua renta, wahai yang ikatannya dengan dunia mulai lepas seperti diriku! Tuhan Yang Maha Agung telah menciptakan dunia ini layaknya sebuah kota yang paling sempurna dan tertata rapi, bahkan seperti sebuah istana yang megah. Kalau demikian, mungkinkah Tuhan tidak berbicara dengan para kekasih dan para tamu-Nya yang datang ke kota dan istana itu? Mungkinkah Dia tidak menemui mereka?Karena Dia telah menciptakan istana yang megah tadi dengan ilmu, menatanya lewat kehendak, serta menghiasinya secara sengaja, pastilah Dia berbicara. Pasalnya, sebagaimana Dzat Yang Memba- ngun berilmu, Dzat Yang Berilmu juga pasti berbicara. Selanjutnya, karena Dia telah menjadikan istana tadi sebagai tempat jamuan yang indah, dan kota itu sebagai tempat bisnis yang mengagumkan, pastilah ada kitab dan lembaran yang menjelaskan apa yang Dia inginkan dari kita sekaligus menerangkan hubungan-Nya dengan kita. | |||
Tentu saja kitab yang paling sempurna di antara kitab-kitab yang Dia turunkan adalah al-Qur’an yang merupakan mukjizat ditinjau dari empat puluh aspek, yang senantiasa dibaca pada setiap saat oleh minimal seratus juta orang, yang menyebarkan cahaya dan memberi petunjuk ke jalan yang benar, yang pada setiap hurufnya terdapat sepuluh kebaikan minimal sepuluh pahala, atau kadangkala sepuluh ribu kebaikan, bahkan tiga puluh ribu kebaikan, seperti di saat Lailatul Qadr. Demikianlah Tuhan memberikan pahala surga dan cahaya barzakh seperti yang Dia kehendaki. Apakah di seluruh alam ini ada sebuah Kitab yang bisa menyamai kedudukannya? | |||
Karena al-Qur’an al-Karim yang berada di hadapan kita merupakan firman Pemelihara alam semesta, perintah Tuhan yang tertuju kepada kita, dan sumber rahmat-Nya yang meliputi segala sesuatu, serta berasal dari Pencipta langit dan bumi dari sisi rubûbiyah-Nya yang bersifat mutlak, dari sisi keagungan ulûhiyah-Nya, maupun dari sisi rahmat-Nya yang luas, maka berpegang-teguhlah padanya. Sebab, di dalamnya terdapat obat bagi segala penyakit, cahaya bagi setiap kegelapan, dan harapan bagi semua keputus-asaan. | |||
Kunci untuk membuka perbendaharaan abadi itu hanyalah iman, penyerahan diri, perhatian kepadanya, tunduk padanya, dan rajin membacanya. | |||
< | <span id="Beşinci_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Kelima== | ||
Di pangkal usia senjaku, aku ingin beruzlah dan menyendiri. Jiwaku mencari-cari istirahat dalam kesendirian di atas bukit Yusya’ yang mengarah ke selat Bosporus. Ketika pada suatu hari, dari atas bukit yang tinggi itu, aku mengarahkan pandangan ke cakrawala, aku menyaksikan salah satu tanda perpisahan yang memancarkan kesedihan dan kepiluan dengan peringatan usia senja. Kubawa pandanganku dari puncak pohon umurku, yaitu dari ranting keempat puluh lima, untuk melanglang buana, hingga sampai ke tingkat kehidupan- ku yang paling bawah. Pada setiap ranting yang terdapat di dalamnya, kusaksikan jenazah para kekasihku dan teman-temanku, serta jenazah setiap orang yang mempunyai hubungan denganku. Aku sangat terpukul dengan perpisahan tersebut dan kulantunkan rintihan Fud- hûli al-Bagdâdi(*<ref>*Fudhûli al-Bagdâdi (1494 – 1556 M) adalah nama pena dari seorang penyair yang bernama Muhammad ibn Sulaiman. Ia dilahirkan di Karbala, Irak. Ia telah menulis banyak syair dan ontologi dalam bahasa Turki, Arab, dan Persia. Karyanya yang terkenal adalah Malhamah Majnûn Lailî. Ia wafat di Karbala pada tahun 1556 M.</ref>)saat berpisah dengan orang-orang yang dicintai lewat ungkapan berikut: | |||
</ | |||
Setiap kali ada kerinduan untuk berjumpa | |||
Air mata mengucur teriring isak nafas. | |||
Dalam suasana sedih semacam itu, aku mencari pintu harapan dan jendela cahaya untuk menghibur diri. Pada saat itulah tiba-tiba sinar keimanan pada akhirat menolongku. Ia memberiku cahaya yang tak pernah padam dan harapan yang tak terpatahkan. | |||
Benar, wahai saudara-saudariku yang sudah lanjut usia, selama akhirat ada dan kekal abadi, selama ia lebih indah dari dunia, selama Dzat yang menciptakan kita Mahabijak dan Maha Penyayang, maka tidak sepatutnya kita mengeluhkan dan merisaukan usia yang sudah tua renta ini. Sebab, kerentaan yang dihiasi oleh iman dan ibadah serta bersambung dengan usia kesempurnaan hanyalah pertanda berakhirnya kewajiban dan tugas-tugas hidup sekaligus isyarat perpindahan ke alam rahmat untuk memperoleh kesenangan yang kekal abadi. Karena itu, kita harus betul-betul ridha menerimanya. | |||
<div | <div class="mw-translate-fuzzy"> | ||
Ya, Informasi 124 ribu orang pilihan yang merupakan Nabi dan Rasul,(*<ref>*Abu Dzar d meriwayatkan: “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, berapa jumlah | |||
< | para nabi? Beliu menjawab, ‘Seratus dua puluh empat (124) ribu. Di antara mereka ada tiga ratus lima belas (315) Rasul’.” (Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 5/265; Ibnu Hibbân, ash-Shahîh, 2/77; ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, 8/217; al-Hâkim, al-Mustadrak, 2/652; dan Ibnu Sa’ad, ath-Thabaqât al-Kubrâ, 1/23, 54</ref>)sebagaimana disebutkan dalam Hadis, memberitakan secara ijmak dan mutawatir di mana sebagian berlandaskan penyaksian dan sebagian lagi berdasarkan haqqul yaqin mengenai keberadaan neg- eri akhirat. Mereka menginformasikan secara ijmak bahwa manusia akan digiring ke sana dan bahwa Sang Pencipta pasti akan mendatangkan negeri akhirat sebagaimana telah dijanjikan secara tegas. Pembenaran 124 juta wali, baik secara kasyaf maupun secara penyaksian, terhadap informasi para nabi di atas serta kesaksian mereka akan keberadaan akhirat berdasarkan ilmul yaqin merupakan dalil kuat yang menunjukkan eksistensi akhirat.Selain itu, manifestasi seluruh nama Allah (Asmaul Husna) yang termanifestasi di seluruh pelosok alam mengharuskan adanya alam lain yang kekal serta menjelaskan dengan sangat terang keberadaan akhirat. Lalu qudrah Ilahi dan hikmah-Nya yang absolut, yang tidak berlebihan dan sia-sia, di mana ia menghidupkan bangkai pohon yang telah mati berikut rangkanya yang tegak dalam jumlah tak terhingga di muka bumi pada setiap musim semi dan setiap tahun sesuai perintah kun fayakûn sekaligus menjadikannya sebagai tanda adanya kebangkitan sesudah kematian sehingga tiga ratus ribu sp- esies dari berbagai kelompok tumbuhan dan binatang dihidupkan, semua itu menunjukkan ratusan ribu contoh kebangkitan dan bukti keberadaan akhirat. | ||
Selanjutnya, rahmat Allah yang luas yang melanggengkan kehidupan semua makhluk yang membutuhkan rezeki dan menghidupkannya dengan penuh kasih sayang, juga perhatian-Nya yang permanen yang memperlihatkan aneka jenis perhiasan dan keindahan yang jumlahnya tak terhingga pada masa yang sangat singkat di musim semi, tentu hal itu mengharuskan keberadaan akhirat. | |||
Begitu pula keinginan untuk kekal, kerinduan untuk abadi, dan harapan untuk tetap selamanya yang tertanam secara kuat dalam fitrah manusia—sebagai buah alam paling sempurna serta makhluk yang paling Tuhan cintai di mana ia memiliki hubungan paling kuat dengan seluruh entitas alam—sudah pasti hal itu menunjukkan ke- beradaan alam abadi sesudah alam yang fana ini. Ia menunjukkan eksistensi alam akhirat dan negeri kebahagiaan yang kekal selamanya.Seluruh dalil di atas, secara pasti, membuktikan keberadaan akhirat sama seperti kepastian adanya dunia.(*<ref>*Mudahnya menerima suatu “perkara yang pasti” dan betapa sulitnya menafikan serta mengingkarinya tampak pada contoh berikut. Seseorang berkata, “Di muka bumi terdapat sebuah taman yang luar biasa. Buahnya seperti kemasan susu.” Namun yang lain menyangkal pernyataan tersebut dengan berujar, “Tidak, tidak ada taman seperti itu.” Maka orang yang pertama dapat dengan mudah membuktikan perkataannya dengan hanya memperlihatkan tempat di mana taman itu berada atau memperlihatkan sebagian buahnya. Adapun orang kedua yang ingkar, ia harus melihat dan memperlihatkan seluruh penjuru bumi untuk membuktikan pernyataannya yang menyangkal keberadaan taman tersebut.Begitulah kondisi mereka yang menginformasikan keberadaan surga. Mereka memperlihatkan ratusan ribu percikannya serta menjelaskan buah dan jejaknya. Apalagi dua orang saksi jujur di antara mereka sudah cukup untuk membuktikan ucapan mere- ka. Sebaliknya, orang-orang yang tidak percaya, mereka tidak dapat membuktikan per- nyataannya kecuali setelah menyaksikan alam yang tak terbatas ini dan masa yang tak terhingga dengan menelusuri semua sisinya. Ketika mereka tidak melihatnya, pada saat itulah mereka baru dapat menetapkan penafian mereka. Wahai saudara-saudaraku yang lansia, ketahuilah betapa agungnya iman kepada akhirat—Penulis.</ref>) | |||
</div> | </div> | ||
Karena pelajaran terpenting yang al-Qur’an ajarkan kepada kita adalah “iman kepada akhirat”, sementara pelajaran ini demikian kuat, serta di dalamnya terdapat cahaya cemerlang, harapan kuat, dan pelipur lara yang andaikan seratus ribu kerentaan terkumpul pada seseo- rang, niscaya cahaya, harapan, dan pelipur lara yang bersumber dari iman tersebut sudah cukup baginya. Maka dari itu, kita yang telah tua harus bergembira dengan kerentaan ini seraya mengucap:“Segala puji bagi Allah atas kesempurnaan iman yang Dia berikan.” | |||
< | <span id="Altıncı_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Keenam== | ||
Ketika berada dalam pengasingan yang menyedihkan, aku hidup seorang diri. Aku menyendiri di atas puncak gunung Çam yang mengarah ke padang rumput Barla. Pada saat itu aku mencari cahaya dalam kesendirian. | |||
Pada suatu malam di ruangan kecil tanpa atap, yang tegak di atas pohon cemara yang tinggi, di atas bukit tadi, tiba-tiba kerentaanku memunculkan berbagai macam perasaan terasing, sebagaimana dijelaskan pada “Surat Keenam” (bagian dari buku al-Maktûbât). Di keheningan malam tersebut di mana sama sekali tak ada suara, kecuali gema kesedihan desir pohon, aku merasakan gema kepedihan itu menerpa relung-relung perasaan jiwaku serta menyentuh kedalaman kerentaan dan keterasinganku. Seketika kerentaan tersebut berbisik di telingaku dengan mengingatkan:“Siang telah berganti menjadi kubur yang gelap gulita, dunia pun telah memakai kafannya yang berwarna hitam. Begitu juga, siang umurmu akan berganti malam, siang dunia akan berubah menjadi malam Barzakh, serta siang musim panas kehidupan akan berganti menjadi malam musim dingin kematian.” Mendengar hal itu dengan berat hati jiwaku menjawab, “Ya, sebagaimana aku terasing di sini jauh dari kampungku, maka perpisahan dengan orang-orang yang kucintai selama usia lima puluh tahun—sementara aku hanya bisa menangis di balik ketiadaan mereka—merupakan bentuk keterasingan yang melebihi keterasinganku dari kampungku.” Pada malam tersebut aku merasa sangat sedih, jauh melebihi kesedihan akibat terasing sendirian di puncak gunung. Kerentaanku mengingatkanku akan dekatnya waktu perpisahan dengan dunia berikut segala isinya. | |||
Dalam keterasingan yang diliputi oleh kesedihan, dan dari celah tumpukan kesedihan, aku mulai mencari cahaya dan secercah harapan. Seketika itu pula “iman kepada Allah” menolong dan mem- bantuku. Keimanan tersebut memberikan kesenangan yang luar biasa di mana andaikan penderitaan dan kesepianku berkali-kali lipat, niscaya kesenangan tersebut bisa melenyapkannya. | |||
Wahai yang sudah lanjut usia! Selama kita memiliki Tuhan Pencipta Yang Maha Penyayang, kita takkan ada keterasingan. Selama Dia ada, segala sesuatu juga ada untuk kita. Serta selama Dia ada, para malaikat pun ada. Jadi, dunia ini tidaklah kosong. Pegunungan yang kosong ini, padang pasir yang sunyi itu, sebenarnya ramai dengan para hamba Allah; yaitu para malaikat. | |||
Ya, cahaya keimanan kepada Allah membuat seluruh pohon, bahkan bebatuan layaknya teman dan sahabat, terutama para hamba-Nya yang berkesadaran. Sebab, semua entitas itu bisa berbicara dengan kita lewat lisânul hâl (keadaannya) masing-masing sehingga bisa menghibur hati. | |||
Dalil-dalil keberadaan Allah sebanyak jumlah entitas alam dan sebanyak jumlah huruf-huruf kitab alam yang besar ini, serta berbagai bukti kasih sayang-Nya sebanyak jumlah organ seluruh makhluk dan sebanyak jumlah nikmat yang Dia berikan kepada mereka, semua itu menjadi petunjuk atas adanya pintu Tuhan Yang Maha Pengasih dan Mahamulia, Pencipta Yang Mahadekat dengan kita, dan Pelindung Yang Maha Berbelas kasih. Tentu saja, kelemahan dan kepapaan menjadi penolong yang paling bisa diharapkan ketika berada di hadapan pintu yang mulia tadi. Sementara masa tua merupakan saat-saat munculnya kelemahan dan kepapaan tersebut. Karena itu, kita harus mencintai dan menyenangi kerentaan kita, bukan justru berpaling darinya. Sebab, ia merupakan penolong yang bisa diharapkan di hadapan pintu-Nya. | |||
< | <span id="Yedinci_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Ketujuh== | ||
Ketika kegembiraan dan senyuman “Said lama” berubah menjadi kesedihan dan tangisan “Said Baru”, yaitu tepatnya ketika hendak memasuki usia senja, pihak penguasa di Ankara mengundangku karena mereka mengira aku masih “Said lama”. Aku pun memenuhi undangan itu. | |||
Namun, di suatu hari pada akhir musim gugur, aku naik ke puncak benteng Ankara yang jauh lebih tua dan lebih renta dariku. Benteng tua itu tampak di hadapanku seolah-olah ia merupakan rangkaian peristiwa bersejarah yang menjadi batu. Aku pun sangat sedih dengan rentanya tahun di musim gugur, dengan kerentaanku sendiri, kerentaan benteng itu, kerentaan umat manusia, kerentaan Daulah Usmaniyah, dengan wafatnya kekhalifahan, serta dengan kerentaan dunia. Kondisi tersebut memaksaku untuk mengarahkan pandangan dari puncak benteng tinggi itu ke lembah masa lalu dan bukit masa depan, untuk mencari cahaya, harapan, dan pelipur lara yang bisa menerangi kegelapan yang sedang menyelimuti jiwaku saat ia larut di malam kerentaan yang berantai.(*<ref>*Kondisi jiwa tersebut muncul dalam bentuk munajat kepada kalbu dalam bahasa Persia. Kutuliskan ia sebagaimana adanya. Kemudian, kumasukkan ke dalam Risalah Hubab, dan dicetak di Ankara—Penulis. </ref>) | |||
Ketika aku menoleh ke sebelah kanan yang merupakan “masa lalu” seraya mencari cahaya dan harapan, ia tampak dari kejauhan dalam bentuk pekuburan besar berisi jenazah ayahku, nenek moyangku, dan umat manusia. Maka, segera saja ia membuatku lara. | |||
Lalu aku menoleh ke sebelah kiri yang merupakan “masa depan” seraya mencari obatnya. Ia pun seperti makam besar yang gelap berisi jenazahku, jenazah generasiku dan jenazah generasi mendatang. Hal itu membuatku sedih dan sakit. | |||
Kemudian aku menoleh ke masa sekarang, di saat hatiku telah penuh dengan kesedihan dan kepiluan. Maka ia tampak dalam pandanganku yang sedang lara seperti keranda bagi jenazah tubuhku yang sedang menggelepar-gelepar seperti sembelihan yang berada dalam kondisi hidup dan mati. | |||
Manakala aku juga putus asa dengan arah ini, kuangkat kepalaku dan kulihat dari puncak pohon umurku satu buah yang sedang menatapku. Ia tidak lain jenazahku. Lalu kutundukkan kepalaku untuk melihat akar pohon umurku. | |||
Di sana aku menyadari bahwa tanah yang ada di dalamnya tidak lain berupa tulang belulangku yang telah hancur dan tulang awal penciptaanku. Keduanya bercampur dan telah diinjak oleh berbagai kaki. Hal itu tentu saja menambah sakitku tanpa pernah memberikan obatnya. | |||
Selanjutnya, dengan terpaksa aku mengalihkan pandanganku ke belakang. Kusaksikan bahwa dunia yang fana ini bergulir dalam lembah kehancuran dan gelapnya kefanaan. Alih-alih memberikan obat dan kesembuhan, pandangan ini malah menuangkan racun ke atas luka-lukaku. | |||
Ketika tidak ada kebaikan dan harapan yang ditemukan di arah tersebut, kupalingkan wajahku ke depan dan kuarahkan pandanganku ke tempat yang jauh. Ketika itu kusaksikan kuburan di hadapanku sedang menungguku di tengah jalan dengan mulut yang kosong dan terus mengawasiku. Di balik kuburan itu terdapat jalan yang terbentang hingga masa keabadian. Dari kejauhan, terlihat pula berbagai rombongan umat manusia sedang berjalan di atas jalan tersebut. | |||
Tidak ada yang bisa kujadikan sebagai sandaran dalam menghadapi aneka macam musibah yang menimpaku dari enam arah tadi, kecuali mengandalkan irâdah juz’iyah (kehendak parsial).Jadi, dalam menghadapi berbagai musuh dan ancaman yang tak terkira banyaknya aku hanya memiliki senjata manusiawi satu-satunya, yaitu ikhtiar. Namun, karena senjata itu sangat terbatas, sangat lemah, tak mempunyai kekuatan untuk mewujudkan sesuatu kecuali hanya usaha semata, di mana ia tak mampu kembali ke masa lalu untuk melenyapkan dan menghentikan segala kesedihan. Di samping juga tak mampu melanglang buana ke masa depan untuk bisa menghadang kerisauan dan ketakutan yang muncul darinya, maka aku melihat bahwa ikhtiar tersebut sama sekali tak berguna untuk meng- hadapi berbagai penderitaan masa lalu dan impian masa mendatang. | |||
Pada saat aku berada dalam kondisi gelisah menghadapi enam arah yang mencampakkanku dalam kesepian, kemalangan, keputusasaan, dan kegelapan, tiba-tiba cahaya iman yang memancar dari al-Qur’an al-Mu’jizul-bayân menyelamatkanku dan menerangi enam arah tadi dengan sinar yang sangat terang. Seandainya aku dikepung 100 kali lipat kegelapan, niscaya cahaya tadi mampu mengalahkannya. Seketika itu, cahaya-cahaya tadi mengubah rangkaian kegelapan yang panjang menjadi pelipur lara dan harapan. Selain itu, ia mengu- bah segala kerisauan menjadi kelapangan dan optimisme. | |||
Ya, keimanan telah melenyapkan gambaran masa lalu yang menyeramkan, yang seolah-olah seperti kuburan besar, menjadi sebuah majelis terang yang lapang dan tempat bertemunya para kekasih. Ia tampakkan hal itu lewat ‘ainul yaqîn dan haqqul yaqîn. | |||
Kemudian, keimanan tadi memperlihatkan dengan ‘ilmul yaqîn bahwa masa depan yang tadinya dengan tatapan kelalaian tampak seperti kuburan besar ternyata merupakan majelis jamuan Tuhan yang dipersiapkan di istana kebahagiaan yang kekal. | |||
Keimanan tersebut juga menghancurkan gambaran keranda jenazah masa sekarang yang tampak demikian menurut tatapan kelalaian dan memperlihat- kannya sebagai tempat bisnis ukhrawi dan tempat jamuan ilahi yang menakjubkan. | |||
Selanjutnya, keimanan tadi menampakkan kepadaku dengan ‘ilmul yaqîn bahwa buah satu-satunya yang terdapat di atas pohon umur dalam bentuk keranda dan jenazah seperti terlihat lewat tata- pan kelalaian sebenarnya tidak demikian. Tetapi, ia merupakan perpindahan jiwa—sebagai unsur yang layak kekal di kehidupan abadi serta unsur yang akan meraih kebahagiaan abadi—dari sangkar lamanya menuju cakrawala bintang-gemintang untuk melancong. | |||
Keimanan berikut segala rahasianya juga menjelaskan bahwa tulang-belulang dan tanah awal penciptaanku bukan tulang yang hina dan musnah di bawah injakan kaki manusia. Tetapi, ia adalah tanah pintu rahmat dan tirai tenda surga. | |||
Berkat karunia rahasia al-Qur’an, keimanan itu memperlihatkan kepadaku bahwa berbagai kondisi dunia yang jatuh ke dalam gelapnya ketiadaan menurut tatapan kelalaian, sebenarnya tidak demikian. Tetapi, ia merupakan salah satu jenis risalah Tuhan dan lembaran goresan nama-nama-Nya yang suci yang telah menyelesai- kan tugas, memberikan makna, dan meninggalkan hasilnya di alam wujud. Dengan begitu, keimanan tersebut memberitahukan esensi dunia kepadaku dengan ‘ilmul yaqîn. | |||
Lewat cahaya al-Qur’an, keimanan itu pun menjelaskan bahwa kubur yang menantikanku sebenarnya bukan lubang sumur. Tetapi, ia merupakan pintu menuju alam cahaya. Jalan menuju keabadian itu bukanlah jalan yang berakhir pada kegelapan dan kemusnahan. Tetapi, ia adalah jalan yang benar untuk sampai ke alam cahaya, alam wujud, dan alam kebahagiaan abadi. Demikianlah, kondisi-kondisi ini justru menjadi obat dan balsam penyembuh bagi penyakitku yang tampak sangat jelas hingga membuatku sangat puas. | |||
Selain itu, keimanan tadi juga menganugerahkan kepada ikh- tiar yang terbatas tadi sebuah pegangan yang bisa dijadikan sandaran untuk sampai kepada kekuasaan-Nya yang mutlak dan kepada rahmat-Nya yang luas guna melawan beragam musuh dan aneka macam kegelapan. | |||
Selanjutnya sebuah ikhtiar yang menjadi senjata manusia, meskipun cacat, lemah, dan terbatas, namun jika dipergunakan atas nama Allah dan di jalan-Nya bisa mengantarkan manusia untuk meraih surga abadi seluas lima ratus tahun perjalanan. Dalam hal ini, seorang mukmin sama dengan keadaan seorang prajurit. Apabila kekuatannya yang terbatas itu dipakai atas nama negara, dengan mudah ia bisa melaksanakan berbagai pekerjaan yang seribu kali lipat lebih besar dibanding kekuatan aslinya. | |||
Sebagaimana keimanan memberikan kepada ikhtiar kita sebuah pegangan, ia juga melepaskan kendalinya dari genggaman jasad yang tidak bisa menembus masa lalu dan masa depan untuk kemudian diserahkan kepada kalbu dan roh. Lalu, karena wilayah kehidupan roh dan kalbu tidak terbatas pada masa sekarang seperti yang terjadi pada jasad, tetapi ia bisa menembus masa lalu dan masa depan, maka posisi ikhtiar tersebut berubah dari yang tadinya parsial (juz’i) menjadi universal (kulli). Kemudian, sebagaimana dengan kekuatan iman, ikhtiar tersebut bisa masuk ke relung-relung masa lalu dengan melenyapkan gelapnya kesedihan, lewat cahaya iman ia juga bisa naik menuju ke ketinggian masa depan dengan menghapus segala kerisauan dan kecemasan. | |||
Wahai saudara dan saudari lansia yang menderita sepertiku akibat penatnya masa tua! Selama kita termasuk kaum beriman di mana keimanan merupakan khazanah kekayaan yang manis, bersinar, nikmat, dan dicintai, maka kerentaan itu akan mengantarkan kita menuju khazanah kekayaan itu. Oleh karenanya, kita tidak boleh mengeluhkan usia renta yang dijalani dengan keimanan, melainkan kita harus banyak bersyukur dan memuji Allah . | |||
< | <span id="Sekizinci_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Kedelapan== | ||
Ketika sebagian rambutku sudah mulai memutih yang menjadi pertanda tuanya seseorang, serta kedahsyatan Perang Dunia Pertama dan penawanan Bangsa Rusia yang memberikan dampak kuat dalam hidup ini membuatku bertambah lalai. Kondisi itu diperparah saat aku kembali dari penawanan ke kota Istanbul di mana, baik Khalifah, Syaikhul-Islam, panglima, maupun para pelajar agama memberikan sambutan yang menakjubkan sekaligus penghormatan yang berlebihan. Semua itu mencampakkanku dalam kondisi rohani yang buruk di samping kelalaian masa muda. Pada waktu yang sama aku menjadi lebih tertidur lelap sampai-sampai aku berpikir bahwa dunia ini kekal abadi. Kusadari diriku berada dalam kondisi yang sangat terikat dengan dunia seolah-olah tidak akan mati. | |||
Pada waktu itulah aku pergi ke Masjid Jami Bayazid di Istanbul, yaitu bertepatan pada Bulan Ramadhan yang penuh berkah, untuk mendengarkan bacaan al-Qur’an dari para penghafal yang ikhlas. Dari mulut mereka aku mendengar informasi al-Qur’an yang begi- tu kuat di seputar kematian dan fananya manusia berikut wafatnya seluruh makhluk bernyawa. Bunyi ayat tersebut adalah: “Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 185).Informasi tersebut masuk ke dalam lubang telingaku menembus dan merobek berbagai tingkatan kelalaian dan kealpaan yang sangat tebal hingga jatuh di relung-relung kalbuku yang paling da- lam. Kemudian, aku keluar dari masjid Jami tersebut, kuperhatikan diriku selama beberapa hari seolah-olah angin topan berpusar di kepalaku sebagai akibat dari pengaruh tidur panjang yang sejak lama menyertaiku. Kusaksikan diriku seolah-olah seperti perahu yang terombang-ambing di tengah gelombang lautan. Diriku menyala oleh api yang memiliki asap tebal. Setiap kali aku melihat cermin, uban-ubanku berkata padaku, “Waspadalah!”Ya, berbagai hal tampak jelas bagiku dengan munculnya uban- uban itu dan dengan peringatan yang ia berikan padaku. | |||
Aku menyaksikan bahwa masa muda yang sangat kubanggakan dan terlena dengan kenikmatannya mengucapkan, “Selamat tinggal!” Kehidupan dunia yang sangat kucintai mulai redup sedikit demi sedikit. Dunia yang begitu dekat denganku dan sangat kusenangi mengucapkan, “Selamat tinggal, bersiap-siaplah untuk pergi” seraya mengingatkan bahwa aku akan pergi dari tempat jamuan ini dan bahwa aku akan meninggalkannya dalam waktu dekat. | |||
Seketika itu pula terbukalah kalbuku untuk menerima dan memahami ayat yang berbunyi:“Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian.”Makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa umat manusia ibarat sebuah jiwa. Ia pasti akan mati untuk kemudian dibangkitkan kembali. Demikian pula dengan bola bumi. Ia ibarat sebuah jiwa yang juga akan mengalami kematian dan kemusnahan untuk kemudian mengambil bentuk yang kekal abadi. Dunia pun merupa- kan sebuah jiwa. Ia akan mati dan lenyap untuk kemudian berwujud dalam bentuk akhirat. | |||
Dari situ, kurenungkan diriku sendiri. Kusadari bahwa masa muda yang penuh dengan kesenangan telah pergi. Ia meninggalkan tempatnya untuk ditempati oleh masa tua yang penuh dengan kesedihan. Kehidupan yang terang dan cemerlang telah pergi untuk digantikan oleh kematian yang secara lahiriah tampak gelap dan menakutkan.Kuperhatikan dunia sebagai tempat yang menyenangkan, manis, mengasyikkan, dan dikira kekal, ternyata berlalu dengan cepatnya menuju kefanaan. | |||
Agar terlena dalam kelalaian dan guna menipu diri, kupalingkan perhatianku pada nikmatnya kedudukan dan posisi sosial yang kudapatkan di Istanbul yang mana di sana aku mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang luar biasa. Kusadari bahwa semua itu hanya menyertaiku sampai ke pintu kubur yang sebentar lagi tiba. Di situ segalanya akan padam.Kusadari pula bahwa riya, egoisme, dan kelalaian yang bersifat sementara telah bersembunyi di balik tirai yang berhiaskan reputasi dan popularitas. Itulah tujuan dari orang-orang yang ingin terkenal. Aku mengerti bahwa semua hal yang telah menipuku hingga saat ini takkan pernah bisa membuatku terhibur. Aku sama sekali tak menemukan cahaya di dalamnya. | |||
Agar kembali terbangun dan tersadar dari kelalaian, Aku pun mulai menyimak bacaan para penghafal al-Qur’an yang berada di Masjid Jami Bayazid untuk menerima pelajaran dari kitab suci. Saat itulah aku mendengar kabar gembira dari petunjuk langit yang bersumber dari perintah suci Tuhan di mana Allah berfirman: “Sampaikan kabar gembira kepada orang-orang beriman...” (QS. al-Baqarah [2]: 25).Lewat limpahan karunia yang berasal dari al-Qur’an, Aku pun mencari pelipur lara, harapan, dan cahaya di seputar hal-hal yang membingungkan serta membuatku sedih dan putus asa, tanpa mencari dari yang lain. Maka, kuucapkan ribuan syukur kepada Tuhan Sang Maha Pencipta yang telah memberikan taufik kepadaku untuk menemukan obat pada penyakit itu sendiri, untuk melihat cahaya pada kegelapan itu sendiri, dan merasa terhibur dalam penderitaan itu sendiri. | |||
Maka, yang pertama kali kulihat adalah wajah kematian yang ditakuti semua orang dan dianggap sangat menyeramkan. Lewat cahaya al-Qur’an, aku memahami bahwa wajah kematian yang hakiki, bagi seorang mukmin, ibarat sesuatu yang bersinar terang meskipun tampilan luarnya terlihat gelap dan menakutkan. Hakikat ini telah kami buktikan dan jelaskan secara tegas dalam berbagai risalah, terutama dalam “Kalimat Kedelapan” dan “Surat Kedua Puluh”. Di situ dijelaskan bahwa kematian sebenarnya bukan kemusnahan final dan bukan pula perpisahan abadi. Tetapi, ia merupakan pengantar dan pendahuluan bagi kehidupan yang kekal. Ia adalah pembebasan dari tugas hidup. Ia merupakan bentuk pergantian tempat serta pertemuan dengan rombongan para kekasih yang telah pergi menuju alam Barzakh. | |||
Demikianlah, dengan hakikat tersebut, aku menyaksikan wajah kematian yang indah dan bersinar. Karena itu, aku pun tidak lagi melihatnya dengan perasaan takut dan cemas. Tetapi, dari satu sisi, aku melihatnya dengan perasaan rindu. Di saat tersebut aku memahami salah satu rahasia râbithatul maut (selalu mengingat mati) yang dipraktekkan oleh para penganut tarekat sufi. | |||
Setelah itu, aku merenungkan masa muda. Ternyata keper- giannya telah membuat sedih semua orang. Semua orang suka dan senang kepadanya. Ia berlalu dengan kelalaian dan dosa. Masa mudaku berlalu seperti itu. Di situ aku melihat wajah yang sangat buruk bahkan melenakan dan membingungkan berbungkus busana yang cantik. Seandainya aku tidak mengetahui hakikatnya, pastilah ia membuatku menangis dan sedih sepanjang hidup. Bahkan andaipun aku hidup seratus tahun, hanya beberapa tahun yang berlalu dengan senyuman dan keriangan. Hal itu sebagaimana ungkapan seorang penyair yang menangisi masa mudanya dengan penuh penyesalan: | |||
< | Oh, andai saja suatu saat masa muda kembali lagi, akan kuberitahukan apa yang dilakukan masa tua.(*<ref>*Karya Abu al-‘Atâhiyyah. Al-Jâhizh, al-Bayân wa at-Tabyîn 1/429.</ref>) | ||
</ | |||
Ya, para lansia yang belum memahami rahasia dan esensi masa muda akan menghabiskan masa tuanya dengan menyesali dan meratapi masa mudanya seperti penyair di atas. | |||
Sebenarnya, jika masa muda dilalui oleh seorang mukmin yang tenang dan wibawa serta jika kekuatan masa muda tadi dipakai untuk beribadah, beramal saleh, dan melakukan bisnis ukhrawi, pastilah ia menjadi kekuatan yang paling besar untuk menggapai kebajikan, sarana yang paling utama untuk berbisnis, serta instrumen yang paling indah dan paling nikmat untuk memperoleh berbagai kebaikan.Masa muda merupakan nikmat Ilahi yang berharga dan menynangkan bagi mereka yang mengetahui kewajiban agamanya dan tidak menyalahgunakannya. Namun, jika masa muda itu tidak disertai keistiqamahan, tidak disertai sikap menjaga kehormatan dan ketakwaan, maka ia akan mendatangkan banyak bahaya. Sebab, kelalaian dan hawa nafsunya akan menghancurkan kebahagiaan abadi dan kehidupan akhirat pemiliknya. Bahkan, barangkali juga menghantam kehidupan dunianya. Dengan begitu, ia akan mengenyam berbagai penderitaan di usia rentanya, karena berbagai kenikmatan yang ia rasakan selang beberapa tahun lamanya. | |||
Selama masa muda bagi sebagian besar orang tidak terlepas dari bahaya, maka kita sebagai orang tua harus banyak bersyukur kepada Allah , karena Dia telah menyelamatkan kita dari kebinasaan dan bahaya masa muda. Segala kesenangan di masa muda pasti akan lenyap, sebagaimana lenyapnya segala sesuatu. Jika seandainya masa muda tersebut dipergunakan untuk beribadah dan mengerjakan berbagai amal kebaikan, maka yang akan didapat adalah ganjaran pahala yang bersifat abadi. Ia akan menjadi sarana untuk mendapatkan masa muda yang kekal di kehidupan akhirat nanti. | |||
Lalu, aku melihat dunia yang digandrungi sebagian besar manusia serta memperdaya mereka. Aku menyaksikan dengan cahaya al-Qur’an bahwa ada tiga dunia yang saling bertumpuk: | |||
1. Dunia yang mengarah kepada Asmaul Husna. Yakni, dunia sebagai cermin yang menampakkan manifestasi Asmaul Husna. | |||
2. Dunia yang mengarah kepada akhirat. Yakni, dunia yang merupakan ladang akhirat. | |||
3. Dunia yang mengarah kepada ahli dunia. Yakni, dunia yang merupakan tempat permainan dan senda gurau orang-orang yang lalai. | |||
Selain itu, aku juga melihat bahwa setiap orang di dunia ini memiliki dunianya sendiri yang besar. Seolah-olah ada banyak dunia yang saling bertumpuk dengan jumlah sebanyak umat manusia. Hanya saja, dunia setiap orang tegak di atas kehidupannya sendiri. Ketika fisik seseorang jatuh binasa, maka dunianya menjadi runtuh, dan kiamatnya pun terjadi. Karena kaum yang lalai tidak memahami keruntuhan dunia mereka yang sangat cepat, akhirnya mereka tertipu dengannya. Dunia mereka itu disangka seperti dunia yang tetap tegak dan ada di sekitar mereka. | |||
Aku pun berpikir seraya berkata, “Aku juga tentu memiliki duniaku sendiri yang pasti akan runtuh dengan cepat seperti yang lain. Kalau begitu, apa gunanya duniaku itu dalam umur yang sa- ngat singkat ini?” | |||
Dengan cahaya al-Qur’an, aku menyaksikan bahwa bagiku dan bagi yang lain, dunia hanyalah tempat bisnis yang bersifat sementara dan tempat jamuan yang disinggahi setiap hari, kemudi- an ditinggalkan. Ia adalah pasar yang berada di sebuah jalan untuk tempat bisnis orang-orang yang datang dan pergi. Ia merupakan kitab yang senantiasa terbaharui milik Tuhan Sang Pemahat Azali. Dia mengubahnya sesuai dengan hikmah-Nya. Setiap musim semi di dalamnya laksana surat yang ditulis dengan tinta emas. Setiap musim panas di dalamnya merupakan untaian kasidah yang sangat indah. Dunia merupakan cermin yang selalu tampil baru seraya menampakkan manifestasi Asmaul Husna; ladang akhirat; tempat tumbuhnya rahmat ilahi; dan pabrik untuk menyiapkan berbagai tayangan permanen yang akan tampak secara konkret di alam keabadian nanti. Karena itu, aku sungguh sangat bersyukur kepada Allah, Sang Pencipta Yang Maha Mulia, atas penciptaan dunia yang sedemikian rupa. | |||
< | Namun, sayangnya manusia yang diberi kecintaan kepada dua wajah dunia yang mengarah kepada Asmaul Husna dan kepada akhirat, salah jalan ketika ia mempergunakan kecintaan tadi bukan pada tempatnya. Ia justru mengarahkannya pada wajah dunia fana yang mengandung bahaya sehingga terkena bunyi Hadis Nabi yang berbunyi: | ||
“Cinta dunia adalah sumber segala dosa.”(*<ref>*Lihat: Bukhari, at-Târîkh al-Kabîr, 3/472; az-Zubaidi, Ittihâf as-Sâdah, 8/81; al-Ajluni, Kasyf al-Khafâ, 1/344-345.</ref>) | |||
</ | |||
Wahai mereka yang telah renta! | |||
Aku menyaksikan hakikat ini lewat cahaya al-Qur’an, lewat peringatan dari kerentaanku, serta lewat cahaya iman yang merasuk ke dalam batinku. Aku telah membuktikannya dalam berbagai risalah. Aku melihat hakikat tadi sebagai penghibur hakiki, harapan kuat, dan cahaya yang terang benderang bagiku. Maka, Aku pun menerima kerentaanku ini secara rela sekaligus bergembira dengan kepergian masa muda. | |||
Karena itu, wahai saudara-saudaraku yang sudah lanjut usia, janganlah bersedih, jangan pula menangisi kerentaanmu. Tetapi, bersyukurlah kepada Allah . Selama kalian memiliki iman, dan selama kenyataannya demikian, yang semestinya menangis dan bersedih adalah mereka yang lalai dan sesat. | |||
< | <span id="Dokuzuncu_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Kesembilan== | ||
Saat Perang Dunia I, aku pernah tertawan di kota Kosturma, sebelah Timur Laut Rusia. Di sana ada masjid kecil milik Bangsa Tatar dekat dengan sungai Volga yang terkenal itu. Di antara teman-teman panglima yang tertawan aku termasuk yang tidak betah. Akhirnya kuputuskan untuk beruzlah. Hanya saja, aku tidak diperbolehkan pergi keluar tanpa izin. Masyarakat Tatar mengajakku untuk tinggal di masjid tersebut dengan jaminan yang mereka berikan. Aku tidur di sana seorang diri. Ketika itu musim semi sudah dekat. Seringkali aku tidak bisa tidur pada malam-malam yang sangat panjang di wilayah utara itu.Di malam-malam pekat yang diselimuti oleh kepedihan, desir sedih Sungai Volga, suara pilu gemercik hujan, dan sakitnya perpisahan yang terdapat dalam hembusan angin. Semua itu memba- ngunkanku dari tidur kelalaian yang amat lelap. | |||
Meskipun dari segi usia aku belum termasuk tua. Namun orang yang melihat peperangan akan menjadi cepat tua. Sebab dahsyatnya peperangan membuat anak-anak kecil pun beruban. Seolah-olah salah satu rahasia al- Qur’an yang berbunyi:“Hari yang menjadikan anak-anak menjadi beruban.” (QS. al-Muzzammil [73]: 17) tampak di dalamnya. Walaupun usiaku belum sempurna empat puluh tahun, namun seolah-olah sudah mencapai delapan puluh tahun.Pada malam yang gelap, panjang, dan penuh kesedihan tersebut, pada suasana yang sangat sepi dan dalam kondisi yang sungguh menyakitkan itu, hatiku dihantui oleh perasaan putus asa terhadap kehidupan dan tanah airku. Setiap kali aku menatap ketidakberdayaan dan kesendirianku, tak ada lagi impian dan harapan. Namun tiba-tiba datang rasa optimisme yang berasal dari al-Qur’an sehingga lidahku terus mengucapkan: | |||
“Cukuplah Allah bagiku, Dia sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran [3]: 173). | |||
Kalbuku menangis sambil berkata, “Aku terasing, aku sendirian, aku lemah, aku tak berdaya. Aku mencari keselamatan, aku mencari pengampunan, dan aku mencari pertolongan di pintu-Mu wahai Tuhan!” | |||
Sementara itu, diriku yang mengingat orang-orang yang kucintai di kampungku serta membayangkan kematian di negeri asing itu, terwakili oleh bait-bait syair Niyazi al-Mishri saat mencari seorang teman: | |||
Kulalui berbagai kesedihan dunia dan kukepak sayapku menuju ketiadaan seraya | |||
terbang dalam kerinduan dan berteriak di setiap waktu: Teman!...Teman! | |||
Bagaimanapun, kelemahan dan ketidakberdayaanku di malam- malam pengasingan yang panjang, menyedihkan, pekat, penuh perpisahan telah menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada tangga rahmat Ilahi sekaligus menjadi penolong di sisi-Nya. Sampai-sampai aku terheran-heran. Karena beberapa hari kemudian aku bisa melarikan diri dan menempuh perjalanan, secara tak terduga, sejauh berjalan kaki selama satu tahun lamanya. Sementara aku sendiri tak bisa berbahasa Rusia. Aku terbebas dari penawanan dengan cara yang sungguh aneh berkat pertolongan Tuhan kepadaku berdasarkan pada kelemahan dan ketidakberdayaanku. Aku sampai di Istanbul dengan melewati kota Warsawa(*<ref>*Ibu kota Polandia.</ref>)dan Wina(*<ref>*Ibu kota Austria.</ref>). Demikianlah, aku berhasil keluar dari penawanan itu dengan sangat mudah sehingga mengejut- kan banyak orang. Aku bisa melewati perjalanan dan pelarian panjang tersebut dengan sangat gampang, padahal orang yang paling berani, paling cerdas, dan bisa berbahasa Rusia sekalipun belum tentu mampu melakukannya. | |||
</ | |||
Namun begitu, kondisiku pada malam ketika berada di Masjid dekat Sungai Volga telah membuat aku mengambil keputusan berikut:“Aku akan menghabiskan sisa umurku di goa-goa. Aku sudah cukup banyak ikut campur dalam urusan kehidupan sosial manusia. Karena akhir perjalanan seluruh manusia adalah masuk ke dalam kubur sendirian, maka aku harus memilih untuk menyendiri dan beruzlah dari sekarang agar terbiasa.” | |||
Akan tetapi sayang sekali, orang-orang yang kucintai di Istanbul, kehidupan sosial yang menyenangkan dan gemerlap, serta penghargaan dan penghormatan yang diberikan orang-orang sempat membuatku lupa terhadap apa yang sudah kuputuskan sebelumnya. Seolah-olah malam keterasingan itu seperti hitam mata (pupil) kehidupanku yang bisa melihat, sementara siang yang menyenangkan di kota Istanbul seperti putih mata (sklera) kehidupanku yang tidak bisa melihat. Mata tersebut tak bisa melihat hal yang jauh. Bahkan untuk kedua kalinya ia tercampak dalam tidur yang lelap hingga dua tahun kemudian datanglah syekh Abdul Qadir al-Jailani membukakan mata tersebut lewat bukunya “Futûh al-Ghaib”. | |||
Demikianlah wahai para lansia, ketahuilah bahwa kelemahan dan ketidakberdayaan yang ada di balik kerentaan tidak lain merupakan sarana untuk menuju permata rahmat Ilahi dan penyebab datangnya pertolongan Tuhan. Sebagaimana aku menyaksikan hal itu dalam berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupanku, begitu juga manifestasi rahmat-Nya di permukaan bumi ini juga menun- jukkan hakikat ini dengan sangat jelas. Hewan yang paling lemah dan tak berdaya adalah yang masih kecil. Namun ternyata rahmat Allah yang paling lembut dan indah justru terwujud di dalamnya. Ketidakberdayaan anak burung yang tinggal di sangkar di atas pohon yang tinggi membuat sang induk mau melayaninya seolah-olah prajurit yang siap menunggu perintah. Sang induk itupun berkeliling di sekitar tanaman hijau guna mendapatkan rezeki yang banyak untuk anaknya yang masih kecil. Namun manakala sang anak mulai kuatseiring dengan pertumbuhan sayap dan fisiknya—sang induk berkata padanya, “Sekarang engkau harus mencari makanan sendiri”. Setelah itu, ia tidak lagi melayaninya. | |||
Sebagaimana kasih sayang Allah tampak sedemikian rupa pada mereka yang masih kecil, ia juga tampak pada para makhlukNya yang sudah lanjut usia karena dilihat dari segi kepapaan sama seperti anak kecil. Pengalaman yang meyakinkan menunjukkan bahwa rezeki anak-anak kecil datang karena kelemahan mereka. Ia dikirimkan oleh rahmat Ilahi dengan cara yang luar biasa lewat cairan yang memancar dan mengalir dari puting susu ibu. Demikian pula dengan para lansia yang mukmin yang terpelihara dari dosa. Rezeki mereka dikirimkan berkat rahmat-Nya dalam bentuk keberkahan. Tiang dan pilar keberkahan tersebut, di rumah mana pun, tidak lain terletak pada para lansia itu. Yang menjaga rumah tersebut dari berbagai musibah dan bencana adalah para lansia yang senantiasa bersujud memakmurkannya. Hal ini ditegaskan oleh hadis yang berbunyi, “Kalau bukan karena para lansia yang selalu rukuk, pastilah musibah itu menimpa kalian.”(*<ref>*Lihat: Abu Ya’lâ, al-Musnad, 11/1287; dan ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, 22/309.</ref>) | |||
</ | |||
Jadi, selama kelemahan dan ketidakberdayaan yang terdapat pada kerentaan menjadi sebab bagi datangnya rahmat Tuhan yang luas. Al-Qur’an al-Karim menyerukan kepada para anak untuk menghormati dan mengasihi orang tua dalam lima hal, dengan gaya bahasa yang sangat singkat, dalam firman Allah berikut: | |||
