On Beşinci Mektup/id: Revizyonlar arasındaki fark
("==Isi pertanyaan kalian yang keempat:== Sebagian besar manusia memeluk agama yang haq sesudah Isa membunuh Dajjal di akhir zaman. Namun dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa, “Kiamat tidak akan terjadi, selama di bumi ini masih ada orang yang mengu- cap Allah...Allah.”(*<ref>*Muslim dalam al-Iman 234, at-Tirmidzi dalam al-Fitan 35, al-Musnad 3/107, 201, dan 268.</ref>)Bagaimana bisa orang-orang dalam jumlah besar menjadi kufur setelah sebelumnya be..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) Etiketler: Mobil değişiklik Mobil ağ değişikliği |
("'''Jawaban:'''Mereka yang imannya lemah menganggap tidak masuk akal hadis sahih yang menjelaskan turunnya Nabi Isa serta bagaimana ia membunuh Dajjal dan mengamalkan syariat Islam. Akan tetapi, kalau hakikat yang sebenarnya dari riwayat tersebut dijelaskan, tidak ada yang aneh dan mustahil." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
134. satır: | 134. satır: | ||
dan 268.</ref>)Bagaimana bisa orang-orang dalam jumlah besar menjadi kufur setelah sebelumnya beriman? | dan 268.</ref>)Bagaimana bisa orang-orang dalam jumlah besar menjadi kufur setelah sebelumnya beriman? | ||
'''Jawaban:'''Mereka yang imannya lemah menganggap tidak masuk akal hadis sahih yang menjelaskan turunnya Nabi Isa serta bagaimana ia membunuh Dajjal dan mengamalkan syariat Islam. Akan tetapi, kalau hakikat yang sebenarnya dari riwayat tersebut dijelaskan, tidak ada yang aneh dan mustahil. | |||
''' | |||
<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> | <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr"> |
09.39, 6 Ocak 2025 tarihindeki hâli
بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ
وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ
Saudaraku yang mulia!
Pertanyaanmu yang pertama berbunyi sebagai berikut: Seperti diketahui bahwa sahabat yang kecil sekalipun jauh lebih agung daripada wali. Namun mengapa para sahabat itu dengan pandangan kewaliannya tidak menyingkap kaum perusak di tengah- tengah masyarakat sehingga mengakibatkan tiga orang dari khulafa arrasyidin mati syahid?
Jawaban atas pertanyaan di atas terdapat dalam dua kedudukan:
Kedudukan Pertama:
Dengan penjelasan tentang rahasia kewalian, pertanyaan tersebut dapat terjawab.
Yaitu bahwa kewalian para sahabat yang mulia adalah kewalian yang besar (wilâyah kubrâ). Sumber dan pilar utamanya berasal dari warisan kenabian. Jalannya tembus dari sisi lahiriah menuju hakikat secara langsung tanpa harus melalui jalur tarekat. Ia adalah kewalian yang mengarah kepada tersingkapnya Aqrabiyah Ilahiyah (pendekatan ilahi terhadap hamba-Nya). Pasalnya, meski sangat singkat, jalan kewalian tersebut mulia dan tinggi. Hal luar biasanya sedikit, serta karamah dan kasyafnya jarang terlihat, tetapi keistimewaan dan keutamaannya sangat tinggi.
Di sisi lain, karamah para wali sebagian besarnya terjadi bukan karena disengaja. Kadang peristiwa luar biasa terjadi tanpa mereka duga sebelumnya. Hal itu sebagai bentuk ikrâm ilahi (kemurahan Allah) kepada mereka. Sebagian besar kasyaf dan karamah tampak pada mereka saat menjalani kehidupan dan suluk rohani serta saat mereka melewati barzakh tarekat. Dalam batas tertentu, ketika terlepas dari kondisi kemanusiaan, mereka meraih kondisi luar biasa.
Adapun sahabat yang mulia tidak harus melewati wilayah yang luas dengan melakukan perjalanan spiritual dan suluk rohani dalam tarekat untuk mencapai hakikat. Hal itu karena mereka mendapatkan pantulan cahaya persahabatan dengan Nabi. Lewat rahasia ini, mereka mampu menembus sisi dzahir menuju hakikat dengan hanya satu langkah dan dalam sekali duduk (bersama Rasulullah).