“Bila salah seorang di antara keduanya atau mungkin keduaduanya telah mencapai usia senja, jangan sampai kamu mengatakan, ah! Dan jangan membentak keduanya. Berkata-katalah kepada kedua- nya dengan ungkapan yang sopan santun. Juga rendahkan dirimu terhadap keduanya dengan rasa sayang, serta berdoalah, Berilah rahmat pada keduanya sebagaimana keduanya telah memeliharaku semasa kecil.” (QS. al-Isra [17]: 23-24). | |||
Karena Islam menyuruh untuk menghormati dan mengasihi para lansia dan fitrah manusia juga menuntut mereka untuk menghormati dan mengasihi para lansia, maka kita sebagai para lansia juga tidak boleh menukar kerentaan kita dengan seratus masa muda. | |||
Sebab, dengan kerentaan tersebut kita bisa merasakan berbagai kenikmatan jiwa yang layak sebagai ganti dari kenikmatan materill yang bersumber dari gelora muda. Kita bisa mendapatkan kasih sayang yang bersumber dari karunia Ilahi serta penghormatan dan penghargaan yang bersumber dari fitrah manusia.Ya, kujelaskan pada kalian bahwa seandainya aku diberi sepuluh tahun dari usia muda “Said Lama”, aku takkan menukarnya dengan satu tahun usia tua “Said Baru”. Aku rela menerima kerentaanku ini. Karena itu, terimalah kerentaan kalian semua dengan penuh kerelaan. | |||
< | <span id="Onuncu_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Kesepuluh== | ||
Ketika aku kembali dari penawanan, aku kembali tercampak pada kelalaian selama dua tahun tinggal di Istanbul. Situasi dan kon- disi politik ketika itu telah menyita perhatianku hingga membuat lupa | |||
diri dan sekaligus membuat pikiranku gamang. Manakala pada suatu hari aku duduk di pekuburan Abu Ayyub al-Anshari d di atas bukit yang tinggi, dekat lembah yang dalam, sembari menatap cakrawala di sekitar Istanbul, tiba-tiba aku melihat duniaku hampir mati. Bahkan sempat terlintas dalam khayalanku seolah-olah roh ini terlepas dari sebagian jasadku. Aku pun bertanya-tanya, “Apakah tulisan yang terdapat di kuburan ini yang membuatku berkhayal semacam ini?” Kutatap kuburan itu dalam-dalam hingga ia pun membisiki hatiku dengan ucapan sebagai berikut, | |||
“Kuburan yang mengelilingimu ini bisa mencakup seratus kali penduduk Istanbul. Karena itu, engkau pun tidak akan dikecualikan dari hukum Tuhan Yang Mahakuasa untuk menempatkan semua penduduknya di tempat ini. Engkau pasti akan pergi seperti mereka.” | |||
Lalu kutinggalkan pekuburan tersebut se- mentara khayalan yang menakutkan tadi terus berada dalam benak- ku. Aku masuk ke ruang kecil di Masjid Jami Abu Ayyub al-Anshari d yang sebelumnya sering kukunjungi. Aku terus merenungkan diriku, “Sesungguhnya aku ini hanyalah tamu! Ya, tamu dilihat dari tiga aspek. Aku merupakan tamu di ruang kecil ini, juga tamu di kota Istanbul, bahkan tamu di dunia ini. Setiap musafir harus memikirkan jalan yang akan dilaluinya.” | |||
“Ya, sebagaimana aku akan keluar dan meninggalkan ruangan ini, pada suatu hari aku juga akan meninggalkan Istanbul dan akan meninggalkan dunia.” | |||
Dalam keadaan seperti ini, kesedihan dan ke- pedihan yang sangat memilukan dan penuh perpisahan membanjiri kalbu dan kepalaku. Sebab, aku tidak hanya akan kehilangan dua orang sahabat. Tetapi juga akan kehilangan ribuan orang sahabat yang kucintai di Istanbul sekaligus aku akan meninggalkan kota Istanbul yang sangat kucintai. Sebagaimana aku akan berpisah dengan ribuan sahabat di dunia, begitu juga aku akan berpisah dengan dunia yang indah dan sangat kucintai. | |||
Aku kembali pergi ke dataran yang agak tinggi di pekuburan tadi. Penduduk Istanbul tampak di hadapanku seperti rombongan jenazah yang berdiri sambil berjalan seperti mereka yang sudah mati tetapi orang-orangnya masih tampak di film-film bioskop. Aku ka- dang-kadang mengunjungi bioskop untuk mengambil pelajaran. Saat itu khayalanku berkata, “Selama sekumpulan orang yang tidur di pekuburan ini bisa tampak dalam film-film bioskop, perhatikanlah bahwa mereka yang masih hidup juga pasti akan masuk ke dalam kuburan ini. Bayangkan pula bagaimana mereka masuk ke dalamnya sejak sekarang.” | |||
Saat berada dalam situasi demikian, tiba-tiba pancaran cahaya al-Qur’an dan petunjuk yang berasal dari syekh Abdul Qadir al- Jailani mengubah kondisi yang menyakitkan tadi menjadi sebuah kondisi yang menyenangkan dan menggembirakan. Sebab, cahaya yang datang dari al-Qur’an itu mengingatkanku pada hal berikut: | |||
“Engkau mempunyai seorang atau dua orang teman dari para panglima yang tertawan di Kosturma, timur laut Rusia. Engkau juga mengetahui secara pasti bahwa mereka akan kembali ke Istanbul. Seandainya salah seorang dari mereka memberikan pilihan kepada- mu, “Apakah engkau akan pergi ke Istanbul atau tetap tinggal di sini?” Tentu engkau akan memilih untuk pergi ke Istanbul dengan penuh suka cita. Sebab, 999 dari seribu orang yang kaucintai saat ini berada di Istanbul. Adapun di sini, paling hanya dua atau tiga orang. Mereka pun juga akan pulang ke Istanbul. Dengan demikian, kepergianmu ke Istanbul bagimu bukan merupakan perpisahan yang menyedihkan dan bukan pula kepergian yang menyakitkan. Dan sekarang engkau sudah mengunjunginya, bukankah engkau senang? Engkau telah selamat dari negeri musuh, dari gelap malamnya yang pekat, dan dari musim dinginnya yang begitu hebat. Engkau mendatangi Istanbul yang ceria dan indah seolah-olah ia merupakan surga dunia. | |||
Demikian pula, sebagian besar orang yang kau cintai dari semenjak kau kecil hingga sekarang telah pergi ke kubur yang memberikan kedahsyatan kepadamu. Yang masih tersisa di dunia hanya satu atau dua orang. Namun demikian, merekapun akan pergi ke sana pula. Jadi, kematianmu di dunia ini sebetulnya bukan merupakan perpisahan. Tetapi justru merupakan sebuah bentuk pertemuan dengan para kekasih yang mulia. Ya, mereka, yaitu roh-roh yang kekal itu telah meninggalkan tempat mereka di bawah tanah. Sebagian mereka pergi menuju bintang-gemintang, sementara sebagian lagi berada di berbagai tingkatan alam barzakh. | |||
al-Qur’an al-Karim dan keimanan telah membuktikan hakikat ini secara tegas bahwa orang yang masih memiliki kalbu dan roh, serta tidak terjerumus dalam kesesatan pastilah membenarkan hal tersebut seolah-olah menyaksikannya. Sebab, Sang Pencipta yang Maha- mulia dan Maha Penyayang yang telah menghias dunia dengan segala kelembutan-Nya dan karunia-Nya yang tak terhingga, menunjukkan Rububiyah-Nya dengan kasih sayang dan menjaga sesuatu yang sekecil apa pun seperti benih, tentu dan pasti Dia tidak akan membina- sakan dan menyia-nyiakan manusia yang merupakan makhluk-Nya yang paling sempurna, paling mulia, paling komprehensif, paling penting, dan paling dicintai-Nya. Dia tidak akan melenyapkan sama sekali tanpa diberi rahmat atau balasan sebagaimana hal itu tampak secara lahiriah. Tetapi Sang Pencipta Yang Maha Pengasih meletakkan manusia di bawah tanah yang merupakan pintu menuju rahmat untuk kemudian diberi buahnya di kehidupan lain seperti petani yang menanam benih di dalam tanah.(*<ref>*Hakikat ini telah ditegaskan secara pasti seperti kepastian (2 x 2 = 4) dalam berbagai risalah, terutama pada “Kalimat Kesepuluh” dan “Kalimat Kedua Puluh Sem- bilan”—Penulis.</ref>) | |||
Setelah aku menerima petunjuk al-Qur’an tersebut, kubur itupun berubah menjadi tempat yang lebih menyenangkan daripada Istanbul. Menyendiri dan beruzlah bagiku lebih nikmat ketimbang bergaul dengan masyarakat. Aku menemukan tempat beruzlah di Sariyer, di dekat Bosphorus. Selain itu, syekh Abdul Qadir al-Jailani menjadi guru, penyembuh, dan pembimbingku lewat bukunya | |||
yang berjudul “Futûh al-Ghaib”. Demikian pula Imam Rabbani lewat bukunya “Maktûbât. Aku menjadi sangat rela dengan keren- taanku, keterasinganku dari peradaban manusia yang kenikmatannya yang palsu, dan ketidakterlibatan diriku dalam kehidupan sosial. Aku sangat bersyukur kepada Allah atas itu semua. | |||
Wahai yang tengah memasuki usia senja sepertiku, wahai yang sedang mengingat mati akibat kerentaan! Kita harus rela menerima kerentaan, kematian, dan penyakit lewat cahaya iman yang berasal dari al-Qur’an, bahkan dari satu sisi mencintainya. Selama dalam diri kita ada iman sebagai nikmat yang terbesar, maka kerentaan adalah sesuatu yang baik, demikian pula dengan penyakit dan kematian. Yang buruk adalah dosa, kebodohan, bid’ah, dan kesesatan. | |||
< | <span id="On_Birinci_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Kesebelas== | ||
< | Ketika kembali dari penawanan, aku tinggal bersama keponakanku, Abdurrahman(*<ref>*Abdurrahman ibn Abdullah adalah putra dari kakak kandung ustad Said Nursi. Lahir pada tahun 1903 M di Desa Nurs, dan wafat pada tahun 1928 M. Ia dikebumikan di Desa Dzul Fadhli, Ankara. Ia telah menulis biografi Ustadz Nursi hingga tahun 1918 M, dan ia terbitkan dalam sebuah buku yang dicetak di Istanbul.</ref>)di sebuah rumah besar yang terletak di puncak Çamlica, Istanbul. Kehidupanku pada saat itu begitu indah dan ideal jika dilihat dari sisi duniawi. Sebab, aku telah berhasil lepas dari penawanan di samping berbagai sarana penyebaran ilmu terbuka bagiku di Darul Hikmah al-lslamiyah.(*<ref>*Lembaga keilmuan tertinggi di bawah naungan Majelis Ulama (Masy-yakhah al-Islamiyah) di Daulah Usmaniyah.</ref>) | ||
Hal itu sangat sesuai de- ngan profesi ilmiahku. Sehingga aku pun memperoleh kemasyhuran, popularitas, dan penghargaan yang luar biasa. Di samping itu, aku tinggal di tempat yang paling indah di Istanbul. Segala sesuatu yang kumiliki sempurna. Aku bersama keponakanku, almarhum Abdurrahman yang sangat cerdas dan rela berkorban. Ia juga merupakan murid setia sekaligus pelayan dan sekretarisku. Sampai-sampai aku menganggapnya sebagai anakku sendiri. | |||
Ketika merasa sebagai orang yang paling bahagia di dunia, aku kemudian melihat cermin. Kusaksikan beberapa helai rambut yang sudah memutih di kepala dan jenggotku. Segera saja kegelisahan jiwa yang pernah kurasakan ketika berada di Masjid Jami Kosturma kem- bali muncul. Kutatap cermin itu terus-menerus dan kurenungkan kondisiku saat itu yang terasa begitu menyenangkan dan membahagiakan. Setiap kali aku merenungkan kondisi dan fasilitas yang ada, kusadari bahwa semuanya merupakan tipuan belaka di mana kita tidak boleh terikat dengannya. Selain itu, pada saat tersebut aku menyaksikan ketidaksetiaan yang tak disangka-sangka dan ketidakpatu- han yang tak bisa dibayangkan pada temanku yang kuanggap paling setia. Sehingga aku muak terhadap dunia. Kukatakan pada kalbuku: Apakah aku benar-benar telah tertipu? Kulihat orang-orang melihat kehidupan kita yang sebetulnya perlu diratapi dengan pan- dangan iri. Apakah semua orang itu telah gila? Ataukah aku yang sedang menuju kepada gila karena melihat mereka telah tertipu oleh dunia? | |||
Bagaimanapun, goncangan jiwa yang begitu dahsyat akibat ke- rentaan telah membuatku pertama-tama menyadari fananya segala sesuatu yang terkait denganku. Kemudian aku menengok pada diriku sendiri. Kusaksikan ia sudah sangat tidak berdaya. Saat itulah jiwaku meronta ingin kekal. Ia telah terikat pada segala sesuatu yang fana yang sebelumnya dikira kekal. Relung hatinya yang paling dalam berteriak, “Kalau ternyata tubuhku fana, apa yang bisa kuharapkan dari semua yang fana ini? Kalau aku tak berdaya, apa yang kuharap- kan dari sesuatu yang tak berdaya?” Aku perlu Dzat Yang Mahakekal Yang Mahakuasa dan Azali yang bisa mengobati penyakitku. Aku pun kemudian mencari dan mencari. | |||
Aku kembali mengingat ilmu yang dulu pernah kudapatkan. Di dalamnya aku berusaha memperoleh pelipur lara dan harapan. Namun sayang sekali sampai saat itu aku banyak bergelut dengan ilmu-ilmu filsafat bersama ilmu agama. Kusangka ilmu-ilmu filsafat tersebut merupakan sumber kemajuan, kesempurnaan, puncak kebudayaan, dan pencerahan pemikiran. Padahal, berbagai persoalan filsafat itulah yang justru telah banyak mengotori jiwaku. Bahkan ia telah menjadi penghalang bagi kemajuan maknawi. | |||
Ya, ketika aku berada dalam kondisi tersebut, tiba-tiba hikmah al-Qur’an yang suci menolongku sebagai rahmat, karunia, dan anugerah dari Tuhan yang Maha Esa dan Kuasa. Ia membersihkan berbagai karat yang terdapat pada permasalahan filsafat sekaligus membersihkan jiwaku darinya sebagaimana telah dijelaskan dalam banyak risalah. | |||
Sebab, kegelapan yang bersumber dari ilmu filsafat telah menenggelamkan dan membenamkan jiwaku. Setiap kali kuarahkan pandanganku pada persoalan filsafat, tidak pernah kutemukan ca- haya. Aku tidak pernah bisa bernafas dan merasa lapang hingga datang cahaya tauhid yang bersumber dari al-Qur’an yang mengajarkan tiada Tuhan selain Dia. Cahaya itulah yang merobek kegelapan itu. Seketika dadaku menjadi lapang dan bisa bernafas dengan lega dan tenang. Namun nafsu dan setan menyerang akal dan kalbu dengan hebat. Yaitu lewat berbagai pengajaran kaum yang sesat dan para ahli filsafat. Mulailah terjadi perdebatan jiwa di seputar serangan tersebut yang alhamdulillah kemudian berakhir dengan kemenangan kalbu. | |||
Karena sebagian perdebatan tersebut telah tertuang dalam sebagian besar risalah, maka kami rasa telah cukup. Di sini kami akan menjelaskan sebuah argumen saja dari ribuan argumen yang ada untuk menjelaskan kemenangan kalbu atas nafsu dan setan. Agar membersihkan jiwa orang-orang yang telah mengotori jiwa mereka, menyengsarakan kalbu mereka, dan menyakiti diri mereka hingga melampaui batas, kadang dengan kesesatan dan kadangkala pula de- ngan sesuatu yang tak bermanfaat yang dibungkus pengetahuan luar dan peradaban. Sehingga atas izin Allah, mereka bisa selamat dari kejahatan nafsu dan setan. Dialog tersebut adalah sebagai berikut: | |||
Nafsuku berkata atas nama filsafat materialisme, “Segala sesua- tu yang terdapat di alam berpengaruh kepada yang lainnya. Segala sesuatu sebetulnya mengarah kepada sebab sekaligus berasal dari sebab. Buah terambil dari pohon. Benih membutuhkan tanah. Ka- lau begitu, apa arti meminta sesuatu yang paling kecil dari Allah dan memohon kepada-Nya?” | |||
Lewat cahaya al-Qur’an, segera saja rahasia tauhid tersingkap dalam bentuk berikut ini: | |||
Kalbuku menjawab nafsu yang berfilsafat tadi dengan berkata, “Entitas yang paling kecil sama dengan yang paling besar. Semuanya bersumber secara langsung dari kekuasaan Tuhan Yang Maha Men- cipta dan muncul dari kekayaan-Nya. Sama sekali tidak ada bentuk yang lain. Adapun sebab, ia hanya merupakan tirai. Sebab, makhluk yang paling kecil dan paling sepele menurut kita bisa jadi merupakan makhluk yang paling besar dan agung dilihat dari sisi penciptaan, pembuatan, dan kesempurnaannya. Lalat misalnya, meskipun dari segi penciptaan, ia tidak lebih unggul daripada ayam, tapi ia tidak kalah darinya. Karena itu, kita tidak bisa membandingkan antara tubuh yang kecil dan yang besar. Selanjutnya, penciptaan semua makhluk, baik yang kecil maupun yang besar, bisa dinisbatkan ke- pada sebab-sebab materi atau dinisbatkan kepada Dzat Yang Maha Esa. Karena yang pertama sangat mustahil, maka kemungkinan yang kedualah yang harus diyakini sekaligus menjadi sebuah keniscayaan. | |||
Alasannya, selama pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu, selama ukuran segala sesuatu ada dalam pengetahuan Allah, selama semua ciptaan yang begitu menakjubkan dan rapi muncul dengan sangat mudah ke alam nyata dari yang tadinya tiada, selama Sang Mahakuasa Yang Maha Mengetahui itu memiliki kekuatan mutlak di mana Dia bisa menghadirkan segala sesuatu hanya lewat perin- tah kun fayakun serta dengan sekejap mata sebagaimana hal itu telah kami terangkan dalam banyak risalah berikut berbagai bukti yang meyakinkan, terutama dalam “Surat Kedua Puluh” dan dalam penu- tup “Cahaya Kedua Puluh Tiga”, maka proses penciptaan yang sangat mudah dan luar biasa itu pastilah berasal dari pengetahuan-Nya yang luas dan dari kekuasaan mutlak-Nya yang begitu hebat. | |||
Sebagai contoh, jika engkau menggesekkan bahan kimia tertentu di atas sebuah buku yang ditulis dengan tinta kimiawi yang tak terbaca, maka uku tadi akan tampak secara jelas hingga bisa dibaca oleh semua orang. Demikian pula ukuran dan bentuk spesifik segala sesuatu ada dalam pengetahuan Allah. Maka Dia goreskan kekuatan- Nya yang merupakan manifestasi kekuasaan-Nya secara sangat mudah sebagaimana pengbgesekan materi kimia tadi di atas bahan yang berisi substansi ilmiah. Dia menggoreskannya lewat perintah kun fayakun, lewat kekuasaan-Nya yang mutlak, serta lewat kehendak-Nya yang kuat. Dengan demikian, Allah memberikan wujud lahiriah padanya sekaligus memperlihatkannya pada seluruh makhluk sehingga goresan-goresan hikmah-Nya bisa terbaca. | |||
Namun apabila proses penciptaan tersebut tidak langsung dinisbatkan kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Berkuasa, maka penciptaan makhluk yang paling kecil seperti lalat mengharuskan terkumpulnya seluruh unsur yang terkait dengan lalat yang sesuai dengan ukurannya. Bahkan setiap atom yang bekerja di tubuh lalat harus betul-betul mengetahui rahasia penciptaan lalat berikut hikmah keberadaannya. Karena atom-atom tersebut harus bisa mewujudkannya dalam bentuk yang sangat rapi dan teliti. | |||
Ketika sebab-sebab materi atau alam tidak bisa menciptakan sesuatu dari tiada seperti telah disepakati oleh mereka yang berakal, maka kalaupun sebab-sebab tersebut bisa mencipta, hal itu baru bisa dilakukan kalau ia bisa mengumpulkan unsur-unsurnya. Nah, karena unsur-unsur makhluk hidup terdiri dari sebagian besar unsur alam di mana ia seolah-olah merupakan abstraksi dan benih alam, maka semua benih dan semua unsur makhluk hidup tersebut harus dikumpulkan dari seluruh pelosok alam. | |||
Yaitu setelah disaring, ditata, dan diukur secara detil dan rapi sesuai dengan ukurannya masing-mas- ing. Seperti yang kita ketahui bersama, sebab-sebab materi atau alam adalah bodoh dan tak bernyawa. | |||
Maka dari itu, ia sama sekali tak mempunyai pengetahuan untuk menetapkan sebuah rencana, mengatur sebuah sistem, menyusun sebuah daftar, serta untuk bekerjasama dengan berbagai atom sesuai dengan cetakan yang ada agar bisa selaras dan tidak cacat. Karena itu, pemberian bentuk tertentu dari beragam bentuk yang tak terhingga serta penyusunan sesuatu dengan ukuran tertentu dari berbagai ukuran yang tak terbatas tanpa merusak atom dari setiap unsur yang mengalir dengan sangat teratur, lalu proses pembentukan secara seimbang, dan pemberian wujud yang sangat rapi, semua itu jelas merupakan sesuatu yang mustahil, bahkan berada di luar jangkauan akal. Orang yang masih waras pasti akan melihatnya dengan sangat terang. | |||
Ya, sebagai penjelasan atas hal ini, al-Qur’an mengatakan:“Sesungguhnya yang kalian sembah selain Allah tidak dapat membuat satu lalat meskipun mereka semua bersatu-padu.” (QS. al- Hajj [22]: 73). | |||
Maksudnya, meskipun semua sebab bersatu-padu dan mereka memiliki kehendak, tidak akan bisa mengumpulkan dan menyusun tubuh sebuah lalat berikut segala perangkatnya sesuai dengan ukurannya. Bahkan kalaupun semua sebab tadi diberi kehendak dan bisa membentuk sebuah tubuh lalat, ia tetap tak bisa menetapkannya dengan ukuran tertentu. Atau kalaupun bisa, ia takkan mampu meng- gerakkan atom-atom yang ada secara teratur menuju kepada entitas itu guna bekerja di dalamnya. Jadi, jelas sekali bahwa sebab-sebab materi takkan bisa menguasai entitas sama sekali. Tetapi yang menguasainya adalah unsur di luar sebab. | |||
Ya, seluruh entitas memiliki Penguasa yang hakiki. Dialah yang menghidupkan segala sesuatu di atas permukaan bumi dengan mu- dah sebagaimana menciptakan seekor lalat. Dia juga menciptakan musim semi secara mudah seperti mudahnya penciptaan sebuah bunga. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh al-Qur’an:“Penciptaan dan pembangkitan kalian sama seperti mencipta dan membangkitkan satu seorang.” (QS. Luqman [31]: 28). | |||
Sebab, Dia tidak membutuhkan proses penyatuan atau peng- gabungan. Cukup bagi-Nya untuk mengatakan kun, maka jadilah dengan seketika. Pada setiap musim semi Dia ciptakan berbagai kondisi setiap entitas, berikut sifat dan bentuknya, dari tiada. Rancangan, model, daftar, dan rencana segala sesuatu sudah ditentukan dalam pengetahuan Allah . Juga, semua atom tidak bergerak melainkan di bawah wilayah pengetahuan dan kekua- saan-Nya. Karena itu, Dia mampu menciptakan dan menghadirkan segala sesuatu dengan sekejap mata dan mudah. Sedikit pun tidak ada yang menyimpang dari gerakannya yang sudah digariskan. Sebagaimana planet-planet merupakan pasukan rapi yang taat kepada-Nya, atom-atom pun menjadi tentara yang patuh kepada-Nya. | |||
Karena segala sesuatu bergerak berdasarkan pada kekuasaan azali Tuhan serta bekerja sesuai dengan pengetahuan azali-Nya, maka hasil-hasilnya terwujud sesuai dengan kekuasaan tersebut.Ia tidak menjadi kecil karena pandangan yang meremehkan serta tidak pula terabaikan karena tidak diperhatikan. Sebab, lalat yang dinisbatkan kepada kekuasaan-Nya bisa menghancurkan seorang Namrud dan semut bisa membinasakan istana Firaun. Benih pinus yang sangat kecil membawa beban pohon pinus yang sangat besar seperti gunung di pundaknya. Sebagaimana hakikat ini telah kami tegaskan dalam berbagai risalah, di sini kami juga ingin menga- takan bahwa seorang prajurit yang menisbatkan diri kepada raja bisa melakukan tugas-tugas yang seribu kali di atas kemampuan biasanya. Misalnya, dengan adanya hubungan tadi ia bisa menahan pemimpin musuh. Demikian pula setiap sesuatu yang bernisbat kepada kekua- saan Tuhan bisa menghasilkan mukjizat penciptaan yang ratusan ribu kali melebihi sebab-sebab alam. | |||
'''Kesimpulan''' | |||
''' | Proses penciptaan segala sesuatu yang mengagumkan dan berlangsung secara sangat mudah memperlihatkan bahwa hal itu karya kekuasaan azali Tuhan yang memiliki pengetahuan yang meliputi segala sesuatu. Jika tidak karena itu, sungguh ia mustahil tercipta. Bahkan ia tidak mungkin ada dan tidak akan ada. | ||
Demikianlah, bukti dan dalil tersebut sangat kuat, sangat mendalam, dan sangat jelas. Ia telah memuaskan nafsuku yang sebelumnya sempat menjadi murid setan serta wakil kaum yang sesat dan ahli filsafat. | |||
Dari sana diriku kemudian mempunyai keimanan yang mantap, ia berkata, | |||
“Ya, sudah semestinya aku memiliki Tuhan Pencipta yang mengetahui dan mendengar berbagai lintasan kalbu berikut harapan dan doaku yang tersembunyi. Tuhan tersebut mestilah memiliki kekuasaan mutlak sehingga Dia mampu menolong kebutuhan jiwaku yang tak tampak dan juga mampu menggantikan dunia yang besar ini dengan dunia lainnya agar aku bisa merasakan kebahagiaan abadi. Dia bangun negeri akhirat setelah dunia diangkat. Sebagaimana telah menciptakan seekor lalat, Dia pun menciptakan langit. Sebagaimana telah menghiasi wajah langit dengan matahari, Dia pun membuat sebuah biji sebagai hiasan pada pupil mataku. Jika tidak, Dzat yang tak mampu menciptakan seekor lalat, tak mungkin bisa masuk ke dalam lintasan kalbuku dan tidak akan mendengar munajat jiwaku. Serta Dzat yang tidak mampu menciptakan langit, tidak akan bisa memberikan kebahagiaan abadi. Jadi, Tuhanku adalah Dzat yang bisa mendengar bahkan bisa memperbaiki lintasan kalbuku. Sebagaimana Dia memenuhi angkasa dengan awan sekaligus mengosongkannya darinya selama sesaat, Dia juga akan menggantikan dunia ini dengan akhirat serta akan memakmurkan surga dan membukakan pintu-pintunya kepadaku dengan berkata, “Marilah masuk!” | |||
Karena itu, wahai saudara-saudaraku para lansia! Wahai yang telah melewatkan sebagian dari umurnya dengan keburukan dan kemalangan seperti diriku dengan menggeluti berbagai ilmu asing dan filsafat yang gelap! Ketahuilah bahwa kalimat lailaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah) yang senantinsa didengung-dengungkan oleh al- Qur’an merupakan pilar keimanan yang tak pernah goyah dan tak pernah berubah selamanya. Ia begitu kuat dan benar. Ia melenyapkan semua kegelapan dan ia membalut semua luka-luka jiwa. | |||
Demikianlah. Rangkaian peristiwa panjang yang muncul dalam pembicaraan mengenai harapan dan asa bagi masa tuaku ini bukan merupakan hasil ikhtiarku. Bahkan aku sendiri tidak ingin mengangkat hal tersebut di sini karena khawatir membosankan. Namun aku bisa mengatakan bahwa semuanya seolah-olah telah didiktekan kepadaku. Namun bagaimanapun marilah kita kembali ke tema semula. | |||
Ya, begitulah aku mulai membenci kehidupan menyenangkan di Istanbul yang secara lahiriah nikmat akibat uban-uban yang muncul di kepala dan jenggotku. Serta setelah tidak adanya kesetiaan dari teman tulusku. Ketika itulah diriku mulai mencari kesenangan jiwa sebagai ganti dari berbagai kenikmatan yang kurasakan. Kucari peng- hibur dan cahaya dalam kerentaan yang tampak berat, menggelisah- kan, dan menyebalkan bagi mereka yang lalai. Alhamdulillah beribu-ribu syukur kucapkan pada-Nya yang telah memberikan taufik kepadaku untuk merasakan kenikmatan iman yang hakiki dan abadi pada kalimat la ilaha illallah dan pada cahaya tauhid sebagai ganti dari berbagai kesenangan duniawi yang tidak hakiki, tidak nikmat, dan tidak memberikan kebaikan di penghabisannya. Segala puji bagi-Nya yang memberikan taufik kepadaku untuk memasuki usia renta dengan perasaan ringan di mana aku bisa menikmati kehangatan dan cahayanya, bukan sebagai beban seperti anggapan kaum yang lalai. | |||
Ya, wahai saudara-saudaraku para lansia! Selama kalian memiliki iman, selama pada diri kalian ada sholat dan doa, dua hal yang bisa mencerahkan bahkan menumbuhkan dan mengkilapkan iman, maka kalian bisa melihat kerentaan kalian dalam kondisi yang senantiasa muda karena dengan itu kalian menjadi muda untuk selama- nya. Sebab, masa tua yang terasa berat dan memuakkan, bahkan terasa gelap dan menyakitkan adalah masa tua milik kaum yang sesat, bahkan masa muda merekapun sama. Karena itu hendaknya mereka menangis dan meratapinya sekaligus berujar, “Aduh betapa malang- nya!” Adapun kalian wahai para lansia yang terhormat! Kalian harus bersyukur kepada Tuhan dengan penuh kebahagiaan dan kesenangan seraya berkata, “Segala puji bagi Allah atas setiap kondisi yang ada.” | |||
< | <span id="On_İkinci_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Kedua Belas== | ||
Ketika hidup sendirian tanpa ada yang menolong di Barla, sebuah daerah di wilayah Isparta, aku disingkirkan dan dilarang berinteraksi dengan manusia. Bahkan aku dilarang melakukan surat-menyurat dengan siapa pun. Ditambah lagi ketika itu aku sedang sakit, sudah memasuki usia tua, dan terasing. Saat merasa gundah dan sedih dengan kondisi-kondisi tadi, tiba-tiba cahaya penghibur muncul dari rahasia-rahasia dan tema-tema al-Qur’an. Lewat hal itu, Allah bermurah hati kepadaku dengan memberikan rahmat-Nya yang sempurna dan luas. Maka, dengan cahaya itu pun aku berusa- ha untuk melupakan kondisi yang buruk dan menyedihkan tersebut. Hingga akhirnya aku bisa melupakan kampungku, melupakan orang- orang yang kucintai, serta melupakan para kerabatku.Namun malangnya, ada satu orang dari mereka yang tak bisa kulupakan sama sekali. Yaitu keponakanku, orang yang kuanggap sebagai anakku, murid setiaku sekaligus temanku yang pemberani. Ia adalah Abdurrahman—semoga Allah merahmatinya—yang telah meninggalkanku sekitar tujuh tahun yang lalu. Aku tidak mengeta- hui keadaannya sekarang padahal aku ingin berkirim surat kepadanya, berbicara dengannya, dan ingin agar ia bisa ikut merasakan pen- deritaan yang ada. Sebaliknya, ia juga tidak mengetahui keadaanku sehingga tidak bisa membantu dan menghiburku. Ya, terutama pada saat renta seperti ini, aku sangat membutuhkan orang seperti Abdurrahman, sosok yang benar-benar setia kepadaku. | |||
Pada suatu hari dan secara tak terduga, ada seseorang yang memberikan sebuah surat kepadaku. Ketika dibuka, surat tersebut benar-benar menunjukkan sosok Abdurrahman. Sebagian isi surat itu telah dipaparkan dalam beberapa paragraf dalam “Surat Kedua Puluh Tujuh” di mana ia memperlihatkan adanya tiga karamah se- cara jelas. Surat tadi betul-betul telah membuatku selalu menangis. Dalam surat tersebut, dengan sangat jujur dan sungguh-sungguh Abdurrahman menjelaskan bahwa ia telah menjauhkan diri dari berbagai kesenangan duniawi, yang menjadi impian utamanya adalah bertemu denganku agar bisa merawatku di masa tua ini seperti yang kulakukan padanya disaat ia masih kecil. Selain itu, dengan tulisan- nya yang mengalir lancar, ia ingin membantu tugasku yang hakiki di dunia. Yaitu menyebarluaskan berbagai rahasia al-Qur’an al-Karim. Sampai-sampai ia berkata dalam suratnya, “Kirimkan padaku sekitar tiga puluh risalah agar bisa kutuliskan dan bisa kusalin dalam tiga puluh salinan.” | |||
Surat tersebut memberikan harapan yang kuat terhadap dunia. Dalam hati aku berkata, “Sekarang aku sudah menemukan murid- ku yang tulus, pemberani, cerdas luar biasa, sangat setia, dan sangat dekat melebihi kesetiaan dan kedekatan seorang anak kepada ayahnya sendiri. Dengan izin Allah, ia akan bisa merawat dan melayaniku. Bahkan dengan adanya harapan ini, aku lupa akan kondisi diriku yang sedang tertawan dan tak punya teman. Aku juga lupa bahwa diriku sedang terasing dan sudah renta. Seolah-olah Abdurrahman telah menulis suratnya dalam kondisi yang benar-benar kuat dan bersinar seraya menunggu ajalnya. | |||
Sebab, ia telah mendapati salinan “Kalimat Kesepuluh” yang sudah tercetak di mana risalah tersebut membahas tentang iman kepada akhirat. Risalah tersebut tentu me- rupakan balsam mujarab baginya karena bisa membalut semua luka yang dideritanya sepanjang tujuh tahun berlalu.Sekitar dua bulan kemudian dari terbesitnya harapan dan keinginan untuk hidup bersama dalam kehidupan dunia yang bahagia, tiba-tiba aku dikejutkan oleh berita kematiannya. Sungguh sangat pedih dan malang. Berita ini sungguh membuatku terpukul. Bahkan selama lima tahun aku masih tetap merasakannya. Berita tersebut membuatku sangat sedih dan pilu melebihi penderitaanku akibat penawanan, pengasingan, kerentaan, dan sakit yang menimpa.Aku bergumam, “Sesungguhnya setengah dari duniaku telah hilang dengan kematian ibuku, sementara setengahnya lagi telah lenyap dengan kepergian Abdurrahman. Karena itu, tidak ada lagi yang mengikatku dengan dunia.” Ya, seandainya Abdurrahman masih bersamaku di dunia, tentu ia akan menjadi sumbu dan poros bagi semua tugas ukhrawiku di dunia, akan menjadi orang terbaik yang mengikuti jejakku, serta akan menggantikan posisiku sesudah kepergianku. Selain itu, ia pasti menjadi temanku yang tulus, bahkan menjadi penghiburku, menjadi murid Risalah Nur yang terpandai, serta menjadi orang kepercayaanku. Maka itu, kepergiannya betul- betul menyakitkan. Meskipun aku berusaha untuk bersikap lapang dalam menerima semua derita yang kualami, namun tetap masih ada badai sangat kuat yang menghantam relung-relung jiwaku. | |||
Andaikata tidak ada penghibur yang berasal dari pancaran cahaya al-Qur’an, tentu aku tidak bisa sabar dan tabah.Aku pun pergi menyusuri lembah Barla. Kukelilingi pegunu- ngannya seorang diri. Lalu aku duduk di tempat yang sepi dan senyap sambil memikul berbagai kerisauan dan penderitaan. Terbayang di hadapanku berbagai potret kehidupan yang indah yang pernah kulalui bersama para muridku seperti Abdurrahman. Setiap kali lembaran kehidupan itu melintas dalam khayalku aku menjadi lemah tak berdaya karena cepat tersentuh akibat dari kerentaan dan kesendirianku. | |||
Namun tiba-tiba tampak di hadapanku rahasia ayat al-Qur’an yang berbunyi:“Segala sesuatu akan binasa kecuali Dzat-Nya. Dialah yang berkuasa dan kepada-Nya kalian dikembalikan.” (QS. al-Qashas [28]: 88). | |||
Rahasia ayat tersebut tampak secara jelas sehingga membuatku terus berucap, “Wahai Yang Mahakekal, hanya Engkaulah Yang kekal. Wahai Yang Mahakekal, hanya Engkaulah Yang kekal”. Kujadikan ia sebagai pelipur lara yang hakiki.Ya, kulihat diriku dengan rahasia ayat tadi di hamparan lembah yang kosong itu dalam kondisi sedih. Kulihat ia berdiri di atas tiga jenazah besar sebagaimana telah kusampaikan dalam Risalah tentang Sunnah (Cahaya Kesebelas dari buku al-Lama’ât): | |||
Pertama, kulihat diriku bagaikan batu nisan atas kuburan yang menghimpun lima puluh lima Said yang telah mati dan dikubur di dalam hidupku dan di dalam umurku yang telah mendekati lima puluh lima tahun. | |||
Kedua, kulihat diriku layaknya makhluk yang sangat kecil seperti semut berjalan di atas zaman yang berposisi sebagai saksi atas kuburan bagi jenazah besar umat manusia yang telah dikubur di kuburan masa lalu sejak masa Nabi Adam. | |||
Ketiga, lewat rahasia ayat di atas telah tergambar dalam khayalku kematian dan kemusnahan dunia yang besar ini. Ia mati sebagaimana dunia yang berjalan di atas permukaan bumi ini mati pada setiap tahunnya, serta sebagaimana manusia mati.Begitulah, makna simbolis dari ayat yang berbunyi:“Jika mereka berpaling, ucapkanlah (wahai Muhammad), Cukuplah Allah bagiku, tiada Tuhan selain Dia. Kepadanya aku bertawakkal. Dialah Tuhan Pemelihara arasy yang agung.” (QS. at-Taubah [9]: 129) telah menolong dan membantuku dengan cahaya yang tak pernah padam. | |||
Cahaya itu pun kemudian menghilangkan segala kesedihanku akibat ditinggal Abdurrahman sekaligus menjadi penghibur yang hakiki. | |||
فَاِن۟ تَوَلَّو۟ا فَقُل۟ حَس۟بِىَ اللّٰهُ لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُوَ عَلَي۟هِ تَوَكَّل۟تُ وَهُوَ رَبُّ ال۟عَر۟شِ ال۟عَظٖيمِ | فَاِن۟ تَوَلَّو۟ا فَقُل۟ حَس۟بِىَ اللّٰهُ لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُوَ عَلَي۟هِ تَوَكَّل۟تُ وَهُوَ رَبُّ ال۟عَر۟شِ ال۟عَظٖيمِ | ||
Ya, ayat al-Qur’an tersebut telah mengajarkan kepadaku bahwa karena Allah senantiasa ada, maka Dialah yang menggantikan posisi segala sesuatu. Karena Allah kekal, Dialah yang akan mencukupi kebutuhan para hamba-Nya. Sebab, satu saja dari wujud manifestasi pertolongan Allah menyamai seluruh alam dan salah satu wujud manifestasi cahayanya yang luas memberikan kehidupan bagi tiga jenazah di atas. Ia tidak lagi tampak sebagai jenazah. Tetapi termasuk mereka yang telah menyelesaikan tugas dan kewajibannya di atas bumi ini. Karena itu, mereka pergi dan pindah ke tempat lain. | |||
Karena kami telah menjelaskan rahasia dan hikmah tersebut pada “Cahaya Ketiga”, rasanya aku tidak perlu memberikan penjelasan lebih lanjut. Hanya saja, aku ingin mengatakan: | |||
Bahwa yang telah menyelamatkanku dari keadaan yang begitu pedih dan menyakitkan adalah zikir Yâ Bâqî Anta al-Bâqî... Yâ Bâqî Anta al-Bâqî (Wahai Yang Mahakekal, hanya Engkaulah Yang kekal. Wahai Yang Mahakekal hanya Engkaulah Yang kekal) yang diulang dua kali sebagai pengertian dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:“Segala sesuatu pasti musnah kecuali Dzat-Nya.”Penjelasannya adalah sebagai berikut: | |||
Ketika aku membaca Yâ Bâqî Anta al-Bâqî pada kali yang pertama, mulailah pengobatan dan pembalutan dilakukan. Ia menyerupai operasi bedah atas luka-luka maknawi yang tak terhingga banyaknya akibat dari fananya dunia berikut orang-orang yang kucintai di dalamnya seperti Abdurrahman. Juga, akibat dari terlepasnya berbagai ikatan yang menghubungkan diriku dengan mereka. | |||
Adapun pada kali yang kedua, ungkapan Yâ Bâqî Anta al-Bâqî, menjadi balsam mujarab bagi semua luka maknawi. Ia merupakan balsam penyembuh baginya. Hal itu bisa terwujud dengan merenungkan pengertian berikut: | |||
“Karena Engkau kekal, maka yang ingin pergi silahkan pergi, Engkau pula yang mencukupi. Selama Engkau Kekal maka wujud manifestasi rahmat-Mu sudah mencukupi bagi segala sesuatu yang fana. Selama Engkau ada, maka segala sesuatu yang mengikat hubungan dengan-Mu lewat keimanan juga ada karena keberadaan-Mu. Ia akan bergerak sesuai dengan hubungan tadi lewat rahasia Islam. Kefanaan, kemusnahan, kematian, dan ketiadaan hanyalah merupakan hijab yang menutupi adanya proses pembangkitan kembali. Atau, ia merupakan sarana untuk sebuah perjalanan dalam berbagai tingkat yang berbeda.” Dengan pemikiran semacam ini, maka kon- disi jiwa yang pedih, gelap, dan menakutkan tadi berbalik menuju kepada kondisi yang lapang, nikmat, menyenangkan, bersinar, dan membahagiakan. Seketika lisan dan kalbuku berikut semua partikel dalam tubuh mengucapkan alhamdulillah. | |||
Sebagian dari wujud manifestasi rahmat ilahi itu tampak dalam bentuk berikut:Saat kembali dari tempat kesedihanku di lembah itu menuju kampung Barla dengan duka yang masih ada. Kusaksikan ada seorang pemuda bernama Mustafa yang berasal dari Kuleonu menda- tangiku untuk meminta penjelasan mengenai beberapa persoalan fiqih, wudhu, dan shalat. Meskipun pada saat itu aku sedang tidak menerima tamu, namun jiwaku seolah-olah telah membaca ketulu- san yang terdapat pada jiwa sang pemuda tadi. Sebelum terjadi, aku telah merasakan bahwa pemuda itu nantinya akan memberikan banyak pengabdian kepada Risalah Nur.(*<ref>*Demikianlah, adik dari pemuda itu (Mustafa) yang bernama Ali Kecil menegaskan bahwa ia persis seperti Abdurrahman dengan menulis lebih dari tujuh ratus naskah risalah nur lewat penanya yang indah. Bahkan, ia telah berhasil mendidik sejumlah Abdurrahman lainnya—Penulis.</ref>)Karena itu, akupun tidak menolaknya dan menerimanya sebagai tamu.(*<ref>*Ya, pemuda itu memperlihatkan bahwa ia tidak hanya layak diterima, tetapi ia juga layak untuk disambut—Penulis. | |||
Ada sebuah peristiwa yang kuceritakan untuk membuktikan ucapan guruku bahwa Mustafa sebagai murid utama Risalah Nur layak untuk disambut:“Ustadz Nursi ingin berjalan-jalan sehari sebelum hari Arafah. Maka ia pun meng- utusku untuk menyiapkan seekor kuda. Kukatakan kepada beliau, ‘Ustadz tidak usah turun untuk mengunci pintu. Biar aku saja yang menguncinya, dan aku akan keluar dari pintu belakang’. Beliau kemudian menjawab, ‘Tidak, keluarlah dari pintu tersebut’. Ia turun dan mengunci pintu tersebut dengan gembok. Lalu ia masuk ke kamar dan berbaring. Tidak lama kemudian, Mustafa Kuleonlu datang ditemani Haji Usman. Pada hari itu, sebenarnya Ustadz Nursi tidak mau menerima seseorang, apalagi sampai dua orang tamu secara bersamaan, pastilah ia menolak keduanya. namun ketika Mustafa tersebut datang ditemani Haji Usman, pintu tadi seolah-olah menyambut kedatangannya dengan berkata, ‘Guruku memang tidak akan menerimamu. Namun aku akan membuka diri untukmu’. Pintu yang terkunci itu pun terbuka. Jadi, sungguh benar apa yang dikatakan Ustadz Nursi tentang Mustafa. Ia memang orang yang layak diterima dan disambut. Sebagaimana pintu rumah beliau pun telah menjadi saksi atasnya”—Khusrev.Ya, apa yang ditulis oleh Khusrev di atas, benar adanya. Pintu rumah yang kutem- pati telah menerima dan menyambut Mustafa sebagai ganti dariku—Said Nusi.</ref>) | |||
Beberapa waktu kemudian tampak dengan jelas bahwa Allah menjadikan pemuda itu sebagai ganti dari Abdurrahman yang merupakan pelanjut terbaikku dan pewaris hakiki dalam mengabdikan diri pada Risalah Nur. Allah telah mengirimkan Mustafa untukku. Seolah-olah Dia berkata, “Aku telah mengambil seorang Abdurrahman darimu dan akan Kugantikan ia dengan tiga puluh Abdurrahman semacam pemuda Mustafa yang mau melaksanakan tugas keagamaan sekaligus akan menjadi muridmu yang setia, keponakanmu yang mulia, anak-anakmu, saudara-saudaramu yang baik, serta teman-temanmu yang rela berkorban.” | |||
Ya, alhamdulillah, Tuhan Sang Maha Pencipta telah memberiku tiga puluh Abdurrahman. | |||
Saat itu kukatakan pada kalbuku, “Karena engkau wahai kalbu yang sedang menangis telah menyaksikan hal tersebut di mana ia telah membalut luka-luka yang ada, maka engkau harus merasa lapang dan percaya bahwa Allah akan membalut sisa-sisa luka lainnya yang membuatmu sakit”. | |||
Maka dari itu, wahai saudara-saudaraku yang telah lanjut usia. Wahai yang di saat tuanya kehilangan anak kesayangan atau kehilangan salah satu keluarganya seperti yang kualami. Wahai yang tertekan akibat kerentaan atau sedang risau akibat perpisahan! Kalian telah mengetahui kondisiku. Meskipun ia berkali-kali lipat lebih be- rat dari yang kalian alami, namun ayat al-Qur’an di atas telah membalut, menolong, dan menyembuhkannya dengan izin Allah. Maka, tak diragukan lagi bahwa apotek al-Qur’an yang suci penuh dengan obat bagi setiap penyakit kalian. Jika kalian bisa menelaahnya dengan dilandasi iman, lalu kalian berobat dengan melakukan ibadah, pasti beban kerentaan dan kerisauan yang kalian pikul menjadi ringan. | |||
Begitulah, sebab mengapa pembahasan ini dituliskan dengan panjang lebar adalah karena aku sangat berharap kalian banyak mendoakan Abdurrahman. Janganlah kalian merasa bosan dengan panjangnya tulisan ini. Tujuanku memperlihatkan luka dan penderitaanku dalam bentuk yang pedih dan menyakitkan sehingga kalian ikut bersedih dan bisa jadi itu menambah penderitaan kalian tidak lain adalah untuk menjelaskan keampuhan dan cahaya terang yang terdapat pada balsam al-Qur’an yang suci. | |||
< | <span id="On_Üçüncü_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Ketiga Belas== | ||
(*<ref>*Peristiwa tentang madrasah yang disebutkan di Harapan Ketiga Belas ini terjadi tiga belas tahun yang lalu. Ia sungguh merupakan tawafuq (kesesuaian) yang tepat— Penulis.</ref>) | |||
( | |||
Dalam bagian ini aku akan membicarakan tentang sekelumit pengalaman hidupku. Aku berharap semoga kalian tidak merasa bosan dan kesal karena agak panjang. | |||
Saat kembali dari penawanan Rusia pada Perang Dunia I, aku tinggal di Istanbul untuk pengabdian keagamaan di Darul Hikmah al-Islamiyyah selama sekitar tiga tahun. Kemudian karena petunjuk al-Qur’an, karena tuntunan dari syekh al-Jailani, serta karena melihat usiaku yang sudah renta, muncul dalam diriku perasaan bosan terha- dap kehidupan yang ada di kota Istanbul dan muncul rasa benci terha- dap kehidupan sosial. Rasa rindu terhadap tanah air yang disebut juga dengan penyakit keterasingan mengantarku untuk pulang kampung. Dalam hati aku berkata, “Karena aku akan meninggal dunia, lebih baik aku meninggal di kampong.” Akhirnya aku pergi ke kota Van. | |||
Di sana, pertama-tama aku pergi mengunjungi madrasahku yang bernama Khor-khor. Kulihat orang-orang Armenia telah membakar madrasah tersebut, sebagaimana mereka juga telah membakar rumah-rumah lainnya yang terdapat di Kota Van saat pendudukan Rusia. Aku kemudian menaiki benteng terkenal di kota Van. Ia berupa bongkahan yang terdiri dari batu-batu karang. Bangunan madrasahku tepat menempel di samping benteng tersebut. Terbayang di wajahku beberapa orang muridku di madrasah tersebut yang merupakan teman dan saudaraku yang hakiki. Aku telah berpisah dengan mereka sekitar tujuh tahun yang lalu. Akibat bencana yang terjadi, sebagian dari mereka telah mati sebagai syuhada hakiki, sementara yang lainnya menjadi syuhada maknawi. | |||
Akhirnya aku tak bisa menahan tangis dan kepiluan. Kunaiki puncak benteng yang setinggi dua menara itu di mana madrasahku berada di bawahnya. Lalu aku duduk di atasnya sambil merenung. Khayalan ini telah membawaku kepada kehidupan delapan tahun yang lalu. Khayalan tersebut terus berkecamuk dalam benakku karena ia begitu kuat sementara tidak ada yang menghalangi atau merintangi kemunculannya. Sebab, ketika itu aku memang sedang sendirian.Aku menyaksikan sebuah perubahan yang sangat besar selama delapan tahun itu sampai-sampai setiap kali aku membuka mata, kulihat waktu telah berlalu dengan berbagai peristiwa di dalamnya. Ku- lihat pusat kota yang mengelilingi madrasahku yang terletak tepat di samping benteng, dari ujung ke ujung telah terbakar dan telah hancur berantakan. Kutatap pemandangan itu dengan tatapan sedih dan pilu. Aku merasakan adanya sebuah keterpisahan total antara apa yang dulu kualami dengan apa yang kulihat sekarang. Seakan-akan seratus tahun telah berlalu atas kota ini. Sebagian besar orang yang menempati rumah-rumah yang hancur itu adalah para teman dan para kolega dekatku. Sebagian dari mereka telah wafat dengan meninggalkan kota ini dan merasakan kepedihannya—semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada mereka. Rumah-rumah kaum muslimin di kota itu telah dihancurkan secara total. Tidak ada yang tersisa kecuali perkampungan orang-orang Armenia. Aku betul-betul terpukul dan sedih. Seandainya aku memiliki seribu mata, pastilah semuanya meneteskan air mata. | |||
Aku merasa telah berhasil keluar dari keterasingan saat kembali ke kotaku. Namun sungguh malang, aku malah menemukan keterasingan yang paling menyakitkan di kotaku sendiri. Terbayang dalam benakku para murid dan orang-orang yang mempunyai hubungan jiwa yang sangat kuat denganku, seperti Abdurrahman yang telah disebutkan pada Harapan Kedua Belas. Kusaksikan mereka telah di- kuburkan di bawah tanah, sementara rumah-rumah mereka hanya menjadi jejak-jejak peninggalan. Di saat itulah aku teringat dengan sebuah paragraf syair yang telah kuhafal sejak lama, hanya saja aku belum memahami maknanya secara sempurna: | |||
لَو۟لَا مُفَارَقَةُ ال۟اَح۟بَابِ مَا وَجَدَت۟ لَهَا ال۟مَنَايَا اِلٰى اَر۟وَاحِنَا سُبُلًا | لَو۟لَا مُفَارَقَةُ ال۟اَح۟بَابِ مَا وَجَدَت۟ لَهَا ال۟مَنَايَا اِلٰى اَر۟وَاحِنَا سُبُلًا | ||
Jika saja tak ada perpisahan dengan orang-orang yang dicinta tak mungkin kematian menemukan jalan menuju roh kita.Artinya, yang paling sering membuat manusia hancur dan binasa adalah perpisahan dengan orang-orang yang dicinta.Ya, tidak ada yang membuatku sedih dan menangis seperti kejadian itu. Seandainya pertolongan al-Qur’an dan keimanan tidak datang, pastilah kerisauan dan kesedihan tadi sangat mempengaruhiku sampai ke tingkat di mana ia bisa merampas jiwaku. | |||
Sejak zaman dahulu para penyair biasa meratapi rumah orang-orang yang mereka cintai ketika lewat di depan bekas reruntuhan tempat tinggal mereka. Demikian juga dengan diriku. Jiwa, kalbu, serta mataku menangis dengan amat sedih seperti orang yang melewati reruntuhan tempat tinggal orang-orang yang dicintainya dua ratus tahun kemudian.Pada saat itu, lembaran-lembaran indah hidupku terlukis di hadapanku satu demi satu dengan begitu nyata seperti orang yang sedang melihat film dokumenter. Sebuah kehidupan menyenangkan yang kulewatkan dengan mengajar para muridku yang cerdas sekitar dua puluh tahun lamanya. Sekarang aku berada di tempat yang sama, yang dulunya ramai, indah, dan menyenangkan. Namun sekarang ia telah menjadi puing-puing reruntuhan, lama aku berhenti pada lembaran hidupku tersebut. | |||
Ketika itu, aku mulai merasa aneh dengan ahli dunia. Bagaimana mungkin mereka menipu diri mereka sendiri? Kondisi tersebut secara jelas menunjukkan bahwa dunia ini pasti akan musnah dan manusia di dalamnya sebagai tamu. Kusaksikan dengan mataku sendiri betapa sungguh benar ungkapan ahli hakikat yang berbunyi, “Janganlah kalian tertipu dengan dunia. | |||
Sebab, ia tidak jujur, penipu, dan pasti musnah.” | |||
Kusaksikan pula bagaimana manusia sangat terikat dengan kota, negeri, dan dunianya sebagaimana ia juga terikat dengan tubuh dan rumahnya. Ketika ingin menangis dengan mataku yang sudah renta ini, aku ingin menangis dengan sepuluh mata. Hal itu bukan sekadar karena usia madrasahku yang sudah tua. Tetapi karena ia sudah tiada. Bahkan aku merasa perlu menangis dengan seratus mata untuk kotaku yang sunyi senyap seperti kota mati. | |||
Dalam hadis Nabi disebutkan bahwa setiap pagi malaikat menyeru, | |||
< | “Lahirlah untuk mati dan membangunlah untuk menjadi hancur.”(*<ref>*Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, 7/396; dan ad-Dailami, al-Musnad, 4/51.</ref>)Kudengarkan hakikat ini. Kudengarkan ia dengan mataku, bukan telingaku. | ||
</ | |||
Sebagaimana kondisiku ketika itu membuatku menangis, khayalanku sejak dua puluh tahun yang lalu juga membuatku meneteskan air mata setiap kali mengingatnya. Ya, runtuhnya rumah-rumah di puncak benteng yang telah ditempati selama ribuan tahun, men- uanya kota yang berada di bawah bukit tersebut yang usianya sekitar delapan tahun tetapi tampak seperti delapan ratus tahun, serta wafatnya madrasahku yang terletak di bawah benteng di mana ia telah mengalirkan kehidupan menjadi tempat berkumpul orang-orang yang kucintai menunjukkan matinya seluruh madrasah di Daulah Usmaniyah sekaligus menjelaskan keagungan jenazahnya. Bahkan benteng yang merupakan bongkahan batu karang itu seolah-olah menjadi saksi atas kuburan mereka. Kusaksikan bahwa para murid yang dulu pernah bersamaku kini sedang menangis dalam kubur mereka. Lebih dari itu, rumah-rumah yang hancur itupun ikut meratap dan bersedih. Demikian pula dengan dinding-dindingnya yang roboh dan batu-batunya yang berserakan. | |||
Ketika itulah aku telah menyadari bahwa aku tidak mampu menahan rasa keterasingan di kotaku. Aku pun kemudian berpikir, aku pergi menemui mereka di kubur masing-masing atau aku harus menyepi ke gua yang terdapat di gunung itu sambil menunggu tibanya ajal. Menurutku, ketimbang harus menghadapi perpisahan semacam ini yang tidak bisa kulawan dan kuatasi di mana ia sungguh menyakitkan, maka rasanya mati lebih baik daripada hidup. | |||
Karena itu, aku pun melayangkan perhatianku ke enam arah. Setiap kali melihat kepada enam arah tersebut yang ada hanyalah kegelapan yang pekat. Kelalaian yang bersumber dari penderitaan hebat itu membuat dunia terasa menakutkan. Ia begitu sunyi dan senyap seakan-akan hendak roboh di atas kepalaku. Jiwaku mencari cari sandaran dan pilar kuat yang bisa menahan segala bencana dan musibah yang mengambil bentuk seperti musuh yang menyeramkan. Ia juga mencari bantuan guna memenuhi segala keinginannya yang tersembunyi dan terbentang menuju keabadian. Pada saat se- dang mencari sandaran dan bantuan, serta ketika sedang menunggu adanya pelipur lara yang bisa mengobati kerisauan dan kesedihannya akibat perpisahan dan perusakan luar biasa, tiba-tiba hakikat sebuah ayat al-Qur’an yang berbunyi:“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah) dan Dialah yang Maha- perkasa lagi Mahabijaksana. Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Hadid [57]: 1-2) tampak di hadapanku secara sangat jelas. Ia menyelamatkanku dari khayalan yang menakutkan tadi sekaligus mengeluarkanku dari sakitnya perpisahan dengan membuka penglihatan dan mata batinku. | |||
Akupun menoleh pada buah-buahan yang terdapat di atas pohon. Ia memandangku dengan senyuman manisnya sembari berkata, “Jangan hanya fokus pada kehancuran yang ada, tapi lihat dan pandangilah pula kami!” | |||
Ya, hakikat ayat mulia di atas telah mengingatkan dan menyadarkanku dengan berkata, “Mengapa runtuhnya “surat” yang dibuat oleh tangan manusia—sebagai tamu—di atas lumbaian padang tan- dus kota Van telah membuatmu begitu sedih? Mengapa engkau bersedih karena ia runtuh oleh banjir dahsyat menakutkan yang disebut “penjajahan Rusia” di mana ia telah melenyapkan bekas-bekasnya dan menghapus tulisannya? Angkatlah kepalamu untuk menatap Tuhan Yang Maha Membentuk dan Pemelihara segala sesuatu serta Penguasanya yang hakiki. Segala nasib ada di tangan-Nya. Tulisan Allah di atas lembaran kota Van senantiasa di perbaharui dengan segala keindahan dan keagungannya. Adapun ketika engkau menangis dan bersedih karena tempat-tempat tersubut telah kosong, rusak, dan amat menyedihkan, hal itu tidak lain karena engkau telah melupakan pemiliknya yang hakiki, karena salah persepsi dengan mengira manusia sebagai pemiliknya, serta karena tidak memahami bahwa manusia hanyalah ibarat tamu. | |||
Dari kondisi menyakitkan dan dari kesalahan persepsi tersebut kemudian terbukalah di hadapanku pintu menuju sebuah hakikat besar. Nafsuku bersiap-siap untuk menerima hakikat tersebut. Sebagimana besi dimasukkan ke dalam api untuk dilunakkan dan diberi bentuk tertentu yang bermanfaat, demikian pula hal yang menyedi- hkan dan kondisi yang menakutkan menjadi api berkobar yang bisa melunakkan nafsuku. al-Qur’an al-Karim telah memperlihatkan limpahan hakikat keimanan dengan sangat terang dan jelas lewat hakikat ayat di atas hingga bisa diterima. | |||
Ya, sebagaimana telah dijelaskan dalam “Surat Kedua Puluh” dan dalam risalah-risalah lainnya, alhamdulillah hakikat ayat tersebut telah memberikan sandaran yang sangat kuat untuk jiwa dan kalbu ini sesuai dengan kekuatan iman yang dimiliki. Ia bisa melawan segala musibah dan berbagai kondisi menyakitkan bahkan meskipun jumlahnya seratus kali lipat. Sebab, hakikat ayat itu telah mengingatkan bahwa segala sesuatu tunduk pada perintah Sang Pencipta yang merupakan pemilik hakiki kerajaan ini. Kunci perbendaharaan se- gala sesuatu ada di tangan-Nya. Jadi, cukup bagimu menisbatkan di- rimu kepada-Nya. | |||
Setelah aku mengenal Penciptaku dan bersandar kepada-Nya, segala sesuatu yang tampak memusuhiku telah hilang. Sekarang berbagai kondisi yang tadinya menyakitkan berubah menjadi kondisi yang membahagiakan dan menyenangkan.Sebagaimana kami telah membuktikan dalam berbagai risalah lewat argumen yang kuat, cahaya yang berasal dari iman kepada akhirat juga telah memberikan bantuan yang sangat besar untuk meng- gapai harapan dan impian yang tak terbatas. Ia tidak hanya cukup untuk menggapai berbagai keinginan yang bersifat sementara dan singkat atau untuk menyambung ikatan dengan orang-orang yang dicintai di dunia semata. Tetapi ia juga cukup untuk memenuhi segala keinginanku yang tak terhingga di negeri keabadian dan negeri ke- bahagiaan. | |||
Sebab, dengan manifestasi kasih sayang Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Dia tebarkan di atas hidangan musim semi berbagai karunia dan kenikmatan yang tak terhitung banyaknya di atas permukaan bumi yang merupakan salah satu tempat jamuan dunia yang bersifat sementara.Pada setiap musim semi, Allah berikan berbagai kenikmatan tersebut kepada para tamu dunia, agar selama beberapa saat mereka merasa senang. Seolah-olah Dia memberikan sarapan pagi kepada mereka. Kemudian Allah ambil mereka untuk dibawa menuju tempat abadi di delapan surga yang kekal yang penuh dengan berbagai karunia untuk masa yang tak terhingga. Tentu saja orang yang meyakini dan mempercayai kasih sayang Tuhan serta mengikatkan hubungan dengannya, pastilah ia mendapatkan bantuan besar. Paling tidak ia menanamkan harapan dan impian yang tak terhingga. | |||
Cahaya yang bersumber dari cahaya keimanan dengan hakikat ayat di atas juga tampak secara terang sampai menerangi enam arah yang tadinya gelap hingga menjadi seperti siang. Ia cukup menerangi diriku yang sedang menangisi madrasah, murid-murid, serta para kekasihku yang telah pergi. Ia telah mengingatkanku bahwa “alam tempat tujuan mereka tidaklah gelap. Tetapi mereka hanya sekadar berganti tempat. Engkau akan bertemu dengan mereka.” Hal itulah yang menghentikan tangisku sekaligus membuatku memahami bahwa aku akan menemukan orang-orang seperti mereka dan orang- orang yang menempati posisi mereka.Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan madrasah Isparta sebagai pengganti dari madrasah Van yang telah tiada dan menghidupkan para kekasih yang lebih banyak dan lebih utama dari- pada murid-murid yang cerdas dan mulia itu. Serta dia pula yang mengajarkanku bahwa dunia tidaklah kosong dan kota itu tidaklah hancur seperti yang kubayangkan sebelumnya. | |||
Tetapi sang pemiliknya yang hakiki mengganti lembaran sementara yang dibuat manusia dengan lembaran lain sekaligus memperbaharui tulisan-tulisan-Nya. Sebagaimana buah-buah baru bermunculan seiring dengan memetik buah, demikian pula perpisahan dengan umat manusia. Ia tidak lain merupakan bentuk proses pembaharuan. Karenanya, ia tidak menyiratkan kesedihan yang menyakitkan akibat kepergian para kekasih. Tetapi dari perspektif iman, ia menyiratkan kesedihan yang mengandung kenikmatan akibat perpisahan sementara guna bertemu kembali di negeri lain yang menyenangkan. | |||
Demikianlah hal itu menerangi kerisauan yang sebelumnya kualami serta menerangi alam yang tadinya tampak gelap. Ketika itulah aku ingin bersyukur. Paragraf berbahasa Arab berikut ini muncul untuk menggambarkan hakikat itu secara sempurna: | |||
“Segala puji bagi Allah atas anugerah cahaya iman yang telah menggambarkan segala sesuatu yang sebelumnya tampak asing, musuh, mati, menakutkan, yatim, dan menangis sebagai kekasih, saudara, hidup, bahagia, berzikir, dan bertasbih.” | |||
Artinya, kupersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Agung pujian yang tak terhingga karena Dia telah memberiku cahaya iman yang merupakan sumber segala karunia ilahi. Cahaya iman tersebut telah mengubah lembaran menakutkan yang tampak dalam diriku yang sedang lalai—akibat begitu terpengaruh oleh kondisi sedih itu— hingga kemudian kelalaian tersebut memunculkan persepsi bahwa sebagian entitas alam merupakan musuh atau sesuatu yang asing,(*<ref>*Seperti gempa, badai, banjir, wabah dan kebakaran—Penulis.</ref>)sementara sebagian lainnya merupakan jenazah yang menakutkan, serta sebagian lagi ibarat anak-anak yatim yang sedang menangis tanpa ada yang menolong dan membantu.Cahaya itu telah mengubah segala sesuatu hingga dengan ainul yakin aku menyaksikan bahwa mereka yang tampak seperti musuh ternyata merupakan saudara dan teman, bahwa yang tampak seperti jenazah menakutkan ternyata merupakan sahabat dekat, serta yang tadinya tampak seperti tangisan anak yatim ternyata merupakan senandung zikir dan tasbih. Dengan kata lain, kupersembahkan segala pujian untuk Allah bersama seluruh entitas yang memenuhi duniaku yang seluas dunia. Kuikutsertakan mereka dalam pujian dan tasbihku kepada Allah . Sebab aku berhak untuk itu. Maka lewat lisan masing-masing kami bersama-sama mengucapkan:“Segala puji bagi Allah atas anugerah cahaya iman.” | |||
Kemudian berbagai kesenangan hidup yang menghilang di tengah-tengah kondisi menakutkan yang memunculkan kelalaian, lalu berbagai harapan yang pada akhirnya lenyap dan sirna, serta berbagai kenikmatan yang masih ada pada diriku di daerah yang paling sempit atau mungkin telah sirna, semuanya berganti dengan cahaya iman sebagaimana telah kutegaskan dalam risalah-risalah lainnya.Selanjutnya, cahaya tersebut memperluas daerah sempit yang terbatas pada kalbu tadi menuju sebuah daerah yang sangat luas hing- ga meliputi seluruh bumi. Ia juga menjadikan dunia dan akhirat se- bagai dua meja hidangan yang penuh dengan berbagai nikmat sekali- gus mengubah keduanya menjadi hidangan yang berasal dari rahmat Tuhan sebagai pengganti dari aneka macam karunia yang telah ker- ing dan hilang kenikmatannya di taman Khor-khor. Tidak hanya itu. Bahkan ia juga memosisikan mata, telinga, kalbu, serta indra lainnya atau bahkan ratusan organ manusia lainnya sebagai tangan yang ter- bentang sesuai dengan derajat mukmin. Tangan tersebut terbentang menuju dua meja hidangan yang penuh nikmat tadi sehingga bisa mengambil dan mengecapnya dari seluruh sisi. Karena itu, dengan menyadari hakikat agung tersebut akupun bersyukur kapada Allah atas berbagai nikmat-Nya yang tak terhingga dengan mengucap: | |||
“Segala puji bagi Allah atas anugerah cahaya iman yang telah menggambar kedua alam itu sebagai tempat yang penuh dengan nikmat dan rahmat. Setiap orang mukmin berhak menikmati keduanya lewat seluruh indranya yang tersingkap atas izin Penciptanya.” | |||
Maksudnya adalah segala puji bagi Allah yang telah memberiku nikmat iman yang dengan cahaya iman tersebut Dia memperlihatkan bahwa dunia dan akhirat merupakan dua tempat yang penuh nikmat dan rahmat. Dia menjamin bahwa tangan seluruh indra yang tersingkap dengan cahaya iman dan terbentang dengan cahaya Islam yang dimiliki kaum mukmin akan bisa mencicipi hidangan tersebut. Jika aku bisa mempersembahkan pujian dan rasa syukur kepada Allah, Penciptaku, atas anugerah iman dengan seluruh eksistensiku serta dengan seisi dunia dan akhirat, pasti hal itu kulakukan. | |||
Ketika keimanan memainkan peran yang sangat besar di alam dunia ini, maka pastilah di alam akhirat yang kekal nanti akan memberikan pengaruh yang lebih besar dan lebih luas yang tak bisa dijangkau oleh akal kita di dunia. | |||
Karena itu, wahai saudara-saudaraku para lansia, wahai yang merasakan berbagai penderitaan pahit seperti diriku akibat berpisah dengan banyak orang yang dikasihi karena telah renta! Kukira secara maknawi aku jauh lebih tua daripada kalian meskipun secara umur ada di antara kalian yang lebih tua daripada diriku. Sebab, selain berbagai penderitaan yang kualami, aku juga ikut merasakan sakitnya ribuan saudara yang lain sebagai akibat dari dorongan fitrahku yang sangat besar untuk mengasihi dan menyayangi mereka. Aku menderita seperti orang yang sudah berusia ratusan tahun. Sementara kalian, meskipun mengalami pedihnya perpisahan, namun kalian belum mendapatkan seperti musibah dan bencana yang kuhadapi. | |||
Aku tidak mempunyai anak yang kupikirkan. Hanya saja, dengan adanya rasa kasih sayang yang kuat dalam fitrahku, aku ikut merasa sakit dengan ribuan bencana dan musibah yang diderita oleh ribuan umat Islam. Bahkan aku juga merasa sakit dengan berbagai penderitaan yang dialami oleh binatang yang kecil. Ditambah lagi dari sisi pembelaan terhadap Islam, aku melihat diriku sangat terpaut dengan negeri ini bahkan dengan dunia Islam seolah-olah ia adalah rumahku. Padahal, aku tidak memiliki rumah pribadi yang harus kupikirkan. Karena itu, aku juga ikut merasakan penderitaan kaum mukmin yang tinggal di dunia dan akhirat serta aku sangat bersedih karena berpisah dengan mereka. | |||
Karena cahaya keimanan telah mencukupiku untuk seluruh kesedihanku yang bersumber dari kerentaan dan pedihnya perpisahan serta telah memberiku harapan yang tak pernah pudar, asa yang tak pernah sirna, cahaya yang tak pernah padam, dan pelipur lara yang tak pernah hilang, maka keimanan tersebut juga pasti akan cukup bagi kalian untuk menghadapi berbagai kegelapan, kelalaian, dan penderitaan yang bersumber dari kerentaan. Sesungguhnya kerentaan yang paling pekat adalah kerentaan kaum yang sesat dan dungu serta perpisahan yang paling menyakitkan adalah perpisahan yang mereka alami. | |||
untuk menikmati dan merasakan pengaruh iman yang meman- carkan harapan dan menebarkan cahaya serta menjadi pelipur lara, harus berperilaku yang penuh kesadaran dalam bentuk ibadah yang sesuai dengan kerentaan dan Islam. Bukan dengan melupakan kerentaan tersebut lalu menampilkan sikap seperti anak muda dan menceburkan diri dalam kelalaian panjang. | |||
< | Renungkanlah selalu hadis nabi yang berbunyi, “Sebaik-baik pemuda adalah yang bertingkah seperti orang tua. Sementara seburuk-buruk orang tua adalah yang berting- kah laku seperti anak muda.”(*<ref>*Abu Ya’lâ, al-Musnad, 1/467; ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, 22/83; al- Mu’jam al-Ausath, 1/94; dan al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, 6/168.</ref>)Artinya, pemuda yang terbaik adalah yang bertindak seperti orang tua. Yaitu tenang, penuh wibawa, serta menghindari perbuatan kotor. Adapun orang tua terburuk adalah yang bertingkah laku seperti anak muda, yaitu dengan melakukan perbuatan kotor dan terjerumus dalam kelalaian. | ||
< | Wahai para lansia, disebutkan dalam sebuah hadis nabi sebuah ungkapan yang pengertiannya sebagai berikut, “Sesungguhnya rahmat Tuhan malu untuk menolak tangan orang tua beriman yang bersimpuh meminta kepada-Nya.”(*<ref>*Lihat: ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Ausath, 5/270; Musnad asy-Syâmîyyîn, 2/268; asy-Syaibâni, as-Sunnah, 1/16; al-Ajlûni, Kasyf al-Khafâ, 1/284.</ref>)Jadi, selama rahmat Tuhan senantiasa memberikan penghormatan kepada kalian, hargailah penghormatannya itu dengan cara beribadah kepada Allah . | ||
</ | |||
< | <span id="On_Dördüncü_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Keempat Belas== | ||
Pada permulaan “Sinar Keempat” dalam buku asy-Syu’â’ât, ada pembahasan mengenai tafsir dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:“Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran [3] :173).Secara singkat tafsirnya adalah sebagai berikut: | |||
Ketika ahli dunia mengisolirku dari segala sesuatu, aku pun tercampak dalam lima macam keterasingan. Ketika itu aku tidak sempat menoleh kepada cahaya penghibur yang terdapat dalam Risalah Nur akibat kelalaian yang disebabkan oleh kondisi sulit. Namun aku langsung melihat kalbu dan mendengar suara hati. | |||
Kusadari bahwa diriku memiliki kecintaan yang sangat kuat terhadap keabadian, eksistensi, dan kehidupan meskipun di dalamnya tersimpan kelemahan dan ketidakberdayaan yang tak terkira. Hanya saja kemudian kefa- naan yang sangat menakutkan melenyapkan dan meniadakan adanya keabadiaan. Aku pun berkata seperti ungkapan penyair yang kalbunya sedang terluka: | |||
Hikmah Tuhan menetapkan musnahnya badan Sementara | |||
kalbu menginginkan keabadian Jiwaku meradang karena ujian dan kesedihan Luqman pun bingung mencari balutan. | |||
Kutundukkan kepalaku dengan putus asa. Tiba-tiba ayat al-Qur’an حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ menolongku dengan berkata, “Bacalah aku dengan baik disertai perenungan dan perhatian!” Kubaca ia sehari lima ratus kali. Setiap kali kubaca, sebagian cahayanya mulai tersingkap. Tidak hanya dengan ilmul yaqin, tetapi juga dengan ainul yaqin, kusaksikan sembilan tingkatan hasbiyah (kecukupan): | |||
'''Tingkatan Pertama''' | |||
''' | Kecintaan diriku terhadap adanya keabadian sebenarnya tidak tertuju pada keabadianku sendiri. Tetapi tertuju pada eksistensi Sang Mahasempurna dan Maha Agung yang memiliki kesempurnaan mutlak yang dicintai tanpa sebab. Hanya saja, kecintaan fitri yang tertuju pada eksistensi, kesempurnaan, dan keabadiaan Sang Maha Sempurna Mutlak tersesat akibat kelalaian, hingga berpegang pada bayangan dan mencintai cerminnya. | ||
Namun ketika ayat, حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ ini datang, terbukalah hijabnya. Akupun bisa merasakan, menyaksikan, dan menyadari secara haqqul yaqin bahwa nikmatnya keabadian itu telah ada dengan sendirinya di dalam keimanan dan keyakinanku terhadap keabadian | |||
Sang Maha Abadi serta terhadap keberadaan-Nya sebagai Tuhanku, bahkan kenikmatan tersebut lebih utama dan lebih sempurna. Bukti-bukti dan perasaan imani yang membuat semua makhluk hormat dan kagum tentang hal itu telah kutunjukkan secara jelas dan mendalam dalam risalah al-Hasbiyah. | |||
'''Tingkatan Kedua''' | |||
''' | Sesungguhnya disamping ketidakberdayaan tak terhingga yang tersimpan dalam fitrahku, ketika ahli dunia menyerangku dengan tipu daya dan mata-mata mereka dalam kerentaan, keterasingan, ketiadaan sahabat yang kualami, aku berkata kepada kalbuku, “Sebuah pasukan besar dan kuat menyerang seorang manusia yang sedang lemah, sakit, dan kedua tangannya terikat. Adakah tempat bersandar untuk orang itu?”Lalu aku merenungkan ayat, حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ. Segera saja ia memberi informasi kepadaku dengan berkata: | ||
حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ | |||
Engkau telah mengikat hubungan keimanan dengan Sang Penguasa Besar Yang Memiliki kekuasaan mutlak. Dialah Dzat yang pada musim semi menyediakan semua kebutuhan pasukan empat ratus ribu tumbuhan dan hewan yang tersebar di atas permukaan bumi dengan sangat teratur. Lalu Dia mendistribusikan semua rezeki pasukan besar itu kepada seluruh makhluk dan tentunya yang paling terdepan adalah manusia. Rezeki tersebut bukan dalam bentuk ekstrak daging, gula dan makanan lainnya yang ditemukan oleh manu- sia modern. Tetapi dalam bentuk ekstrak yang disebut benih dan biji yang ratusan kali jauh lebih sempurna dan lebih baik. Ia merupakan bahan pilihan yang mengandung semua unsur makanan. Lebih dari itu, benih tersebut kemudian dibungkus dengan berbagai bungkus yang sangat sesuai dengan kadar kematangan dan pertumbuhannya. Ia tersimpan dalam berbagai “kotak” dan “kaleng” yang sangat kecil. Bungkus tersebut juga terbuat dengan sangat cepat, sangat mudah, dan sangat banyak. Semua itu terproses dalam pabrik kaf dan nun yang terwujud di bawah perintah kun. Sehingga al-Qur’an pun mengatakan, “Dia cukup berkata padanya ‘kun! (jadilah!) Maka ia pun jadi.” | |||
Karena aku telah mendapatkan tempat sandaran dalam bentuk hubungan keimanan tersebut, maka engkau juga bisa bersandar dan bergantung pada kekuatan-Nya yang maha besar dan kekuasaan-Nya yang maha mutlak. Ya, aku betul-betul merasa begitu kuat setiap kali menerima pelajaran ayat al-Qur’an di atas. Aku merasa memiliki kekuatan yang membuatku bisa menghadapi seluruh musuh di dunia ini. Rasanya tidak ada yang bisa melawanku. Karena itu, dalam relung hatiku yang paling dalam aku terus mengucap حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ. | |||
'''Tingkatan Ketiga''' | |||
''' | Ketika berbagai penyakit, aneka macam keterasingan, serta beragam kezaliman mencekikku, kurasakan bahwa ikatanku dengan dunia telah mulai lepas. Di samping itu, pada waktu tersebut keimanan memberiku petunjuk bahwa engkau sedang dipersiapkan menuju dunia lain yang abadi serta engkau layak mendapatkan kerajaan dan kebahagiaan yang kekal. Pada saat itulah kutinggalkan segala sesuatu yang mencampakkanku dalam kepahitan dan penderitaan untuk kugantikan dengan sesuatu yang mendatangkan kegembiraan dan kebaikan, serta yang bisa membuatku senantiasa bersyukur. | ||
Namun tujuan yang merupakan impian utama, sasaran kha- yalan, target jiwa, dan produk fitrah itu tidak akan terwujud kecuali dengan kekuasaan Dzat Yang Maha Berkuasa secara mutlak yang mengetahui seluruh gerakan dan diamnya makhluk, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan. Dia jadikan manusia yang kecil, hina, dan berkutat dalam kelemahan mutlak sebagai kekasih dan mitra bicara seraya menempatkannya dalam kedudukan tertinggi di antara seluruh makhluk-Nya. Dia juga memberikan pertolongan dan perha- tian kepada manusia. | |||
Ya, ketika aku merenungkan dua hal tersebut: yaitu pengaruh kekuasaan-Nya yang tak terbatas dan kemuliaan hakiki yang Allah berikan kepada manusia yang tampak hina itu. Aku ingin mendapatkan penjelasan tentang dua hal tersebut agar bertambah yakin dan tenang. Aku kemudian merenungkan ayat di atas dan ia pun berkata padaku, “Perhatikan secara cermat kata (نا) ‘kami’ dalam kalimat ( حَس۟بُنَا ) ‘Cukuplah Allah bagi kami’.” Perhatikanlah siapa saja yang mengucapkan kalimat tersebut bersamamu. Lalu dengarkanlah!” | |||
Begitulah perintah ayat al-Qur’an itu kepadaku. Seketika aku melihat sejumlah burung sedang terbang dengan jumlah yang sangat banyak, sejumlah serangga sangat kecil seperti lalat yang tak terhitung jumlahnya, berbagai binatang yang beraneka ragam tumbuhan yang beraneka ragam serta pohon-pohon yang tak terbatas bilangannya. Semua itu mengucapkan ayat حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ sepertiku sekaligus mengingatkan yang lain bahwa sebenarnya mereka memiliki Pelindung—sebaik-baik Pelindung—yang menjamin semua kebutu- han hidup mereka. Bahkan Dia telah menciptakan seratus ribu jenis hewan, seratus ribu bentuk burung, seratus ribu macam tumbuhan, seratus ribu jenis pohon dari sejumlah telur yang serupa yang terbentuk dengan bahan sama, sejumlah nutfah yang sejenis, serta berbagai benih yang mirip tanpa cacat dan salah. Semua tercipta dalam bentuk yang indah, seimbang, dan tertata berikut ciri dan keunikan masing- masing. Dia menciptakan semuanya secara terus-menerus, terutama pada saat-saat musim semi dalam jumlah yang begitu banyak dan dengan cara yang sangat mudah. Jadi, proses penciptaan seluruh makhluk tersebut berlangsung secara serupa, saling berbaur, dan ber- kumpul dalam cara dan bentuk yang sama dalam naungan kekuasaan mutlak yang dengan jelas menegaskan keesaan Allah. | |||
Ayat di atas membuatku paham bahwa aku tidak mungkin ikut campur atau mengintervensi perbuatan dan penciptaan Tuhan yang bersifat mutlak yang kesemuanya memperlihatkan berbagai muk- jizat yang tak terbatas. Maka, bagi mereka yang ingin memahami identitas pribadi dan hakikat kemanusiaanku yang sama seperti se- tiap mukmin, serta bagi mereka yang ingin menjadi seperti diriku, maka mereka harus memperhatikan penafsiran انَا ‘aku’ dalam bentuk plural نَا ‘kami’ pada ayat di atas disamping harus merenungkan posisinya dalam pluralitas tersebut agar mereka memahami apa makna dari keberadaan wujud dan fisikku yang tampak hina dan tak ada artinya seperti mukmin lainnya? Apa arti kehidupan itu sendi- ri? Bahkan apa itu manusia? Apa yang dimaksud dengan Islam? Apa itu keimanan yang hakiki? Apa makrifatullah? Serta bagaimana cara memperoleh cinta Allah? Ya, agar mereka memperoleh pelajaran tentang itu semua. | |||
'''Tingkatan Keempat''' | |||
''' | Berbagai bencana dan goncangan seperti kerentaan, keter- asingan, penyakit, dan ketidakberdayaan telah menghadang diriku. Semua itu datang di saat diriku berada dalam kelalaian. Seolah-olah keberadaanku yang sangat terkait dengannya sedang pergi menu- ju ketiadaan. Bahkan eksistensi seluruh makhluk berakhir dengan kefanaan. Maka, kepergian mereka itu melahirkan rasa gundah dan sakit dalam diriku. Lalu aku merenungkan ayat al-Qur’an di atas حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ. Ayat tersebut berkata padaku, “Perhatikanlah maknaku dan renungkan ia dengan kacamata iman.” | ||
Akupun kemudian memperhatikan maknanya lewat kacamata iman.Kuperhatikan bahwa eksistensiku sebagai makhluk yang sangat kecil—seperti eksistensi mukmin lainnya—ibarat cermin bagi eksistensi yang tak terbatas dan sarana untuk menggapai berbagai macam eksistensi yang tak terhingga secara sangat mudah. Ia ibarat sebuah kata bijak yang melahirkan banyak eksistensi yang bersifat abadi di mana ia lebih bernilai daripada eksistensiku sendiri. Sampai-sampai jika dilihat dari hubungan keimanan yang ia miliki, sesaat saja dari kehidupannya tampak begitu berharga. Ia bernilai tinggi seperti nilai eksistensi yang bersifat abadi dan permanen. Semua itu kuketahui lewat ilmul yaqin. | |||
Sebab, ketika dengan yakin akan mengetahui bahwa eksistensiku ini merupakan salah satu tanda kekuasaan Sang Wajibul Wujud dan merupakan salah satu ciptaan-Nya, ia membuatku selamat dari berbagai kegelapan yang tak terhingga serta terlepas dari berbagai penderitaan yang bersumber dari segala bentuk perpisahan. | |||
Selain itu, ia mendorongku untuk mengikat hubungan per- saudaraan yang sangat kuat dengan seluruh entitas, terutama semua makhluk hidup. Sebuah hubungan yang setara dengan banyaknya perbuatan dan nama-nama Tuhan yang terkait dengan segala entitas. Aku juga mengetahui bahwa dengan adanya hubungan tersebut sebetulnya ada semacam ketersambungan dan ikatan dengan seluruh orang yang kucintai dalam kurun waktu perpisahan ini. | |||
Demikianlah sesungguhnya eksistensiku sama seperti eksistensi setiap orang mukmin dan mengikat hubungan dengan seluruh cahaya eksistensi tanpa pernah berpisah. Bahkan meskipun eksistensiku telah tiada, kekekalan sejumlah eksistensi tersebut membuatku tenang seolah-olah ia tetap abadi secara sempurna. | |||
Kesimpulannya, kematian bukan merupakan perpisahan. Tetapi ia merupakan ketersambungan, perpindahan tempat, dan pemerolehan hasil yang abadi. | |||
'''Tingkatan Kelima''' | |||
''' | Hidupku sesaat terkoyak di bawah tekanan beban yang sangat berat hingga perhatianku kemudian berpaling pada umur dan kehidupan yang ada. Kusadari usiaku begitu cepat bergegas menu- ju akhirat dan hidupku yang mendekat ke akhirat mulai padam di bawah berbagai macam penderitaan. Padahal tugas-tugas hidup yang penting dan mulia berikut hasil-hasilnya yang berharga tidak layak untuk cepat padam. Sebaliknya ia layak untuk hidup lama dan pan- jang sebagaimana dijelaskan pada risalah yang terkait dengan Nama Allah, al-Hayy. Maka dengan segala kepedihan dan keputusasaan, aku kembali kepada guruku, yaitu ayat al-Qur’an di atas yang berbunyi حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ. Ia berkata padaku, “Perhatikan kehidupan tersebut dari sisi Dzat Yang Mahahidup dan Kekal yang telah memberimu kehidupan!” | ||
Kuperhatikan ia dengan kacamata ini. Kusaksikan bahwa jika kehidupan tersebut memiliki satu aspek yang mengarah kepadaku, maka ia mempunyai seratus aspek yang mengarah kepada Dzat Yang Mahahidup dan Menghidupkan. Jika satu hasil darinya kembali kepadaku, seribu hasil kembali kepada Penciptaku. Karena itu, hidup sesaat saja sudah sangat cukup. Tidak perlu hidup yang lama. | |||
Hakikat ini menjadi sangat jelas dengan empat hal. Hendaknya mereka yang masih hidup mencari esensi hidup, hakikat hidup, serta hak-hak hidup yang sebenarnya dalam empat hal tadi. Raihlah dan hiduplah! | |||
Kesimpulannya, karena kehidupan ini mengarah pada Dzat Yang Mahahidup dan Kekal, serta selama iman merupakan nyawa dan roh dari kehidupan itu sendiri, maka kehidupan mencapai kekekalan dan memberikan hasil yang abadi, bahkan ia naik ke tingkat keabadian. Dengan demikian, pendek dan panjangnya umur tidak menjadi ukuran. | |||
'''Tingkatan Keenam''' | |||
''' | Dari uban yang mengingatkan pada kematian, berbagai peristiwa akhir zaman yang memberitahukan kehancuran dunia dalam bingkai perpisahan yang bersifat menyeluruh, dan tersingkapnya berbagai keindahan dan kesempurnaan fitrah yang kurasakan di akhir-akhir hidup, dari semua ini kusaksikan bahwa ketiadaan dan kefanaan yang senantiasa menghancurkan serta kematian yang selalu memisahkan, dengan sangat menakutkan telah merusak keindahan dunia ini sekaligus mengotori keelokan makhluk. Aku menjadi sangat sakit dan terpukul dengannya sehingga kecintaan yang terdapat dalam fitrahku pergi dengan cepat dan jiwapun mulai menolaknya. Tidak ada jalan lain bagiku kecuali merenungkan ayat al-Qur’an kem- bali untuk mendapatkan pelipur lara. Ia berkata padaku, “Bacalah aku dengan baik dan perhatikan maknaku secara seksama!” | ||
Segera saja aku masuk ke tempat peneropongan untuk melihat sebuah ayat dalam surah an-Nur yang berbunyi: | |||
“Allah (sumber) cahaya langit dan bumi...” (QS. an-Nur [24]:35).Lewat teropong iman tadi kulihat tingkatan hasbiyah (pencukupan Tuhan) yang paling jauh. Serta pada waktu yang sama, lewat mikroskop imani, kuperhatikan rahasia-rahasianya yang mendalam. | |||
Sebagaimana berbagai cermin, kaca, materi transparan, dan bahkan tetesan di laut memperlihatkan keindahan cahaya matahari yang tersembunyi dan beraneka ragam, masing-masing juga mem- perlihatkan beragam keindahan yang terdapat pada tujuh warna matahari. Sebagaimana keindahan tersebut senantiasa tampak baru seiring dengan pembaharuan dan kemampuan penerimaan materi-materi tersebut, atau sebagaimana ia memperlihatkan keindahan matahari, cahayanya, dan berbagai warnanya yang tersembunyi dengan sangat indah dan menarik, demikian pula dengan berbagai ciptaan dan makhluk Tuhan yang indah dimana ia berposisi sebagai cermin yang memantulkan keindahan suci Tuhan. | |||
Makhluk-makhuk itu terus berlalu tanpa berhenti sambil memperbaharui wujud manifestasi nama-nama Tuhan. Jadi, keindahan yang tampak pada makhluk-makhluk tersebut bukanlah milik mereka sendiri. Tetapi ia merupakan isyarat, perlambang, dan wujud manifestasi keindahan suci Tuhan yang senantiasa tampak dengan nyata. | |||
Berbagai dalil tentang hal ini telah dijelaskan secara panjang lebar dalam Risalah Nur. | |||
< | Terutama risalah yang dimulai dengan ung- kapan, “Di sini kami akan menyebutkan tiga bukti dalam bentuk yang sangat singkat dan logis.”(*<ref>*Yang dimaksud adalah ‘Tingkatan Keenam’ pada “Sinar Keempat” dalam buku | ||
asy-Syu’â’ât.</ref>)Siapa pun orangnya yang melihat risalah tersebut asalkan ia mempunyai perasaan yang sehat, pastilah terkagum-kagum dan takjub. Bahkan ia akan sadar bahwa dirinya harus berusaha memberitahukan yang lain sebagaimana ia telah memberitahu dirinya sendiri. Terutama lima hal yang disebutkan dalam bukti kedua. Orang yang berpikiran waras dan berhati bersih tentu akan merasa kagum dengan berkata, “Masya Allah, Barakallah.” Ia pun membuat keberadaannya yang tampak hina dan nista menjadi mulia dan berharga seraya mengakuinya sebagai mukjizat yang luar biasa. | |||
< | <span id="On_Beşinci_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Kelima Belas== | ||
(*<ref>*Karena proses penulisan Risalah Nur telah selesai tiga tahun yang lalu, maka Harapan Kelima Belas sengaja dituliskan untuk menyempurnakan risalah untuk para lansia ini oleh salah seorang murid nur—Penulis. </ref>) | |||
( | |||
< | Ketika menempati Emirdag(*<ref>*Sebuah kota yang terletak di antara kota afyon dan Eskisyehir. Di kota tersebut Ustadz Nursi diasingkan pada tahun 1944 - 1951 M.</ref>)sebagai tahanan rumah dengan tinggal seorang diri, para mata-mata terus mengawasi dan memba- tasi ruang gerakku, aku merasa sangat tersiksa hingga hidup terasa membosankan. Selain itu, aku menyesal telah keluar dari penjara. Bahkan aku betul-betul berhasrat kembali ke penjara Denizli atau masuk ke kubur. Sebab, penjara atau kubur lebih baik daripada kehidupan semacam itu. Tiba-tiba pertolongan Ilahi datang. Ia datang membantu dengan memberikan sebuah mesin cetak modern bagi para murid “Madrasah az-Zahra”.(*<ref>*Selama hidupnya, Ustadz Nursi berusaha untuk mendirikan madrasah (universitas) yang menggabungkan antara pelajaran agama dan umum. Ia meletakkan batu pertama bagi pembangunan madrasah tersebut pada tahun 1911 di dekat danau Van. Namun kondisi Perang Dunia I telah menghambat penyelesaian proyek tersebut. Hanya saja, Allah kemudian memberikan pertolongan sebagai ganti dari madrasah tersebut dengan sebuah ‘Madrasah lain’ yang ranting-rantingnya menyebar ke seluruh pelosok negeri. Ia adalah Dershane (Pusat Kajian Risalah Nur). Dari sini, Ustadz Nursi menganggap murid-murid nur sebagai murid Madrasah az-Zahra.</ref>) | ||
Dengan begitu Risalah Nur bisa terbit dalam lima ratus naskah dengan satu pena saja. Itulah pertolongan yang Allah berikan kepada Risalah Nur sehingga membuatku kembali mencintai kehidupan yang merisaukan tadi. Bahkan ia telah membuatku banyak bersyukur kepada Allah . | |||
</ | |||
Namun tidak lama kemudian, para musuh Risalah Nur yang bersembunyi tidak menyukai adanya kemajuan tersebut. Mereka menegur dan menghasut pemerintah untuk menentang kami.Akhirnya sekali lagi, kehidupan ini menjadi berat. Akan tetapi tanpa disangka-sangka Tuhan memberikan pertolongan-Nya. Para pegawai sipil—yang sebetulnya merupakan orang-orang yang paling membutuhkan Risalah Nur—mulai membaca berbagai risalah yang diterbitkan dengan penuh perhatian sesuai dengan tugas mereka. Berkat karunia Allah, akhirnya risalah-risalah tersebut berhasil menjinakkan hati mereka. Dengan demikian, ruang lingkup Dershane Nur meluas. Mereka tidak lagi mencela dan mengkritiknya, tetapi justru mulai mengagumi dan menghargainya. Hal ini tentu saja memberikan keuntungan yang sangat besar kepada kami. Sebab, ia jauh lebih baik daripada kondisi kami sebelumnya yang selalu tersik- sa secara fisik. Selain itu, ia juga telah menghilangkan segala kerisauan dan kegundahan yang kami rasakan. | |||