Misalnya: terdapat dua jalan untuk mendapat Laylatul qadr yang kemarin sudah berlalu:
Pertama, melewati hari demi hari selama setahun dengan sabar untuk bisa sampai kepada malam penuh berkah itu sekali lagi. Dalam hal ini, untuk bisa mendapatkan maqam Qurbiyah Ilahiyah (kedekatan hamba dengan Sang Ilahi), jalan rohani dan perjalanan setahun penuh harus dilalui. Inilah jalan sebagian besar salik di kalangan ahli tarekat.
Kedua, keluar dari bungkus fisik materi yang terikat dengan waktu, kemudian naik secara spiritual ke tempat yang tinggi, serta melihat Laylatul qadr yang kemarin telah berlalu bersama malam hari raya yang datang sehari kemudian di mana keduanya tampak hadir secara nyata seolah-olah seperti hari ini. Hal itu karena ruh tidak terikat dengan waktu. Manakala perasaan manusia naik ke tingkat kehalusan ruh, zaman yang ada menjadi luas. Ia berisi masa lalu dan masa mendatang. Sehingga waktu masa lalu dan masa mendatang bagi orang lain menjadi seperti saat ini baginya.
Dengan contoh tersebut, maka perjalanan menuju Laylatul qadr yang kemarin telah berlalu adalah dengan naik ke tingkatan ruh dan menyaksikan masa lalu seolah-olah ia sekarang. Landasan dari rahasia tersembunyi ini adalah tersingkapnya Aqrabiyah Ilahiyah (pendekatan ilahi terhadap hamba-Nya).Kami akan menjelaskannya dengan contoh berikut:
Mentari sangat dekat dengan kita karena cahaya, panas, dan bayangannya terwujud dalam cermin yang terdapat di tangan kita.Akan tetapi, kita jauh darinya. Andaikan kita merasakan kedekatan mentari dilihat dari sisi substansinya yang bersifat cahaya, lalu memahami hubungan kita dengan bayangannya yang terdapat pada cermin, mengetahuinya lewat sarana tersebut, serta menangkap hakikat cahaya, panas, dan kondisinya, maka kedekatan mentari akan tersingkap untuk kita sampai pada tingkat yang membuat kita terpedaya melalui hubungan dengannya lewat pengetahuan dan kedekatan yang ada.
Akan tetapi kalau kita ingin mendekati dan mengenalinya dilihat dari sisi kita yang jauh, kita harus melakukan perjalanan pemikiran dan akal untuk naik secara pemikiran bersama rambu-rambu ilmiah menuju langit, dan dari sana kita menggambarkan mentari yang terbentuk di angkasa alam. Kita harus mempergunakan rambu-rambu dan investigasi yang sangat panjang untuk memahami cahaya, hawa panas, dan tujuh warna yang menjadi substansinya. Setelah itu, kita dapat meraih kedekatan maknawi dengannya sebagaimana yang diperoleh oleh orang pertama lewat pengamatan sederhana dalam cerminnya.
Sama seperti contoh di atas, kenabian dan kewalian yang diwariskan darinya mengarah kepada tersingkapnya Aqrabiyah Ilahiyah (pendekatan ilahi terhadap hamba-Nya). Adapun seluruh kewalian yang lain, sebagian besarnya meniti jalan al-qurbiyah al-Ilahiyah sehingga harus melewati sejumlah tingkatan sebelum sampai kepada kedudukan yang dituju.
Kedudukan Kedua:
Orang-orang yang berada di balik sejumlah fitnah terhadap sahabat bukan hanya sekelompok kecil Yahudi di mana kalau demikian kondisinya kerusakan yang ada dapat dihentikan, serta fitnah tersebut dapat dipadamkan hanya dengan menyingkap mereka. Namun ada banyak ragam bangsa yang masuk ke dalam pangkuan Islam, se- hingga berbagai aliran yang berseberangan ikut campur dan berbaur dengan Islam. Khususnya mereka yang fanatisme kebangsaan telah dihancurkan oleh Umar d. Akhirnya, mereka menyembunyikan keinginan untuk melakukan balas dendam seraya menantikan waktu yang tepat. Pasalnya, agama mereka telah dihapus, kerajaan mereka dihancurkan, dan negeri yang menjadi kebanggaan mereka dilenyapkan. Karenanya, secara sadar ataupun tidak, mereka menyimpan keinginan untuk balas dendam terhadap kekhalifahan Islam. Oleh sebab itu, disebutkan bahwa kaum munafik yang cerdik seperti orang- orang yahudi memanfaatkan kondisi sosial di atas.