Namun tidak lama kemudian para munafik di atas—yang merupakan musuh dalam selimut—membuat perhatian pemerintah tertuju padaku. Mereka mengingatkan pemerintah mengenai kehidupan politikku di masa lalu. Mereka membangkitkan perasaan ragu, curiga, dan khawatir terhadap diriku lewat jalur departemen pendidikan, keamanan, dan kementerian dalam negeri. Yang mem- buat pemerintah bertambah khawatir adalah adanya perseteruan di antara partai-partai politik, serta adanya agitasi yang dilakukan oleh para agresor dan teroris dari kalangan komunis. Semua itu membuat pemerintah menghentikan dan membatasi ruang gerak kami, serta menyita seluruh risalah yang berhasil mereka peroleh. Sebagai akibatnya, aktivitas murid-murid Nur menjadi terhenti.Para petugas berwenang telah menyebarkan tuduhan sepihak yang sangat aneh dan sulit dibenarkan oleh siapapun guna menyulitkan diriku. Mereka tetap gagal. Mereka tidak bisa meyakinkan siapapun. | |||
Namun demikian, mereka masih saja menahanku selama dua hari dengan prasangka murahan yang sangat tidak bernilai. Serta, mereka tempatkan diriku seorang diri di dalam aula yang sangat luas selama beberapa hari yang sangat dingin padahal aku tidak tahan dengan cuaca dingin. Biasanya aku selalu menghidupkan tungku api dan dengan berkali-kali menyalakan alat pemanas ruangan pada setiap harinya di rumahku. Hal itu dilakukan karena kondisi yang lemah dan penyakit yang kualami. | |||
Pada saat menderita sakit demam yang disebabkan oleh cuaca dingin tadi, dan pada saat jiwa berada dalam kondisi yang sangat tertekan, hakikat pertolongan Tuhan tampak jelas di dalam kalbuku dan akupun diingatkan kepada hal berikut: | |||
“Engkau telah menamakan penjara tersebut dengan istilah ‘Madrasah Yusufiyah’. Penjara Denizli itu telah memberimu berbagai manfaat dan keuntungan yang berkali-kali lipat lebih besar daripa- da kesulitan dan penderitaan yang kau rasakan. Ia telah memberimu kebahagiaan dan kenikmatan yang sangat besar, serta memberimu ganimah maknawiyah yang begitu banyak seperti keikutsertaan para tahanan lainnya untuk bisa mengambil pelajaran dari Risalah Nur, tersebarnya risalah tersebut di kalangan pejabat tinggi, serta manfaat-manfaat yang lain.Hal itu tentu saja membuatmu terus bersyukur, tidak lagi mengeluh atau gelisah. Ia mengubah setiap jam dari waktu dan pend- eritaanmu di penjara menjadi sepuluh jam ibadah. Selain itu, ia telah membuat beberapa jam yang fana itu menjadi kekal abadi. Maka dari itu, dengan izin Allah, Madrasah Yusufiyah Ketiga’(*<ref>*Maksudnya, penjara Afyon tahun 1948 M.</ref>)ini juga akan memberikan kehangatan yang bisa melawan cuaca sangat dingin tadi. Ia juga akan memberikan kelapangan yang bisa menghapus pen- deritaan berat itu dengan keikutsertaan orang-orang yang tertimpa musibah dan bencana dalam mengambil manfaat dan pelipur lara dari Risalah Nur.Sementara itu orang-orang yang kau murkai dan kau benci, jika termasuk yang tertipu, maka mereka tidak berhak mendapat mur- ka. Sebab, mereka berbuat aniaya kepadamu karena kebodohan dan tidak sengaja. Namun jika mereka menyiksa dan menyakitimu atas dasar kesengajaan dan kedengkian untuk membuat senang kaum yang sesat, maka mereka sebentar lagi akan disiksa oleh kematian yang mereka sangka sebagai kemusnahan abadi. Mereka akan memperoleh kesulitan hebat dan kekal di penjara kubur. Sementara sebagai hasil dari penganiayaan mereka, engkau akan mendapatkan ganjaran yang besar, keabadian, serta kenikmatan rohani. Disamping itu, engkau juga akan menerima balasan berkat usahamu dalam mengembangkan ilmu dan agama secara tulus.” | |||
Seketika itu pula dengan segala kekuatan kuucapkan alham- dulillah, atas dasar kemanusiaan, aku merasa kasihan kepada orang- orang yang zalim itu. Aku berdoa kepada Tuhan dengan berkata, “Wahai Tuhan, jadikanlah mereka orang insaf!” | |||
Dalam penjelasan yang kutulis untuk Kementerian Dalam Negeri telah ditegaskan bahwa kasus baru ini berada di luar koridor hukum. Kunyatakan hal itu dengan memberikan sepuluh alasan. Bahkan orang-orang zalim yang telah melanggar hukum itulah yang sebetulnya merupakan penjahat. Sebab, mereka telah mencari-cari alasan yang sangat lemah dan telah mengada-ada hingga mendapat ejekan orang. Membuat sedih ahlul haq yang jujur, serta memperlihatkan kepada mereka yang objektif bahwa mereka sama sekali tidak menemukan alasan atas nama hukum dan kebenaran untuk menghalangi Risalah Nur serta menyakiti para muridnya. Akhirnya, mereka terjatuh dalam kebodohan dan ketidakwarasan. | |||
Sebagai contoh, para mata-mata yang telah mengawasiku selama sebulan tidak mampu menemukan sesuatu yang bisa dituduhkan kepadaku. Karena itu, akhirnya mereka membuat dakwaan berikut: “Seorang pelayan Said telah membelikan minuman keras dari sebuah kedai untuk beliau”. Anehnya mereka tidak menemukan orang yang mau menandatangani dakwaan itu untuk membenarkannya kecuali seorang asing dan pemabuk. Lewat tekanan dan intimidasi, mereka minta orang tadi untuk menandatanganinya. Namun ia menolak mereka dengan berkata, “Astaghfirullah siapa yang mau menanda- tangani dakwaan palsu dan aneh ini.” Terpaksalah mereka menarik dakwaan tersebut. | |||
Contoh lainnya, aku sangat butuh menghirup udara segar. Karena mengetahui kesehatanku sedang terganggu, dan seorang tak dikenal—yang sampai sekarang aku tak sempat berkenalan dengan- nya—meminjamkan sebuah dokar agar aku bisa berjalan-jalan.Maka akupun berjalan-jalan selama satu atau dua jam pada musim panas. Aku telah berjanji kepada pemilik dokar itu untuk membayar ongkosnya dalam bentuk buku-buku seharga lima puluh lira. Hal itu kulakukan agar tidak keluar dari prinsip yang kupegang selama ini dan agar aku tidak berhutang jasa kepada siapa pun. Adakah yang mengira bahwa tindakan ini membuahkan bahaya? Yang jelas pihak kepolisian, keamanan dalam negeri, bahkan gubernur sendiri lebih dari lima puluh kali mempertanyakan siapa pemilik kuda ini?Seolah-olah telah terjadi peristiwa politis yang sangat gawat yang bisa merusak stabilitas dan keamanan. Akhirnya untuk menghentikan pertanyaan naif yang bertubi-tubi, ada seseorang menga- ku bahwa kuda itu merupakan miliknya sementara orang yang lain lagi mengakui dokar itu sebagai miliknya. Maka, keluarlah perintah untuk menangkap mereka berdua. | |||
Keduanya kemudian digiring bersamaku menuju penjara. Dengan cara-cara seperti ini kami menjadi penonton atas permainan mereka. Kamipun menangis sambil tertawa. Kami tahu bahwa siapa pun yang merintangi risalah dan murid-murid Nur, pastilah mereka menjadi bahan tertawaan dan bahan ejekan orang. | |||
Berikut ini kuketengahkan sebuah percakapan singkat sebagai contohnya. Sebelum mengetahui isi tulisan menyangkut tuduhan yang diarahkan kepadaku bahwa aku telah mengganggu stabilitas keamanan, kukatakan kepada jaksa penuntut umum, “Kemarin kusampaikan kepada salah seorang anggota polisi yang menginterogasiku, wakil dari kepala keamanan, ‘Semoga Allah menyiksaku (tiga kali) jika aku tidak mengabdi bagi keamanan negeri ini seribu kali lebih banyak dari yang dilakukan kepala keamanan dan penuntut umum’.” | |||
Kemudian di saat aku sangat membutuhkan kenyamanan, ketenangan, dan kehangatan, maka tindakan mereka yang mengasingkan diriku dalam kondisi yang sangat dingin ini, memindahkanku dari satu kota ke kota lain yang asing bagiku, serta menyiksaku dengan sesuatu yang di luar kemampuanku, semuanya menunjukkan bahwa tindakan mereka itu merupakan wujud dari kedengkian terpendam dan kesengajaan. Semua itu membuatku sangat marah dan tidak senang kepada mereka. Namun kemudian Allah menolongku sekaligus menyadarkan kalbuku akan makna berikut: | |||
Takdir Tuhan yang pasti adil mempunyai andil yang sangat besar dalam memberikan peluang kepada mereka untuk berbuat zalim kepadamu. Rezekimu di penjara itulah yang telah mengundangmu ke penjara. Karena itu, engkau harus menerimanya dengan ridha. | |||
Hikmah dan rahmat Tuhan juga mempunyai bagian yang sangat besar dalam hal ini bahwa menerangi dan menghibur para penghuni penjara serta engkau pun mendapatkan pahala yang besar. Jadi, engkau harus ribuan kali bersyukur kepada Allah dalam kesabaran demi keuntungan besar tersebut. | |||
Selain itu, dirimu juga mempunyai bagian karena ia memiliki banyak kesalahan. Dengan begitu ia harus dilawan dengan istighfar, taubat, kembali kepada Allah, disamping menyadari bahwa diri ini memang layak untuk diberi pelajaran. | |||
Selanjutnya para pejabat yang dungu serta para pengecut yang tertipu yang terdorong untuk berbuat zalim karena intrik musuh juga mempunyai andil. Risalah Nur telah membalas kaum munafik itu dengan berbagai “tamparan maknawi” yang menyentak sehingga hal itu sudah cukup bagi mereka. | |||
Adapun andil terakhir dimiliki oleh para petugas yang berposisi sebagai orang-orang yang berbuat langsung. Namun karena dilihat dari sisi keimanan mereka telah mengambil manfaat dari melihat dan membaca Risalah Nur yang niat awalnya mengkritik dan mencari sisi kesalahan, maka alangkah mulianya jika engkau memaafkan dan mengampuni mereka seperti bunyi ayat al-Qur’an: | |||
“Yang menahan emosi dan memaafkan kesalahan orang.” (QS. Ali Imrân [3]: 134). | |||
Setelah ditegur dan disadarkan kepada sesuatu yang hak dan benar, aku berikrar untuk senantiasa bersabar, bersyukur, dan bergembira berada di “Madrasah Yusufiyah” yang baru ini. Bahkan, aku bertekad untuk selalu memberikan pertolongan dan bantuan bahkan kepada mereka yang telah berbuat jahat kepadaku serta memusuhiku sebagai teguran bagi diriku atas segala kekurangan yang ada. | |||
Selanjutnya orang yang sudah berusia 75 tahun sepertiku, yang ikatannya dengan dunia telah terputus, yang para kerabatnya di dunia ini tinggal sedikit, sementara sekitar 70 ribu naskah Risalah Nur telah melakukan tugas dakwahnya secara bebas, lalu ia mempunyai banyak saudara dan pewaris yang menunaikan tugas keimanan dengan ribuan lisan sebagai ganti dari satu lisan ini, maka kuburan bagi orang sepertiku seratus kali lebih baik daripada penjara. | |||
Di samping itu, penjara ini ratusan kali jauh lebih baik daripada bebas tapi terikat, serta lebih nyaman daripada hidup di bawah tekanan kontrol dan kekuasaan orang. Sebab, seseorang masih bisa bersabar bersama ratusan tahanan lain meskipun berada di bawah tekanan beberapa petugas berwenang, seperti kepala lapas dan kepala sipir. Dalam kondisi tersebut hatinya masih terhibur dengan keberadaan banyak teman di sekitarnya. Sementara jika berada di luar, ia harus menerima intimidasi ratusan pejabat dan petugas. Selain itu, secara agama dan fitrah, manusia senantiasa memberikan kasih sayangnya kepada para orang tua. Terutama mereka yang berada dalam kondisi seperti ini. Sehingga kesulitan dan siksa di penjara berubah menjadi kasih sayang pula. Karena itu, aku rela hidup di penjara. | |||
Ketika aku datang ke pengadilan yang ketiga, aku duduk di atas sebuah kursi yang berada di luar pintu pengadilan karena aku merasa payah dan sulit berdiri akibat kondisi yang sudah sangat lemah, tua, dan sakit. Tiba-tiba sang hakim datang sambil berbicara dengan nada marah dan meremehkan, “Mengapa orang ini tidak menunggu dengan berdiri?!” Sontak hatiku sangat marah karena orang tersebut sama sekali tidak memiliki rasa kasihan kepada orang tua. Ketika kupalingkan wajahku, tampak kerumunan kaum muslimin menatapku dengan pandangan iba, kasihan, dan menyiratkan adanya persau- daraan. Sehingga tak ada seorang pun yang bisa mengalihkan sorot pandangan mereka. Saat itulah ada dua kenyataan yang masuk ke dalam relung hatiku: | |||
Pertama, para musuhku dan musuh Risalah Nur yang bersem- bunyi di balik tirai itu telah menipu para pejabat yang lalai dan telah berhasil menggiring para pejabat tersebut untuk berbuat keji guna merendahkan pribadiku di hadapan banyak orang sekaligus mema- lingkan penghormatan dan penghargaan yang mereka berikan kepadaku yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya. Karena itu, saat menghadapi penghinaan yang dilakukan oleh satu orang manu- sia, Tuhan memberikan pertolongan-Nya dengan memalingkan per- hatianku kepada kerumunan orang yang berjumlah ratusan itu sebagai bentuk penghormatan kepadaku atas pengabdian yang selama ini dilakukan oleh Risalah Nur dan para pengikutnya. Seolah-olah Tuhan berkata, “Lihatlah kepada mereka! Mereka datang untuk menyambutmu karena pengabdian yang kau lakukan itu. Mereka datang membawa kalbu yang penuh dengan rasa simpati, sedih, kagum, dan terikat kuat.” | |||
Bahkan pada hari kedua, saat aku menjawab beberapa perta- nyaan hakim ketika ribuan orang berkumpul di ruang pertemuan. Raut muka mereka mengekspresikan kondisi mereka seraya berkata, “Jangan tekan mereka.” Karena ikatan mereka dengan kami sangat kuat, pihak kepolisian tidak mampu membubarkan mereka. Pada saat itulah ada bisikan dalam hatiku: | |||
“Dalam keadaan yang sulit ini, orang-orang itu sedang membutuhkan penghibur yang sempurna, cahaya yang tak kenal padam, iman yang kokoh, serta kabar gembira tentang kebahagiaan abadi. Bahkan secara fitrah mereka mencarinya. Mereka mendengar bahwa apa yang sedang mereka cari itu ada dalam Risalah Nur. Karena itu- lah mereka memperlihatkan penghormatan dan penghargaan yang luar biasa kepada diriku—sosok yang tidak ada artinya ini—karena posisiku sebagai orang yang menyuarakan nilai keimanan.” | |||
Kedua, terbesit dalam kalbuku bahwa di saat orang-orang tertentu mengkhianati kami dengan tuduhan merusak stabilitas keamanan, serta di saat mereka bertindak buruk kepada kami dengan tujuan mengalihkan penghormatan manusia dari kami, ada sambutan hangat dan penghargaan yang pantas diterima yang berasal dari para ahli hakikat dan putra-putri generasi mendatang. | |||
Ya, ketika teror di balik tirai komunisme sedang merajalela untuk merusak stabilitas keamanan, justru Risalah Nur dan para muridnya berusaha mengan- tisipasi perusakan menakutkan itu di seluruh pelosok negeri dengan keimanan yang hakiki dan berusaha menjaga stabilitas keamanan.Selama dua puluh tahun berlalu, tidak pernah ada satu kasus perusakan pun yang dilakukan oleh para murid Nur, padahal jumlah mereka sangat banyak tersebar di seluruh pelosok negeri. | |||
Tidak ada satu pun dari pihak berwenang yang pernah menemukan atau mencatat sebuah kasus yang dilakukan oleh mereka di sepuluh wilayah yang ada. Bahkan para polisi yang jujur yang berada di tiga wilayah pemerintahan menyatakan, | |||
“Para murid Nur layaknya para polisi maknawi. Mereka membantu kami untuk menjaga keamanan. Sebab, dengan keimanan yang hakiki di kepala setiap orang yang membaca Risalah Nur ada pencegah. Mereka berusaha menjaga keamanan negeri ini.” | |||
Penjara Denizli merupakan contoh yang nyata dan tepat bagi apa yang baru saja dikatakan. Begitu murid-murid Nur dan risalah ats-Tsamarah (Buah-buah Keimanan) yang sengaja ditulis bagi para tahanan masuk ke dalam penjara tersebut, lebih dari dua ratus orang tahanan insaf dan kembali ke jalan yang benar. Mereka pun menjadi orang-orang yang taat dan saleh dalam tiga bulan atau lebih. Sampai-sampai seorang yang telah membunuh lebih dari tiga nyawa menjadi takut untuk membunuh seekor kepinding (kutu busuk) sekalipun. Ia tidak lagi berbahaya, justru ia menjadi orang yang bermanfaat dan cinta kepada negerinya.Para pejabat berwenang melihat kondisi ini dengan perasaan kagum dan heran. Bahkan sebelum menerima putusan pengadilan, beberapa pemuda pernah berterus terang dengan mengatakan, “Jika para murid Nur masih tetap berada dalam penjara, maka kami akan menghukum diri kami sendiri agar bisa tetap bersama mereka, belajar kepada mereka, serta memperbaiki diri dengan berbagai pengarahan yang mereka berikan agar kami bisa seperti mereka.” | |||
Karena itu, kalau kemudian mereka menuduh murid-murid Nur—yang memili- ki karakteristik seperti tadi—telah mengganggu stabilitas keamanan pasti mereka telah tertipu. Atau baik disadari maupun tidak, mereka pasti mengabaikan pihak-pihak yang sengaja membuat teror dan kekacauan. Makanya, mereka berusaha menyakiti dan menyiksa kami. | |||
Atas dasar itu, kami katakan kepada mereka, “Selama kematian tidak terbunuh, selama pintu kubur tidak tertutup, selama musafir-musafir tempat jamuan dunia lenyap dan hilang dengan cepat ditelan bumi, maka sebentar lagi pasti kita akan berpisah dan kalian akan mendapat balasan menakutkan atas kezaliman yang telah kalian lakukan. Paling tidak, kalian akan merasakan kematian yang meru- pakan kelapangan hidup bagi kaum mukmin yang teraniaya. Kalian akan merasakan kematian tersebut sebagai pemusnahan abadi. Berbagai kenikmatan fana yang kalian raih dan kalian sangka kekal di dunia, akan segera berubah menjadi penderitaan abadi yang me- nyakitkan.” | |||
Hakikat Islam yang berhasil dimiliki oleh umat beradab ini sekaligus dipelihara lewat darah ratusan juta para syuhada yang termasuk dalam tingkatan para wali serta lewat pedang-pedang pahlawan pejuangnya, saat sekarang ini secara sangat disayangkan kadangkala disebut oleh para musuh yang munafik itu dengan istilah “Tarekat Sufi”. Lalu mereka tampakkan tarekat sufi yang merupakan salah satu cahaya matahari yang bersinar sebagai matahari itu sendiri untuk memberikan gambaran yang salah tentangnya kepada para pejabat yang awam. Mereka juga menyebut para murid Nur yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menampakkan hakikat al-Qur’an dan keimanan sebagai “Penganut Tarekat Sufi” atau “Asosiasi politik.” Hal itu dimaksudkan untuk merusak dan memojokkan kami. Karenanya, kepada mereka dan kepada setiap pengikut mereka, kami ingin menyampaikan apa yang telah kami utarakan di depan Pengadilan Denizli yang adil itu: | |||
“Hakikat suci yang telah ditebus oleh jutaan kepala itu juga ditebus oleh kepala kami. Andaikata kalian menyalakan api di atas kepala kami, maka kepala-kepala yang telah rela berkorban untuk hakikat al-Qur’an tersebut tidak akan tunduk kepada kaum zindik dan insya Allah tidak akan pernah meninggalkan tugas sucinya.” | |||
Demikianlah, aku tidak mau mengganti satu tahunpun dari usia senjaku—di mana berbagai peristiwa di dalamnya melahirkan keputusasaan, beban berat, kepedihan, dan penderitaan, tetapi kemudian terobati dengan pelipur lara yang bersumber dari iman dan al-Qur’an—dengan sepuluh tahun usia mudaku yang begitu menyenangkan. Khususnya setiap jam bagi mereka yang bertaubat dan melaksanakan shalat fardhu di penjara senilai dengan sepuluh jam ibadah. Demikian pula satu hari yang dilewati oleh orang yang sakit, sementara ia dalam kondisi teraniaya membuat pemiliknya memperoleh pahala sepuluh hari yang bersifat abadi. Jadi, kehidupan semacam ini sangat patut disyukuri oleh orang sepertiku yang sedang menunggu giliran di tepi kubur. | |||
Ya, inilah yang bisa kupahami dari peringatan dan teguran di atas. Maka kuucapkan syukur tak terhingga kepada-Nya. Aku sangat gembira dengan kerentaanku ini dan aku juga rela berada di penjara. | |||
Sebab, umur tidak pernah berhenti, tetapi ia terus berlalu dengan cepat. Jika berlalu dengan kenikmatan dan kesenangan, ia akan melahirkan kesedihan dan kenestapaan. Sebab, biasanya hilangnya kenikmatan memunculkan penderitaan. Kemudian jika umur tersebut berlalu dengan terus diisi kelalaian tanpa pernah bersyukur, ia akan mewariskan dampak-dampak dari dosa, sementara dirinya sendiri musnah dan lenyap. Adapun jika umur itu berlalu dengan kesulitan dan penahanan, karena lenyapnya penderitaan melahirkan kenikmatan, maka hidup semacam ini terhitung sebagai bagian dari ibadah. Karena itu, di satu sisi ia akan tetap abadi serta membuat pemiliknya memperoleh kehidupan yang kekal berikut hasil-hasilnya yang juga kekal. Juga di sisi lain, ia menjadi penebus seluruh dosa ter- dahulu dan pembersih segala kesalahan yang menyebabkan ia masuk ke dalam penjara. Dilihat dari perspektif ini, para tahanan yang telah menunaikan kewajiban mereka harus bersyukur kepada Allah ser- aya terus bersabar. | |||
< | <span id="On_Altıncı_Rica"></span> | ||
== | ==Harapan Keenam Belas== | ||
< | Ketika diasingkan ke daerah Kastamonu(*<ref>*Sebuah kota yang terletak di wilayah utara Turki. Di kota tersebut Ustadz Nursi diasingkan pada tahun 1936 M. Ia terus berada di sana sebagai tahanan rumah hingga dipindah darinya pada tahun 1943 M untuk dibawa ke proses persidangan di pengadilan tinggi di Denizli.</ref>)setelah dua tahun dihukum di penjara Eskisyehir di saat aku sudah tua. Aku ditahan di sana, di markas kepolisian, selama sekitar tiga bulan. Tentu saja kalian sudah mengetahui betapa hebat penderitaan yang dialami oleh orang sepertiku di tempat seperti itu. | ||
< | Ia terisolasi dari manusia, tidak bisa tinggal bersama orang lain bahkan meskipun dengan para sahabat yang setia, serta tidak bisa mengganti baju yang biasa dikenakan.(*<ref>*Ketika itu, masyarakat dipaksakan untuk memakai topi dan baju ala Eropa setelah keluarnya undang-undang etika pada tahun 1925 M.</ref>)Ketika diliputi oleh keputusasaan, tiba-tiba Tuhan menolong kerentaanku. Sebab, kepala polisi bersama para polisi menjadi teman-teman yang setia. Mereka bisa mengeluarkanku kapan saja untuk jalan-jalan di sekitar kota dan melayaniku layaknya seorang pembantu. Selain itu, mereka tidak pernah memaksaku untuk me- makai topi Eropa. | ||
Lalu aku masuk ke madrasah Nur yang berada di depan kantor polisi di Kastamonu. Akupun memulai penulisan beberapa risalah. Seiring dengan itu, Feyzi, Emin, Hilmi, Sadiq, Nazif, dan Salahuddin serta para tokoh Nur lainnya mulai mendatangi madrasah tersebut secara rutin guna menyebarkan dan memperbanyak risalah-risalah yang ada. Dalam kajian yang mereka jalankan di sana, mereka memperlihatkan kemampuan istimewa melebihi apa yang telah pernah kulalui di saat masih muda bersama murid-murid sebelumnya. | |||
Selanjutnya, para musuh yang bersembunyi di balik tirai mulai memprovokasi sebagian pihak berwenang dan sebagian guru yang egois serta pimpinan tarekat sufi untuk menyerang kami. Akhirnya mereka menjadi sebab berkumpulnya kami di “Madrasah Yusufiyah”, yaitu Penjara Denizli, bersama murid-murid Nur lainnya yang datang dari beberapa daerah. Penjelasan rinci mengenai Harapan keenam belas ini terdapat dalam risalah yang kukirim secara rahasia dari kota Kastamonu yang tertuang dalam buku “Mulhaq Kastamonu” serta dalam beberapa risalah singkat dan rahasia yang kukirim kepada para saudaraku dari Penjara Denizli. Substansi dari harapan ini tam- pak secara jelas di dalamnya. Sekarang kita menyerahkan perinciannya kepada “al-Mulhaq” dan “pembelaan”, kita akan menyebutkannya secara ringkas: | |||
Aku telah menyembunyikan beberapa risalah khusus dan kumpulan tulisan yang penting, terutama tulisan yang berbicara tentang Dajjal di kalangan kaum muslimin dan tentang beberapa keistimewaan Risalah Nur. Aku menyembunyikannya di bawah tumpukan kayu dan arang untuk disebarkan sepeninggalku, atau setelah para | |||
telinga pimpinan itu mau mendengar, dan setelah kepala mereka mau menyadari hakikat yang ada. Aku merasa tenteram dalam hal ini. Namun manakala petugas investigasi dan staf jaksa menggeledah rumah kami sekaligus mengeluarkan risalah-risalah penting yang tersembunyi di bawah tumpukan kayu dan arang itu, mereka segera membawaku ke penjara Isparta padahal ketika itu aku sedang sakit. | |||
Pada saat aku sangat terpukul dan secara serius memikirkan bahaya yang akan menimpa Risalah Nur, pertolongan Tuhan datang untuk membantu kami semua. Pihak-pihak berwenang yang sebe- tulnya sangat perlu membaca berbagai risalah penting yang tersembunyi itu mulai mempelajarinya dengan sangat serius. Akhirnya kantor-kantor pemerintahan pun berubah menjadi semacam madrasah Nur. Sebab, kritikan dan celaan mereka berubah menjadi pujian dan kekaguman. Bahkan di Denizli tanpa kami ketahui banyak sekali orang-orang, baik dari aparat berwenang maupun dari kalangan lainnya, membaca risalah al-Ayat al-Kubra (Tanda Kekuasaan-Nya Yang Agung) yang dicetak dengan sangat rahasia. Dengan begitu, mereka bertambah iman dan menjadi sebab yang membuat musibah kami seolah-olah tak pernah ada. | |||
Kemudian mereka menjebloskan kami ke penjara Denizli dan meletakkanku di sebuah ruangan yang berbau busuk, lembab dan sangat dingin. Akupun menjadi sangat sedih dan sakit dengan ujian yang menimpa teman-teman akibat diriku. Selain itu, aku merasa sangat sedih dengan berhentinya penyebaran Risalah Nur. Semua hal tersebut terakumulasi membuat diriku gelisah dan risau. Namun kemudian datanglah pertolongan Tuhan yang mengubah penjara menakutkan tadi menjadi madrasah Nuriyah. Sungguh benar bahwa penjara tersebut telah menjadi Madrasah Yusufiyah. Sejak saat itu Risalah Nur mulai tersebar melalui pena mas yang dimiliki oleh para pahlawan “Madrasah az-Zahra”.Bahkan ada seorang murid Nur(*<ref>*Maksudnya, al-Hafidz Ali.</ref>)yang telah menyalin lebih dari dua puluh naskah dari risalah ats-Tsamarah (Buah-buah keimanan) dan pembelaan selama tidak lebih dari empat bulan dalam kondisi buruk semacam itu. Naskah-naskah tersebut kemudian menjadi sebab bagi datangnya berbagai karunia Tuhan, baik di dalam maupun di luar penjara. Ia telah mengubah penderitaan yang kami derita menjadi berbagai keberuntungan sekaligus mengubah kerisauan dan kesedihan kami menjadi kebahagiaan. Sekali lagi dalam hal ini ia menampakkan salah satu rahasia ayat al-Qur’an yang berbunyi:“Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia sangat baik bagi kalian.” (QS. al-Baqarah [2]: 216). | |||
Setelah itu muncul sebuah keterangan yang menghantam kami yang didasarkan pada pernyataan dangkal dan keliru dari para ahli penyelidik. Lalu menteri pendidikan pun “menyerang” kami secara sangat tajam sehingga membuat sebagian orang menuntut hukuman mati terhadap kami bahkan mereka berusaha keras untuk melakukannya. Dalam kondisi yang sulit seperti itu, pertolongan Tuhan datang membantu kami. | |||
Ketika kami menunggu berbagai kritikan yang pedas dan tajam dari tim ahli penyelidik Ankara, ternyata per- nyataan mereka justru mengandung kekaguman dan penghargaan terhadap berbagai Risalah Nur. Disamping itu, dari lima kotak Risalah Nur mereka hanya menemukan beberapa kesalahan yang jum- lahnya tidak lebih dari sepuluh. Sebagaimana kami membuktikan kepada pengadilan bahwa berbagai kesalahan yang mereka katakan itu sebetulnya bukan kesalahan, melainkan kebenaran, demikian pula yang salah justru sangkaan mereka sendiri. Kami terangkan bahwa dalam pernyataan yang terdiri dari lima lembar itu terdapat sekitar sepuluh kesalahan.Ketika kami menunggu ancaman dan keputusan tegas dari tujuh jalur formal pemerintah yang dikirimi Risalah Tsamarah dan Pembelaan sebagaimana semua risalah juga dikirimkan pada kalangan peradilan, terutama risalah-risalah yang secara khusus berisi pukulan keras kepada kaum yang sesat, tiba-tiba putusan mereka sangat lunak seperti surat yang dikirimkan Perdana Menteri kepada kami. Seolah-olah mereka memperlihatkan keinginan untuk berdamai dengan kami. | |||
Semua ini tentu saja secara tegas membuktikan bahwa berkat karunia dan kemurahan-Nya, Risalah Nur berhasil mengalahkan mereka hingga membuat mereka mau membaca dan mengambil petunjuk darinya. Pada waktu yang sama, lingkungan pemerintahan itupun berubah menjadi semacam madrasah Nur. Risalah-risalah tersebut telah berhasil menyelamatkan orang-orang yang sedang bingung dan ragu sekaligus memperkuat keimanan mereka. Hal itu membuat kami sangat senang dan gembira sehingga mengalahkan kesulitan dan penderitaan yang kami alami. | |||
Selanjutnya, para musuh yang tak tampak itu memasukkan racun ke dalam makananku. Akibat dari pengaruh racun tersebut, pahlawan Nur, Syahid Hafidz Ali, dibawa ke rumah sakit sebagai ganti dariku dan di sana ia menghembuskan nafas yang terakhir. Kejadian ini betul-betul membuat kami menangis dan bersedih atasnya. | |||
Sebelum datangnya musibah tersebut, saat berada di atas gunung Kastamonu aku berkata bahkan berkali-kali aku menegas- kan, “Wahai saudara-saudaraku, jangan memberi daging kepada kuda dan jangan pula memberi rumput kepada singa”. Artinya, ja- ngan kalian memberikan risalah kepada setiap orang, karena kha- watir mereka akan berbuat jahat kepada kita. Dalam hal ini seakan- akan saudara Hafidz Ali mendengar ucapanku itu lewat “telepon maknawi”, padahal ia berada di sebuah tempat sejauh tujuh hari perjalanan. Pada waktu bersamaan, ia menulis surat kepadaku yang isinya adalah sebagai berikut, “Ya, wahai guruku. Di antara karamah Risalah Nur adalah ia tidak memberi daging kepada kuda dan tidak memberi rumput kepada singa. Tetapi sebaliknya, ia memberi rum- put kepada kuda dan memberi daging kepada singa”. Ia berikan surat tersebut dan tujuh hari kemudian kami pun menerimanya. Setelah dihitung-hitung kami menyadari bahwa ia telah menuliskan ungkapan yang sama itu di saat aku menegaskannya secara berulang-ulang di atas gunung Kastamonu. | |||
Pada saat pahlawan Nur yang semacam beliau wafat, pada saat kaum munafik berusaha menghukum kami, serta pada saat aku terus merasa gelisah karena mereka membawaku ke rumah sakit akibat penyakit yang berasal dari racun tadi. Pada saat semua kesulitan menghimpit kami, tiba-tiba pertolongan Tuhan datang membantu kami. | |||
Doa tulus yang dipanjatkan oleh teman-teman yang baik berhasil menawar racun tadi.Ada petunjuk yang sangat kuat bahwa pahlawan yang telah mati syahid tersebut sibuk dengan Risalah Nur dan menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat dengannya. Lalu pahlawan Denizli, Hasan Feyzi, berikut beberapa temannya yang setia akan menggantikan kedudukan beliau sekaligus mengisi tugas beliau dalam mengabdi kepada Risalah Nur secara rahasia. Di lain sisi para musuh telah sepakat bahwa kami semua harus dikeluarkan dari penjara. Sebab, mereka khawatir Risalah Nur akan tersebar luas dan mendapat respon yang cepat dari para tahanan agar hubungan antara kami dan para tahanan itu terputus. Para murid Nur memang telah mengubah kesunyian penjara menjadi seperti gua ashabul kahfi atau gua tempat tinggal orang-orang zuhud. Dengan tenang, mereka berusaha menulis dan menyebarkan Risalah Nur. Semua itu menegaskan bahwa Tuhan telah membantu dan menolong kami. | |||
Terlintas di dalam kalbu kami bahwa imam besar seperti Abu Hanifah an-Nu’man dan yang lainnya pernah dipenjara lalu bersabar dalam menjalani penyiksaan di dalamnya. Demikian pula Imam Ahmad dan tokoh besar lainnya, mereka banyak mendapat siksa hanya karena salah satu persoalan tentang al-Qur’an. Dalam menghadapi seluruh ujian yang keras itu mereka sangat sabar tanpa menunjukkan sedikitpun kegusaran dan keluhan. Juga, mereka tak pernah menarik kembali ucapan yang pernah disampaikan. Begitu pula dengan para ulama dan imam besar lainnya, mereka semua tidak gentar sedi- kitpun menghadapi penderitaan dan siksa yang menimpa mereka. Justru mereka bersabar dan bersyukur kepada Allah padahal ujian yang menimpa mereka itu jauh lebih hebat dari apa yang kalian dapatkan. Karena itu, kalian harus banyak bersyukur kepada Allah atas bencana kecil dan kesulitan ringan yang kalian dapati dalam rangka membela al-Qur’an serta atas pahala besar yang akan kalian dapatkan darinya. | |||
Di sini aku akan menjelaskan secara singkat beberapa wujud pertolongan Tuhan yang datang di tengah-tengah kezaliman manusia: | |||
Ketika berusia dua puluh tahun aku selalu menyatakan bahwa di akhir-akhir umurku nanti aku akan berkhalwat di sebuah gua untuk menjauhkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan masyarakat seperti yang dilakukan oleh kaum zuhud di pegunungan. Ketika tertawan di Timur Laut Rusia saat Perang Dunia Pertama, aku juga telah berikrar untuk menghabiskan sisa umurku di gua-gua guna menjauh dari kehidupan sosial dan politik. Namun sebagai bentuk kasih sayang- Nya kepadaku yang telah tua ini, pertolongan Tuhan dan keadilan takdir-Nya mengubah bayangan gua-gua tersebut kepada sesuatu yang lebih baik dan lebih mulia, jauh melebihi apa yang kuinginkan. Dia telah mengganti gua tadi dengan penjara sebagai tempat khalwat. Dia berikan kepadaku berbagai “Madrasah Yusufiyah” sebagai ganti dari gua-gua pegunungan yang dipakai oleh mereka yang sedang melakukan latihan ruhani. Hal itu dimaksudkan agar waktu kami tidak terbuang secara percuma. Sebab di penjara tersebut selain terdapat berbagai manfaat ukhrawi, juga terdapat tugas jihad untuk mendakwahkan al-Qur’an dan persoalan iman. | |||
Bahkan setelah saudara-saudaraku dibebaskan aku bertekad untuk melakukan sesuatu yang bisa membuatku masuk dan tetap berada di sel penjara bersama Husrev, Feyzi, dan para pejuang lainnya yang ikhlas dan setia dalam mengabdi agar aku tidak lagi berbaur dengan masyarakat, tidak membuang-buang waktu dalam hal yang tidak perlu, serta tidak lagi berbuat sesuatu yang tujuannya ingin dikenal orang. | |||
Hanya saja kemudian takdir Ilahi mendorong kami untuk pergi ke tempat khalwat yang lain. | |||
Sesuai dengan bunyi ungkapan, “Yang terbaik adalah pilihan Allah,” sesuai dengan rahasia ayat al-Qur’an, “Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia lebih baik bagi kalian,” serta sebagai bentuk kasih sayang Tuhan terhadap kerentaanku, dan agar kami berupaya keras dalam berdakwah, maka kami pun diberi sebuah misi dan tugas yang berada di luar koridor kehendak dan kemampuan kami di “Madrasah Yusufiyah” yang ketiga ini. | |||
Ya, di balik adanya perubahan dari gua seperti yang dibayangkan di masa muda, di saat ia tak memiliki musuh jahat, kepada kamar-kamar penjara yang sunyi terdapat tiga hikmah dan manfaat penting untuk pengabdian terhadap Risalah Nur: | |||
'''Hikmah dan Manfaat Pertama''' | |||
''' | Berkumpulnya murid-murid Nur saat ini tanpa ada seorangpun yang mengganggu bisa terjadi di Madrasah Yusufiyah. Sebab bertemunya mereka di luar penjara bisa jadi menimbulkan prasangka dan kecurigaan serta membutuhkan biaya. Sebab, sebagian mereka harus mengeluarkan sekitar 50 lira untuk sebuah perjumpaan yang tidak lebih dari dua puluh menit. Atau bisa juga mereka pulang ke daerahnya tanpa bisa bertemu. Karena itu, kutahan kesulitan di penjara ini bahkan kuterima ia dengan gembira demi untuk bisa terus bertemu dengan para saudara yang setia. Dengan demikian, bagi kami penjara merupakan nikmat dan rahmat. | ||
'''Hikmah dan Manfaat Kedua''' | |||
''' | Dakwah dan penyebaran iman yang dilakukan lewat Risalah Nur ini harus dilakukan di setiap waktu dan di setiap tempat. Berdasarkan hal tersebut, masuknya kami ke dalam penjara bisa menarik perhatian orang-orang kepada Risalah Nur sehingga bisa dikata- kan bahwa itulah yang membantu proses penyebarannya. Beberapa orang yang keras kepala serta beberapa orang yang membutuhkan telah berhadapan dengan Risalah Nur sehingga risalah tadi berhasil mematahkan sifat keras kepala mereka sekaligus menyelamatkan ke- imanan mereka. Mereka lolos dari kehancuran dan wilayah madrasah Nur pun menjadi luas. | ||
'''Hikmah dan Manfaat Ketiga''' | |||
''' | Setiap murid Nur yang masuk ke dalam penjara bisa saling mengenali kondisi masing-masing serta bisa saling belajar untuk berperilaku baik, bersikap ikhlas, dan rela berkorban. Karenanya, sesudah itu mereka tidak lagi memedulikan keuntungan duniawi dalam melakukan pengabdian terhadap Nur.Ya, mereka bisa bersikap ikhlas karena dari banyak petunjuk yang ada mereka mengetahui bahwa setiap kesulitan dan penderitaan di “Madrasah Yusufiyah” memberikan puluhan keuntungan maknawi dan materi, hasil-hasil yang tak tampak, serta berbagai pengabdian imani yang bersifat luas dan tulus. Bahkan keuntungan tersebut bisa mencapai seratus kali lipat. Karena itu, mereka tidak mau berlomba untuk mendapatkan berbagai keuntungan pribadi yang tidak ada artinya. | ||
Bagiku, tempat-tempat khalwat dan itikaf tersebut (penjara) memang sedikit menyiratkan kesedihan. Namun demikian di dalamnya ada kenikmatan sebagai berikut: | |||
Di sini aku merasakan berbagai kondisi dan keadaan seperti yang kurasakan ketika masih muda saat berada di kampung dan madrasahku dulu. Sebab seperti kebiasaan daerah Timur, makanan sebagian murid madrasah berasal dari luar madrasah, sementara sebagian lagi memasak sendiri di madrasah. Di sini aku melihat hal yang sama sehingga membuatku teringat masa-masa ketika masih muda. Aku pun pergi membawa pikiranku melayang ke masa silam tersebut sekaligus melupakan kerentaan yang ada. | |||
< | <span id="Yirmi_Altıncı_Lem’a’nın_Zeyli"></span> | ||
== | ==Lampiran Cahaya Kedua Puluh Enam== | ||
Yaitu “Surat Kedua Puluh Satu”. Termuat sebagai bagian dari buku al-Maktûbât. | |||
------ | ------ | ||
<center> [[Yirmi Beşinci Lem'a]] ⇐ [[Lem'alar]] | ⇒ [[Yirmi Yedinci Lem'a]] </center> | <center> [[Yirmi Beşinci Lem'a/id|CAHAYA KEDUA PULUH LIMA]] ⇐ | [[Lem'alar/id|Al-Lama’ât]] | ⇒ [[Yirmi Yedinci Lem'a/id|CAHAYA KEDUA PULUH LIMA]] </center> | ||
------ | ------ | ||
13.06, 30 Aralık 2024 itibarı ile sayfanın şu anki hâli
Risalah untuk Orang Tua Lanjut Usia (Lansia)
Cahaya ini berisi penjelasan tentang dua puluh enam harapan.(*[1])
Perhatian Alasan mengapa aku mengungkapkan penderitaan jiwa yang kualami di setiap awal “harapan” dengan gaya bahasa yang sangat menyentuh sehingga membuat kalian juga ikut merasakannya adalah untuk menjelaskan efek luar biasa yang ditimbulkan oleh pengobatan yang bersumber dari al-Qur’an.
Hanya saja, cahaya yang secara khusus terkait dengan para lansia ini tidak dipaparkan secara baik karena beberapa hal:
Pertama, ia terkait dengan berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan pribadiku. Menulis dalam kondisi berimajinasi dan berinteraksi dengan masa-masa tersebut membuatku kurang memperhatikan sistematika penyampaiannya.
Kedua, ia ditulis dalam kondisi yang tidak tenang karena dilakukan sesudah shalat subuh di mana ketika itu aku merasa sangat letih dan lemas, di samping harus terburu-buru.
Ketiga, kami tidak mempunyai waktu yang cukup untuk melakukan pengoreksian secara sempurna. Juru tulis yang tadinya bersamaku telah kelelahan dalam menulis berbagai risalah. Ia sering meminta izin untuk tidak masuk sehingga hal itu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan muatan isinya kurang padu.
Keempat, aku hanya bisa mengoreksinya secara sepintas tanpa mengkaji secara lebih mendalam karena merasa capek sesudah menulis. Karenanya, tidak aneh kalau ada kekurangan dalam segi penyampaian. Aku berharap semoga para orang tua yang budiman mau memaafkan kekuranganku dari segi penyampaian. Sekaligus aku memohon kepada mereka agar tidak lupa mendoakanku dalam doa dan munajat mereka pada Sang Maha Penyayang Yang tak pernah menolak doa para orang tua yang baik hati.
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ
Kâf hâ yâ ‘ain shâd. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan mengenai rahmat Tuhan kepada hamba-Nya yang bernama Zakaria.
Yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. Ia berkata, Wahai Tuhan, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, namun aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu,wahai Tuhan.” (QS. Maryam [19]: 1-4).
(Cahaya ini berisi penjelasan mengenai dua puluh enam harapan)
Harapan Pertama
Wahai saudara-saudari tuaku yang terhormat dan telah mencapai usia sempurna! Aku juga telah lanjut usia seperti kalian. Aku akan menuliskan untuk kalian sejumlah kondisi yang kualami berikut pintu-pintu asa dan kilau harapan yang senantiasa kutemukan di masa tua agar kalian juga ikut-serta dalam cahaya pelipur lara yang bersinar dari seluruh asa dan harapan itu. Cahaya yang kusaksikan serta berbagai pintu harapan yang Allah bukakan untukku kulihat sesuai dengan kemampuanku yang kurang sempurna ini. Namun, kesiapan kalian yang tulus dan murni, dengan izin Allah, akan membuat cahaya tersebut lebih bersinar terang dibanding yang kulihat serta akan membuat harapan tadi lebih kuat dan lebih kukuh dibanding yang kudapat.
Tentu saja, sumber seluruh cahaya dan harapan yang akan disebutkan tidak lain kecuali iman.
Harapan Kedua
Ketika aku sudah hampir memasuki usia senja, di salah satu musim gugur dan di waktu Ashar, aku menatap dunia dari atas puncak gunung. Ketika itu tiba-tiba aku merasakan kondisi yang sangat sedih dan pilu disertai kegelapan yang menyelimuti. Kulihat diriku telah beranjak tua. Siang telah berubah menjadi senja. Tahun telah menjadi renta. Dunia pun sudah lanjut usia. Maka kerentaaan itu telah membuatku sangat berguncang. Saat perpisahan dengan dunia telah dekat dan perpisahan dengan orang-orang yang kucinta hampir tiba. Saat berada dalam kondisi putus asa dan sedih seperti itu, tiba-tiba rahmat Tuhan tampak di hadapanku sehingga kesedihan dan perpisahan yang memilukan tadi berubah menjadi harapan yang kuat dan cahaya pelipur lara yang terang.
Wahai yang telah lanjut usia seperti diriku! Allah yang telah mempersembahkan sekaligus memper- kenalkan diri-Nya yang mulia kepada kita pada—lebih dari—seratus tempat dalam al-Qur’an dengan sifat ar-Rahmân ar-Rahîm (Maha Pengasih dan Penyayang). Dia yang telah mengirimkan rahmat-Nya lewat berbagai nikmat yang Dia tebarkan di atas bumi sebagai bantuan bagi seluruh makhluk yang membutuhkan rahmat-Nya. Dia pula yang telah memberikan berbagai karunia dari alam gaib, sehingga musim semi pada setiap tahun penuh dengan nikmat yang tak terhingga dan tak terhitung banyaknya. Dia kirimkan semua itu untuk kita yang membutuhkan rezeki seraya memperlihatkan dengan jelas manifestasi kasih sayang-Nya yang demikian menyeluruh sesuai de- ngan tingkat kelemahan dan ketidakberdayaan yang terdapat dalam diri kita. Rahmat Sang Pencipta Yang Maha Penyayang tersebut merupakan harapan yang besar dan cahaya yang kuat di masa tua kita ini.
Rahmat tersebut hanya bisa dicapai dengan cara menghubungkan diri dengan Dzat Yang Maha Pengasih melalui iman dan taat pada-Nya dengan melaksanakan kewajiban.
Harapan Ketiga
Ketika aku terbangun di “pagi masa tua” dari tidur “malam masa muda”, aku menatap diriku seraya merenungkan kondisinya. Kurasakan ia seolah-olah telah terjatuh dari tempat yang tinggi menuju dasar kubur seperti yang dikatakan oleh Niyâzi al-Mishri:
Batu demi batu dari bangunan umur ini telah jatuh,
tanpa disadari menimpa jiwa dan bangunan itu pun runtuh.
Seiring dengan perjalanan waktu, tubuhku yang menjadi wadah bagi rohku perlahan-lahan batu demi batunya sudah mulai rapuh dan berjatuhan. Semua impian dan harapanku yang membuat diri ini demikian terpaut dengan dunia ikatannya sudah mulai putus dan lepas. Aku merasa waktu perpisahan dengan para kekasih dan teman yang jumlahnya tak terhingga telah semakin dekat. Aku pun mulai mencari obat salep yang bisa membalut luka hati yang sangat dalam ini yang kelihatannya tak bisa disembuhkan. Namun ternyata aku tidak bisa menemukan obatnya. Akhirnya, aku juga mengucapkan seperti yang diucapkan Niyâzi al-Mishri:
Hikmah Tuhan menetapkan musnahnya badan Sementara kalbu merindukan keabadian
Jiwaku meradang karena ujian dan kesedihan Luqman pun bingung mencari balutan
Saat berada dalam kondisi seperti itu, tiba-tiba cahaya Rasul—yang merupakan rahmat Allah bagi alam semesta, sekaligus sebagai sosok yang mencerminkan, menyerukan, dan menuturkan rahmat tersebut—serta syafaat beliau berikut petunjuk yang beliau berikan kepada umat manusia, menjadi balsam penyembuh dan obat ampuh bagi penyakit kronis yang kukira tidak ada obatnya. Keputusasaanku yang diselimuti oleh kegelapan diubahnya menjadi harapan yang bersinar terang.
Wahai para lansia yang mulia, wahai yang sudah merasa tua seperti diriku! Kita semua pasti akan pergi. Kita tidak akan tinggal di sini selamanya dengan menipu diri dan memejamkan mata. Kita akan diantar menuju tempat abadi. Akan tetapi, alam Barzakh tidak seperti yang terlihat dengan gelapnya ilusi akibat kelalaian dan bukan pula seperti yang digambarkan kaum yang sesat. Ia bukanlah alam perpisahan dan alam kegelapan, namun ia tempat berkumpulnya para kekasih dan tempat bertemu dengan orang-orang yang dicintai, terutama Nabi yang merupakan kekasih Tuhan dan pemberi syafaat di sisi-Nya pada Hari Kiamat.
Ya, kita akan pergi ke sebuah alam tempat perginya seseorang yang telah memimpin 350 juta orang pada setiap masa selama lebih dari 1350 tahun, di mana beliau menjadi pendidik jiwa, pembimbing akal, dan pujaan hati mereka, yang dituliskan pada lembaran kebajikannya seluruh amal saleh umatnya dengan rahasia اَلسَّبَبُ كَال۟فَاعِلِ ‘per- antara sama seperti pelaku’ yang menjadi poros bagi semua maksud Tuhan dan pusat tujuan Ilahi yang mulia di alam, serta yang menjadi sebab bagi mulianya seluruh entitas. Ia tidak lain adalah Rasulullah, sebagaimana ketika beliau baru dilahirkan, berucap, “Umatku umatku” seperti yang ditegaskan oleh berbagai riwayat sahih(*[2])dan kasyaf yang benar, begitu juga di hari kebangkitan nanti beliau juga berucap, “Umatku umatku” dan berusaha menolong umatnya dengan pengorbanan yang paling suci dan tinggi dan syafaatnya ketika setiap orang hanya memikirkan dirinya sendiri dengan mengucap, “Nafsî nafsî (diriku diriku)”. Jadi, kita akan pergi ke sebuah alam yang telah dituju oleh sosok Nabi yang mulia itu. Sebuah alam yang terang oleh sang mentari itu (Muhammad ) serta bintang-gemintang para ulama dan wali tak terhingga yang mengitarinya.
Ya, mengikuti sunnah Nabi yang mulia ini merupakan cara untuk mendapatkan syafaatnya, meraih cahayanya, dan selamat dari gelapnya alam Barzakh.
Harapan Keempat
Ketika dua kakiku menginjak ambang pintu kerentaan, kesehatan fisikku yang tadinya membuat lalai juga sudah sakit-sakitan sehingga kerentaan dan penyakit fisik itu pun bergabung menyerangku. Keduanya terus-menerus memukul kepalaku hingga memba- ngunkanku dari tidur kelalaian. Tidak ada lagi yang mengikatku de- ngan dunia, baik itu harta, anak maupun yang lainnya. Aku melihat umur yang telah kusia-siakan dalam kelalaian masa muda hanyalah merupakan tumpukan dosa dan kesalahan. Maka, aku pun bermu- najat memohon pertolongan seperti yang diucapkan oleh Niyazi al- Mishri:(*[3])
Umur telah berlalu dengan sia-sia tanpa mendapatkan hasil apa-apa
Aku kembali ke jalan, namun rombongan itu telah jauh pergi
Aku pun menangis, aku sendirian tersesat meniti jalan
Kedua mataku menangis, dadaku terasa sesak, dan pikiranku kacau…!
Saat itu aku berada dalam keterasingan. Aku merasakan kesedihan yang diiringi keputusasaan, serta kekecewaan yang penuh penyesalan atas umur yang telah berlalu. Dari lubuk hati, aku memohon pertolongan dan mencari secercah harapan. Ketika itulah al-Qur’an al-Karim membantuku. Ia membukakan pintu harapan yang besar di hadapanku dan memberikan cahaya asa yang hakiki, yang bisa melenyapkan seratus kali lipat dari segala keputusasaanku dan kegelapan yang menyelimutiku.
Wahai mereka yang sudah tua renta, wahai yang ikatannya dengan dunia mulai lepas seperti diriku! Tuhan Yang Maha Agung telah menciptakan dunia ini layaknya sebuah kota yang paling sempurna dan tertata rapi, bahkan seperti sebuah istana yang megah. Kalau demikian, mungkinkah Tuhan tidak berbicara dengan para kekasih dan para tamu-Nya yang datang ke kota dan istana itu? Mungkinkah Dia tidak menemui mereka?Karena Dia telah menciptakan istana yang megah tadi dengan ilmu, menatanya lewat kehendak, serta menghiasinya secara sengaja, pastilah Dia berbicara. Pasalnya, sebagaimana Dzat Yang Memba- ngun berilmu, Dzat Yang Berilmu juga pasti berbicara. Selanjutnya, karena Dia telah menjadikan istana tadi sebagai tempat jamuan yang indah, dan kota itu sebagai tempat bisnis yang mengagumkan, pastilah ada kitab dan lembaran yang menjelaskan apa yang Dia inginkan dari kita sekaligus menerangkan hubungan-Nya dengan kita.
Tentu saja kitab yang paling sempurna di antara kitab-kitab yang Dia turunkan adalah al-Qur’an yang merupakan mukjizat ditinjau dari empat puluh aspek, yang senantiasa dibaca pada setiap saat oleh minimal seratus juta orang, yang menyebarkan cahaya dan memberi petunjuk ke jalan yang benar, yang pada setiap hurufnya terdapat sepuluh kebaikan minimal sepuluh pahala, atau kadangkala sepuluh ribu kebaikan, bahkan tiga puluh ribu kebaikan, seperti di saat Lailatul Qadr. Demikianlah Tuhan memberikan pahala surga dan cahaya barzakh seperti yang Dia kehendaki. Apakah di seluruh alam ini ada sebuah Kitab yang bisa menyamai kedudukannya?
Karena al-Qur’an al-Karim yang berada di hadapan kita merupakan firman Pemelihara alam semesta, perintah Tuhan yang tertuju kepada kita, dan sumber rahmat-Nya yang meliputi segala sesuatu, serta berasal dari Pencipta langit dan bumi dari sisi rubûbiyah-Nya yang bersifat mutlak, dari sisi keagungan ulûhiyah-Nya, maupun dari sisi rahmat-Nya yang luas, maka berpegang-teguhlah padanya. Sebab, di dalamnya terdapat obat bagi segala penyakit, cahaya bagi setiap kegelapan, dan harapan bagi semua keputus-asaan.
Kunci untuk membuka perbendaharaan abadi itu hanyalah iman, penyerahan diri, perhatian kepadanya, tunduk padanya, dan rajin membacanya.
Harapan Kelima
Di pangkal usia senjaku, aku ingin beruzlah dan menyendiri. Jiwaku mencari-cari istirahat dalam kesendirian di atas bukit Yusya’ yang mengarah ke selat Bosporus. Ketika pada suatu hari, dari atas bukit yang tinggi itu, aku mengarahkan pandangan ke cakrawala, aku menyaksikan salah satu tanda perpisahan yang memancarkan kesedihan dan kepiluan dengan peringatan usia senja. Kubawa pandanganku dari puncak pohon umurku, yaitu dari ranting keempat puluh lima, untuk melanglang buana, hingga sampai ke tingkat kehidupan- ku yang paling bawah. Pada setiap ranting yang terdapat di dalamnya, kusaksikan jenazah para kekasihku dan teman-temanku, serta jenazah setiap orang yang mempunyai hubungan denganku. Aku sangat terpukul dengan perpisahan tersebut dan kulantunkan rintihan Fud- hûli al-Bagdâdi(*[4])saat berpisah dengan orang-orang yang dicintai lewat ungkapan berikut:
Setiap kali ada kerinduan untuk berjumpa
Air mata mengucur teriring isak nafas.
Dalam suasana sedih semacam itu, aku mencari pintu harapan dan jendela cahaya untuk menghibur diri. Pada saat itulah tiba-tiba sinar keimanan pada akhirat menolongku. Ia memberiku cahaya yang tak pernah padam dan harapan yang tak terpatahkan.
Benar, wahai saudara-saudariku yang sudah lanjut usia, selama akhirat ada dan kekal abadi, selama ia lebih indah dari dunia, selama Dzat yang menciptakan kita Mahabijak dan Maha Penyayang, maka tidak sepatutnya kita mengeluhkan dan merisaukan usia yang sudah tua renta ini. Sebab, kerentaan yang dihiasi oleh iman dan ibadah serta bersambung dengan usia kesempurnaan hanyalah pertanda berakhirnya kewajiban dan tugas-tugas hidup sekaligus isyarat perpindahan ke alam rahmat untuk memperoleh kesenangan yang kekal abadi. Karena itu, kita harus betul-betul ridha menerimanya.
Ya, Informasi 124 ribu orang pilihan yang merupakan Nabi dan Rasul,(*[5])sebagaimana disebutkan dalam Hadis, memberitakan secara ijmak dan mutawatir di mana sebagian berlandaskan penyaksian dan sebagian lagi berdasarkan haqqul yaqin mengenai keberadaan neg- eri akhirat. Mereka menginformasikan secara ijmak bahwa manusia akan digiring ke sana dan bahwa Sang Pencipta pasti akan mendatangkan negeri akhirat sebagaimana telah dijanjikan secara tegas. Pembenaran 124 juta wali, baik secara kasyaf maupun secara penyaksian, terhadap informasi para nabi di atas serta kesaksian mereka akan keberadaan akhirat berdasarkan ilmul yaqin merupakan dalil kuat yang menunjukkan eksistensi akhirat.Selain itu, manifestasi seluruh nama Allah (Asmaul Husna) yang termanifestasi di seluruh pelosok alam mengharuskan adanya alam lain yang kekal serta menjelaskan dengan sangat terang keberadaan akhirat. Lalu qudrah Ilahi dan hikmah-Nya yang absolut, yang tidak berlebihan dan sia-sia, di mana ia menghidupkan bangkai pohon yang telah mati berikut rangkanya yang tegak dalam jumlah tak terhingga di muka bumi pada setiap musim semi dan setiap tahun sesuai perintah kun fayakûn sekaligus menjadikannya sebagai tanda adanya kebangkitan sesudah kematian sehingga tiga ratus ribu sp- esies dari berbagai kelompok tumbuhan dan binatang dihidupkan, semua itu menunjukkan ratusan ribu contoh kebangkitan dan bukti keberadaan akhirat. Selanjutnya, rahmat Allah yang luas yang melanggengkan kehidupan semua makhluk yang membutuhkan rezeki dan menghidupkannya dengan penuh kasih sayang, juga perhatian-Nya yang permanen yang memperlihatkan aneka jenis perhiasan dan keindahan yang jumlahnya tak terhingga pada masa yang sangat singkat di musim semi, tentu hal itu mengharuskan keberadaan akhirat. Begitu pula keinginan untuk kekal, kerinduan untuk abadi, dan harapan untuk tetap selamanya yang tertanam secara kuat dalam fitrah manusia—sebagai buah alam paling sempurna serta makhluk yang paling Tuhan cintai di mana ia memiliki hubungan paling kuat dengan seluruh entitas alam—sudah pasti hal itu menunjukkan ke- beradaan alam abadi sesudah alam yang fana ini. Ia menunjukkan eksistensi alam akhirat dan negeri kebahagiaan yang kekal selamanya.Seluruh dalil di atas, secara pasti, membuktikan keberadaan akhirat sama seperti kepastian adanya dunia.(*[6])
Karena pelajaran terpenting yang al-Qur’an ajarkan kepada kita adalah “iman kepada akhirat”, sementara pelajaran ini demikian kuat, serta di dalamnya terdapat cahaya cemerlang, harapan kuat, dan pelipur lara yang andaikan seratus ribu kerentaan terkumpul pada seseo- rang, niscaya cahaya, harapan, dan pelipur lara yang bersumber dari iman tersebut sudah cukup baginya. Maka dari itu, kita yang telah tua harus bergembira dengan kerentaan ini seraya mengucap:“Segala puji bagi Allah atas kesempurnaan iman yang Dia berikan.”
Harapan Keenam
Ketika berada dalam pengasingan yang menyedihkan, aku hidup seorang diri. Aku menyendiri di atas puncak gunung Çam yang mengarah ke padang rumput Barla. Pada saat itu aku mencari cahaya dalam kesendirian.
Pada suatu malam di ruangan kecil tanpa atap, yang tegak di atas pohon cemara yang tinggi, di atas bukit tadi, tiba-tiba kerentaanku memunculkan berbagai macam perasaan terasing, sebagaimana dijelaskan pada “Surat Keenam” (bagian dari buku al-Maktûbât). Di keheningan malam tersebut di mana sama sekali tak ada suara, kecuali gema kesedihan desir pohon, aku merasakan gema kepedihan itu menerpa relung-relung perasaan jiwaku serta menyentuh kedalaman kerentaan dan keterasinganku. Seketika kerentaan tersebut berbisik di telingaku dengan mengingatkan:“Siang telah berganti menjadi kubur yang gelap gulita, dunia pun telah memakai kafannya yang berwarna hitam. Begitu juga, siang umurmu akan berganti malam, siang dunia akan berubah menjadi malam Barzakh, serta siang musim panas kehidupan akan berganti menjadi malam musim dingin kematian.” Mendengar hal itu dengan berat hati jiwaku menjawab, “Ya, sebagaimana aku terasing di sini jauh dari kampungku, maka perpisahan dengan orang-orang yang kucintai selama usia lima puluh tahun—sementara aku hanya bisa menangis di balik ketiadaan mereka—merupakan bentuk keterasingan yang melebihi keterasinganku dari kampungku.” Pada malam tersebut aku merasa sangat sedih, jauh melebihi kesedihan akibat terasing sendirian di puncak gunung. Kerentaanku mengingatkanku akan dekatnya waktu perpisahan dengan dunia berikut segala isinya.
Dalam keterasingan yang diliputi oleh kesedihan, dan dari celah tumpukan kesedihan, aku mulai mencari cahaya dan secercah harapan. Seketika itu pula “iman kepada Allah” menolong dan mem- bantuku. Keimanan tersebut memberikan kesenangan yang luar biasa di mana andaikan penderitaan dan kesepianku berkali-kali lipat, niscaya kesenangan tersebut bisa melenyapkannya.
Wahai yang sudah lanjut usia! Selama kita memiliki Tuhan Pencipta Yang Maha Penyayang, kita takkan ada keterasingan. Selama Dia ada, segala sesuatu juga ada untuk kita. Serta selama Dia ada, para malaikat pun ada. Jadi, dunia ini tidaklah kosong. Pegunungan yang kosong ini, padang pasir yang sunyi itu, sebenarnya ramai dengan para hamba Allah; yaitu para malaikat. Ya, cahaya keimanan kepada Allah membuat seluruh pohon, bahkan bebatuan layaknya teman dan sahabat, terutama para hamba-Nya yang berkesadaran. Sebab, semua entitas itu bisa berbicara dengan kita lewat lisânul hâl (keadaannya) masing-masing sehingga bisa menghibur hati.
Dalil-dalil keberadaan Allah sebanyak jumlah entitas alam dan sebanyak jumlah huruf-huruf kitab alam yang besar ini, serta berbagai bukti kasih sayang-Nya sebanyak jumlah organ seluruh makhluk dan sebanyak jumlah nikmat yang Dia berikan kepada mereka, semua itu menjadi petunjuk atas adanya pintu Tuhan Yang Maha Pengasih dan Mahamulia, Pencipta Yang Mahadekat dengan kita, dan Pelindung Yang Maha Berbelas kasih. Tentu saja, kelemahan dan kepapaan menjadi penolong yang paling bisa diharapkan ketika berada di hadapan pintu yang mulia tadi. Sementara masa tua merupakan saat-saat munculnya kelemahan dan kepapaan tersebut. Karena itu, kita harus mencintai dan menyenangi kerentaan kita, bukan justru berpaling darinya. Sebab, ia merupakan penolong yang bisa diharapkan di hadapan pintu-Nya.
Harapan Ketujuh
Ketika kegembiraan dan senyuman “Said lama” berubah menjadi kesedihan dan tangisan “Said Baru”, yaitu tepatnya ketika hendak memasuki usia senja, pihak penguasa di Ankara mengundangku karena mereka mengira aku masih “Said lama”. Aku pun memenuhi undangan itu. Namun, di suatu hari pada akhir musim gugur, aku naik ke puncak benteng Ankara yang jauh lebih tua dan lebih renta dariku. Benteng tua itu tampak di hadapanku seolah-olah ia merupakan rangkaian peristiwa bersejarah yang menjadi batu. Aku pun sangat sedih dengan rentanya tahun di musim gugur, dengan kerentaanku sendiri, kerentaan benteng itu, kerentaan umat manusia, kerentaan Daulah Usmaniyah, dengan wafatnya kekhalifahan, serta dengan kerentaan dunia. Kondisi tersebut memaksaku untuk mengarahkan pandangan dari puncak benteng tinggi itu ke lembah masa lalu dan bukit masa depan, untuk mencari cahaya, harapan, dan pelipur lara yang bisa menerangi kegelapan yang sedang menyelimuti jiwaku saat ia larut di malam kerentaan yang berantai.(*[7])
Ketika aku menoleh ke sebelah kanan yang merupakan “masa lalu” seraya mencari cahaya dan harapan, ia tampak dari kejauhan dalam bentuk pekuburan besar berisi jenazah ayahku, nenek moyangku, dan umat manusia. Maka, segera saja ia membuatku lara.
Lalu aku menoleh ke sebelah kiri yang merupakan “masa depan” seraya mencari obatnya. Ia pun seperti makam besar yang gelap berisi jenazahku, jenazah generasiku dan jenazah generasi mendatang. Hal itu membuatku sedih dan sakit.
Kemudian aku menoleh ke masa sekarang, di saat hatiku telah penuh dengan kesedihan dan kepiluan. Maka ia tampak dalam pandanganku yang sedang lara seperti keranda bagi jenazah tubuhku yang sedang menggelepar-gelepar seperti sembelihan yang berada dalam kondisi hidup dan mati.
Manakala aku juga putus asa dengan arah ini, kuangkat kepalaku dan kulihat dari puncak pohon umurku satu buah yang sedang menatapku. Ia tidak lain jenazahku. Lalu kutundukkan kepalaku untuk melihat akar pohon umurku.
Di sana aku menyadari bahwa tanah yang ada di dalamnya tidak lain berupa tulang belulangku yang telah hancur dan tulang awal penciptaanku. Keduanya bercampur dan telah diinjak oleh berbagai kaki. Hal itu tentu saja menambah sakitku tanpa pernah memberikan obatnya.
Selanjutnya, dengan terpaksa aku mengalihkan pandanganku ke belakang. Kusaksikan bahwa dunia yang fana ini bergulir dalam lembah kehancuran dan gelapnya kefanaan. Alih-alih memberikan obat dan kesembuhan, pandangan ini malah menuangkan racun ke atas luka-lukaku.
Ketika tidak ada kebaikan dan harapan yang ditemukan di arah tersebut, kupalingkan wajahku ke depan dan kuarahkan pandanganku ke tempat yang jauh. Ketika itu kusaksikan kuburan di hadapanku sedang menungguku di tengah jalan dengan mulut yang kosong dan terus mengawasiku. Di balik kuburan itu terdapat jalan yang terbentang hingga masa keabadian. Dari kejauhan, terlihat pula berbagai rombongan umat manusia sedang berjalan di atas jalan tersebut.
Tidak ada yang bisa kujadikan sebagai sandaran dalam menghadapi aneka macam musibah yang menimpaku dari enam arah tadi, kecuali mengandalkan irâdah juz’iyah (kehendak parsial).Jadi, dalam menghadapi berbagai musuh dan ancaman yang tak terkira banyaknya aku hanya memiliki senjata manusiawi satu-satunya, yaitu ikhtiar. Namun, karena senjata itu sangat terbatas, sangat lemah, tak mempunyai kekuatan untuk mewujudkan sesuatu kecuali hanya usaha semata, di mana ia tak mampu kembali ke masa lalu untuk melenyapkan dan menghentikan segala kesedihan. Di samping juga tak mampu melanglang buana ke masa depan untuk bisa menghadang kerisauan dan ketakutan yang muncul darinya, maka aku melihat bahwa ikhtiar tersebut sama sekali tak berguna untuk meng- hadapi berbagai penderitaan masa lalu dan impian masa mendatang.
Pada saat aku berada dalam kondisi gelisah menghadapi enam arah yang mencampakkanku dalam kesepian, kemalangan, keputusasaan, dan kegelapan, tiba-tiba cahaya iman yang memancar dari al-Qur’an al-Mu’jizul-bayân menyelamatkanku dan menerangi enam arah tadi dengan sinar yang sangat terang. Seandainya aku dikepung 100 kali lipat kegelapan, niscaya cahaya tadi mampu mengalahkannya. Seketika itu, cahaya-cahaya tadi mengubah rangkaian kegelapan yang panjang menjadi pelipur lara dan harapan. Selain itu, ia mengu- bah segala kerisauan menjadi kelapangan dan optimisme.
Ya, keimanan telah melenyapkan gambaran masa lalu yang menyeramkan, yang seolah-olah seperti kuburan besar, menjadi sebuah majelis terang yang lapang dan tempat bertemunya para kekasih. Ia tampakkan hal itu lewat ‘ainul yaqîn dan haqqul yaqîn.
Kemudian, keimanan tadi memperlihatkan dengan ‘ilmul yaqîn bahwa masa depan yang tadinya dengan tatapan kelalaian tampak seperti kuburan besar ternyata merupakan majelis jamuan Tuhan yang dipersiapkan di istana kebahagiaan yang kekal.
Keimanan tersebut juga menghancurkan gambaran keranda jenazah masa sekarang yang tampak demikian menurut tatapan kelalaian dan memperlihat- kannya sebagai tempat bisnis ukhrawi dan tempat jamuan ilahi yang menakjubkan.
Selanjutnya, keimanan tadi menampakkan kepadaku dengan ‘ilmul yaqîn bahwa buah satu-satunya yang terdapat di atas pohon umur dalam bentuk keranda dan jenazah seperti terlihat lewat tata- pan kelalaian sebenarnya tidak demikian. Tetapi, ia merupakan perpindahan jiwa—sebagai unsur yang layak kekal di kehidupan abadi serta unsur yang akan meraih kebahagiaan abadi—dari sangkar lamanya menuju cakrawala bintang-gemintang untuk melancong.
Keimanan berikut segala rahasianya juga menjelaskan bahwa tulang-belulang dan tanah awal penciptaanku bukan tulang yang hina dan musnah di bawah injakan kaki manusia. Tetapi, ia adalah tanah pintu rahmat dan tirai tenda surga.
Berkat karunia rahasia al-Qur’an, keimanan itu memperlihatkan kepadaku bahwa berbagai kondisi dunia yang jatuh ke dalam gelapnya ketiadaan menurut tatapan kelalaian, sebenarnya tidak demikian. Tetapi, ia merupakan salah satu jenis risalah Tuhan dan lembaran goresan nama-nama-Nya yang suci yang telah menyelesai- kan tugas, memberikan makna, dan meninggalkan hasilnya di alam wujud. Dengan begitu, keimanan tersebut memberitahukan esensi dunia kepadaku dengan ‘ilmul yaqîn.
Lewat cahaya al-Qur’an, keimanan itu pun menjelaskan bahwa kubur yang menantikanku sebenarnya bukan lubang sumur. Tetapi, ia merupakan pintu menuju alam cahaya. Jalan menuju keabadian itu bukanlah jalan yang berakhir pada kegelapan dan kemusnahan. Tetapi, ia adalah jalan yang benar untuk sampai ke alam cahaya, alam wujud, dan alam kebahagiaan abadi. Demikianlah, kondisi-kondisi ini justru menjadi obat dan balsam penyembuh bagi penyakitku yang tampak sangat jelas hingga membuatku sangat puas.
Selain itu, keimanan tadi juga menganugerahkan kepada ikh- tiar yang terbatas tadi sebuah pegangan yang bisa dijadikan sandaran untuk sampai kepada kekuasaan-Nya yang mutlak dan kepada rahmat-Nya yang luas guna melawan beragam musuh dan aneka macam kegelapan.
Selanjutnya sebuah ikhtiar yang menjadi senjata manusia, meskipun cacat, lemah, dan terbatas, namun jika dipergunakan atas nama Allah dan di jalan-Nya bisa mengantarkan manusia untuk meraih surga abadi seluas lima ratus tahun perjalanan. Dalam hal ini, seorang mukmin sama dengan keadaan seorang prajurit. Apabila kekuatannya yang terbatas itu dipakai atas nama negara, dengan mudah ia bisa melaksanakan berbagai pekerjaan yang seribu kali lipat lebih besar dibanding kekuatan aslinya.
Sebagaimana keimanan memberikan kepada ikhtiar kita sebuah pegangan, ia juga melepaskan kendalinya dari genggaman jasad yang tidak bisa menembus masa lalu dan masa depan untuk kemudian diserahkan kepada kalbu dan roh. Lalu, karena wilayah kehidupan roh dan kalbu tidak terbatas pada masa sekarang seperti yang terjadi pada jasad, tetapi ia bisa menembus masa lalu dan masa depan, maka posisi ikhtiar tersebut berubah dari yang tadinya parsial (juz’i) menjadi universal (kulli). Kemudian, sebagaimana dengan kekuatan iman, ikhtiar tersebut bisa masuk ke relung-relung masa lalu dengan melenyapkan gelapnya kesedihan, lewat cahaya iman ia juga bisa naik menuju ke ketinggian masa depan dengan menghapus segala kerisauan dan kecemasan.
Wahai saudara dan saudari lansia yang menderita sepertiku akibat penatnya masa tua! Selama kita termasuk kaum beriman di mana keimanan merupakan khazanah kekayaan yang manis, bersinar, nikmat, dan dicintai, maka kerentaan itu akan mengantarkan kita menuju khazanah kekayaan itu. Oleh karenanya, kita tidak boleh mengeluhkan usia renta yang dijalani dengan keimanan, melainkan kita harus banyak bersyukur dan memuji Allah .
Harapan Kedelapan
Ketika sebagian rambutku sudah mulai memutih yang menjadi pertanda tuanya seseorang, serta kedahsyatan Perang Dunia Pertama dan penawanan Bangsa Rusia yang memberikan dampak kuat dalam hidup ini membuatku bertambah lalai. Kondisi itu diperparah saat aku kembali dari penawanan ke kota Istanbul di mana, baik Khalifah, Syaikhul-Islam, panglima, maupun para pelajar agama memberikan sambutan yang menakjubkan sekaligus penghormatan yang berlebihan. Semua itu mencampakkanku dalam kondisi rohani yang buruk di samping kelalaian masa muda. Pada waktu yang sama aku menjadi lebih tertidur lelap sampai-sampai aku berpikir bahwa dunia ini kekal abadi. Kusadari diriku berada dalam kondisi yang sangat terikat dengan dunia seolah-olah tidak akan mati.
Pada waktu itulah aku pergi ke Masjid Jami Bayazid di Istanbul, yaitu bertepatan pada Bulan Ramadhan yang penuh berkah, untuk mendengarkan bacaan al-Qur’an dari para penghafal yang ikhlas. Dari mulut mereka aku mendengar informasi al-Qur’an yang begi- tu kuat di seputar kematian dan fananya manusia berikut wafatnya seluruh makhluk bernyawa. Bunyi ayat tersebut adalah: “Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian” (QS. Âli ‘Imrân [3]: 185).Informasi tersebut masuk ke dalam lubang telingaku menembus dan merobek berbagai tingkatan kelalaian dan kealpaan yang sangat tebal hingga jatuh di relung-relung kalbuku yang paling da- lam. Kemudian, aku keluar dari masjid Jami tersebut, kuperhatikan diriku selama beberapa hari seolah-olah angin topan berpusar di kepalaku sebagai akibat dari pengaruh tidur panjang yang sejak lama menyertaiku. Kusaksikan diriku seolah-olah seperti perahu yang terombang-ambing di tengah gelombang lautan. Diriku menyala oleh api yang memiliki asap tebal. Setiap kali aku melihat cermin, uban-ubanku berkata padaku, “Waspadalah!”Ya, berbagai hal tampak jelas bagiku dengan munculnya uban- uban itu dan dengan peringatan yang ia berikan padaku.
Aku menyaksikan bahwa masa muda yang sangat kubanggakan dan terlena dengan kenikmatannya mengucapkan, “Selamat tinggal!” Kehidupan dunia yang sangat kucintai mulai redup sedikit demi sedikit. Dunia yang begitu dekat denganku dan sangat kusenangi mengucapkan, “Selamat tinggal, bersiap-siaplah untuk pergi” seraya mengingatkan bahwa aku akan pergi dari tempat jamuan ini dan bahwa aku akan meninggalkannya dalam waktu dekat.
Seketika itu pula terbukalah kalbuku untuk menerima dan memahami ayat yang berbunyi:“Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian.”Makna yang terkandung di dalamnya adalah bahwa umat manusia ibarat sebuah jiwa. Ia pasti akan mati untuk kemudian dibangkitkan kembali. Demikian pula dengan bola bumi. Ia ibarat sebuah jiwa yang juga akan mengalami kematian dan kemusnahan untuk kemudian mengambil bentuk yang kekal abadi. Dunia pun merupa- kan sebuah jiwa. Ia akan mati dan lenyap untuk kemudian berwujud dalam bentuk akhirat.
Dari situ, kurenungkan diriku sendiri. Kusadari bahwa masa muda yang penuh dengan kesenangan telah pergi. Ia meninggalkan tempatnya untuk ditempati oleh masa tua yang penuh dengan kesedihan. Kehidupan yang terang dan cemerlang telah pergi untuk digantikan oleh kematian yang secara lahiriah tampak gelap dan menakutkan.Kuperhatikan dunia sebagai tempat yang menyenangkan, manis, mengasyikkan, dan dikira kekal, ternyata berlalu dengan cepatnya menuju kefanaan.
Agar terlena dalam kelalaian dan guna menipu diri, kupalingkan perhatianku pada nikmatnya kedudukan dan posisi sosial yang kudapatkan di Istanbul yang mana di sana aku mendapatkan penghormatan dan penghargaan yang luar biasa. Kusadari bahwa semua itu hanya menyertaiku sampai ke pintu kubur yang sebentar lagi tiba. Di situ segalanya akan padam.Kusadari pula bahwa riya, egoisme, dan kelalaian yang bersifat sementara telah bersembunyi di balik tirai yang berhiaskan reputasi dan popularitas. Itulah tujuan dari orang-orang yang ingin terkenal. Aku mengerti bahwa semua hal yang telah menipuku hingga saat ini takkan pernah bisa membuatku terhibur. Aku sama sekali tak menemukan cahaya di dalamnya.
Agar kembali terbangun dan tersadar dari kelalaian, Aku pun mulai menyimak bacaan para penghafal al-Qur’an yang berada di Masjid Jami Bayazid untuk menerima pelajaran dari kitab suci. Saat itulah aku mendengar kabar gembira dari petunjuk langit yang bersumber dari perintah suci Tuhan di mana Allah berfirman: “Sampaikan kabar gembira kepada orang-orang beriman...” (QS. al-Baqarah [2]: 25).Lewat limpahan karunia yang berasal dari al-Qur’an, Aku pun mencari pelipur lara, harapan, dan cahaya di seputar hal-hal yang membingungkan serta membuatku sedih dan putus asa, tanpa mencari dari yang lain. Maka, kuucapkan ribuan syukur kepada Tuhan Sang Maha Pencipta yang telah memberikan taufik kepadaku untuk menemukan obat pada penyakit itu sendiri, untuk melihat cahaya pada kegelapan itu sendiri, dan merasa terhibur dalam penderitaan itu sendiri.
Maka, yang pertama kali kulihat adalah wajah kematian yang ditakuti semua orang dan dianggap sangat menyeramkan. Lewat cahaya al-Qur’an, aku memahami bahwa wajah kematian yang hakiki, bagi seorang mukmin, ibarat sesuatu yang bersinar terang meskipun tampilan luarnya terlihat gelap dan menakutkan. Hakikat ini telah kami buktikan dan jelaskan secara tegas dalam berbagai risalah, terutama dalam “Kalimat Kedelapan” dan “Surat Kedua Puluh”. Di situ dijelaskan bahwa kematian sebenarnya bukan kemusnahan final dan bukan pula perpisahan abadi. Tetapi, ia merupakan pengantar dan pendahuluan bagi kehidupan yang kekal. Ia adalah pembebasan dari tugas hidup. Ia merupakan bentuk pergantian tempat serta pertemuan dengan rombongan para kekasih yang telah pergi menuju alam Barzakh. Demikianlah, dengan hakikat tersebut, aku menyaksikan wajah kematian yang indah dan bersinar. Karena itu, aku pun tidak lagi melihatnya dengan perasaan takut dan cemas. Tetapi, dari satu sisi, aku melihatnya dengan perasaan rindu. Di saat tersebut aku memahami salah satu rahasia râbithatul maut (selalu mengingat mati) yang dipraktekkan oleh para penganut tarekat sufi.
Setelah itu, aku merenungkan masa muda. Ternyata keper- giannya telah membuat sedih semua orang. Semua orang suka dan senang kepadanya. Ia berlalu dengan kelalaian dan dosa. Masa mudaku berlalu seperti itu. Di situ aku melihat wajah yang sangat buruk bahkan melenakan dan membingungkan berbungkus busana yang cantik. Seandainya aku tidak mengetahui hakikatnya, pastilah ia membuatku menangis dan sedih sepanjang hidup. Bahkan andaipun aku hidup seratus tahun, hanya beberapa tahun yang berlalu dengan senyuman dan keriangan. Hal itu sebagaimana ungkapan seorang penyair yang menangisi masa mudanya dengan penuh penyesalan:
Oh, andai saja suatu saat masa muda kembali lagi, akan kuberitahukan apa yang dilakukan masa tua.(*[8])
Ya, para lansia yang belum memahami rahasia dan esensi masa muda akan menghabiskan masa tuanya dengan menyesali dan meratapi masa mudanya seperti penyair di atas.
Sebenarnya, jika masa muda dilalui oleh seorang mukmin yang tenang dan wibawa serta jika kekuatan masa muda tadi dipakai untuk beribadah, beramal saleh, dan melakukan bisnis ukhrawi, pastilah ia menjadi kekuatan yang paling besar untuk menggapai kebajikan, sarana yang paling utama untuk berbisnis, serta instrumen yang paling indah dan paling nikmat untuk memperoleh berbagai kebaikan.Masa muda merupakan nikmat Ilahi yang berharga dan menynangkan bagi mereka yang mengetahui kewajiban agamanya dan tidak menyalahgunakannya. Namun, jika masa muda itu tidak disertai keistiqamahan, tidak disertai sikap menjaga kehormatan dan ketakwaan, maka ia akan mendatangkan banyak bahaya. Sebab, kelalaian dan hawa nafsunya akan menghancurkan kebahagiaan abadi dan kehidupan akhirat pemiliknya. Bahkan, barangkali juga menghantam kehidupan dunianya. Dengan begitu, ia akan mengenyam berbagai penderitaan di usia rentanya, karena berbagai kenikmatan yang ia rasakan selang beberapa tahun lamanya.
Selama masa muda bagi sebagian besar orang tidak terlepas dari bahaya, maka kita sebagai orang tua harus banyak bersyukur kepada Allah , karena Dia telah menyelamatkan kita dari kebinasaan dan bahaya masa muda. Segala kesenangan di masa muda pasti akan lenyap, sebagaimana lenyapnya segala sesuatu. Jika seandainya masa muda tersebut dipergunakan untuk beribadah dan mengerjakan berbagai amal kebaikan, maka yang akan didapat adalah ganjaran pahala yang bersifat abadi. Ia akan menjadi sarana untuk mendapatkan masa muda yang kekal di kehidupan akhirat nanti.
Lalu, aku melihat dunia yang digandrungi sebagian besar manusia serta memperdaya mereka. Aku menyaksikan dengan cahaya al-Qur’an bahwa ada tiga dunia yang saling bertumpuk: 1. Dunia yang mengarah kepada Asmaul Husna. Yakni, dunia sebagai cermin yang menampakkan manifestasi Asmaul Husna. 2. Dunia yang mengarah kepada akhirat. Yakni, dunia yang merupakan ladang akhirat. 3. Dunia yang mengarah kepada ahli dunia. Yakni, dunia yang merupakan tempat permainan dan senda gurau orang-orang yang lalai.
Selain itu, aku juga melihat bahwa setiap orang di dunia ini memiliki dunianya sendiri yang besar. Seolah-olah ada banyak dunia yang saling bertumpuk dengan jumlah sebanyak umat manusia. Hanya saja, dunia setiap orang tegak di atas kehidupannya sendiri. Ketika fisik seseorang jatuh binasa, maka dunianya menjadi runtuh, dan kiamatnya pun terjadi. Karena kaum yang lalai tidak memahami keruntuhan dunia mereka yang sangat cepat, akhirnya mereka tertipu dengannya. Dunia mereka itu disangka seperti dunia yang tetap tegak dan ada di sekitar mereka.
Aku pun berpikir seraya berkata, “Aku juga tentu memiliki duniaku sendiri yang pasti akan runtuh dengan cepat seperti yang lain. Kalau begitu, apa gunanya duniaku itu dalam umur yang sa- ngat singkat ini?”
Dengan cahaya al-Qur’an, aku menyaksikan bahwa bagiku dan bagi yang lain, dunia hanyalah tempat bisnis yang bersifat sementara dan tempat jamuan yang disinggahi setiap hari, kemudi- an ditinggalkan. Ia adalah pasar yang berada di sebuah jalan untuk tempat bisnis orang-orang yang datang dan pergi. Ia merupakan kitab yang senantiasa terbaharui milik Tuhan Sang Pemahat Azali. Dia mengubahnya sesuai dengan hikmah-Nya. Setiap musim semi di dalamnya laksana surat yang ditulis dengan tinta emas. Setiap musim panas di dalamnya merupakan untaian kasidah yang sangat indah. Dunia merupakan cermin yang selalu tampil baru seraya menampakkan manifestasi Asmaul Husna; ladang akhirat; tempat tumbuhnya rahmat ilahi; dan pabrik untuk menyiapkan berbagai tayangan permanen yang akan tampak secara konkret di alam keabadian nanti. Karena itu, aku sungguh sangat bersyukur kepada Allah, Sang Pencipta Yang Maha Mulia, atas penciptaan dunia yang sedemikian rupa.
Namun, sayangnya manusia yang diberi kecintaan kepada dua wajah dunia yang mengarah kepada Asmaul Husna dan kepada akhirat, salah jalan ketika ia mempergunakan kecintaan tadi bukan pada tempatnya. Ia justru mengarahkannya pada wajah dunia fana yang mengandung bahaya sehingga terkena bunyi Hadis Nabi yang berbunyi: “Cinta dunia adalah sumber segala dosa.”(*[9])
Wahai mereka yang telah renta! Aku menyaksikan hakikat ini lewat cahaya al-Qur’an, lewat peringatan dari kerentaanku, serta lewat cahaya iman yang merasuk ke dalam batinku. Aku telah membuktikannya dalam berbagai risalah. Aku melihat hakikat tadi sebagai penghibur hakiki, harapan kuat, dan cahaya yang terang benderang bagiku. Maka, Aku pun menerima kerentaanku ini secara rela sekaligus bergembira dengan kepergian masa muda. Karena itu, wahai saudara-saudaraku yang sudah lanjut usia, janganlah bersedih, jangan pula menangisi kerentaanmu. Tetapi, bersyukurlah kepada Allah . Selama kalian memiliki iman, dan selama kenyataannya demikian, yang semestinya menangis dan bersedih adalah mereka yang lalai dan sesat.
Harapan Kesembilan
Saat Perang Dunia I, aku pernah tertawan di kota Kosturma, sebelah Timur Laut Rusia. Di sana ada masjid kecil milik Bangsa Tatar dekat dengan sungai Volga yang terkenal itu. Di antara teman-teman panglima yang tertawan aku termasuk yang tidak betah. Akhirnya kuputuskan untuk beruzlah. Hanya saja, aku tidak diperbolehkan pergi keluar tanpa izin. Masyarakat Tatar mengajakku untuk tinggal di masjid tersebut dengan jaminan yang mereka berikan. Aku tidur di sana seorang diri. Ketika itu musim semi sudah dekat. Seringkali aku tidak bisa tidur pada malam-malam yang sangat panjang di wilayah utara itu.Di malam-malam pekat yang diselimuti oleh kepedihan, desir sedih Sungai Volga, suara pilu gemercik hujan, dan sakitnya perpisahan yang terdapat dalam hembusan angin. Semua itu memba- ngunkanku dari tidur kelalaian yang amat lelap.
Meskipun dari segi usia aku belum termasuk tua. Namun orang yang melihat peperangan akan menjadi cepat tua. Sebab dahsyatnya peperangan membuat anak-anak kecil pun beruban. Seolah-olah salah satu rahasia al- Qur’an yang berbunyi:“Hari yang menjadikan anak-anak menjadi beruban.” (QS. al-Muzzammil [73]: 17) tampak di dalamnya. Walaupun usiaku belum sempurna empat puluh tahun, namun seolah-olah sudah mencapai delapan puluh tahun.Pada malam yang gelap, panjang, dan penuh kesedihan tersebut, pada suasana yang sangat sepi dan dalam kondisi yang sungguh menyakitkan itu, hatiku dihantui oleh perasaan putus asa terhadap kehidupan dan tanah airku. Setiap kali aku menatap ketidakberdayaan dan kesendirianku, tak ada lagi impian dan harapan. Namun tiba-tiba datang rasa optimisme yang berasal dari al-Qur’an sehingga lidahku terus mengucapkan:
“Cukuplah Allah bagiku, Dia sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran [3]: 173).
Kalbuku menangis sambil berkata, “Aku terasing, aku sendirian, aku lemah, aku tak berdaya. Aku mencari keselamatan, aku mencari pengampunan, dan aku mencari pertolongan di pintu-Mu wahai Tuhan!”
Sementara itu, diriku yang mengingat orang-orang yang kucintai di kampungku serta membayangkan kematian di negeri asing itu, terwakili oleh bait-bait syair Niyazi al-Mishri saat mencari seorang teman:
Kulalui berbagai kesedihan dunia dan kukepak sayapku menuju ketiadaan seraya
terbang dalam kerinduan dan berteriak di setiap waktu: Teman!...Teman!
Bagaimanapun, kelemahan dan ketidakberdayaanku di malam- malam pengasingan yang panjang, menyedihkan, pekat, penuh perpisahan telah menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada tangga rahmat Ilahi sekaligus menjadi penolong di sisi-Nya. Sampai-sampai aku terheran-heran. Karena beberapa hari kemudian aku bisa melarikan diri dan menempuh perjalanan, secara tak terduga, sejauh berjalan kaki selama satu tahun lamanya. Sementara aku sendiri tak bisa berbahasa Rusia. Aku terbebas dari penawanan dengan cara yang sungguh aneh berkat pertolongan Tuhan kepadaku berdasarkan pada kelemahan dan ketidakberdayaanku. Aku sampai di Istanbul dengan melewati kota Warsawa(*[10])dan Wina(*[11]). Demikianlah, aku berhasil keluar dari penawanan itu dengan sangat mudah sehingga mengejut- kan banyak orang. Aku bisa melewati perjalanan dan pelarian panjang tersebut dengan sangat gampang, padahal orang yang paling berani, paling cerdas, dan bisa berbahasa Rusia sekalipun belum tentu mampu melakukannya.
Namun begitu, kondisiku pada malam ketika berada di Masjid dekat Sungai Volga telah membuat aku mengambil keputusan berikut:“Aku akan menghabiskan sisa umurku di goa-goa. Aku sudah cukup banyak ikut campur dalam urusan kehidupan sosial manusia. Karena akhir perjalanan seluruh manusia adalah masuk ke dalam kubur sendirian, maka aku harus memilih untuk menyendiri dan beruzlah dari sekarang agar terbiasa.”