Jadi, melawan dan melenyapkan berbagai fitnah adalah dengan cara memperbaiki masyarakat tersebut dan memberikan pencerahan pada beragam pemikiran yang ada; bukan dengan menyingkap sekelompok kecil kaum perusak.
Barangkali ada yang berkata bahwa Umar d dari atas mim- bar menyeru kepada Sâriyah, salah seorang pimpinan pasukan, yang berada di daerah sejauh perjalanan sebulan dengan berkata, “Wahai Sâriyah, ke gunung, ke gunung!”(*[1])
Seruan dan arahan Umar d menjadi salah satu sebab mereka mendapatkan kemenangan dalam perang tersebut. Kejadian yang terkenal ini menjelaskan tingkat bashirah-nya yang sangat tajam.Pertanyaannya adalah: Mengapa bashirah yang memiliki pandangan tajam itu tidak bisa melihat pembunuhnya, Fairuz (Abu Lu’lu’), yang pada saat itu berada dekat dengannya?
Jawaban:Pertanyaan di atas akan kami jawab seperti keterangan yang pernah diberikan oleh Ya’qub .(*[2])Ia pernah ditanya, “Bagaimana engkau dapat mencium bau Yusuf dari bajunya yang berada di negeri Mesir, sementara engkau tidak bisa melihatnya saat berada di dalam sumur yang dekat denganmu di negeri Kan’an?”Ya’qub menjawab, “Kondisi kami seperti kilat. Kadang terlihat dan kadang tersembunyi. Karena itu, kadangkala kami seperti orang yang duduk di tempat tinggi sehingga bisa melihat sekitar, namun kadangkala pula kami tidak bisa melihat depan kaki kami.”
Kesimpulan: Betapapun manusia berbuat sesukanya, namun kehendak Ilahi itulah yang dominan. Takdir Ilahi berkuasa dan menentukan, sementara kehendak-Nya menolak kehendak manusia, sesuai dengan bunyi firman-Nya:“Kamu tidak berkehendak, kecuali bila dikehendaki Allah.” (QS. al-Insân [76]: 30).
Ada pula ungkapan yang berbunyi:“Manakala takdir datang, mata menjadi buta”. Yang berlaku adalah ketentuan-Nya. Ketika takdir berbicara, ikhtiar manusia tak mampu bersuara.
Isi pertanyaan kalian yang kedua:
Apa hakikat dari berbagai kejadian yang menimpa barisan umat Islam di masa Ali d? Apa sebutan bagi mereka yang membunuh dan yang terbunuh dalam perang?
Jawaban:
Perang unta (jamal) yang terjadi antara Ali d berikut sekelompok pendukungnya di satu pihak, sementara Talhah, Zubair, dan Aisyah g di pihak lain adalah perang antara “keadilan mutlak” dan “keadilan relatif ” Penjelasannya sebagai berikut:
Ali d menjadikan keadilan mutlak sebagai landasan kebijakannya dalam menata pemerintahan. Ia melaksanakan tuntutan dari keadilan tersebut sesuai dengan hasil ijtihadnya serta seperti yang sudah dilakukan oleh dua pendahulunya. Adapun para penentangnya berpendapat, “Kejernihan hati dan kesucian jiwa pada masa Abu Bakar dan Umar sangat sejalan dan menjadi pijakan bagi tersebarnya keadilan mutlak di tengah-tengah masyarakat. Namun seiring perjalanan waktu, berbagai kabilah yang memiliki karakter dan orientasi berbeda masuk Islam, sementara keislaman mereka lemah, hal itu menjadi sebab munculnya sejumlah penghalang penting untuk menerapkan keadilan mutlak. Penerapannya menjadi sulit. Karena itu, mereka berijtihad atas dasar prinsip keadilan relatif yang merupakan “pilihan paling ringan dari dua kondisi yang buruk.”Akan tetapi, karena persaingan di seputar kedua jenis ijtihad itu mengarah ke ranah politik, terjadilah perang di antara dua kelompok itu.