Akan tetapi sayang sekali, orang-orang yang kucintai di Istanbul, kehidupan sosial yang menyenangkan dan gemerlap, serta penghargaan dan penghormatan yang diberikan orang-orang sempat membuatku lupa terhadap apa yang sudah kuputuskan sebelumnya. Seolah-olah malam keterasingan itu seperti hitam mata (pupil) kehidupanku yang bisa melihat, sementara siang yang menyenangkan di kota Istanbul seperti putih mata (sklera) kehidupanku yang tidak bisa melihat. Mata tersebut tak bisa melihat hal yang jauh. Bahkan untuk kedua kalinya ia tercampak dalam tidur yang lelap hingga dua tahun kemudian datanglah syekh Abdul Qadir al-Jailani membukakan mata tersebut lewat bukunya “Futûh al-Ghaib”.
Demikianlah wahai para lansia, ketahuilah bahwa kelemahan dan ketidakberdayaan yang ada di balik kerentaan tidak lain merupakan sarana untuk menuju permata rahmat Ilahi dan penyebab datangnya pertolongan Tuhan. Sebagaimana aku menyaksikan hal itu dalam berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupanku, begitu juga manifestasi rahmat-Nya di permukaan bumi ini juga menun- jukkan hakikat ini dengan sangat jelas. Hewan yang paling lemah dan tak berdaya adalah yang masih kecil. Namun ternyata rahmat Allah yang paling lembut dan indah justru terwujud di dalamnya. Ketidakberdayaan anak burung yang tinggal di sangkar di atas pohon yang tinggi membuat sang induk mau melayaninya seolah-olah prajurit yang siap menunggu perintah. Sang induk itupun berkeliling di sekitar tanaman hijau guna mendapatkan rezeki yang banyak untuk anaknya yang masih kecil. Namun manakala sang anak mulai kuatseiring dengan pertumbuhan sayap dan fisiknya—sang induk berkata padanya, “Sekarang engkau harus mencari makanan sendiri”. Setelah itu, ia tidak lagi melayaninya.
Sebagaimana kasih sayang Allah tampak sedemikian rupa pada mereka yang masih kecil, ia juga tampak pada para makhlukNya yang sudah lanjut usia karena dilihat dari segi kepapaan sama seperti anak kecil. Pengalaman yang meyakinkan menunjukkan bahwa rezeki anak-anak kecil datang karena kelemahan mereka. Ia dikirimkan oleh rahmat Ilahi dengan cara yang luar biasa lewat cairan yang memancar dan mengalir dari puting susu ibu. Demikian pula dengan para lansia yang mukmin yang terpelihara dari dosa. Rezeki mereka dikirimkan berkat rahmat-Nya dalam bentuk keberkahan. Tiang dan pilar keberkahan tersebut, di rumah mana pun, tidak lain terletak pada para lansia itu. Yang menjaga rumah tersebut dari berbagai musibah dan bencana adalah para lansia yang senantiasa bersujud memakmurkannya. Hal ini ditegaskan oleh hadis yang berbunyi, “Kalau bukan karena para lansia yang selalu rukuk, pastilah musibah itu menimpa kalian.”(*[12])
Jadi, selama kelemahan dan ketidakberdayaan yang terdapat pada kerentaan menjadi sebab bagi datangnya rahmat Tuhan yang luas. Al-Qur’an al-Karim menyerukan kepada para anak untuk menghormati dan mengasihi orang tua dalam lima hal, dengan gaya bahasa yang sangat singkat, dalam firman Allah berikut: “Bila salah seorang di antara keduanya atau mungkin keduaduanya telah mencapai usia senja, jangan sampai kamu mengatakan, ah! Dan jangan membentak keduanya. Berkata-katalah kepada kedua- nya dengan ungkapan yang sopan santun. Juga rendahkan dirimu terhadap keduanya dengan rasa sayang, serta berdoalah, Berilah rahmat pada keduanya sebagaimana keduanya telah memeliharaku semasa kecil.” (QS. al-Isra [17]: 23-24). Karena Islam menyuruh untuk menghormati dan mengasihi para lansia dan fitrah manusia juga menuntut mereka untuk menghormati dan mengasihi para lansia, maka kita sebagai para lansia juga tidak boleh menukar kerentaan kita dengan seratus masa muda.
Sebab, dengan kerentaan tersebut kita bisa merasakan berbagai kenikmatan jiwa yang layak sebagai ganti dari kenikmatan materill yang bersumber dari gelora muda. Kita bisa mendapatkan kasih sayang yang bersumber dari karunia Ilahi serta penghormatan dan penghargaan yang bersumber dari fitrah manusia.Ya, kujelaskan pada kalian bahwa seandainya aku diberi sepuluh tahun dari usia muda “Said Lama”, aku takkan menukarnya dengan satu tahun usia tua “Said Baru”. Aku rela menerima kerentaanku ini. Karena itu, terimalah kerentaan kalian semua dengan penuh kerelaan.
Harapan Kesepuluh
Ketika aku kembali dari penawanan, aku kembali tercampak pada kelalaian selama dua tahun tinggal di Istanbul. Situasi dan kon- disi politik ketika itu telah menyita perhatianku hingga membuat lupa diri dan sekaligus membuat pikiranku gamang. Manakala pada suatu hari aku duduk di pekuburan Abu Ayyub al-Anshari d di atas bukit yang tinggi, dekat lembah yang dalam, sembari menatap cakrawala di sekitar Istanbul, tiba-tiba aku melihat duniaku hampir mati. Bahkan sempat terlintas dalam khayalanku seolah-olah roh ini terlepas dari sebagian jasadku. Aku pun bertanya-tanya, “Apakah tulisan yang terdapat di kuburan ini yang membuatku berkhayal semacam ini?” Kutatap kuburan itu dalam-dalam hingga ia pun membisiki hatiku dengan ucapan sebagai berikut,
“Kuburan yang mengelilingimu ini bisa mencakup seratus kali penduduk Istanbul. Karena itu, engkau pun tidak akan dikecualikan dari hukum Tuhan Yang Mahakuasa untuk menempatkan semua penduduknya di tempat ini. Engkau pasti akan pergi seperti mereka.”
Lalu kutinggalkan pekuburan tersebut se- mentara khayalan yang menakutkan tadi terus berada dalam benak- ku. Aku masuk ke ruang kecil di Masjid Jami Abu Ayyub al-Anshari d yang sebelumnya sering kukunjungi. Aku terus merenungkan diriku, “Sesungguhnya aku ini hanyalah tamu! Ya, tamu dilihat dari tiga aspek. Aku merupakan tamu di ruang kecil ini, juga tamu di kota Istanbul, bahkan tamu di dunia ini. Setiap musafir harus memikirkan jalan yang akan dilaluinya.” “Ya, sebagaimana aku akan keluar dan meninggalkan ruangan ini, pada suatu hari aku juga akan meninggalkan Istanbul dan akan meninggalkan dunia.”
Dalam keadaan seperti ini, kesedihan dan ke- pedihan yang sangat memilukan dan penuh perpisahan membanjiri kalbu dan kepalaku. Sebab, aku tidak hanya akan kehilangan dua orang sahabat. Tetapi juga akan kehilangan ribuan orang sahabat yang kucintai di Istanbul sekaligus aku akan meninggalkan kota Istanbul yang sangat kucintai. Sebagaimana aku akan berpisah dengan ribuan sahabat di dunia, begitu juga aku akan berpisah dengan dunia yang indah dan sangat kucintai.
Aku kembali pergi ke dataran yang agak tinggi di pekuburan tadi. Penduduk Istanbul tampak di hadapanku seperti rombongan jenazah yang berdiri sambil berjalan seperti mereka yang sudah mati tetapi orang-orangnya masih tampak di film-film bioskop. Aku ka- dang-kadang mengunjungi bioskop untuk mengambil pelajaran. Saat itu khayalanku berkata, “Selama sekumpulan orang yang tidur di pekuburan ini bisa tampak dalam film-film bioskop, perhatikanlah bahwa mereka yang masih hidup juga pasti akan masuk ke dalam kuburan ini. Bayangkan pula bagaimana mereka masuk ke dalamnya sejak sekarang.”
Saat berada dalam situasi demikian, tiba-tiba pancaran cahaya al-Qur’an dan petunjuk yang berasal dari syekh Abdul Qadir al- Jailani mengubah kondisi yang menyakitkan tadi menjadi sebuah kondisi yang menyenangkan dan menggembirakan. Sebab, cahaya yang datang dari al-Qur’an itu mengingatkanku pada hal berikut:
“Engkau mempunyai seorang atau dua orang teman dari para panglima yang tertawan di Kosturma, timur laut Rusia. Engkau juga mengetahui secara pasti bahwa mereka akan kembali ke Istanbul. Seandainya salah seorang dari mereka memberikan pilihan kepada- mu, “Apakah engkau akan pergi ke Istanbul atau tetap tinggal di sini?” Tentu engkau akan memilih untuk pergi ke Istanbul dengan penuh suka cita. Sebab, 999 dari seribu orang yang kaucintai saat ini berada di Istanbul. Adapun di sini, paling hanya dua atau tiga orang. Mereka pun juga akan pulang ke Istanbul. Dengan demikian, kepergianmu ke Istanbul bagimu bukan merupakan perpisahan yang menyedihkan dan bukan pula kepergian yang menyakitkan. Dan sekarang engkau sudah mengunjunginya, bukankah engkau senang? Engkau telah selamat dari negeri musuh, dari gelap malamnya yang pekat, dan dari musim dinginnya yang begitu hebat. Engkau mendatangi Istanbul yang ceria dan indah seolah-olah ia merupakan surga dunia.
Demikian pula, sebagian besar orang yang kau cintai dari semenjak kau kecil hingga sekarang telah pergi ke kubur yang memberikan kedahsyatan kepadamu. Yang masih tersisa di dunia hanya satu atau dua orang. Namun demikian, merekapun akan pergi ke sana pula. Jadi, kematianmu di dunia ini sebetulnya bukan merupakan perpisahan. Tetapi justru merupakan sebuah bentuk pertemuan dengan para kekasih yang mulia. Ya, mereka, yaitu roh-roh yang kekal itu telah meninggalkan tempat mereka di bawah tanah. Sebagian mereka pergi menuju bintang-gemintang, sementara sebagian lagi berada di berbagai tingkatan alam barzakh.
al-Qur’an al-Karim dan keimanan telah membuktikan hakikat ini secara tegas bahwa orang yang masih memiliki kalbu dan roh, serta tidak terjerumus dalam kesesatan pastilah membenarkan hal tersebut seolah-olah menyaksikannya. Sebab, Sang Pencipta yang Maha- mulia dan Maha Penyayang yang telah menghias dunia dengan segala kelembutan-Nya dan karunia-Nya yang tak terhingga, menunjukkan Rububiyah-Nya dengan kasih sayang dan menjaga sesuatu yang sekecil apa pun seperti benih, tentu dan pasti Dia tidak akan membina- sakan dan menyia-nyiakan manusia yang merupakan makhluk-Nya yang paling sempurna, paling mulia, paling komprehensif, paling penting, dan paling dicintai-Nya. Dia tidak akan melenyapkan sama sekali tanpa diberi rahmat atau balasan sebagaimana hal itu tampak secara lahiriah. Tetapi Sang Pencipta Yang Maha Pengasih meletakkan manusia di bawah tanah yang merupakan pintu menuju rahmat untuk kemudian diberi buahnya di kehidupan lain seperti petani yang menanam benih di dalam tanah.(*[13])
Setelah aku menerima petunjuk al-Qur’an tersebut, kubur itupun berubah menjadi tempat yang lebih menyenangkan daripada Istanbul. Menyendiri dan beruzlah bagiku lebih nikmat ketimbang bergaul dengan masyarakat. Aku menemukan tempat beruzlah di Sariyer, di dekat Bosphorus. Selain itu, syekh Abdul Qadir al-Jailani menjadi guru, penyembuh, dan pembimbingku lewat bukunya yang berjudul “Futûh al-Ghaib”. Demikian pula Imam Rabbani lewat bukunya “Maktûbât. Aku menjadi sangat rela dengan keren- taanku, keterasinganku dari peradaban manusia yang kenikmatannya yang palsu, dan ketidakterlibatan diriku dalam kehidupan sosial. Aku sangat bersyukur kepada Allah atas itu semua.
Wahai yang tengah memasuki usia senja sepertiku, wahai yang sedang mengingat mati akibat kerentaan! Kita harus rela menerima kerentaan, kematian, dan penyakit lewat cahaya iman yang berasal dari al-Qur’an, bahkan dari satu sisi mencintainya. Selama dalam diri kita ada iman sebagai nikmat yang terbesar, maka kerentaan adalah sesuatu yang baik, demikian pula dengan penyakit dan kematian. Yang buruk adalah dosa, kebodohan, bid’ah, dan kesesatan.
Harapan Kesebelas
Ketika kembali dari penawanan, aku tinggal bersama keponakanku, Abdurrahman(*[14])di sebuah rumah besar yang terletak di puncak Çamlica, Istanbul. Kehidupanku pada saat itu begitu indah dan ideal jika dilihat dari sisi duniawi. Sebab, aku telah berhasil lepas dari penawanan di samping berbagai sarana penyebaran ilmu terbuka bagiku di Darul Hikmah al-lslamiyah.(*[15]) Hal itu sangat sesuai de- ngan profesi ilmiahku. Sehingga aku pun memperoleh kemasyhuran, popularitas, dan penghargaan yang luar biasa. Di samping itu, aku tinggal di tempat yang paling indah di Istanbul. Segala sesuatu yang kumiliki sempurna. Aku bersama keponakanku, almarhum Abdurrahman yang sangat cerdas dan rela berkorban. Ia juga merupakan murid setia sekaligus pelayan dan sekretarisku. Sampai-sampai aku menganggapnya sebagai anakku sendiri.
Ketika merasa sebagai orang yang paling bahagia di dunia, aku kemudian melihat cermin. Kusaksikan beberapa helai rambut yang sudah memutih di kepala dan jenggotku. Segera saja kegelisahan jiwa yang pernah kurasakan ketika berada di Masjid Jami Kosturma kem- bali muncul. Kutatap cermin itu terus-menerus dan kurenungkan kondisiku saat itu yang terasa begitu menyenangkan dan membahagiakan. Setiap kali aku merenungkan kondisi dan fasilitas yang ada, kusadari bahwa semuanya merupakan tipuan belaka di mana kita tidak boleh terikat dengannya. Selain itu, pada saat tersebut aku menyaksikan ketidaksetiaan yang tak disangka-sangka dan ketidakpatu- han yang tak bisa dibayangkan pada temanku yang kuanggap paling setia. Sehingga aku muak terhadap dunia. Kukatakan pada kalbuku: Apakah aku benar-benar telah tertipu? Kulihat orang-orang melihat kehidupan kita yang sebetulnya perlu diratapi dengan pan- dangan iri. Apakah semua orang itu telah gila? Ataukah aku yang sedang menuju kepada gila karena melihat mereka telah tertipu oleh dunia?
Bagaimanapun, goncangan jiwa yang begitu dahsyat akibat ke- rentaan telah membuatku pertama-tama menyadari fananya segala sesuatu yang terkait denganku. Kemudian aku menengok pada diriku sendiri. Kusaksikan ia sudah sangat tidak berdaya. Saat itulah jiwaku meronta ingin kekal. Ia telah terikat pada segala sesuatu yang fana yang sebelumnya dikira kekal. Relung hatinya yang paling dalam berteriak, “Kalau ternyata tubuhku fana, apa yang bisa kuharapkan dari semua yang fana ini? Kalau aku tak berdaya, apa yang kuharap- kan dari sesuatu yang tak berdaya?” Aku perlu Dzat Yang Mahakekal Yang Mahakuasa dan Azali yang bisa mengobati penyakitku. Aku pun kemudian mencari dan mencari.
Aku kembali mengingat ilmu yang dulu pernah kudapatkan. Di dalamnya aku berusaha memperoleh pelipur lara dan harapan. Namun sayang sekali sampai saat itu aku banyak bergelut dengan ilmu-ilmu filsafat bersama ilmu agama. Kusangka ilmu-ilmu filsafat tersebut merupakan sumber kemajuan, kesempurnaan, puncak kebudayaan, dan pencerahan pemikiran. Padahal, berbagai persoalan filsafat itulah yang justru telah banyak mengotori jiwaku. Bahkan ia telah menjadi penghalang bagi kemajuan maknawi.
Ya, ketika aku berada dalam kondisi tersebut, tiba-tiba hikmah al-Qur’an yang suci menolongku sebagai rahmat, karunia, dan anugerah dari Tuhan yang Maha Esa dan Kuasa. Ia membersihkan berbagai karat yang terdapat pada permasalahan filsafat sekaligus membersihkan jiwaku darinya sebagaimana telah dijelaskan dalam banyak risalah.
Sebab, kegelapan yang bersumber dari ilmu filsafat telah menenggelamkan dan membenamkan jiwaku. Setiap kali kuarahkan pandanganku pada persoalan filsafat, tidak pernah kutemukan ca- haya. Aku tidak pernah bisa bernafas dan merasa lapang hingga datang cahaya tauhid yang bersumber dari al-Qur’an yang mengajarkan tiada Tuhan selain Dia. Cahaya itulah yang merobek kegelapan itu. Seketika dadaku menjadi lapang dan bisa bernafas dengan lega dan tenang. Namun nafsu dan setan menyerang akal dan kalbu dengan hebat. Yaitu lewat berbagai pengajaran kaum yang sesat dan para ahli filsafat. Mulailah terjadi perdebatan jiwa di seputar serangan tersebut yang alhamdulillah kemudian berakhir dengan kemenangan kalbu.
Karena sebagian perdebatan tersebut telah tertuang dalam sebagian besar risalah, maka kami rasa telah cukup. Di sini kami akan menjelaskan sebuah argumen saja dari ribuan argumen yang ada untuk menjelaskan kemenangan kalbu atas nafsu dan setan. Agar membersihkan jiwa orang-orang yang telah mengotori jiwa mereka, menyengsarakan kalbu mereka, dan menyakiti diri mereka hingga melampaui batas, kadang dengan kesesatan dan kadangkala pula de- ngan sesuatu yang tak bermanfaat yang dibungkus pengetahuan luar dan peradaban. Sehingga atas izin Allah, mereka bisa selamat dari kejahatan nafsu dan setan. Dialog tersebut adalah sebagai berikut:
Nafsuku berkata atas nama filsafat materialisme, “Segala sesua- tu yang terdapat di alam berpengaruh kepada yang lainnya. Segala sesuatu sebetulnya mengarah kepada sebab sekaligus berasal dari sebab. Buah terambil dari pohon. Benih membutuhkan tanah. Ka- lau begitu, apa arti meminta sesuatu yang paling kecil dari Allah dan memohon kepada-Nya?”
Lewat cahaya al-Qur’an, segera saja rahasia tauhid tersingkap dalam bentuk berikut ini:
Kalbuku menjawab nafsu yang berfilsafat tadi dengan berkata, “Entitas yang paling kecil sama dengan yang paling besar. Semuanya bersumber secara langsung dari kekuasaan Tuhan Yang Maha Men- cipta dan muncul dari kekayaan-Nya. Sama sekali tidak ada bentuk yang lain. Adapun sebab, ia hanya merupakan tirai. Sebab, makhluk yang paling kecil dan paling sepele menurut kita bisa jadi merupakan makhluk yang paling besar dan agung dilihat dari sisi penciptaan, pembuatan, dan kesempurnaannya. Lalat misalnya, meskipun dari segi penciptaan, ia tidak lebih unggul daripada ayam, tapi ia tidak kalah darinya. Karena itu, kita tidak bisa membandingkan antara tubuh yang kecil dan yang besar. Selanjutnya, penciptaan semua makhluk, baik yang kecil maupun yang besar, bisa dinisbatkan ke- pada sebab-sebab materi atau dinisbatkan kepada Dzat Yang Maha Esa. Karena yang pertama sangat mustahil, maka kemungkinan yang kedualah yang harus diyakini sekaligus menjadi sebuah keniscayaan.
Alasannya, selama pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu, selama ukuran segala sesuatu ada dalam pengetahuan Allah, selama semua ciptaan yang begitu menakjubkan dan rapi muncul dengan sangat mudah ke alam nyata dari yang tadinya tiada, selama Sang Mahakuasa Yang Maha Mengetahui itu memiliki kekuatan mutlak di mana Dia bisa menghadirkan segala sesuatu hanya lewat perin- tah kun fayakun serta dengan sekejap mata sebagaimana hal itu telah kami terangkan dalam banyak risalah berikut berbagai bukti yang meyakinkan, terutama dalam “Surat Kedua Puluh” dan dalam penu- tup “Cahaya Kedua Puluh Tiga”, maka proses penciptaan yang sangat mudah dan luar biasa itu pastilah berasal dari pengetahuan-Nya yang luas dan dari kekuasaan mutlak-Nya yang begitu hebat.
Sebagai contoh, jika engkau menggesekkan bahan kimia tertentu di atas sebuah buku yang ditulis dengan tinta kimiawi yang tak terbaca, maka uku tadi akan tampak secara jelas hingga bisa dibaca oleh semua orang. Demikian pula ukuran dan bentuk spesifik segala sesuatu ada dalam pengetahuan Allah. Maka Dia goreskan kekuatan- Nya yang merupakan manifestasi kekuasaan-Nya secara sangat mudah sebagaimana pengbgesekan materi kimia tadi di atas bahan yang berisi substansi ilmiah. Dia menggoreskannya lewat perintah kun fayakun, lewat kekuasaan-Nya yang mutlak, serta lewat kehendak-Nya yang kuat. Dengan demikian, Allah memberikan wujud lahiriah padanya sekaligus memperlihatkannya pada seluruh makhluk sehingga goresan-goresan hikmah-Nya bisa terbaca.
Namun apabila proses penciptaan tersebut tidak langsung dinisbatkan kepada Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Berkuasa, maka penciptaan makhluk yang paling kecil seperti lalat mengharuskan terkumpulnya seluruh unsur yang terkait dengan lalat yang sesuai dengan ukurannya. Bahkan setiap atom yang bekerja di tubuh lalat harus betul-betul mengetahui rahasia penciptaan lalat berikut hikmah keberadaannya. Karena atom-atom tersebut harus bisa mewujudkannya dalam bentuk yang sangat rapi dan teliti.
Ketika sebab-sebab materi atau alam tidak bisa menciptakan sesuatu dari tiada seperti telah disepakati oleh mereka yang berakal, maka kalaupun sebab-sebab tersebut bisa mencipta, hal itu baru bisa dilakukan kalau ia bisa mengumpulkan unsur-unsurnya. Nah, karena unsur-unsur makhluk hidup terdiri dari sebagian besar unsur alam di mana ia seolah-olah merupakan abstraksi dan benih alam, maka semua benih dan semua unsur makhluk hidup tersebut harus dikumpulkan dari seluruh pelosok alam.
Yaitu setelah disaring, ditata, dan diukur secara detil dan rapi sesuai dengan ukurannya masing-mas- ing. Seperti yang kita ketahui bersama, sebab-sebab materi atau alam adalah bodoh dan tak bernyawa. Maka dari itu, ia sama sekali tak mempunyai pengetahuan untuk menetapkan sebuah rencana, mengatur sebuah sistem, menyusun sebuah daftar, serta untuk bekerjasama dengan berbagai atom sesuai dengan cetakan yang ada agar bisa selaras dan tidak cacat. Karena itu, pemberian bentuk tertentu dari beragam bentuk yang tak terhingga serta penyusunan sesuatu dengan ukuran tertentu dari berbagai ukuran yang tak terbatas tanpa merusak atom dari setiap unsur yang mengalir dengan sangat teratur, lalu proses pembentukan secara seimbang, dan pemberian wujud yang sangat rapi, semua itu jelas merupakan sesuatu yang mustahil, bahkan berada di luar jangkauan akal. Orang yang masih waras pasti akan melihatnya dengan sangat terang.
Ya, sebagai penjelasan atas hal ini, al-Qur’an mengatakan:“Sesungguhnya yang kalian sembah selain Allah tidak dapat membuat satu lalat meskipun mereka semua bersatu-padu.” (QS. al- Hajj [22]: 73). Maksudnya, meskipun semua sebab bersatu-padu dan mereka memiliki kehendak, tidak akan bisa mengumpulkan dan menyusun tubuh sebuah lalat berikut segala perangkatnya sesuai dengan ukurannya. Bahkan kalaupun semua sebab tadi diberi kehendak dan bisa membentuk sebuah tubuh lalat, ia tetap tak bisa menetapkannya dengan ukuran tertentu. Atau kalaupun bisa, ia takkan mampu meng- gerakkan atom-atom yang ada secara teratur menuju kepada entitas itu guna bekerja di dalamnya. Jadi, jelas sekali bahwa sebab-sebab materi takkan bisa menguasai entitas sama sekali. Tetapi yang menguasainya adalah unsur di luar sebab.
Ya, seluruh entitas memiliki Penguasa yang hakiki. Dialah yang menghidupkan segala sesuatu di atas permukaan bumi dengan mu- dah sebagaimana menciptakan seekor lalat. Dia juga menciptakan musim semi secara mudah seperti mudahnya penciptaan sebuah bunga. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh al-Qur’an:“Penciptaan dan pembangkitan kalian sama seperti mencipta dan membangkitkan satu seorang.” (QS. Luqman [31]: 28). Sebab, Dia tidak membutuhkan proses penyatuan atau peng- gabungan. Cukup bagi-Nya untuk mengatakan kun, maka jadilah dengan seketika. Pada setiap musim semi Dia ciptakan berbagai kondisi setiap entitas, berikut sifat dan bentuknya, dari tiada. Rancangan, model, daftar, dan rencana segala sesuatu sudah ditentukan dalam pengetahuan Allah . Juga, semua atom tidak bergerak melainkan di bawah wilayah pengetahuan dan kekua- saan-Nya. Karena itu, Dia mampu menciptakan dan menghadirkan segala sesuatu dengan sekejap mata dan mudah. Sedikit pun tidak ada yang menyimpang dari gerakannya yang sudah digariskan. Sebagaimana planet-planet merupakan pasukan rapi yang taat kepada-Nya, atom-atom pun menjadi tentara yang patuh kepada-Nya.
Karena segala sesuatu bergerak berdasarkan pada kekuasaan azali Tuhan serta bekerja sesuai dengan pengetahuan azali-Nya, maka hasil-hasilnya terwujud sesuai dengan kekuasaan tersebut.Ia tidak menjadi kecil karena pandangan yang meremehkan serta tidak pula terabaikan karena tidak diperhatikan. Sebab, lalat yang dinisbatkan kepada kekuasaan-Nya bisa menghancurkan seorang Namrud dan semut bisa membinasakan istana Firaun. Benih pinus yang sangat kecil membawa beban pohon pinus yang sangat besar seperti gunung di pundaknya. Sebagaimana hakikat ini telah kami tegaskan dalam berbagai risalah, di sini kami juga ingin menga- takan bahwa seorang prajurit yang menisbatkan diri kepada raja bisa melakukan tugas-tugas yang seribu kali di atas kemampuan biasanya. Misalnya, dengan adanya hubungan tadi ia bisa menahan pemimpin musuh. Demikian pula setiap sesuatu yang bernisbat kepada kekua- saan Tuhan bisa menghasilkan mukjizat penciptaan yang ratusan ribu kali melebihi sebab-sebab alam.
Kesimpulan Proses penciptaan segala sesuatu yang mengagumkan dan berlangsung secara sangat mudah memperlihatkan bahwa hal itu karya kekuasaan azali Tuhan yang memiliki pengetahuan yang meliputi segala sesuatu. Jika tidak karena itu, sungguh ia mustahil tercipta. Bahkan ia tidak mungkin ada dan tidak akan ada.
Demikianlah, bukti dan dalil tersebut sangat kuat, sangat mendalam, dan sangat jelas. Ia telah memuaskan nafsuku yang sebelumnya sempat menjadi murid setan serta wakil kaum yang sesat dan ahli filsafat. Dari sana diriku kemudian mempunyai keimanan yang mantap, ia berkata,
“Ya, sudah semestinya aku memiliki Tuhan Pencipta yang mengetahui dan mendengar berbagai lintasan kalbu berikut harapan dan doaku yang tersembunyi. Tuhan tersebut mestilah memiliki kekuasaan mutlak sehingga Dia mampu menolong kebutuhan jiwaku yang tak tampak dan juga mampu menggantikan dunia yang besar ini dengan dunia lainnya agar aku bisa merasakan kebahagiaan abadi. Dia bangun negeri akhirat setelah dunia diangkat. Sebagaimana telah menciptakan seekor lalat, Dia pun menciptakan langit. Sebagaimana telah menghiasi wajah langit dengan matahari, Dia pun membuat sebuah biji sebagai hiasan pada pupil mataku. Jika tidak, Dzat yang tak mampu menciptakan seekor lalat, tak mungkin bisa masuk ke dalam lintasan kalbuku dan tidak akan mendengar munajat jiwaku. Serta Dzat yang tidak mampu menciptakan langit, tidak akan bisa memberikan kebahagiaan abadi. Jadi, Tuhanku adalah Dzat yang bisa mendengar bahkan bisa memperbaiki lintasan kalbuku. Sebagaimana Dia memenuhi angkasa dengan awan sekaligus mengosongkannya darinya selama sesaat, Dia juga akan menggantikan dunia ini dengan akhirat serta akan memakmurkan surga dan membukakan pintu-pintunya kepadaku dengan berkata, “Marilah masuk!”
Karena itu, wahai saudara-saudaraku para lansia! Wahai yang telah melewatkan sebagian dari umurnya dengan keburukan dan kemalangan seperti diriku dengan menggeluti berbagai ilmu asing dan filsafat yang gelap! Ketahuilah bahwa kalimat lailaha illallah (Tiada Tuhan selain Allah) yang senantinsa didengung-dengungkan oleh al- Qur’an merupakan pilar keimanan yang tak pernah goyah dan tak pernah berubah selamanya. Ia begitu kuat dan benar. Ia melenyapkan semua kegelapan dan ia membalut semua luka-luka jiwa.
Demikianlah. Rangkaian peristiwa panjang yang muncul dalam pembicaraan mengenai harapan dan asa bagi masa tuaku ini bukan merupakan hasil ikhtiarku. Bahkan aku sendiri tidak ingin mengangkat hal tersebut di sini karena khawatir membosankan. Namun aku bisa mengatakan bahwa semuanya seolah-olah telah didiktekan kepadaku. Namun bagaimanapun marilah kita kembali ke tema semula.
Ya, begitulah aku mulai membenci kehidupan menyenangkan di Istanbul yang secara lahiriah nikmat akibat uban-uban yang muncul di kepala dan jenggotku. Serta setelah tidak adanya kesetiaan dari teman tulusku. Ketika itulah diriku mulai mencari kesenangan jiwa sebagai ganti dari berbagai kenikmatan yang kurasakan. Kucari peng- hibur dan cahaya dalam kerentaan yang tampak berat, menggelisah- kan, dan menyebalkan bagi mereka yang lalai. Alhamdulillah beribu-ribu syukur kucapkan pada-Nya yang telah memberikan taufik kepadaku untuk merasakan kenikmatan iman yang hakiki dan abadi pada kalimat la ilaha illallah dan pada cahaya tauhid sebagai ganti dari berbagai kesenangan duniawi yang tidak hakiki, tidak nikmat, dan tidak memberikan kebaikan di penghabisannya. Segala puji bagi-Nya yang memberikan taufik kepadaku untuk memasuki usia renta dengan perasaan ringan di mana aku bisa menikmati kehangatan dan cahayanya, bukan sebagai beban seperti anggapan kaum yang lalai.
Ya, wahai saudara-saudaraku para lansia! Selama kalian memiliki iman, selama pada diri kalian ada sholat dan doa, dua hal yang bisa mencerahkan bahkan menumbuhkan dan mengkilapkan iman, maka kalian bisa melihat kerentaan kalian dalam kondisi yang senantiasa muda karena dengan itu kalian menjadi muda untuk selama- nya. Sebab, masa tua yang terasa berat dan memuakkan, bahkan terasa gelap dan menyakitkan adalah masa tua milik kaum yang sesat, bahkan masa muda merekapun sama. Karena itu hendaknya mereka menangis dan meratapinya sekaligus berujar, “Aduh betapa malang- nya!” Adapun kalian wahai para lansia yang terhormat! Kalian harus bersyukur kepada Tuhan dengan penuh kebahagiaan dan kesenangan seraya berkata, “Segala puji bagi Allah atas setiap kondisi yang ada.”
Harapan Kedua Belas
Ketika hidup sendirian tanpa ada yang menolong di Barla, sebuah daerah di wilayah Isparta, aku disingkirkan dan dilarang berinteraksi dengan manusia. Bahkan aku dilarang melakukan surat-menyurat dengan siapa pun. Ditambah lagi ketika itu aku sedang sakit, sudah memasuki usia tua, dan terasing. Saat merasa gundah dan sedih dengan kondisi-kondisi tadi, tiba-tiba cahaya penghibur muncul dari rahasia-rahasia dan tema-tema al-Qur’an. Lewat hal itu, Allah bermurah hati kepadaku dengan memberikan rahmat-Nya yang sempurna dan luas. Maka, dengan cahaya itu pun aku berusa- ha untuk melupakan kondisi yang buruk dan menyedihkan tersebut. Hingga akhirnya aku bisa melupakan kampungku, melupakan orang- orang yang kucintai, serta melupakan para kerabatku.Namun malangnya, ada satu orang dari mereka yang tak bisa kulupakan sama sekali. Yaitu keponakanku, orang yang kuanggap sebagai anakku, murid setiaku sekaligus temanku yang pemberani. Ia adalah Abdurrahman—semoga Allah merahmatinya—yang telah meninggalkanku sekitar tujuh tahun yang lalu. Aku tidak mengeta- hui keadaannya sekarang padahal aku ingin berkirim surat kepadanya, berbicara dengannya, dan ingin agar ia bisa ikut merasakan pen- deritaan yang ada. Sebaliknya, ia juga tidak mengetahui keadaanku sehingga tidak bisa membantu dan menghiburku. Ya, terutama pada saat renta seperti ini, aku sangat membutuhkan orang seperti Abdurrahman, sosok yang benar-benar setia kepadaku.
Pada suatu hari dan secara tak terduga, ada seseorang yang memberikan sebuah surat kepadaku. Ketika dibuka, surat tersebut benar-benar menunjukkan sosok Abdurrahman. Sebagian isi surat itu telah dipaparkan dalam beberapa paragraf dalam “Surat Kedua Puluh Tujuh” di mana ia memperlihatkan adanya tiga karamah se- cara jelas. Surat tadi betul-betul telah membuatku selalu menangis. Dalam surat tersebut, dengan sangat jujur dan sungguh-sungguh Abdurrahman menjelaskan bahwa ia telah menjauhkan diri dari berbagai kesenangan duniawi, yang menjadi impian utamanya adalah bertemu denganku agar bisa merawatku di masa tua ini seperti yang kulakukan padanya disaat ia masih kecil. Selain itu, dengan tulisan- nya yang mengalir lancar, ia ingin membantu tugasku yang hakiki di dunia. Yaitu menyebarluaskan berbagai rahasia al-Qur’an al-Karim. Sampai-sampai ia berkata dalam suratnya, “Kirimkan padaku sekitar tiga puluh risalah agar bisa kutuliskan dan bisa kusalin dalam tiga puluh salinan.”
Surat tersebut memberikan harapan yang kuat terhadap dunia. Dalam hati aku berkata, “Sekarang aku sudah menemukan murid- ku yang tulus, pemberani, cerdas luar biasa, sangat setia, dan sangat dekat melebihi kesetiaan dan kedekatan seorang anak kepada ayahnya sendiri. Dengan izin Allah, ia akan bisa merawat dan melayaniku. Bahkan dengan adanya harapan ini, aku lupa akan kondisi diriku yang sedang tertawan dan tak punya teman. Aku juga lupa bahwa diriku sedang terasing dan sudah renta. Seolah-olah Abdurrahman telah menulis suratnya dalam kondisi yang benar-benar kuat dan bersinar seraya menunggu ajalnya.
Sebab, ia telah mendapati salinan “Kalimat Kesepuluh” yang sudah tercetak di mana risalah tersebut membahas tentang iman kepada akhirat. Risalah tersebut tentu me- rupakan balsam mujarab baginya karena bisa membalut semua luka yang dideritanya sepanjang tujuh tahun berlalu.Sekitar dua bulan kemudian dari terbesitnya harapan dan keinginan untuk hidup bersama dalam kehidupan dunia yang bahagia, tiba-tiba aku dikejutkan oleh berita kematiannya. Sungguh sangat pedih dan malang. Berita ini sungguh membuatku terpukul. Bahkan selama lima tahun aku masih tetap merasakannya. Berita tersebut membuatku sangat sedih dan pilu melebihi penderitaanku akibat penawanan, pengasingan, kerentaan, dan sakit yang menimpa.Aku bergumam, “Sesungguhnya setengah dari duniaku telah hilang dengan kematian ibuku, sementara setengahnya lagi telah lenyap dengan kepergian Abdurrahman. Karena itu, tidak ada lagi yang mengikatku dengan dunia.” Ya, seandainya Abdurrahman masih bersamaku di dunia, tentu ia akan menjadi sumbu dan poros bagi semua tugas ukhrawiku di dunia, akan menjadi orang terbaik yang mengikuti jejakku, serta akan menggantikan posisiku sesudah kepergianku. Selain itu, ia pasti menjadi temanku yang tulus, bahkan menjadi penghiburku, menjadi murid Risalah Nur yang terpandai, serta menjadi orang kepercayaanku. Maka itu, kepergiannya betul- betul menyakitkan. Meskipun aku berusaha untuk bersikap lapang dalam menerima semua derita yang kualami, namun tetap masih ada badai sangat kuat yang menghantam relung-relung jiwaku.
Andaikata tidak ada penghibur yang berasal dari pancaran cahaya al-Qur’an, tentu aku tidak bisa sabar dan tabah.Aku pun pergi menyusuri lembah Barla. Kukelilingi pegunu- ngannya seorang diri. Lalu aku duduk di tempat yang sepi dan senyap sambil memikul berbagai kerisauan dan penderitaan. Terbayang di hadapanku berbagai potret kehidupan yang indah yang pernah kulalui bersama para muridku seperti Abdurrahman. Setiap kali lembaran kehidupan itu melintas dalam khayalku aku menjadi lemah tak berdaya karena cepat tersentuh akibat dari kerentaan dan kesendirianku.
Namun tiba-tiba tampak di hadapanku rahasia ayat al-Qur’an yang berbunyi:“Segala sesuatu akan binasa kecuali Dzat-Nya. Dialah yang berkuasa dan kepada-Nya kalian dikembalikan.” (QS. al-Qashas [28]: 88). Rahasia ayat tersebut tampak secara jelas sehingga membuatku terus berucap, “Wahai Yang Mahakekal, hanya Engkaulah Yang kekal. Wahai Yang Mahakekal, hanya Engkaulah Yang kekal”. Kujadikan ia sebagai pelipur lara yang hakiki.Ya, kulihat diriku dengan rahasia ayat tadi di hamparan lembah yang kosong itu dalam kondisi sedih. Kulihat ia berdiri di atas tiga jenazah besar sebagaimana telah kusampaikan dalam Risalah tentang Sunnah (Cahaya Kesebelas dari buku al-Lama’ât):
Pertama, kulihat diriku bagaikan batu nisan atas kuburan yang menghimpun lima puluh lima Said yang telah mati dan dikubur di dalam hidupku dan di dalam umurku yang telah mendekati lima puluh lima tahun.
Kedua, kulihat diriku layaknya makhluk yang sangat kecil seperti semut berjalan di atas zaman yang berposisi sebagai saksi atas kuburan bagi jenazah besar umat manusia yang telah dikubur di kuburan masa lalu sejak masa Nabi Adam.
Ketiga, lewat rahasia ayat di atas telah tergambar dalam khayalku kematian dan kemusnahan dunia yang besar ini. Ia mati sebagaimana dunia yang berjalan di atas permukaan bumi ini mati pada setiap tahunnya, serta sebagaimana manusia mati.Begitulah, makna simbolis dari ayat yang berbunyi:“Jika mereka berpaling, ucapkanlah (wahai Muhammad), Cukuplah Allah bagiku, tiada Tuhan selain Dia. Kepadanya aku bertawakkal. Dialah Tuhan Pemelihara arasy yang agung.” (QS. at-Taubah [9]: 129) telah menolong dan membantuku dengan cahaya yang tak pernah padam.
Cahaya itu pun kemudian menghilangkan segala kesedihanku akibat ditinggal Abdurrahman sekaligus menjadi penghibur yang hakiki.
فَاِن۟ تَوَلَّو۟ا فَقُل۟ حَس۟بِىَ اللّٰهُ لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُوَ عَلَي۟هِ تَوَكَّل۟تُ وَهُوَ رَبُّ ال۟عَر۟شِ ال۟عَظٖيمِ
Ya, ayat al-Qur’an tersebut telah mengajarkan kepadaku bahwa karena Allah senantiasa ada, maka Dialah yang menggantikan posisi segala sesuatu. Karena Allah kekal, Dialah yang akan mencukupi kebutuhan para hamba-Nya. Sebab, satu saja dari wujud manifestasi pertolongan Allah menyamai seluruh alam dan salah satu wujud manifestasi cahayanya yang luas memberikan kehidupan bagi tiga jenazah di atas. Ia tidak lagi tampak sebagai jenazah. Tetapi termasuk mereka yang telah menyelesaikan tugas dan kewajibannya di atas bumi ini. Karena itu, mereka pergi dan pindah ke tempat lain.
Karena kami telah menjelaskan rahasia dan hikmah tersebut pada “Cahaya Ketiga”, rasanya aku tidak perlu memberikan penjelasan lebih lanjut. Hanya saja, aku ingin mengatakan:
Bahwa yang telah menyelamatkanku dari keadaan yang begitu pedih dan menyakitkan adalah zikir Yâ Bâqî Anta al-Bâqî... Yâ Bâqî Anta al-Bâqî (Wahai Yang Mahakekal, hanya Engkaulah Yang kekal. Wahai Yang Mahakekal hanya Engkaulah Yang kekal) yang diulang dua kali sebagai pengertian dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:“Segala sesuatu pasti musnah kecuali Dzat-Nya.”Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Ketika aku membaca Yâ Bâqî Anta al-Bâqî pada kali yang pertama, mulailah pengobatan dan pembalutan dilakukan. Ia menyerupai operasi bedah atas luka-luka maknawi yang tak terhingga banyaknya akibat dari fananya dunia berikut orang-orang yang kucintai di dalamnya seperti Abdurrahman. Juga, akibat dari terlepasnya berbagai ikatan yang menghubungkan diriku dengan mereka.
Adapun pada kali yang kedua, ungkapan Yâ Bâqî Anta al-Bâqî, menjadi balsam mujarab bagi semua luka maknawi. Ia merupakan balsam penyembuh baginya. Hal itu bisa terwujud dengan merenungkan pengertian berikut: “Karena Engkau kekal, maka yang ingin pergi silahkan pergi, Engkau pula yang mencukupi. Selama Engkau Kekal maka wujud manifestasi rahmat-Mu sudah mencukupi bagi segala sesuatu yang fana. Selama Engkau ada, maka segala sesuatu yang mengikat hubungan dengan-Mu lewat keimanan juga ada karena keberadaan-Mu. Ia akan bergerak sesuai dengan hubungan tadi lewat rahasia Islam. Kefanaan, kemusnahan, kematian, dan ketiadaan hanyalah merupakan hijab yang menutupi adanya proses pembangkitan kembali. Atau, ia merupakan sarana untuk sebuah perjalanan dalam berbagai tingkat yang berbeda.” Dengan pemikiran semacam ini, maka kon- disi jiwa yang pedih, gelap, dan menakutkan tadi berbalik menuju kepada kondisi yang lapang, nikmat, menyenangkan, bersinar, dan membahagiakan. Seketika lisan dan kalbuku berikut semua partikel dalam tubuh mengucapkan alhamdulillah.
Sebagian dari wujud manifestasi rahmat ilahi itu tampak dalam bentuk berikut:Saat kembali dari tempat kesedihanku di lembah itu menuju kampung Barla dengan duka yang masih ada. Kusaksikan ada seorang pemuda bernama Mustafa yang berasal dari Kuleonu menda- tangiku untuk meminta penjelasan mengenai beberapa persoalan fiqih, wudhu, dan shalat. Meskipun pada saat itu aku sedang tidak menerima tamu, namun jiwaku seolah-olah telah membaca ketulu- san yang terdapat pada jiwa sang pemuda tadi. Sebelum terjadi, aku telah merasakan bahwa pemuda itu nantinya akan memberikan banyak pengabdian kepada Risalah Nur.(*[16])Karena itu, akupun tidak menolaknya dan menerimanya sebagai tamu.(*[17])
Beberapa waktu kemudian tampak dengan jelas bahwa Allah menjadikan pemuda itu sebagai ganti dari Abdurrahman yang merupakan pelanjut terbaikku dan pewaris hakiki dalam mengabdikan diri pada Risalah Nur. Allah telah mengirimkan Mustafa untukku. Seolah-olah Dia berkata, “Aku telah mengambil seorang Abdurrahman darimu dan akan Kugantikan ia dengan tiga puluh Abdurrahman semacam pemuda Mustafa yang mau melaksanakan tugas keagamaan sekaligus akan menjadi muridmu yang setia, keponakanmu yang mulia, anak-anakmu, saudara-saudaramu yang baik, serta teman-temanmu yang rela berkorban.” Ya, alhamdulillah, Tuhan Sang Maha Pencipta telah memberiku tiga puluh Abdurrahman.
Saat itu kukatakan pada kalbuku, “Karena engkau wahai kalbu yang sedang menangis telah menyaksikan hal tersebut di mana ia telah membalut luka-luka yang ada, maka engkau harus merasa lapang dan percaya bahwa Allah akan membalut sisa-sisa luka lainnya yang membuatmu sakit”.
Maka dari itu, wahai saudara-saudaraku yang telah lanjut usia. Wahai yang di saat tuanya kehilangan anak kesayangan atau kehilangan salah satu keluarganya seperti yang kualami. Wahai yang tertekan akibat kerentaan atau sedang risau akibat perpisahan! Kalian telah mengetahui kondisiku. Meskipun ia berkali-kali lipat lebih be- rat dari yang kalian alami, namun ayat al-Qur’an di atas telah membalut, menolong, dan menyembuhkannya dengan izin Allah. Maka, tak diragukan lagi bahwa apotek al-Qur’an yang suci penuh dengan obat bagi setiap penyakit kalian. Jika kalian bisa menelaahnya dengan dilandasi iman, lalu kalian berobat dengan melakukan ibadah, pasti beban kerentaan dan kerisauan yang kalian pikul menjadi ringan.
Begitulah, sebab mengapa pembahasan ini dituliskan dengan panjang lebar adalah karena aku sangat berharap kalian banyak mendoakan Abdurrahman. Janganlah kalian merasa bosan dengan panjangnya tulisan ini. Tujuanku memperlihatkan luka dan penderitaanku dalam bentuk yang pedih dan menyakitkan sehingga kalian ikut bersedih dan bisa jadi itu menambah penderitaan kalian tidak lain adalah untuk menjelaskan keampuhan dan cahaya terang yang terdapat pada balsam al-Qur’an yang suci.
Harapan Ketiga Belas
(*[18])
Dalam bagian ini aku akan membicarakan tentang sekelumit pengalaman hidupku. Aku berharap semoga kalian tidak merasa bosan dan kesal karena agak panjang.
Saat kembali dari penawanan Rusia pada Perang Dunia I, aku tinggal di Istanbul untuk pengabdian keagamaan di Darul Hikmah al-Islamiyyah selama sekitar tiga tahun. Kemudian karena petunjuk al-Qur’an, karena tuntunan dari syekh al-Jailani, serta karena melihat usiaku yang sudah renta, muncul dalam diriku perasaan bosan terha- dap kehidupan yang ada di kota Istanbul dan muncul rasa benci terha- dap kehidupan sosial. Rasa rindu terhadap tanah air yang disebut juga dengan penyakit keterasingan mengantarku untuk pulang kampung. Dalam hati aku berkata, “Karena aku akan meninggal dunia, lebih baik aku meninggal di kampong.” Akhirnya aku pergi ke kota Van.
Di sana, pertama-tama aku pergi mengunjungi madrasahku yang bernama Khor-khor. Kulihat orang-orang Armenia telah membakar madrasah tersebut, sebagaimana mereka juga telah membakar rumah-rumah lainnya yang terdapat di Kota Van saat pendudukan Rusia. Aku kemudian menaiki benteng terkenal di kota Van. Ia berupa bongkahan yang terdiri dari batu-batu karang. Bangunan madrasahku tepat menempel di samping benteng tersebut. Terbayang di wajahku beberapa orang muridku di madrasah tersebut yang merupakan teman dan saudaraku yang hakiki. Aku telah berpisah dengan mereka sekitar tujuh tahun yang lalu. Akibat bencana yang terjadi, sebagian dari mereka telah mati sebagai syuhada hakiki, sementara yang lainnya menjadi syuhada maknawi.
Akhirnya aku tak bisa menahan tangis dan kepiluan. Kunaiki puncak benteng yang setinggi dua menara itu di mana madrasahku berada di bawahnya. Lalu aku duduk di atasnya sambil merenung. Khayalan ini telah membawaku kepada kehidupan delapan tahun yang lalu. Khayalan tersebut terus berkecamuk dalam benakku karena ia begitu kuat sementara tidak ada yang menghalangi atau merintangi kemunculannya. Sebab, ketika itu aku memang sedang sendirian.Aku menyaksikan sebuah perubahan yang sangat besar selama delapan tahun itu sampai-sampai setiap kali aku membuka mata, kulihat waktu telah berlalu dengan berbagai peristiwa di dalamnya. Ku- lihat pusat kota yang mengelilingi madrasahku yang terletak tepat di samping benteng, dari ujung ke ujung telah terbakar dan telah hancur berantakan. Kutatap pemandangan itu dengan tatapan sedih dan pilu. Aku merasakan adanya sebuah keterpisahan total antara apa yang dulu kualami dengan apa yang kulihat sekarang. Seakan-akan seratus tahun telah berlalu atas kota ini. Sebagian besar orang yang menempati rumah-rumah yang hancur itu adalah para teman dan para kolega dekatku. Sebagian dari mereka telah wafat dengan meninggalkan kota ini dan merasakan kepedihannya—semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada mereka. Rumah-rumah kaum muslimin di kota itu telah dihancurkan secara total. Tidak ada yang tersisa kecuali perkampungan orang-orang Armenia. Aku betul-betul terpukul dan sedih. Seandainya aku memiliki seribu mata, pastilah semuanya meneteskan air mata.
Aku merasa telah berhasil keluar dari keterasingan saat kembali ke kotaku. Namun sungguh malang, aku malah menemukan keterasingan yang paling menyakitkan di kotaku sendiri. Terbayang dalam benakku para murid dan orang-orang yang mempunyai hubungan jiwa yang sangat kuat denganku, seperti Abdurrahman yang telah disebutkan pada Harapan Kedua Belas. Kusaksikan mereka telah di- kuburkan di bawah tanah, sementara rumah-rumah mereka hanya menjadi jejak-jejak peninggalan. Di saat itulah aku teringat dengan sebuah paragraf syair yang telah kuhafal sejak lama, hanya saja aku belum memahami maknanya secara sempurna:
لَو۟لَا مُفَارَقَةُ ال۟اَح۟بَابِ مَا وَجَدَت۟ لَهَا ال۟مَنَايَا اِلٰى اَر۟وَاحِنَا سُبُلًا
Jika saja tak ada perpisahan dengan orang-orang yang dicinta tak mungkin kematian menemukan jalan menuju roh kita.Artinya, yang paling sering membuat manusia hancur dan binasa adalah perpisahan dengan orang-orang yang dicinta.Ya, tidak ada yang membuatku sedih dan menangis seperti kejadian itu. Seandainya pertolongan al-Qur’an dan keimanan tidak datang, pastilah kerisauan dan kesedihan tadi sangat mempengaruhiku sampai ke tingkat di mana ia bisa merampas jiwaku.
Sejak zaman dahulu para penyair biasa meratapi rumah orang-orang yang mereka cintai ketika lewat di depan bekas reruntuhan tempat tinggal mereka. Demikian juga dengan diriku. Jiwa, kalbu, serta mataku menangis dengan amat sedih seperti orang yang melewati reruntuhan tempat tinggal orang-orang yang dicintainya dua ratus tahun kemudian.Pada saat itu, lembaran-lembaran indah hidupku terlukis di hadapanku satu demi satu dengan begitu nyata seperti orang yang sedang melihat film dokumenter. Sebuah kehidupan menyenangkan yang kulewatkan dengan mengajar para muridku yang cerdas sekitar dua puluh tahun lamanya. Sekarang aku berada di tempat yang sama, yang dulunya ramai, indah, dan menyenangkan. Namun sekarang ia telah menjadi puing-puing reruntuhan, lama aku berhenti pada lembaran hidupku tersebut.
Ketika itu, aku mulai merasa aneh dengan ahli dunia. Bagaimana mungkin mereka menipu diri mereka sendiri? Kondisi tersebut secara jelas menunjukkan bahwa dunia ini pasti akan musnah dan manusia di dalamnya sebagai tamu. Kusaksikan dengan mataku sendiri betapa sungguh benar ungkapan ahli hakikat yang berbunyi, “Janganlah kalian tertipu dengan dunia.
Sebab, ia tidak jujur, penipu, dan pasti musnah.” Kusaksikan pula bagaimana manusia sangat terikat dengan kota, negeri, dan dunianya sebagaimana ia juga terikat dengan tubuh dan rumahnya. Ketika ingin menangis dengan mataku yang sudah renta ini, aku ingin menangis dengan sepuluh mata. Hal itu bukan sekadar karena usia madrasahku yang sudah tua. Tetapi karena ia sudah tiada. Bahkan aku merasa perlu menangis dengan seratus mata untuk kotaku yang sunyi senyap seperti kota mati.
Dalam hadis Nabi disebutkan bahwa setiap pagi malaikat menyeru,
“Lahirlah untuk mati dan membangunlah untuk menjadi hancur.”(*[19])Kudengarkan hakikat ini. Kudengarkan ia dengan mataku, bukan telingaku.
Sebagaimana kondisiku ketika itu membuatku menangis, khayalanku sejak dua puluh tahun yang lalu juga membuatku meneteskan air mata setiap kali mengingatnya. Ya, runtuhnya rumah-rumah di puncak benteng yang telah ditempati selama ribuan tahun, men- uanya kota yang berada di bawah bukit tersebut yang usianya sekitar delapan tahun tetapi tampak seperti delapan ratus tahun, serta wafatnya madrasahku yang terletak di bawah benteng di mana ia telah mengalirkan kehidupan menjadi tempat berkumpul orang-orang yang kucintai menunjukkan matinya seluruh madrasah di Daulah Usmaniyah sekaligus menjelaskan keagungan jenazahnya. Bahkan benteng yang merupakan bongkahan batu karang itu seolah-olah menjadi saksi atas kuburan mereka. Kusaksikan bahwa para murid yang dulu pernah bersamaku kini sedang menangis dalam kubur mereka. Lebih dari itu, rumah-rumah yang hancur itupun ikut meratap dan bersedih. Demikian pula dengan dinding-dindingnya yang roboh dan batu-batunya yang berserakan.
Ketika itulah aku telah menyadari bahwa aku tidak mampu menahan rasa keterasingan di kotaku. Aku pun kemudian berpikir, aku pergi menemui mereka di kubur masing-masing atau aku harus menyepi ke gua yang terdapat di gunung itu sambil menunggu tibanya ajal. Menurutku, ketimbang harus menghadapi perpisahan semacam ini yang tidak bisa kulawan dan kuatasi di mana ia sungguh menyakitkan, maka rasanya mati lebih baik daripada hidup.
Karena itu, aku pun melayangkan perhatianku ke enam arah. Setiap kali melihat kepada enam arah tersebut yang ada hanyalah kegelapan yang pekat. Kelalaian yang bersumber dari penderitaan hebat itu membuat dunia terasa menakutkan. Ia begitu sunyi dan senyap seakan-akan hendak roboh di atas kepalaku. Jiwaku mencari cari sandaran dan pilar kuat yang bisa menahan segala bencana dan musibah yang mengambil bentuk seperti musuh yang menyeramkan. Ia juga mencari bantuan guna memenuhi segala keinginannya yang tersembunyi dan terbentang menuju keabadian. Pada saat se- dang mencari sandaran dan bantuan, serta ketika sedang menunggu adanya pelipur lara yang bisa mengobati kerisauan dan kesedihannya akibat perpisahan dan perusakan luar biasa, tiba-tiba hakikat sebuah ayat al-Qur’an yang berbunyi:“Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah) dan Dialah yang Maha- perkasa lagi Mahabijaksana. Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. al-Hadid [57]: 1-2) tampak di hadapanku secara sangat jelas. Ia menyelamatkanku dari khayalan yang menakutkan tadi sekaligus mengeluarkanku dari sakitnya perpisahan dengan membuka penglihatan dan mata batinku.
Akupun menoleh pada buah-buahan yang terdapat di atas pohon. Ia memandangku dengan senyuman manisnya sembari berkata, “Jangan hanya fokus pada kehancuran yang ada, tapi lihat dan pandangilah pula kami!” Ya, hakikat ayat mulia di atas telah mengingatkan dan menyadarkanku dengan berkata, “Mengapa runtuhnya “surat” yang dibuat oleh tangan manusia—sebagai tamu—di atas lumbaian padang tan- dus kota Van telah membuatmu begitu sedih? Mengapa engkau bersedih karena ia runtuh oleh banjir dahsyat menakutkan yang disebut “penjajahan Rusia” di mana ia telah melenyapkan bekas-bekasnya dan menghapus tulisannya? Angkatlah kepalamu untuk menatap Tuhan Yang Maha Membentuk dan Pemelihara segala sesuatu serta Penguasanya yang hakiki. Segala nasib ada di tangan-Nya. Tulisan Allah di atas lembaran kota Van senantiasa di perbaharui dengan segala keindahan dan keagungannya. Adapun ketika engkau menangis dan bersedih karena tempat-tempat tersubut telah kosong, rusak, dan amat menyedihkan, hal itu tidak lain karena engkau telah melupakan pemiliknya yang hakiki, karena salah persepsi dengan mengira manusia sebagai pemiliknya, serta karena tidak memahami bahwa manusia hanyalah ibarat tamu.
Dari kondisi menyakitkan dan dari kesalahan persepsi tersebut kemudian terbukalah di hadapanku pintu menuju sebuah hakikat besar. Nafsuku bersiap-siap untuk menerima hakikat tersebut. Sebagimana besi dimasukkan ke dalam api untuk dilunakkan dan diberi bentuk tertentu yang bermanfaat, demikian pula hal yang menyedi- hkan dan kondisi yang menakutkan menjadi api berkobar yang bisa melunakkan nafsuku. al-Qur’an al-Karim telah memperlihatkan limpahan hakikat keimanan dengan sangat terang dan jelas lewat hakikat ayat di atas hingga bisa diterima.
Ya, sebagaimana telah dijelaskan dalam “Surat Kedua Puluh” dan dalam risalah-risalah lainnya, alhamdulillah hakikat ayat tersebut telah memberikan sandaran yang sangat kuat untuk jiwa dan kalbu ini sesuai dengan kekuatan iman yang dimiliki. Ia bisa melawan segala musibah dan berbagai kondisi menyakitkan bahkan meskipun jumlahnya seratus kali lipat. Sebab, hakikat ayat itu telah mengingatkan bahwa segala sesuatu tunduk pada perintah Sang Pencipta yang merupakan pemilik hakiki kerajaan ini. Kunci perbendaharaan se- gala sesuatu ada di tangan-Nya. Jadi, cukup bagimu menisbatkan di- rimu kepada-Nya.
Setelah aku mengenal Penciptaku dan bersandar kepada-Nya, segala sesuatu yang tampak memusuhiku telah hilang. Sekarang berbagai kondisi yang tadinya menyakitkan berubah menjadi kondisi yang membahagiakan dan menyenangkan.Sebagaimana kami telah membuktikan dalam berbagai risalah lewat argumen yang kuat, cahaya yang berasal dari iman kepada akhirat juga telah memberikan bantuan yang sangat besar untuk meng- gapai harapan dan impian yang tak terbatas. Ia tidak hanya cukup untuk menggapai berbagai keinginan yang bersifat sementara dan singkat atau untuk menyambung ikatan dengan orang-orang yang dicintai di dunia semata. Tetapi ia juga cukup untuk memenuhi segala keinginanku yang tak terhingga di negeri keabadian dan negeri ke- bahagiaan.
Sebab, dengan manifestasi kasih sayang Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Dia tebarkan di atas hidangan musim semi berbagai karunia dan kenikmatan yang tak terhitung banyaknya di atas permukaan bumi yang merupakan salah satu tempat jamuan dunia yang bersifat sementara.Pada setiap musim semi, Allah berikan berbagai kenikmatan tersebut kepada para tamu dunia, agar selama beberapa saat mereka merasa senang. Seolah-olah Dia memberikan sarapan pagi kepada mereka. Kemudian Allah ambil mereka untuk dibawa menuju tempat abadi di delapan surga yang kekal yang penuh dengan berbagai karunia untuk masa yang tak terhingga. Tentu saja orang yang meyakini dan mempercayai kasih sayang Tuhan serta mengikatkan hubungan dengannya, pastilah ia mendapatkan bantuan besar. Paling tidak ia menanamkan harapan dan impian yang tak terhingga.
Cahaya yang bersumber dari cahaya keimanan dengan hakikat ayat di atas juga tampak secara terang sampai menerangi enam arah yang tadinya gelap hingga menjadi seperti siang. Ia cukup menerangi diriku yang sedang menangisi madrasah, murid-murid, serta para kekasihku yang telah pergi. Ia telah mengingatkanku bahwa “alam tempat tujuan mereka tidaklah gelap. Tetapi mereka hanya sekadar berganti tempat. Engkau akan bertemu dengan mereka.” Hal itulah yang menghentikan tangisku sekaligus membuatku memahami bahwa aku akan menemukan orang-orang seperti mereka dan orang- orang yang menempati posisi mereka.Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan madrasah Isparta sebagai pengganti dari madrasah Van yang telah tiada dan menghidupkan para kekasih yang lebih banyak dan lebih utama dari- pada murid-murid yang cerdas dan mulia itu. Serta dia pula yang mengajarkanku bahwa dunia tidaklah kosong dan kota itu tidaklah hancur seperti yang kubayangkan sebelumnya.
Tetapi sang pemiliknya yang hakiki mengganti lembaran sementara yang dibuat manusia dengan lembaran lain sekaligus memperbaharui tulisan-tulisan-Nya. Sebagaimana buah-buah baru bermunculan seiring dengan memetik buah, demikian pula perpisahan dengan umat manusia. Ia tidak lain merupakan bentuk proses pembaharuan. Karenanya, ia tidak menyiratkan kesedihan yang menyakitkan akibat kepergian para kekasih. Tetapi dari perspektif iman, ia menyiratkan kesedihan yang mengandung kenikmatan akibat perpisahan sementara guna bertemu kembali di negeri lain yang menyenangkan.
Demikianlah hal itu menerangi kerisauan yang sebelumnya kualami serta menerangi alam yang tadinya tampak gelap. Ketika itulah aku ingin bersyukur. Paragraf berbahasa Arab berikut ini muncul untuk menggambarkan hakikat itu secara sempurna:
“Segala puji bagi Allah atas anugerah cahaya iman yang telah menggambarkan segala sesuatu yang sebelumnya tampak asing, musuh, mati, menakutkan, yatim, dan menangis sebagai kekasih, saudara, hidup, bahagia, berzikir, dan bertasbih.”
Artinya, kupersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Agung pujian yang tak terhingga karena Dia telah memberiku cahaya iman yang merupakan sumber segala karunia ilahi. Cahaya iman tersebut telah mengubah lembaran menakutkan yang tampak dalam diriku yang sedang lalai—akibat begitu terpengaruh oleh kondisi sedih itu— hingga kemudian kelalaian tersebut memunculkan persepsi bahwa sebagian entitas alam merupakan musuh atau sesuatu yang asing,(*[20])sementara sebagian lainnya merupakan jenazah yang menakutkan, serta sebagian lagi ibarat anak-anak yatim yang sedang menangis tanpa ada yang menolong dan membantu.Cahaya itu telah mengubah segala sesuatu hingga dengan ainul yakin aku menyaksikan bahwa mereka yang tampak seperti musuh ternyata merupakan saudara dan teman, bahwa yang tampak seperti jenazah menakutkan ternyata merupakan sahabat dekat, serta yang tadinya tampak seperti tangisan anak yatim ternyata merupakan senandung zikir dan tasbih. Dengan kata lain, kupersembahkan segala pujian untuk Allah bersama seluruh entitas yang memenuhi duniaku yang seluas dunia. Kuikutsertakan mereka dalam pujian dan tasbihku kepada Allah . Sebab aku berhak untuk itu. Maka lewat lisan masing-masing kami bersama-sama mengucapkan:“Segala puji bagi Allah atas anugerah cahaya iman.”
Kemudian berbagai kesenangan hidup yang menghilang di tengah-tengah kondisi menakutkan yang memunculkan kelalaian, lalu berbagai harapan yang pada akhirnya lenyap dan sirna, serta berbagai kenikmatan yang masih ada pada diriku di daerah yang paling sempit atau mungkin telah sirna, semuanya berganti dengan cahaya iman sebagaimana telah kutegaskan dalam risalah-risalah lainnya.Selanjutnya, cahaya tersebut memperluas daerah sempit yang terbatas pada kalbu tadi menuju sebuah daerah yang sangat luas hing- ga meliputi seluruh bumi. Ia juga menjadikan dunia dan akhirat se- bagai dua meja hidangan yang penuh dengan berbagai nikmat sekali- gus mengubah keduanya menjadi hidangan yang berasal dari rahmat Tuhan sebagai pengganti dari aneka macam karunia yang telah ker- ing dan hilang kenikmatannya di taman Khor-khor. Tidak hanya itu. Bahkan ia juga memosisikan mata, telinga, kalbu, serta indra lainnya atau bahkan ratusan organ manusia lainnya sebagai tangan yang ter- bentang sesuai dengan derajat mukmin. Tangan tersebut terbentang menuju dua meja hidangan yang penuh nikmat tadi sehingga bisa mengambil dan mengecapnya dari seluruh sisi. Karena itu, dengan menyadari hakikat agung tersebut akupun bersyukur kapada Allah atas berbagai nikmat-Nya yang tak terhingga dengan mengucap:
“Segala puji bagi Allah atas anugerah cahaya iman yang telah menggambar kedua alam itu sebagai tempat yang penuh dengan nikmat dan rahmat. Setiap orang mukmin berhak menikmati keduanya lewat seluruh indranya yang tersingkap atas izin Penciptanya.”
Maksudnya adalah segala puji bagi Allah yang telah memberiku nikmat iman yang dengan cahaya iman tersebut Dia memperlihatkan bahwa dunia dan akhirat merupakan dua tempat yang penuh nikmat dan rahmat. Dia menjamin bahwa tangan seluruh indra yang tersingkap dengan cahaya iman dan terbentang dengan cahaya Islam yang dimiliki kaum mukmin akan bisa mencicipi hidangan tersebut. Jika aku bisa mempersembahkan pujian dan rasa syukur kepada Allah, Penciptaku, atas anugerah iman dengan seluruh eksistensiku serta dengan seisi dunia dan akhirat, pasti hal itu kulakukan.
Ketika keimanan memainkan peran yang sangat besar di alam dunia ini, maka pastilah di alam akhirat yang kekal nanti akan memberikan pengaruh yang lebih besar dan lebih luas yang tak bisa dijangkau oleh akal kita di dunia.
Karena itu, wahai saudara-saudaraku para lansia, wahai yang merasakan berbagai penderitaan pahit seperti diriku akibat berpisah dengan banyak orang yang dikasihi karena telah renta! Kukira secara maknawi aku jauh lebih tua daripada kalian meskipun secara umur ada di antara kalian yang lebih tua daripada diriku. Sebab, selain berbagai penderitaan yang kualami, aku juga ikut merasakan sakitnya ribuan saudara yang lain sebagai akibat dari dorongan fitrahku yang sangat besar untuk mengasihi dan menyayangi mereka. Aku menderita seperti orang yang sudah berusia ratusan tahun. Sementara kalian, meskipun mengalami pedihnya perpisahan, namun kalian belum mendapatkan seperti musibah dan bencana yang kuhadapi.
Aku tidak mempunyai anak yang kupikirkan. Hanya saja, dengan adanya rasa kasih sayang yang kuat dalam fitrahku, aku ikut merasa sakit dengan ribuan bencana dan musibah yang diderita oleh ribuan umat Islam. Bahkan aku juga merasa sakit dengan berbagai penderitaan yang dialami oleh binatang yang kecil. Ditambah lagi dari sisi pembelaan terhadap Islam, aku melihat diriku sangat terpaut dengan negeri ini bahkan dengan dunia Islam seolah-olah ia adalah rumahku. Padahal, aku tidak memiliki rumah pribadi yang harus kupikirkan. Karena itu, aku juga ikut merasakan penderitaan kaum mukmin yang tinggal di dunia dan akhirat serta aku sangat bersedih karena berpisah dengan mereka.
Karena cahaya keimanan telah mencukupiku untuk seluruh kesedihanku yang bersumber dari kerentaan dan pedihnya perpisahan serta telah memberiku harapan yang tak pernah pudar, asa yang tak pernah sirna, cahaya yang tak pernah padam, dan pelipur lara yang tak pernah hilang, maka keimanan tersebut juga pasti akan cukup bagi kalian untuk menghadapi berbagai kegelapan, kelalaian, dan penderitaan yang bersumber dari kerentaan. Sesungguhnya kerentaan yang paling pekat adalah kerentaan kaum yang sesat dan dungu serta perpisahan yang paling menyakitkan adalah perpisahan yang mereka alami.
untuk menikmati dan merasakan pengaruh iman yang meman- carkan harapan dan menebarkan cahaya serta menjadi pelipur lara, harus berperilaku yang penuh kesadaran dalam bentuk ibadah yang sesuai dengan kerentaan dan Islam. Bukan dengan melupakan kerentaan tersebut lalu menampilkan sikap seperti anak muda dan menceburkan diri dalam kelalaian panjang.
Renungkanlah selalu hadis nabi yang berbunyi, “Sebaik-baik pemuda adalah yang bertingkah seperti orang tua. Sementara seburuk-buruk orang tua adalah yang berting- kah laku seperti anak muda.”(*[21])Artinya, pemuda yang terbaik adalah yang bertindak seperti orang tua. Yaitu tenang, penuh wibawa, serta menghindari perbuatan kotor. Adapun orang tua terburuk adalah yang bertingkah laku seperti anak muda, yaitu dengan melakukan perbuatan kotor dan terjerumus dalam kelalaian.
Wahai para lansia, disebutkan dalam sebuah hadis nabi sebuah ungkapan yang pengertiannya sebagai berikut, “Sesungguhnya rahmat Tuhan malu untuk menolak tangan orang tua beriman yang bersimpuh meminta kepada-Nya.”(*[22])Jadi, selama rahmat Tuhan senantiasa memberikan penghormatan kepada kalian, hargailah penghormatannya itu dengan cara beribadah kepada Allah .
Harapan Keempat Belas
Pada permulaan “Sinar Keempat” dalam buku asy-Syu’â’ât, ada pembahasan mengenai tafsir dari ayat al-Qur’an yang berbunyi:“Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS. Ali Imran [3] :173).Secara singkat tafsirnya adalah sebagai berikut: Ketika ahli dunia mengisolirku dari segala sesuatu, aku pun tercampak dalam lima macam keterasingan. Ketika itu aku tidak sempat menoleh kepada cahaya penghibur yang terdapat dalam Risalah Nur akibat kelalaian yang disebabkan oleh kondisi sulit. Namun aku langsung melihat kalbu dan mendengar suara hati.
Kusadari bahwa diriku memiliki kecintaan yang sangat kuat terhadap keabadian, eksistensi, dan kehidupan meskipun di dalamnya tersimpan kelemahan dan ketidakberdayaan yang tak terkira. Hanya saja kemudian kefa- naan yang sangat menakutkan melenyapkan dan meniadakan adanya keabadiaan. Aku pun berkata seperti ungkapan penyair yang kalbunya sedang terluka:
Hikmah Tuhan menetapkan musnahnya badan Sementara
kalbu menginginkan keabadian Jiwaku meradang karena ujian dan kesedihan Luqman pun bingung mencari balutan.
Kutundukkan kepalaku dengan putus asa. Tiba-tiba ayat al-Qur’an حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ menolongku dengan berkata, “Bacalah aku dengan baik disertai perenungan dan perhatian!” Kubaca ia sehari lima ratus kali. Setiap kali kubaca, sebagian cahayanya mulai tersingkap. Tidak hanya dengan ilmul yaqin, tetapi juga dengan ainul yaqin, kusaksikan sembilan tingkatan hasbiyah (kecukupan):
Tingkatan Pertama Kecintaan diriku terhadap adanya keabadian sebenarnya tidak tertuju pada keabadianku sendiri. Tetapi tertuju pada eksistensi Sang Mahasempurna dan Maha Agung yang memiliki kesempurnaan mutlak yang dicintai tanpa sebab. Hanya saja, kecintaan fitri yang tertuju pada eksistensi, kesempurnaan, dan keabadiaan Sang Maha Sempurna Mutlak tersesat akibat kelalaian, hingga berpegang pada bayangan dan mencintai cerminnya. Namun ketika ayat, حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ ini datang, terbukalah hijabnya. Akupun bisa merasakan, menyaksikan, dan menyadari secara haqqul yaqin bahwa nikmatnya keabadian itu telah ada dengan sendirinya di dalam keimanan dan keyakinanku terhadap keabadian
Sang Maha Abadi serta terhadap keberadaan-Nya sebagai Tuhanku, bahkan kenikmatan tersebut lebih utama dan lebih sempurna. Bukti-bukti dan perasaan imani yang membuat semua makhluk hormat dan kagum tentang hal itu telah kutunjukkan secara jelas dan mendalam dalam risalah al-Hasbiyah.
Tingkatan Kedua Sesungguhnya disamping ketidakberdayaan tak terhingga yang tersimpan dalam fitrahku, ketika ahli dunia menyerangku dengan tipu daya dan mata-mata mereka dalam kerentaan, keterasingan, ketiadaan sahabat yang kualami, aku berkata kepada kalbuku, “Sebuah pasukan besar dan kuat menyerang seorang manusia yang sedang lemah, sakit, dan kedua tangannya terikat. Adakah tempat bersandar untuk orang itu?”Lalu aku merenungkan ayat, حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ. Segera saja ia memberi informasi kepadaku dengan berkata:
Engkau telah mengikat hubungan keimanan dengan Sang Penguasa Besar Yang Memiliki kekuasaan mutlak. Dialah Dzat yang pada musim semi menyediakan semua kebutuhan pasukan empat ratus ribu tumbuhan dan hewan yang tersebar di atas permukaan bumi dengan sangat teratur. Lalu Dia mendistribusikan semua rezeki pasukan besar itu kepada seluruh makhluk dan tentunya yang paling terdepan adalah manusia. Rezeki tersebut bukan dalam bentuk ekstrak daging, gula dan makanan lainnya yang ditemukan oleh manu- sia modern. Tetapi dalam bentuk ekstrak yang disebut benih dan biji yang ratusan kali jauh lebih sempurna dan lebih baik. Ia merupakan bahan pilihan yang mengandung semua unsur makanan. Lebih dari itu, benih tersebut kemudian dibungkus dengan berbagai bungkus yang sangat sesuai dengan kadar kematangan dan pertumbuhannya. Ia tersimpan dalam berbagai “kotak” dan “kaleng” yang sangat kecil. Bungkus tersebut juga terbuat dengan sangat cepat, sangat mudah, dan sangat banyak. Semua itu terproses dalam pabrik kaf dan nun yang terwujud di bawah perintah kun. Sehingga al-Qur’an pun mengatakan, “Dia cukup berkata padanya ‘kun! (jadilah!) Maka ia pun jadi.”
Karena aku telah mendapatkan tempat sandaran dalam bentuk hubungan keimanan tersebut, maka engkau juga bisa bersandar dan bergantung pada kekuatan-Nya yang maha besar dan kekuasaan-Nya yang maha mutlak. Ya, aku betul-betul merasa begitu kuat setiap kali menerima pelajaran ayat al-Qur’an di atas. Aku merasa memiliki kekuatan yang membuatku bisa menghadapi seluruh musuh di dunia ini. Rasanya tidak ada yang bisa melawanku. Karena itu, dalam relung hatiku yang paling dalam aku terus mengucap حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ.
Tingkatan Ketiga Ketika berbagai penyakit, aneka macam keterasingan, serta beragam kezaliman mencekikku, kurasakan bahwa ikatanku dengan dunia telah mulai lepas. Di samping itu, pada waktu tersebut keimanan memberiku petunjuk bahwa engkau sedang dipersiapkan menuju dunia lain yang abadi serta engkau layak mendapatkan kerajaan dan kebahagiaan yang kekal. Pada saat itulah kutinggalkan segala sesuatu yang mencampakkanku dalam kepahitan dan penderitaan untuk kugantikan dengan sesuatu yang mendatangkan kegembiraan dan kebaikan, serta yang bisa membuatku senantiasa bersyukur.
Namun tujuan yang merupakan impian utama, sasaran kha- yalan, target jiwa, dan produk fitrah itu tidak akan terwujud kecuali dengan kekuasaan Dzat Yang Maha Berkuasa secara mutlak yang mengetahui seluruh gerakan dan diamnya makhluk, baik yang berupa ucapan maupun perbuatan. Dia jadikan manusia yang kecil, hina, dan berkutat dalam kelemahan mutlak sebagai kekasih dan mitra bicara seraya menempatkannya dalam kedudukan tertinggi di antara seluruh makhluk-Nya. Dia juga memberikan pertolongan dan perha- tian kepada manusia. Ya, ketika aku merenungkan dua hal tersebut: yaitu pengaruh kekuasaan-Nya yang tak terbatas dan kemuliaan hakiki yang Allah berikan kepada manusia yang tampak hina itu. Aku ingin mendapatkan penjelasan tentang dua hal tersebut agar bertambah yakin dan tenang. Aku kemudian merenungkan ayat di atas dan ia pun berkata padaku, “Perhatikan secara cermat kata (نا) ‘kami’ dalam kalimat ( حَس۟بُنَا ) ‘Cukuplah Allah bagi kami’.” Perhatikanlah siapa saja yang mengucapkan kalimat tersebut bersamamu. Lalu dengarkanlah!”
Begitulah perintah ayat al-Qur’an itu kepadaku. Seketika aku melihat sejumlah burung sedang terbang dengan jumlah yang sangat banyak, sejumlah serangga sangat kecil seperti lalat yang tak terhitung jumlahnya, berbagai binatang yang beraneka ragam tumbuhan yang beraneka ragam serta pohon-pohon yang tak terbatas bilangannya. Semua itu mengucapkan ayat حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ sepertiku sekaligus mengingatkan yang lain bahwa sebenarnya mereka memiliki Pelindung—sebaik-baik Pelindung—yang menjamin semua kebutu- han hidup mereka. Bahkan Dia telah menciptakan seratus ribu jenis hewan, seratus ribu bentuk burung, seratus ribu macam tumbuhan, seratus ribu jenis pohon dari sejumlah telur yang serupa yang terbentuk dengan bahan sama, sejumlah nutfah yang sejenis, serta berbagai benih yang mirip tanpa cacat dan salah. Semua tercipta dalam bentuk yang indah, seimbang, dan tertata berikut ciri dan keunikan masing- masing. Dia menciptakan semuanya secara terus-menerus, terutama pada saat-saat musim semi dalam jumlah yang begitu banyak dan dengan cara yang sangat mudah. Jadi, proses penciptaan seluruh makhluk tersebut berlangsung secara serupa, saling berbaur, dan ber- kumpul dalam cara dan bentuk yang sama dalam naungan kekuasaan mutlak yang dengan jelas menegaskan keesaan Allah.
Ayat di atas membuatku paham bahwa aku tidak mungkin ikut campur atau mengintervensi perbuatan dan penciptaan Tuhan yang bersifat mutlak yang kesemuanya memperlihatkan berbagai muk- jizat yang tak terbatas. Maka, bagi mereka yang ingin memahami identitas pribadi dan hakikat kemanusiaanku yang sama seperti se- tiap mukmin, serta bagi mereka yang ingin menjadi seperti diriku, maka mereka harus memperhatikan penafsiran انَا ‘aku’ dalam bentuk plural نَا ‘kami’ pada ayat di atas disamping harus merenungkan posisinya dalam pluralitas tersebut agar mereka memahami apa makna dari keberadaan wujud dan fisikku yang tampak hina dan tak ada artinya seperti mukmin lainnya? Apa arti kehidupan itu sendi- ri? Bahkan apa itu manusia? Apa yang dimaksud dengan Islam? Apa itu keimanan yang hakiki? Apa makrifatullah? Serta bagaimana cara memperoleh cinta Allah? Ya, agar mereka memperoleh pelajaran tentang itu semua.
Tingkatan Keempat Berbagai bencana dan goncangan seperti kerentaan, keter- asingan, penyakit, dan ketidakberdayaan telah menghadang diriku. Semua itu datang di saat diriku berada dalam kelalaian. Seolah-olah keberadaanku yang sangat terkait dengannya sedang pergi menu- ju ketiadaan. Bahkan eksistensi seluruh makhluk berakhir dengan kefanaan. Maka, kepergian mereka itu melahirkan rasa gundah dan sakit dalam diriku. Lalu aku merenungkan ayat al-Qur’an di atas حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ. Ayat tersebut berkata padaku, “Perhatikanlah maknaku dan renungkan ia dengan kacamata iman.”
Akupun kemudian memperhatikan maknanya lewat kacamata iman.Kuperhatikan bahwa eksistensiku sebagai makhluk yang sangat kecil—seperti eksistensi mukmin lainnya—ibarat cermin bagi eksistensi yang tak terbatas dan sarana untuk menggapai berbagai macam eksistensi yang tak terhingga secara sangat mudah. Ia ibarat sebuah kata bijak yang melahirkan banyak eksistensi yang bersifat abadi di mana ia lebih bernilai daripada eksistensiku sendiri. Sampai-sampai jika dilihat dari hubungan keimanan yang ia miliki, sesaat saja dari kehidupannya tampak begitu berharga. Ia bernilai tinggi seperti nilai eksistensi yang bersifat abadi dan permanen. Semua itu kuketahui lewat ilmul yaqin.
Sebab, ketika dengan yakin akan mengetahui bahwa eksistensiku ini merupakan salah satu tanda kekuasaan Sang Wajibul Wujud dan merupakan salah satu ciptaan-Nya, ia membuatku selamat dari berbagai kegelapan yang tak terhingga serta terlepas dari berbagai penderitaan yang bersumber dari segala bentuk perpisahan. Selain itu, ia mendorongku untuk mengikat hubungan per- saudaraan yang sangat kuat dengan seluruh entitas, terutama semua makhluk hidup. Sebuah hubungan yang setara dengan banyaknya perbuatan dan nama-nama Tuhan yang terkait dengan segala entitas. Aku juga mengetahui bahwa dengan adanya hubungan tersebut sebetulnya ada semacam ketersambungan dan ikatan dengan seluruh orang yang kucintai dalam kurun waktu perpisahan ini.
Demikianlah sesungguhnya eksistensiku sama seperti eksistensi setiap orang mukmin dan mengikat hubungan dengan seluruh cahaya eksistensi tanpa pernah berpisah. Bahkan meskipun eksistensiku telah tiada, kekekalan sejumlah eksistensi tersebut membuatku tenang seolah-olah ia tetap abadi secara sempurna.
Kesimpulannya, kematian bukan merupakan perpisahan. Tetapi ia merupakan ketersambungan, perpindahan tempat, dan pemerolehan hasil yang abadi.
Tingkatan Kelima Hidupku sesaat terkoyak di bawah tekanan beban yang sangat berat hingga perhatianku kemudian berpaling pada umur dan kehidupan yang ada. Kusadari usiaku begitu cepat bergegas menu- ju akhirat dan hidupku yang mendekat ke akhirat mulai padam di bawah berbagai macam penderitaan. Padahal tugas-tugas hidup yang penting dan mulia berikut hasil-hasilnya yang berharga tidak layak untuk cepat padam. Sebaliknya ia layak untuk hidup lama dan pan- jang sebagaimana dijelaskan pada risalah yang terkait dengan Nama Allah, al-Hayy. Maka dengan segala kepedihan dan keputusasaan, aku kembali kepada guruku, yaitu ayat al-Qur’an di atas yang berbunyi حَس۟بُنَا اللّٰهُ وَنِع۟مَ ال۟وَكٖيلُ. Ia berkata padaku, “Perhatikan kehidupan tersebut dari sisi Dzat Yang Mahahidup dan Kekal yang telah memberimu kehidupan!”
Kuperhatikan ia dengan kacamata ini. Kusaksikan bahwa jika kehidupan tersebut memiliki satu aspek yang mengarah kepadaku, maka ia mempunyai seratus aspek yang mengarah kepada Dzat Yang Mahahidup dan Menghidupkan. Jika satu hasil darinya kembali kepadaku, seribu hasil kembali kepada Penciptaku. Karena itu, hidup sesaat saja sudah sangat cukup. Tidak perlu hidup yang lama.
Hakikat ini menjadi sangat jelas dengan empat hal. Hendaknya mereka yang masih hidup mencari esensi hidup, hakikat hidup, serta hak-hak hidup yang sebenarnya dalam empat hal tadi. Raihlah dan hiduplah!
Kesimpulannya, karena kehidupan ini mengarah pada Dzat Yang Mahahidup dan Kekal, serta selama iman merupakan nyawa dan roh dari kehidupan itu sendiri, maka kehidupan mencapai kekekalan dan memberikan hasil yang abadi, bahkan ia naik ke tingkat keabadian. Dengan demikian, pendek dan panjangnya umur tidak menjadi ukuran.
Tingkatan Keenam Dari uban yang mengingatkan pada kematian, berbagai peristiwa akhir zaman yang memberitahukan kehancuran dunia dalam bingkai perpisahan yang bersifat menyeluruh, dan tersingkapnya berbagai keindahan dan kesempurnaan fitrah yang kurasakan di akhir-akhir hidup, dari semua ini kusaksikan bahwa ketiadaan dan kefanaan yang senantiasa menghancurkan serta kematian yang selalu memisahkan, dengan sangat menakutkan telah merusak keindahan dunia ini sekaligus mengotori keelokan makhluk. Aku menjadi sangat sakit dan terpukul dengannya sehingga kecintaan yang terdapat dalam fitrahku pergi dengan cepat dan jiwapun mulai menolaknya. Tidak ada jalan lain bagiku kecuali merenungkan ayat al-Qur’an kem- bali untuk mendapatkan pelipur lara. Ia berkata padaku, “Bacalah aku dengan baik dan perhatikan maknaku secara seksama!”
Segera saja aku masuk ke tempat peneropongan untuk melihat sebuah ayat dalam surah an-Nur yang berbunyi: “Allah (sumber) cahaya langit dan bumi...” (QS. an-Nur [24]:35).Lewat teropong iman tadi kulihat tingkatan hasbiyah (pencukupan Tuhan) yang paling jauh. Serta pada waktu yang sama, lewat mikroskop imani, kuperhatikan rahasia-rahasianya yang mendalam.
Sebagaimana berbagai cermin, kaca, materi transparan, dan bahkan tetesan di laut memperlihatkan keindahan cahaya matahari yang tersembunyi dan beraneka ragam, masing-masing juga mem- perlihatkan beragam keindahan yang terdapat pada tujuh warna matahari. Sebagaimana keindahan tersebut senantiasa tampak baru seiring dengan pembaharuan dan kemampuan penerimaan materi-materi tersebut, atau sebagaimana ia memperlihatkan keindahan matahari, cahayanya, dan berbagai warnanya yang tersembunyi dengan sangat indah dan menarik, demikian pula dengan berbagai ciptaan dan makhluk Tuhan yang indah dimana ia berposisi sebagai cermin yang memantulkan keindahan suci Tuhan.
Makhluk-makhuk itu terus berlalu tanpa berhenti sambil memperbaharui wujud manifestasi nama-nama Tuhan. Jadi, keindahan yang tampak pada makhluk-makhluk tersebut bukanlah milik mereka sendiri. Tetapi ia merupakan isyarat, perlambang, dan wujud manifestasi keindahan suci Tuhan yang senantiasa tampak dengan nyata. Berbagai dalil tentang hal ini telah dijelaskan secara panjang lebar dalam Risalah Nur.
Terutama risalah yang dimulai dengan ung- kapan, “Di sini kami akan menyebutkan tiga bukti dalam bentuk yang sangat singkat dan logis.”(*[23])Siapa pun orangnya yang melihat risalah tersebut asalkan ia mempunyai perasaan yang sehat, pastilah terkagum-kagum dan takjub. Bahkan ia akan sadar bahwa dirinya harus berusaha memberitahukan yang lain sebagaimana ia telah memberitahu dirinya sendiri. Terutama lima hal yang disebutkan dalam bukti kedua. Orang yang berpikiran waras dan berhati bersih tentu akan merasa kagum dengan berkata, “Masya Allah, Barakallah.” Ia pun membuat keberadaannya yang tampak hina dan nista menjadi mulia dan berharga seraya mengakuinya sebagai mukjizat yang luar biasa.
Harapan Kelima Belas
(*[24])
Ketika menempati Emirdag(*[25])sebagai tahanan rumah dengan tinggal seorang diri, para mata-mata terus mengawasi dan memba- tasi ruang gerakku, aku merasa sangat tersiksa hingga hidup terasa membosankan. Selain itu, aku menyesal telah keluar dari penjara. Bahkan aku betul-betul berhasrat kembali ke penjara Denizli atau masuk ke kubur. Sebab, penjara atau kubur lebih baik daripada kehidupan semacam itu. Tiba-tiba pertolongan Ilahi datang. Ia datang membantu dengan memberikan sebuah mesin cetak modern bagi para murid “Madrasah az-Zahra”.(*[26]) Dengan begitu Risalah Nur bisa terbit dalam lima ratus naskah dengan satu pena saja. Itulah pertolongan yang Allah berikan kepada Risalah Nur sehingga membuatku kembali mencintai kehidupan yang merisaukan tadi. Bahkan ia telah membuatku banyak bersyukur kepada Allah .
Namun tidak lama kemudian, para musuh Risalah Nur yang bersembunyi tidak menyukai adanya kemajuan tersebut. Mereka menegur dan menghasut pemerintah untuk menentang kami.Akhirnya sekali lagi, kehidupan ini menjadi berat. Akan tetapi tanpa disangka-sangka Tuhan memberikan pertolongan-Nya. Para pegawai sipil—yang sebetulnya merupakan orang-orang yang paling membutuhkan Risalah Nur—mulai membaca berbagai risalah yang diterbitkan dengan penuh perhatian sesuai dengan tugas mereka. Berkat karunia Allah, akhirnya risalah-risalah tersebut berhasil menjinakkan hati mereka. Dengan demikian, ruang lingkup Dershane Nur meluas. Mereka tidak lagi mencela dan mengkritiknya, tetapi justru mulai mengagumi dan menghargainya. Hal ini tentu saja memberikan keuntungan yang sangat besar kepada kami. Sebab, ia jauh lebih baik daripada kondisi kami sebelumnya yang selalu tersik- sa secara fisik. Selain itu, ia juga telah menghilangkan segala kerisauan dan kegundahan yang kami rasakan.
Namun tidak lama kemudian para munafik di atas—yang merupakan musuh dalam selimut—membuat perhatian pemerintah tertuju padaku. Mereka mengingatkan pemerintah mengenai kehidupan politikku di masa lalu. Mereka membangkitkan perasaan ragu, curiga, dan khawatir terhadap diriku lewat jalur departemen pendidikan, keamanan, dan kementerian dalam negeri. Yang mem- buat pemerintah bertambah khawatir adalah adanya perseteruan di antara partai-partai politik, serta adanya agitasi yang dilakukan oleh para agresor dan teroris dari kalangan komunis. Semua itu membuat pemerintah menghentikan dan membatasi ruang gerak kami, serta menyita seluruh risalah yang berhasil mereka peroleh. Sebagai akibatnya, aktivitas murid-murid Nur menjadi terhenti.Para petugas berwenang telah menyebarkan tuduhan sepihak yang sangat aneh dan sulit dibenarkan oleh siapapun guna menyulitkan diriku. Mereka tetap gagal. Mereka tidak bisa meyakinkan siapapun.
Namun demikian, mereka masih saja menahanku selama dua hari dengan prasangka murahan yang sangat tidak bernilai. Serta, mereka tempatkan diriku seorang diri di dalam aula yang sangat luas selama beberapa hari yang sangat dingin padahal aku tidak tahan dengan cuaca dingin. Biasanya aku selalu menghidupkan tungku api dan dengan berkali-kali menyalakan alat pemanas ruangan pada setiap harinya di rumahku. Hal itu dilakukan karena kondisi yang lemah dan penyakit yang kualami. Pada saat menderita sakit demam yang disebabkan oleh cuaca dingin tadi, dan pada saat jiwa berada dalam kondisi yang sangat tertekan, hakikat pertolongan Tuhan tampak jelas di dalam kalbuku dan akupun diingatkan kepada hal berikut:
“Engkau telah menamakan penjara tersebut dengan istilah ‘Madrasah Yusufiyah’. Penjara Denizli itu telah memberimu berbagai manfaat dan keuntungan yang berkali-kali lipat lebih besar daripa- da kesulitan dan penderitaan yang kau rasakan. Ia telah memberimu kebahagiaan dan kenikmatan yang sangat besar, serta memberimu ganimah maknawiyah yang begitu banyak seperti keikutsertaan para tahanan lainnya untuk bisa mengambil pelajaran dari Risalah Nur, tersebarnya risalah tersebut di kalangan pejabat tinggi, serta manfaat-manfaat yang lain.Hal itu tentu saja membuatmu terus bersyukur, tidak lagi mengeluh atau gelisah. Ia mengubah setiap jam dari waktu dan pend- eritaanmu di penjara menjadi sepuluh jam ibadah. Selain itu, ia telah membuat beberapa jam yang fana itu menjadi kekal abadi. Maka dari itu, dengan izin Allah, Madrasah Yusufiyah Ketiga’(*[27])ini juga akan memberikan kehangatan yang bisa melawan cuaca sangat dingin tadi. Ia juga akan memberikan kelapangan yang bisa menghapus pen- deritaan berat itu dengan keikutsertaan orang-orang yang tertimpa musibah dan bencana dalam mengambil manfaat dan pelipur lara dari Risalah Nur.Sementara itu orang-orang yang kau murkai dan kau benci, jika termasuk yang tertipu, maka mereka tidak berhak mendapat mur- ka. Sebab, mereka berbuat aniaya kepadamu karena kebodohan dan tidak sengaja. Namun jika mereka menyiksa dan menyakitimu atas dasar kesengajaan dan kedengkian untuk membuat senang kaum yang sesat, maka mereka sebentar lagi akan disiksa oleh kematian yang mereka sangka sebagai kemusnahan abadi. Mereka akan memperoleh kesulitan hebat dan kekal di penjara kubur. Sementara sebagai hasil dari penganiayaan mereka, engkau akan mendapatkan ganjaran yang besar, keabadian, serta kenikmatan rohani. Disamping itu, engkau juga akan menerima balasan berkat usahamu dalam mengembangkan ilmu dan agama secara tulus.”