Karena masing-masing telah berijtihad dengan niat yang tulus untuk mencari rida-Nya dan demi kemaslahatan Islam, sementara perang terjadi akibat dari hasil ijtihad tulus tersebut, maka bisa dikatakan bahwa yang membunuh dan yang dibunuh sama-sama penghuni surga. Keduanya mendapat pahala meskipun kita mengetahui bahwa ijtihad Ali d adalah benar, sementara ijtihad yang lain keliru.Mereka yang berseberangan dengan beliau tidak layak mendapat hu- kuman ukhrawi. Pasalnya, orang yang berijtihad karena Allah jika benar mendapat dua pahala, dan jika keliru mendapat satu pahala. Artinya, ia mendapat pahala sebagai upah dari usahanya dalam berijtihad. Ia termasuk bagian dari ibadah. Dengan kata lain, kekeliruan- nya dapat dimaklumi dan diampuni.
Salah seorang tokoh ulama yang perkataannya menjadi hujjah mengutarakan sebuah syair berbahasa Kurdi:
ژٖى شَرِّ صَحَابَان۟ مَكَه قَالُ و قٖيل۟ لَو۟رَا جَنَّتٖينَه قَاتِلُ و هَم۟ قَتٖيل۟
“Jangan membincang apa yang terjadi antara sahabat yang mulia, karena yang membunuh dan yang terbunuh keduanya di surga.”(*[3])
Adapun penjelasan tentang perbedaan antara keadilan mutlak dan keadilan relatif adalah sebagai berikut:
Hak satu orang yang tidak bersalah tidak menjadi hilang demi kemaslahatan seluruh manusia. Artinya, haknya tetap terpelihara. Makna inilah yang dipahami dari ayat yang berbunyi:“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS. al-Mâidah [5]: 32).Seseorang tidak boleh dikorbankan dengan alasan untuk menjaga keselamatan seluruh manusia. Sebab, hak tetap hak dalam pandangan rahmat Ilahi. Tidak boleh melihat kecil atau besarnya. Karena itu, yang kecil tidak boleh dikorbankan demi yang besar. Kehidupan dan hak seseorang tidak boleh dikorbankan untuk keselamatan masyakarat jika ia tidak rida di dalamnya. Adapun jika pengorbanan tersebut dengan rida dan keinginannya, maka persoalannya sudah berbeda.
Adapun keadilan relatif adalah bahwa sebagian bisa dikorbankan demi keselamatan semua. Keadilan ini mengabaikan hak individu dengan alasan demi masyarakat. Namun ia berusaha menegakkan keadilan relatif dengan melihat pada keburukan yang lebih ringan. Hanya saja, apabila keadilan mutlak dapat diterapkan, tidak boleh mengambil keadilan relatif. Jika tidak, maka kezaliman akan terjadi.
Menurut Imam Ali d, keadilan mutlak dapat ditegakkan sebagaimana pada masa Abu Bakar dan Umar . Karena itu, ia berusaha membangun kekhalifahan Islam di atas pondasi keadilan mutlak. Sementara para penentangnya berkata bahwa keadilan mutlak tidak dapat diterapkan. Terdapat sejumlah penghalang dan problem dalam penerapannya. Karena itu, ijtihad mereka mengarah kepada keadilan relatif. Sementara sebab-sebab lain yang disebutkan dalam sejarah, bukanlah sebab yang sebenarnya. Namun ia hanyalah argumen dan alasan yang lemah.
Barangkali engkau berkata: Mengapa Imam Ali d tidak mendapat taufik seperti yang didapat para pendahulunya dalam menata kekhalifahan, padahal di sisi ini ia memiliki kemampuan yang istimewa, kecerdasan yang luar biasa, dan kelayakan yang tinggi un- tuk menjadi khalifah?”