Seketika itu pula dengan segala kekuatan kuucapkan alham- dulillah, atas dasar kemanusiaan, aku merasa kasihan kepada orang- orang yang zalim itu. Aku berdoa kepada Tuhan dengan berkata, “Wahai Tuhan, jadikanlah mereka orang insaf!”
Dalam penjelasan yang kutulis untuk Kementerian Dalam Negeri telah ditegaskan bahwa kasus baru ini berada di luar koridor hukum. Kunyatakan hal itu dengan memberikan sepuluh alasan. Bahkan orang-orang zalim yang telah melanggar hukum itulah yang sebetulnya merupakan penjahat. Sebab, mereka telah mencari-cari alasan yang sangat lemah dan telah mengada-ada hingga mendapat ejekan orang. Membuat sedih ahlul haq yang jujur, serta memperlihatkan kepada mereka yang objektif bahwa mereka sama sekali tidak menemukan alasan atas nama hukum dan kebenaran untuk menghalangi Risalah Nur serta menyakiti para muridnya. Akhirnya, mereka terjatuh dalam kebodohan dan ketidakwarasan.
Sebagai contoh, para mata-mata yang telah mengawasiku selama sebulan tidak mampu menemukan sesuatu yang bisa dituduhkan kepadaku. Karena itu, akhirnya mereka membuat dakwaan berikut: “Seorang pelayan Said telah membelikan minuman keras dari sebuah kedai untuk beliau”. Anehnya mereka tidak menemukan orang yang mau menandatangani dakwaan itu untuk membenarkannya kecuali seorang asing dan pemabuk. Lewat tekanan dan intimidasi, mereka minta orang tadi untuk menandatanganinya. Namun ia menolak mereka dengan berkata, “Astaghfirullah siapa yang mau menanda- tangani dakwaan palsu dan aneh ini.” Terpaksalah mereka menarik dakwaan tersebut.
Contoh lainnya, aku sangat butuh menghirup udara segar. Karena mengetahui kesehatanku sedang terganggu, dan seorang tak dikenal—yang sampai sekarang aku tak sempat berkenalan dengan- nya—meminjamkan sebuah dokar agar aku bisa berjalan-jalan.Maka akupun berjalan-jalan selama satu atau dua jam pada musim panas. Aku telah berjanji kepada pemilik dokar itu untuk membayar ongkosnya dalam bentuk buku-buku seharga lima puluh lira. Hal itu kulakukan agar tidak keluar dari prinsip yang kupegang selama ini dan agar aku tidak berhutang jasa kepada siapa pun. Adakah yang mengira bahwa tindakan ini membuahkan bahaya? Yang jelas pihak kepolisian, keamanan dalam negeri, bahkan gubernur sendiri lebih dari lima puluh kali mempertanyakan siapa pemilik kuda ini?Seolah-olah telah terjadi peristiwa politis yang sangat gawat yang bisa merusak stabilitas dan keamanan. Akhirnya untuk menghentikan pertanyaan naif yang bertubi-tubi, ada seseorang menga- ku bahwa kuda itu merupakan miliknya sementara orang yang lain lagi mengakui dokar itu sebagai miliknya. Maka, keluarlah perintah untuk menangkap mereka berdua.
Keduanya kemudian digiring bersamaku menuju penjara. Dengan cara-cara seperti ini kami menjadi penonton atas permainan mereka. Kamipun menangis sambil tertawa. Kami tahu bahwa siapa pun yang merintangi risalah dan murid-murid Nur, pastilah mereka menjadi bahan tertawaan dan bahan ejekan orang.
Berikut ini kuketengahkan sebuah percakapan singkat sebagai contohnya. Sebelum mengetahui isi tulisan menyangkut tuduhan yang diarahkan kepadaku bahwa aku telah mengganggu stabilitas keamanan, kukatakan kepada jaksa penuntut umum, “Kemarin kusampaikan kepada salah seorang anggota polisi yang menginterogasiku, wakil dari kepala keamanan, ‘Semoga Allah menyiksaku (tiga kali) jika aku tidak mengabdi bagi keamanan negeri ini seribu kali lebih banyak dari yang dilakukan kepala keamanan dan penuntut umum’.”
Kemudian di saat aku sangat membutuhkan kenyamanan, ketenangan, dan kehangatan, maka tindakan mereka yang mengasingkan diriku dalam kondisi yang sangat dingin ini, memindahkanku dari satu kota ke kota lain yang asing bagiku, serta menyiksaku dengan sesuatu yang di luar kemampuanku, semuanya menunjukkan bahwa tindakan mereka itu merupakan wujud dari kedengkian terpendam dan kesengajaan. Semua itu membuatku sangat marah dan tidak senang kepada mereka. Namun kemudian Allah menolongku sekaligus menyadarkan kalbuku akan makna berikut:
Takdir Tuhan yang pasti adil mempunyai andil yang sangat besar dalam memberikan peluang kepada mereka untuk berbuat zalim kepadamu. Rezekimu di penjara itulah yang telah mengundangmu ke penjara. Karena itu, engkau harus menerimanya dengan ridha.
Hikmah dan rahmat Tuhan juga mempunyai bagian yang sangat besar dalam hal ini bahwa menerangi dan menghibur para penghuni penjara serta engkau pun mendapatkan pahala yang besar. Jadi, engkau harus ribuan kali bersyukur kepada Allah dalam kesabaran demi keuntungan besar tersebut.
Selain itu, dirimu juga mempunyai bagian karena ia memiliki banyak kesalahan. Dengan begitu ia harus dilawan dengan istighfar, taubat, kembali kepada Allah, disamping menyadari bahwa diri ini memang layak untuk diberi pelajaran.
Selanjutnya para pejabat yang dungu serta para pengecut yang tertipu yang terdorong untuk berbuat zalim karena intrik musuh juga mempunyai andil. Risalah Nur telah membalas kaum munafik itu dengan berbagai “tamparan maknawi” yang menyentak sehingga hal itu sudah cukup bagi mereka.
Adapun andil terakhir dimiliki oleh para petugas yang berposisi sebagai orang-orang yang berbuat langsung. Namun karena dilihat dari sisi keimanan mereka telah mengambil manfaat dari melihat dan membaca Risalah Nur yang niat awalnya mengkritik dan mencari sisi kesalahan, maka alangkah mulianya jika engkau memaafkan dan mengampuni mereka seperti bunyi ayat al-Qur’an: “Yang menahan emosi dan memaafkan kesalahan orang.” (QS. Ali Imrân [3]: 134).
Setelah ditegur dan disadarkan kepada sesuatu yang hak dan benar, aku berikrar untuk senantiasa bersabar, bersyukur, dan bergembira berada di “Madrasah Yusufiyah” yang baru ini. Bahkan, aku bertekad untuk selalu memberikan pertolongan dan bantuan bahkan kepada mereka yang telah berbuat jahat kepadaku serta memusuhiku sebagai teguran bagi diriku atas segala kekurangan yang ada.
Selanjutnya orang yang sudah berusia 75 tahun sepertiku, yang ikatannya dengan dunia telah terputus, yang para kerabatnya di dunia ini tinggal sedikit, sementara sekitar 70 ribu naskah Risalah Nur telah melakukan tugas dakwahnya secara bebas, lalu ia mempunyai banyak saudara dan pewaris yang menunaikan tugas keimanan dengan ribuan lisan sebagai ganti dari satu lisan ini, maka kuburan bagi orang sepertiku seratus kali lebih baik daripada penjara. Di samping itu, penjara ini ratusan kali jauh lebih baik daripada bebas tapi terikat, serta lebih nyaman daripada hidup di bawah tekanan kontrol dan kekuasaan orang. Sebab, seseorang masih bisa bersabar bersama ratusan tahanan lain meskipun berada di bawah tekanan beberapa petugas berwenang, seperti kepala lapas dan kepala sipir. Dalam kondisi tersebut hatinya masih terhibur dengan keberadaan banyak teman di sekitarnya. Sementara jika berada di luar, ia harus menerima intimidasi ratusan pejabat dan petugas. Selain itu, secara agama dan fitrah, manusia senantiasa memberikan kasih sayangnya kepada para orang tua. Terutama mereka yang berada dalam kondisi seperti ini. Sehingga kesulitan dan siksa di penjara berubah menjadi kasih sayang pula. Karena itu, aku rela hidup di penjara.
Ketika aku datang ke pengadilan yang ketiga, aku duduk di atas sebuah kursi yang berada di luar pintu pengadilan karena aku merasa payah dan sulit berdiri akibat kondisi yang sudah sangat lemah, tua, dan sakit. Tiba-tiba sang hakim datang sambil berbicara dengan nada marah dan meremehkan, “Mengapa orang ini tidak menunggu dengan berdiri?!” Sontak hatiku sangat marah karena orang tersebut sama sekali tidak memiliki rasa kasihan kepada orang tua. Ketika kupalingkan wajahku, tampak kerumunan kaum muslimin menatapku dengan pandangan iba, kasihan, dan menyiratkan adanya persau- daraan. Sehingga tak ada seorang pun yang bisa mengalihkan sorot pandangan mereka. Saat itulah ada dua kenyataan yang masuk ke dalam relung hatiku:
Pertama, para musuhku dan musuh Risalah Nur yang bersem- bunyi di balik tirai itu telah menipu para pejabat yang lalai dan telah berhasil menggiring para pejabat tersebut untuk berbuat keji guna merendahkan pribadiku di hadapan banyak orang sekaligus mema- lingkan penghormatan dan penghargaan yang mereka berikan kepadaku yang sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya. Karena itu, saat menghadapi penghinaan yang dilakukan oleh satu orang manu- sia, Tuhan memberikan pertolongan-Nya dengan memalingkan per- hatianku kepada kerumunan orang yang berjumlah ratusan itu sebagai bentuk penghormatan kepadaku atas pengabdian yang selama ini dilakukan oleh Risalah Nur dan para pengikutnya. Seolah-olah Tuhan berkata, “Lihatlah kepada mereka! Mereka datang untuk menyambutmu karena pengabdian yang kau lakukan itu. Mereka datang membawa kalbu yang penuh dengan rasa simpati, sedih, kagum, dan terikat kuat.”
Bahkan pada hari kedua, saat aku menjawab beberapa perta- nyaan hakim ketika ribuan orang berkumpul di ruang pertemuan. Raut muka mereka mengekspresikan kondisi mereka seraya berkata, “Jangan tekan mereka.” Karena ikatan mereka dengan kami sangat kuat, pihak kepolisian tidak mampu membubarkan mereka. Pada saat itulah ada bisikan dalam hatiku:
“Dalam keadaan yang sulit ini, orang-orang itu sedang membutuhkan penghibur yang sempurna, cahaya yang tak kenal padam, iman yang kokoh, serta kabar gembira tentang kebahagiaan abadi. Bahkan secara fitrah mereka mencarinya. Mereka mendengar bahwa apa yang sedang mereka cari itu ada dalam Risalah Nur. Karena itu- lah mereka memperlihatkan penghormatan dan penghargaan yang luar biasa kepada diriku—sosok yang tidak ada artinya ini—karena posisiku sebagai orang yang menyuarakan nilai keimanan.”
Kedua, terbesit dalam kalbuku bahwa di saat orang-orang tertentu mengkhianati kami dengan tuduhan merusak stabilitas keamanan, serta di saat mereka bertindak buruk kepada kami dengan tujuan mengalihkan penghormatan manusia dari kami, ada sambutan hangat dan penghargaan yang pantas diterima yang berasal dari para ahli hakikat dan putra-putri generasi mendatang.
Ya, ketika teror di balik tirai komunisme sedang merajalela untuk merusak stabilitas keamanan, justru Risalah Nur dan para muridnya berusaha mengan- tisipasi perusakan menakutkan itu di seluruh pelosok negeri dengan keimanan yang hakiki dan berusaha menjaga stabilitas keamanan.Selama dua puluh tahun berlalu, tidak pernah ada satu kasus perusakan pun yang dilakukan oleh para murid Nur, padahal jumlah mereka sangat banyak tersebar di seluruh pelosok negeri. Tidak ada satu pun dari pihak berwenang yang pernah menemukan atau mencatat sebuah kasus yang dilakukan oleh mereka di sepuluh wilayah yang ada. Bahkan para polisi yang jujur yang berada di tiga wilayah pemerintahan menyatakan,
“Para murid Nur layaknya para polisi maknawi. Mereka membantu kami untuk menjaga keamanan. Sebab, dengan keimanan yang hakiki di kepala setiap orang yang membaca Risalah Nur ada pencegah. Mereka berusaha menjaga keamanan negeri ini.”
Penjara Denizli merupakan contoh yang nyata dan tepat bagi apa yang baru saja dikatakan. Begitu murid-murid Nur dan risalah ats-Tsamarah (Buah-buah Keimanan) yang sengaja ditulis bagi para tahanan masuk ke dalam penjara tersebut, lebih dari dua ratus orang tahanan insaf dan kembali ke jalan yang benar. Mereka pun menjadi orang-orang yang taat dan saleh dalam tiga bulan atau lebih. Sampai-sampai seorang yang telah membunuh lebih dari tiga nyawa menjadi takut untuk membunuh seekor kepinding (kutu busuk) sekalipun. Ia tidak lagi berbahaya, justru ia menjadi orang yang bermanfaat dan cinta kepada negerinya.Para pejabat berwenang melihat kondisi ini dengan perasaan kagum dan heran. Bahkan sebelum menerima putusan pengadilan, beberapa pemuda pernah berterus terang dengan mengatakan, “Jika para murid Nur masih tetap berada dalam penjara, maka kami akan menghukum diri kami sendiri agar bisa tetap bersama mereka, belajar kepada mereka, serta memperbaiki diri dengan berbagai pengarahan yang mereka berikan agar kami bisa seperti mereka.”
Karena itu, kalau kemudian mereka menuduh murid-murid Nur—yang memili- ki karakteristik seperti tadi—telah mengganggu stabilitas keamanan pasti mereka telah tertipu. Atau baik disadari maupun tidak, mereka pasti mengabaikan pihak-pihak yang sengaja membuat teror dan kekacauan. Makanya, mereka berusaha menyakiti dan menyiksa kami.
Atas dasar itu, kami katakan kepada mereka, “Selama kematian tidak terbunuh, selama pintu kubur tidak tertutup, selama musafir-musafir tempat jamuan dunia lenyap dan hilang dengan cepat ditelan bumi, maka sebentar lagi pasti kita akan berpisah dan kalian akan mendapat balasan menakutkan atas kezaliman yang telah kalian lakukan. Paling tidak, kalian akan merasakan kematian yang meru- pakan kelapangan hidup bagi kaum mukmin yang teraniaya. Kalian akan merasakan kematian tersebut sebagai pemusnahan abadi. Berbagai kenikmatan fana yang kalian raih dan kalian sangka kekal di dunia, akan segera berubah menjadi penderitaan abadi yang me- nyakitkan.”
Hakikat Islam yang berhasil dimiliki oleh umat beradab ini sekaligus dipelihara lewat darah ratusan juta para syuhada yang termasuk dalam tingkatan para wali serta lewat pedang-pedang pahlawan pejuangnya, saat sekarang ini secara sangat disayangkan kadangkala disebut oleh para musuh yang munafik itu dengan istilah “Tarekat Sufi”. Lalu mereka tampakkan tarekat sufi yang merupakan salah satu cahaya matahari yang bersinar sebagai matahari itu sendiri untuk memberikan gambaran yang salah tentangnya kepada para pejabat yang awam. Mereka juga menyebut para murid Nur yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menampakkan hakikat al-Qur’an dan keimanan sebagai “Penganut Tarekat Sufi” atau “Asosiasi politik.” Hal itu dimaksudkan untuk merusak dan memojokkan kami. Karenanya, kepada mereka dan kepada setiap pengikut mereka, kami ingin menyampaikan apa yang telah kami utarakan di depan Pengadilan Denizli yang adil itu:
“Hakikat suci yang telah ditebus oleh jutaan kepala itu juga ditebus oleh kepala kami. Andaikata kalian menyalakan api di atas kepala kami, maka kepala-kepala yang telah rela berkorban untuk hakikat al-Qur’an tersebut tidak akan tunduk kepada kaum zindik dan insya Allah tidak akan pernah meninggalkan tugas sucinya.”
Demikianlah, aku tidak mau mengganti satu tahunpun dari usia senjaku—di mana berbagai peristiwa di dalamnya melahirkan keputusasaan, beban berat, kepedihan, dan penderitaan, tetapi kemudian terobati dengan pelipur lara yang bersumber dari iman dan al-Qur’an—dengan sepuluh tahun usia mudaku yang begitu menyenangkan. Khususnya setiap jam bagi mereka yang bertaubat dan melaksanakan shalat fardhu di penjara senilai dengan sepuluh jam ibadah. Demikian pula satu hari yang dilewati oleh orang yang sakit, sementara ia dalam kondisi teraniaya membuat pemiliknya memperoleh pahala sepuluh hari yang bersifat abadi. Jadi, kehidupan semacam ini sangat patut disyukuri oleh orang sepertiku yang sedang menunggu giliran di tepi kubur. Ya, inilah yang bisa kupahami dari peringatan dan teguran di atas. Maka kuucapkan syukur tak terhingga kepada-Nya. Aku sangat gembira dengan kerentaanku ini dan aku juga rela berada di penjara.
Sebab, umur tidak pernah berhenti, tetapi ia terus berlalu dengan cepat. Jika berlalu dengan kenikmatan dan kesenangan, ia akan melahirkan kesedihan dan kenestapaan. Sebab, biasanya hilangnya kenikmatan memunculkan penderitaan. Kemudian jika umur tersebut berlalu dengan terus diisi kelalaian tanpa pernah bersyukur, ia akan mewariskan dampak-dampak dari dosa, sementara dirinya sendiri musnah dan lenyap. Adapun jika umur itu berlalu dengan kesulitan dan penahanan, karena lenyapnya penderitaan melahirkan kenikmatan, maka hidup semacam ini terhitung sebagai bagian dari ibadah. Karena itu, di satu sisi ia akan tetap abadi serta membuat pemiliknya memperoleh kehidupan yang kekal berikut hasil-hasilnya yang juga kekal. Juga di sisi lain, ia menjadi penebus seluruh dosa ter- dahulu dan pembersih segala kesalahan yang menyebabkan ia masuk ke dalam penjara. Dilihat dari perspektif ini, para tahanan yang telah menunaikan kewajiban mereka harus bersyukur kepada Allah ser- aya terus bersabar.
Harapan Keenam Belas
Ketika diasingkan ke daerah Kastamonu(*[28])setelah dua tahun dihukum di penjara Eskisyehir di saat aku sudah tua. Aku ditahan di sana, di markas kepolisian, selama sekitar tiga bulan. Tentu saja kalian sudah mengetahui betapa hebat penderitaan yang dialami oleh orang sepertiku di tempat seperti itu.
Ia terisolasi dari manusia, tidak bisa tinggal bersama orang lain bahkan meskipun dengan para sahabat yang setia, serta tidak bisa mengganti baju yang biasa dikenakan.(*[29])Ketika diliputi oleh keputusasaan, tiba-tiba Tuhan menolong kerentaanku. Sebab, kepala polisi bersama para polisi menjadi teman-teman yang setia. Mereka bisa mengeluarkanku kapan saja untuk jalan-jalan di sekitar kota dan melayaniku layaknya seorang pembantu. Selain itu, mereka tidak pernah memaksaku untuk me- makai topi Eropa.
Lalu aku masuk ke madrasah Nur yang berada di depan kantor polisi di Kastamonu. Akupun memulai penulisan beberapa risalah. Seiring dengan itu, Feyzi, Emin, Hilmi, Sadiq, Nazif, dan Salahuddin serta para tokoh Nur lainnya mulai mendatangi madrasah tersebut secara rutin guna menyebarkan dan memperbanyak risalah-risalah yang ada. Dalam kajian yang mereka jalankan di sana, mereka memperlihatkan kemampuan istimewa melebihi apa yang telah pernah kulalui di saat masih muda bersama murid-murid sebelumnya.
Selanjutnya, para musuh yang bersembunyi di balik tirai mulai memprovokasi sebagian pihak berwenang dan sebagian guru yang egois serta pimpinan tarekat sufi untuk menyerang kami. Akhirnya mereka menjadi sebab berkumpulnya kami di “Madrasah Yusufiyah”, yaitu Penjara Denizli, bersama murid-murid Nur lainnya yang datang dari beberapa daerah. Penjelasan rinci mengenai Harapan keenam belas ini terdapat dalam risalah yang kukirim secara rahasia dari kota Kastamonu yang tertuang dalam buku “Mulhaq Kastamonu” serta dalam beberapa risalah singkat dan rahasia yang kukirim kepada para saudaraku dari Penjara Denizli. Substansi dari harapan ini tam- pak secara jelas di dalamnya. Sekarang kita menyerahkan perinciannya kepada “al-Mulhaq” dan “pembelaan”, kita akan menyebutkannya secara ringkas:
Aku telah menyembunyikan beberapa risalah khusus dan kumpulan tulisan yang penting, terutama tulisan yang berbicara tentang Dajjal di kalangan kaum muslimin dan tentang beberapa keistimewaan Risalah Nur. Aku menyembunyikannya di bawah tumpukan kayu dan arang untuk disebarkan sepeninggalku, atau setelah para telinga pimpinan itu mau mendengar, dan setelah kepala mereka mau menyadari hakikat yang ada. Aku merasa tenteram dalam hal ini. Namun manakala petugas investigasi dan staf jaksa menggeledah rumah kami sekaligus mengeluarkan risalah-risalah penting yang tersembunyi di bawah tumpukan kayu dan arang itu, mereka segera membawaku ke penjara Isparta padahal ketika itu aku sedang sakit.
Pada saat aku sangat terpukul dan secara serius memikirkan bahaya yang akan menimpa Risalah Nur, pertolongan Tuhan datang untuk membantu kami semua. Pihak-pihak berwenang yang sebe- tulnya sangat perlu membaca berbagai risalah penting yang tersembunyi itu mulai mempelajarinya dengan sangat serius. Akhirnya kantor-kantor pemerintahan pun berubah menjadi semacam madrasah Nur. Sebab, kritikan dan celaan mereka berubah menjadi pujian dan kekaguman. Bahkan di Denizli tanpa kami ketahui banyak sekali orang-orang, baik dari aparat berwenang maupun dari kalangan lainnya, membaca risalah al-Ayat al-Kubra (Tanda Kekuasaan-Nya Yang Agung) yang dicetak dengan sangat rahasia. Dengan begitu, mereka bertambah iman dan menjadi sebab yang membuat musibah kami seolah-olah tak pernah ada.
Kemudian mereka menjebloskan kami ke penjara Denizli dan meletakkanku di sebuah ruangan yang berbau busuk, lembab dan sangat dingin. Akupun menjadi sangat sedih dan sakit dengan ujian yang menimpa teman-teman akibat diriku. Selain itu, aku merasa sangat sedih dengan berhentinya penyebaran Risalah Nur. Semua hal tersebut terakumulasi membuat diriku gelisah dan risau. Namun kemudian datanglah pertolongan Tuhan yang mengubah penjara menakutkan tadi menjadi madrasah Nuriyah. Sungguh benar bahwa penjara tersebut telah menjadi Madrasah Yusufiyah. Sejak saat itu Risalah Nur mulai tersebar melalui pena mas yang dimiliki oleh para pahlawan “Madrasah az-Zahra”.Bahkan ada seorang murid Nur(*[30])yang telah menyalin lebih dari dua puluh naskah dari risalah ats-Tsamarah (Buah-buah keimanan) dan pembelaan selama tidak lebih dari empat bulan dalam kondisi buruk semacam itu. Naskah-naskah tersebut kemudian menjadi sebab bagi datangnya berbagai karunia Tuhan, baik di dalam maupun di luar penjara. Ia telah mengubah penderitaan yang kami derita menjadi berbagai keberuntungan sekaligus mengubah kerisauan dan kesedihan kami menjadi kebahagiaan. Sekali lagi dalam hal ini ia menampakkan salah satu rahasia ayat al-Qur’an yang berbunyi:“Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia sangat baik bagi kalian.” (QS. al-Baqarah [2]: 216).
Setelah itu muncul sebuah keterangan yang menghantam kami yang didasarkan pada pernyataan dangkal dan keliru dari para ahli penyelidik. Lalu menteri pendidikan pun “menyerang” kami secara sangat tajam sehingga membuat sebagian orang menuntut hukuman mati terhadap kami bahkan mereka berusaha keras untuk melakukannya. Dalam kondisi yang sulit seperti itu, pertolongan Tuhan datang membantu kami.
Ketika kami menunggu berbagai kritikan yang pedas dan tajam dari tim ahli penyelidik Ankara, ternyata per- nyataan mereka justru mengandung kekaguman dan penghargaan terhadap berbagai Risalah Nur. Disamping itu, dari lima kotak Risalah Nur mereka hanya menemukan beberapa kesalahan yang jum- lahnya tidak lebih dari sepuluh. Sebagaimana kami membuktikan kepada pengadilan bahwa berbagai kesalahan yang mereka katakan itu sebetulnya bukan kesalahan, melainkan kebenaran, demikian pula yang salah justru sangkaan mereka sendiri. Kami terangkan bahwa dalam pernyataan yang terdiri dari lima lembar itu terdapat sekitar sepuluh kesalahan.Ketika kami menunggu ancaman dan keputusan tegas dari tujuh jalur formal pemerintah yang dikirimi Risalah Tsamarah dan Pembelaan sebagaimana semua risalah juga dikirimkan pada kalangan peradilan, terutama risalah-risalah yang secara khusus berisi pukulan keras kepada kaum yang sesat, tiba-tiba putusan mereka sangat lunak seperti surat yang dikirimkan Perdana Menteri kepada kami. Seolah-olah mereka memperlihatkan keinginan untuk berdamai dengan kami.
Semua ini tentu saja secara tegas membuktikan bahwa berkat karunia dan kemurahan-Nya, Risalah Nur berhasil mengalahkan mereka hingga membuat mereka mau membaca dan mengambil petunjuk darinya. Pada waktu yang sama, lingkungan pemerintahan itupun berubah menjadi semacam madrasah Nur. Risalah-risalah tersebut telah berhasil menyelamatkan orang-orang yang sedang bingung dan ragu sekaligus memperkuat keimanan mereka. Hal itu membuat kami sangat senang dan gembira sehingga mengalahkan kesulitan dan penderitaan yang kami alami.
Selanjutnya, para musuh yang tak tampak itu memasukkan racun ke dalam makananku. Akibat dari pengaruh racun tersebut, pahlawan Nur, Syahid Hafidz Ali, dibawa ke rumah sakit sebagai ganti dariku dan di sana ia menghembuskan nafas yang terakhir. Kejadian ini betul-betul membuat kami menangis dan bersedih atasnya. Sebelum datangnya musibah tersebut, saat berada di atas gunung Kastamonu aku berkata bahkan berkali-kali aku menegas- kan, “Wahai saudara-saudaraku, jangan memberi daging kepada kuda dan jangan pula memberi rumput kepada singa”. Artinya, ja- ngan kalian memberikan risalah kepada setiap orang, karena kha- watir mereka akan berbuat jahat kepada kita. Dalam hal ini seakan- akan saudara Hafidz Ali mendengar ucapanku itu lewat “telepon maknawi”, padahal ia berada di sebuah tempat sejauh tujuh hari perjalanan. Pada waktu bersamaan, ia menulis surat kepadaku yang isinya adalah sebagai berikut, “Ya, wahai guruku. Di antara karamah Risalah Nur adalah ia tidak memberi daging kepada kuda dan tidak memberi rumput kepada singa. Tetapi sebaliknya, ia memberi rum- put kepada kuda dan memberi daging kepada singa”. Ia berikan surat tersebut dan tujuh hari kemudian kami pun menerimanya. Setelah dihitung-hitung kami menyadari bahwa ia telah menuliskan ungkapan yang sama itu di saat aku menegaskannya secara berulang-ulang di atas gunung Kastamonu.
Pada saat pahlawan Nur yang semacam beliau wafat, pada saat kaum munafik berusaha menghukum kami, serta pada saat aku terus merasa gelisah karena mereka membawaku ke rumah sakit akibat penyakit yang berasal dari racun tadi. Pada saat semua kesulitan menghimpit kami, tiba-tiba pertolongan Tuhan datang membantu kami.
Doa tulus yang dipanjatkan oleh teman-teman yang baik berhasil menawar racun tadi.Ada petunjuk yang sangat kuat bahwa pahlawan yang telah mati syahid tersebut sibuk dengan Risalah Nur dan menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat dengannya. Lalu pahlawan Denizli, Hasan Feyzi, berikut beberapa temannya yang setia akan menggantikan kedudukan beliau sekaligus mengisi tugas beliau dalam mengabdi kepada Risalah Nur secara rahasia. Di lain sisi para musuh telah sepakat bahwa kami semua harus dikeluarkan dari penjara. Sebab, mereka khawatir Risalah Nur akan tersebar luas dan mendapat respon yang cepat dari para tahanan agar hubungan antara kami dan para tahanan itu terputus. Para murid Nur memang telah mengubah kesunyian penjara menjadi seperti gua ashabul kahfi atau gua tempat tinggal orang-orang zuhud. Dengan tenang, mereka berusaha menulis dan menyebarkan Risalah Nur. Semua itu menegaskan bahwa Tuhan telah membantu dan menolong kami.
Terlintas di dalam kalbu kami bahwa imam besar seperti Abu Hanifah an-Nu’man dan yang lainnya pernah dipenjara lalu bersabar dalam menjalani penyiksaan di dalamnya. Demikian pula Imam Ahmad dan tokoh besar lainnya, mereka banyak mendapat siksa hanya karena salah satu persoalan tentang al-Qur’an. Dalam menghadapi seluruh ujian yang keras itu mereka sangat sabar tanpa menunjukkan sedikitpun kegusaran dan keluhan. Juga, mereka tak pernah menarik kembali ucapan yang pernah disampaikan. Begitu pula dengan para ulama dan imam besar lainnya, mereka semua tidak gentar sedi- kitpun menghadapi penderitaan dan siksa yang menimpa mereka. Justru mereka bersabar dan bersyukur kepada Allah padahal ujian yang menimpa mereka itu jauh lebih hebat dari apa yang kalian dapatkan. Karena itu, kalian harus banyak bersyukur kepada Allah atas bencana kecil dan kesulitan ringan yang kalian dapati dalam rangka membela al-Qur’an serta atas pahala besar yang akan kalian dapatkan darinya.
Di sini aku akan menjelaskan secara singkat beberapa wujud pertolongan Tuhan yang datang di tengah-tengah kezaliman manusia:
Ketika berusia dua puluh tahun aku selalu menyatakan bahwa di akhir-akhir umurku nanti aku akan berkhalwat di sebuah gua untuk menjauhkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan masyarakat seperti yang dilakukan oleh kaum zuhud di pegunungan. Ketika tertawan di Timur Laut Rusia saat Perang Dunia Pertama, aku juga telah berikrar untuk menghabiskan sisa umurku di gua-gua guna menjauh dari kehidupan sosial dan politik. Namun sebagai bentuk kasih sayang- Nya kepadaku yang telah tua ini, pertolongan Tuhan dan keadilan takdir-Nya mengubah bayangan gua-gua tersebut kepada sesuatu yang lebih baik dan lebih mulia, jauh melebihi apa yang kuinginkan. Dia telah mengganti gua tadi dengan penjara sebagai tempat khalwat. Dia berikan kepadaku berbagai “Madrasah Yusufiyah” sebagai ganti dari gua-gua pegunungan yang dipakai oleh mereka yang sedang melakukan latihan ruhani. Hal itu dimaksudkan agar waktu kami tidak terbuang secara percuma. Sebab di penjara tersebut selain terdapat berbagai manfaat ukhrawi, juga terdapat tugas jihad untuk mendakwahkan al-Qur’an dan persoalan iman.
Bahkan setelah saudara-saudaraku dibebaskan aku bertekad untuk melakukan sesuatu yang bisa membuatku masuk dan tetap berada di sel penjara bersama Husrev, Feyzi, dan para pejuang lainnya yang ikhlas dan setia dalam mengabdi agar aku tidak lagi berbaur dengan masyarakat, tidak membuang-buang waktu dalam hal yang tidak perlu, serta tidak lagi berbuat sesuatu yang tujuannya ingin dikenal orang.
Hanya saja kemudian takdir Ilahi mendorong kami untuk pergi ke tempat khalwat yang lain.
Sesuai dengan bunyi ungkapan, “Yang terbaik adalah pilihan Allah,” sesuai dengan rahasia ayat al-Qur’an, “Boleh jadi kalian membenci sesuatu padahal ia lebih baik bagi kalian,” serta sebagai bentuk kasih sayang Tuhan terhadap kerentaanku, dan agar kami berupaya keras dalam berdakwah, maka kami pun diberi sebuah misi dan tugas yang berada di luar koridor kehendak dan kemampuan kami di “Madrasah Yusufiyah” yang ketiga ini.
Ya, di balik adanya perubahan dari gua seperti yang dibayangkan di masa muda, di saat ia tak memiliki musuh jahat, kepada kamar-kamar penjara yang sunyi terdapat tiga hikmah dan manfaat penting untuk pengabdian terhadap Risalah Nur:
Hikmah dan Manfaat Pertama Berkumpulnya murid-murid Nur saat ini tanpa ada seorangpun yang mengganggu bisa terjadi di Madrasah Yusufiyah. Sebab bertemunya mereka di luar penjara bisa jadi menimbulkan prasangka dan kecurigaan serta membutuhkan biaya. Sebab, sebagian mereka harus mengeluarkan sekitar 50 lira untuk sebuah perjumpaan yang tidak lebih dari dua puluh menit. Atau bisa juga mereka pulang ke daerahnya tanpa bisa bertemu. Karena itu, kutahan kesulitan di penjara ini bahkan kuterima ia dengan gembira demi untuk bisa terus bertemu dengan para saudara yang setia. Dengan demikian, bagi kami penjara merupakan nikmat dan rahmat.
Hikmah dan Manfaat Kedua Dakwah dan penyebaran iman yang dilakukan lewat Risalah Nur ini harus dilakukan di setiap waktu dan di setiap tempat. Berdasarkan hal tersebut, masuknya kami ke dalam penjara bisa menarik perhatian orang-orang kepada Risalah Nur sehingga bisa dikata- kan bahwa itulah yang membantu proses penyebarannya. Beberapa orang yang keras kepala serta beberapa orang yang membutuhkan telah berhadapan dengan Risalah Nur sehingga risalah tadi berhasil mematahkan sifat keras kepala mereka sekaligus menyelamatkan ke- imanan mereka. Mereka lolos dari kehancuran dan wilayah madrasah Nur pun menjadi luas.
Hikmah dan Manfaat Ketiga Setiap murid Nur yang masuk ke dalam penjara bisa saling mengenali kondisi masing-masing serta bisa saling belajar untuk berperilaku baik, bersikap ikhlas, dan rela berkorban. Karenanya, sesudah itu mereka tidak lagi memedulikan keuntungan duniawi dalam melakukan pengabdian terhadap Nur.Ya, mereka bisa bersikap ikhlas karena dari banyak petunjuk yang ada mereka mengetahui bahwa setiap kesulitan dan penderitaan di “Madrasah Yusufiyah” memberikan puluhan keuntungan maknawi dan materi, hasil-hasil yang tak tampak, serta berbagai pengabdian imani yang bersifat luas dan tulus. Bahkan keuntungan tersebut bisa mencapai seratus kali lipat. Karena itu, mereka tidak mau berlomba untuk mendapatkan berbagai keuntungan pribadi yang tidak ada artinya.
Bagiku, tempat-tempat khalwat dan itikaf tersebut (penjara) memang sedikit menyiratkan kesedihan. Namun demikian di dalamnya ada kenikmatan sebagai berikut:
Di sini aku merasakan berbagai kondisi dan keadaan seperti yang kurasakan ketika masih muda saat berada di kampung dan madrasahku dulu. Sebab seperti kebiasaan daerah Timur, makanan sebagian murid madrasah berasal dari luar madrasah, sementara sebagian lagi memasak sendiri di madrasah. Di sini aku melihat hal yang sama sehingga membuatku teringat masa-masa ketika masih muda. Aku pun pergi membawa pikiranku melayang ke masa silam tersebut sekaligus melupakan kerentaan yang ada.
Lampiran Cahaya Kedua Puluh Enam
Yaitu “Surat Kedua Puluh Satu”. Termuat sebagai bagian dari buku al-Maktûbât.
- ↑ *Pada naskah tulisan tangan yang sudah diedit sebelumnya, penulis menambahkan catatan kaki berikut ini: “Berbagai harapan yang tersisa (harapan ke-14 sampai harapan ke-26) belum ditulis karena datangnya musibah yang kita kenal bersama (penjara Eskisyehir). Kemudian karena tidak ada lagi kesempatan, akhirnya risalah ini tetap dalam kondisi kurang lengkap”.
- ↑ *Lihat takhrij-nya pada Cahaya Keempat.
- ↑ *Niyazi al-Mishri adalah seorang penyair Turki dan penganut tarekat sufi (1618 – 1694 M). Ia dilahirkan di sebuah desa yang dekat dengan kota Malatya. Ia menyelesaikan studinya di universitas al-Azhar-Mesir sehingga dijuluki al-Mishri. Ia banyak menulis ontologi syair dan berbagai karya tulis lainnya, di antaranya adalah: Risalah al-Hasanain, Mawâ’id al-‘Irfân wa ‘Awa’id al-Ihsân, dan Hidâyah al-Ikhwân. Ia telah mengajar di se- jumlah sekolah di Istanbul.
- ↑ *Fudhûli al-Bagdâdi (1494 – 1556 M) adalah nama pena dari seorang penyair yang bernama Muhammad ibn Sulaiman. Ia dilahirkan di Karbala, Irak. Ia telah menulis banyak syair dan ontologi dalam bahasa Turki, Arab, dan Persia. Karyanya yang terkenal adalah Malhamah Majnûn Lailî. Ia wafat di Karbala pada tahun 1556 M.
- ↑ *Abu Dzar d meriwayatkan: “Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, berapa jumlah para nabi? Beliu menjawab, ‘Seratus dua puluh empat (124) ribu. Di antara mereka ada tiga ratus lima belas (315) Rasul’.” (Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 5/265; Ibnu Hibbân, ash-Shahîh, 2/77; ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, 8/217; al-Hâkim, al-Mustadrak, 2/652; dan Ibnu Sa’ad, ath-Thabaqât al-Kubrâ, 1/23, 54
- ↑ *Mudahnya menerima suatu “perkara yang pasti” dan betapa sulitnya menafikan serta mengingkarinya tampak pada contoh berikut. Seseorang berkata, “Di muka bumi terdapat sebuah taman yang luar biasa. Buahnya seperti kemasan susu.” Namun yang lain menyangkal pernyataan tersebut dengan berujar, “Tidak, tidak ada taman seperti itu.” Maka orang yang pertama dapat dengan mudah membuktikan perkataannya dengan hanya memperlihatkan tempat di mana taman itu berada atau memperlihatkan sebagian buahnya. Adapun orang kedua yang ingkar, ia harus melihat dan memperlihatkan seluruh penjuru bumi untuk membuktikan pernyataannya yang menyangkal keberadaan taman tersebut.Begitulah kondisi mereka yang menginformasikan keberadaan surga. Mereka memperlihatkan ratusan ribu percikannya serta menjelaskan buah dan jejaknya. Apalagi dua orang saksi jujur di antara mereka sudah cukup untuk membuktikan ucapan mere- ka. Sebaliknya, orang-orang yang tidak percaya, mereka tidak dapat membuktikan per- nyataannya kecuali setelah menyaksikan alam yang tak terbatas ini dan masa yang tak terhingga dengan menelusuri semua sisinya. Ketika mereka tidak melihatnya, pada saat itulah mereka baru dapat menetapkan penafian mereka. Wahai saudara-saudaraku yang lansia, ketahuilah betapa agungnya iman kepada akhirat—Penulis.
- ↑ *Kondisi jiwa tersebut muncul dalam bentuk munajat kepada kalbu dalam bahasa Persia. Kutuliskan ia sebagaimana adanya. Kemudian, kumasukkan ke dalam Risalah Hubab, dan dicetak di Ankara—Penulis.
- ↑ *Karya Abu al-‘Atâhiyyah. Al-Jâhizh, al-Bayân wa at-Tabyîn 1/429.
- ↑ *Lihat: Bukhari, at-Târîkh al-Kabîr, 3/472; az-Zubaidi, Ittihâf as-Sâdah, 8/81; al-Ajluni, Kasyf al-Khafâ, 1/344-345.
- ↑ *Ibu kota Polandia.
- ↑ *Ibu kota Austria.
- ↑ *Lihat: Abu Ya’lâ, al-Musnad, 11/1287; dan ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, 22/309.
- ↑ *Hakikat ini telah ditegaskan secara pasti seperti kepastian (2 x 2 = 4) dalam berbagai risalah, terutama pada “Kalimat Kesepuluh” dan “Kalimat Kedua Puluh Sem- bilan”—Penulis.
- ↑ *Abdurrahman ibn Abdullah adalah putra dari kakak kandung ustad Said Nursi. Lahir pada tahun 1903 M di Desa Nurs, dan wafat pada tahun 1928 M. Ia dikebumikan di Desa Dzul Fadhli, Ankara. Ia telah menulis biografi Ustadz Nursi hingga tahun 1918 M, dan ia terbitkan dalam sebuah buku yang dicetak di Istanbul.
- ↑ *Lembaga keilmuan tertinggi di bawah naungan Majelis Ulama (Masy-yakhah al-Islamiyah) di Daulah Usmaniyah.
- ↑ *Demikianlah, adik dari pemuda itu (Mustafa) yang bernama Ali Kecil menegaskan bahwa ia persis seperti Abdurrahman dengan menulis lebih dari tujuh ratus naskah risalah nur lewat penanya yang indah. Bahkan, ia telah berhasil mendidik sejumlah Abdurrahman lainnya—Penulis.
- ↑ *Ya, pemuda itu memperlihatkan bahwa ia tidak hanya layak diterima, tetapi ia juga layak untuk disambut—Penulis. Ada sebuah peristiwa yang kuceritakan untuk membuktikan ucapan guruku bahwa Mustafa sebagai murid utama Risalah Nur layak untuk disambut:“Ustadz Nursi ingin berjalan-jalan sehari sebelum hari Arafah. Maka ia pun meng- utusku untuk menyiapkan seekor kuda. Kukatakan kepada beliau, ‘Ustadz tidak usah turun untuk mengunci pintu. Biar aku saja yang menguncinya, dan aku akan keluar dari pintu belakang’. Beliau kemudian menjawab, ‘Tidak, keluarlah dari pintu tersebut’. Ia turun dan mengunci pintu tersebut dengan gembok. Lalu ia masuk ke kamar dan berbaring. Tidak lama kemudian, Mustafa Kuleonlu datang ditemani Haji Usman. Pada hari itu, sebenarnya Ustadz Nursi tidak mau menerima seseorang, apalagi sampai dua orang tamu secara bersamaan, pastilah ia menolak keduanya. namun ketika Mustafa tersebut datang ditemani Haji Usman, pintu tadi seolah-olah menyambut kedatangannya dengan berkata, ‘Guruku memang tidak akan menerimamu. Namun aku akan membuka diri untukmu’. Pintu yang terkunci itu pun terbuka. Jadi, sungguh benar apa yang dikatakan Ustadz Nursi tentang Mustafa. Ia memang orang yang layak diterima dan disambut. Sebagaimana pintu rumah beliau pun telah menjadi saksi atasnya”—Khusrev.Ya, apa yang ditulis oleh Khusrev di atas, benar adanya. Pintu rumah yang kutem- pati telah menerima dan menyambut Mustafa sebagai ganti dariku—Said Nusi.
- ↑ *Peristiwa tentang madrasah yang disebutkan di Harapan Ketiga Belas ini terjadi tiga belas tahun yang lalu. Ia sungguh merupakan tawafuq (kesesuaian) yang tepat— Penulis.
- ↑ *Al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, 7/396; dan ad-Dailami, al-Musnad, 4/51.
- ↑ *Seperti gempa, badai, banjir, wabah dan kebakaran—Penulis.
- ↑ *Abu Ya’lâ, al-Musnad, 1/467; ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, 22/83; al- Mu’jam al-Ausath, 1/94; dan al-Baihaqi, Syu’ab al-Iman, 6/168.
- ↑ *Lihat: ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Ausath, 5/270; Musnad asy-Syâmîyyîn, 2/268; asy-Syaibâni, as-Sunnah, 1/16; al-Ajlûni, Kasyf al-Khafâ, 1/284.
- ↑ *Yang dimaksud adalah ‘Tingkatan Keenam’ pada “Sinar Keempat” dalam buku asy-Syu’â’ât.
- ↑ *Karena proses penulisan Risalah Nur telah selesai tiga tahun yang lalu, maka Harapan Kelima Belas sengaja dituliskan untuk menyempurnakan risalah untuk para lansia ini oleh salah seorang murid nur—Penulis.
- ↑ *Sebuah kota yang terletak di antara kota afyon dan Eskisyehir. Di kota tersebut Ustadz Nursi diasingkan pada tahun 1944 - 1951 M.
- ↑ *Selama hidupnya, Ustadz Nursi berusaha untuk mendirikan madrasah (universitas) yang menggabungkan antara pelajaran agama dan umum. Ia meletakkan batu pertama bagi pembangunan madrasah tersebut pada tahun 1911 di dekat danau Van. Namun kondisi Perang Dunia I telah menghambat penyelesaian proyek tersebut. Hanya saja, Allah kemudian memberikan pertolongan sebagai ganti dari madrasah tersebut dengan sebuah ‘Madrasah lain’ yang ranting-rantingnya menyebar ke seluruh pelosok negeri. Ia adalah Dershane (Pusat Kajian Risalah Nur). Dari sini, Ustadz Nursi menganggap murid-murid nur sebagai murid Madrasah az-Zahra.
- ↑ *Maksudnya, penjara Afyon tahun 1948 M.
- ↑ *Sebuah kota yang terletak di wilayah utara Turki. Di kota tersebut Ustadz Nursi diasingkan pada tahun 1936 M. Ia terus berada di sana sebagai tahanan rumah hingga dipindah darinya pada tahun 1943 M untuk dibawa ke proses persidangan di pengadilan tinggi di Denizli.
- ↑ *Ketika itu, masyarakat dipaksakan untuk memakai topi dan baju ala Eropa setelah keluarnya undang-undang etika pada tahun 1925 M.
- ↑ *Maksudnya, al-Hafidz Ali.