Jawaban: Imam Ali d sangat mampu dan memiliki kapasitas untuk menunaikan sejumlah tugas besar melebihi tugas politik dan pemerintahan. Andaikan taufik yang diberikan padanya hanya pada bidang politik dan pemerintahan, tentu ia tidak mendapat gelar “penghulu para wali”; sebuah kedudukan spiritual yang layak disandangnya. Ia meraih kekuasaan dan pemerintahan maknawi yang jauh lebih tinggi daripada kekuasaan politik formal. Pasalnya, ia berkedudukan seperti guru bagi semua dan kekuasaan maknawinya berlangsung hingga hari kiamat.
Adapun perang yang terjadi antara Ali d dan Muawiyah d serta para pengikutnya dalam perang Siffin adalah perang antara kekhalihafan dan kerajaan. Artinya, Imam Ali d menjadikan hukum-hukum agama, hakikat Islam, dan akhirat sebagai landasan. Ia mengorbankan sejumlah hukum pemerintahan dan kerajaan serta berbagai urusan yang menjadi tuntutan politik yang mengandung ketidakadilan. Hal itu demi hakikat dan hukum yang ada. Sementara Muawiyah d dan orang yang bersamanya memilih rukhsah (keringanan) syariat dan tidak mengambil ‘azimah guna menopang kehidupan sosial Islam dengan kebijakan kekuasaan dan negara. Mereka merasa harus mengambil jalan ini dalam dunia politik. Karena itu, mereka lebih memilih rukhsah ketimbang ‘azimah, sehingga mereka jatuh pada kesalahan.
Lalu perlawanan Hasan dan Husein terhadap Bani Umayyah sebenarnya konflik antara agama dan ras. Kaum Bani Umayyah bersandar pada ras Arab dalam memperkuat Daulah Islam. Mereka lebih memilih bangsa Arab daripada yang lain. Artinya, mereka lebih memilih ikatan ras daripada ikatan Islam. Hal ini tentu saja membahayakan dilihat dari dua sisi:
Pertama, dengan pandangan semacam itu mereka menyakiti bangsa-bangsa lain hingga melahirkan kebencian.
Kedua, dasar-dasar yang menjadi prinsip kebangsaan dan rasisme adalah bersifat zalim; tidak memperhatikan rasa keadilan dan tidak sejalan dengan kebenaran. Sebab, dasar-dasar tersebut tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Penguasa yang rasis lebih memilih orang-orang dari rasnya sendiri daripada yang lain, sehingga dia tidak mampu berlaku adil.
Sementara Islam menghapus fanatisme jahiliyah, sebagaimana disebutkan dalam hadis:“Islam telah menghapus fanatisme jahiliyah. Tidak ada perbedaan antara budak dari Habasyah dengan pimpinan dari Quraisy selama keduanya muslim.”(*[4])Ikatan kesukuan tidak mungkin menggantikan ikatan agama. Pasalnya, di sana tidak ada keadilan. Ia malah menafikan hak dan mengabaikan sikap objektif.
Demikianlah, Sayyidina Husein d berpegang pada ikatan agama, dan sebagai pihak yang benar. Karena itu, ia melawan Bani Umayyah hingga mendapat tingkatan syahid.
Barangkali ada yang bertanya: Mengapa Husein d tidak sukses dalam perjuangannya padahal ia berada dalam kebenaran? Mengapa takdir dan rahmat Ilahi membiarkan beliau dan keluarganya berakhir dengan kepedihan?”
Jawaban:Selain orang-orang yang dekat dengan Husein d,beragam suku yang ikut serta bersamanya adalah orang-orang yang fanatisme kebangsaan mereka telah terluka oleh bangsa Arab muslim. Mereka adalah orang-orang yang ingin membalas dendam sehingga menodai kesucian niat yang dimiliki oleh Husein d dan para pengikutnya. Hal inilah yang mengakibatkan mereka kalah.
Adapun hikmah dari peristiwa memilukan itu dilihat dari sisi takdir Ilahi adalah sebagai berikut: Hasan dan Husein berikut keluarga dan keturunan mereka dipersiapkan untuk menduduki kekuasaan maknawi. Tentu saja menggabungkan antara kekuasaan dunia dan kekuasaan maknawi atau spiritual sangatlah sulit. Karena itu, takdir Ilahi menjadikan mereka berpaling dari dunia. Dia memperlihatkan kepada mereka wajah dunia yang buruk agar mereka tidak memiliki ikatan hati de- ngan dunia serta melepaskan kekuasaan duniawi yang bersifat sementara dan fana. Dia menetapkan mereka untuk menggenggam kekuasaan maknawi yang mulia dan permanen sehingga menjadi rujukan bagi para wali qutub; bukan sebagai rujukan para penguasa dunia.
Isi pertanyaan kalian yang ketiga:
Apa hikmah di balik musibah memilukan dan perlakuan buruk yang menimpa orang-orang yang penuh berkah itu?
Jawaban:Sebelumnya telah kami jelaskan bahwa terdapat tiga hal yang menjadi landasan para penentang Husein d; yaitu kalangan Bani Umayyah, di mana hal itu melahirkan berbagai kezaliman dan perlakuan kejam:
Pertama: hukum politik yang zalim; yaitu bahwa orang-orang dapat dikorbankan demi menjaga kedaulatan dan stabilitas negara.
Kedua: pemerintahan mereka mengacu kepada fanatisme kebangsaan dan ras. Yang menentukan segala urusan adalah hukum "Kebangsaan" yang zalim. Yaitu segala sesuatu dapat dikorbankan demi menjaga keselamatan bangsa.”
Ketiga: mengakarnya spirit persaingan kalangan Bani Umayyah sejak lama terhadap Bani Hasyim. Hal itu tampak pada Yazid dan orang-orang sepertinya. Ia melahirkan letupan potensi yang zalim dan jahat.
Terdapat sebab keempat, yang terkait dengan kalangan yang bergabung ke dalam barisan Husein d. Yaitu sikap Bani Umayyah yang lebih mengedepankan bangsa Arab dalam menata pemerintahan, serta perasaan lebih unggul daripada bangsa lain seolah mereka seperti budak dengan memberikan sebutan mawâli. Sikap sombong Bani Umayyah itulah yang membuat orang-orang di atas bergabung dengan barisan Husein d di mana mereka membawa niat tidak tulus.Yaitu niat yang didasarkan pada sikap ingin balas dendam. Sikap ini memancing munculnya perasaan fanatisme kalangan Bani Umayyah hingga membuat mereka melakukan perbuatan memilukan itu tanpa ada belas kasih sama sekali.
Keempat sebab di atas itu merupakan sebab lahiriah. Namun, jika kita melihat dari perspektif takdir Ilahi, kita mengetahui bahwa Husein d dan karib kerabatnya telah meraih sejumlah buah ukhrawi, kekuasaan rohani, dan ketinggian spiritual akibat dari peristiwa memilukan tersebut. Kepedihan dan kesulitan yang mereka dapatkan dalam peristiwa tersebut sangat ringan dan tidak berarti dibanding kedudukan tinggi yang mereka peroleh.Misalnya: Orang yang mati syahid akibat penyiksaan selama satu jam mendapatkan kedudukan tinggi dan derajat mulia sebagai syahid di mana hal itu tidak bisa diraih oleh orang yang berjuang terus-menerus selama sepuluh tahun. Andaikan orang mati syahid yang telah mendapatkan kedudukan syahid ditanya tentang penyiksaan yang dialami, pasti ia menjawab, “Aku telah memperoleh banyak hal lewat sesuatu yang sangat ringan.”
Isi pertanyaan kalian yang keempat:
Sebagian besar manusia memeluk agama yang haq sesudah Isa membunuh Dajjal di akhir zaman. Namun dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa, “Kiamat tidak akan terjadi, selama di bumi ini masih ada orang yang mengu- cap Allah...Allah.”(*[5])Bagaimana bisa orang-orang dalam jumlah besar menjadi kufur setelah sebelumnya beriman?
Jawaban:Mereka yang imannya lemah menganggap tidak masuk akal hadis sahih yang menjelaskan turunnya Nabi Isa serta bagaimana ia membunuh Dajjal dan mengamalkan syariat Islam. Akan tetapi, kalau hakikat yang sebenarnya dari riwayat tersebut dijelaskan, tidak ada yang aneh dan mustahil.
O hadîsin ve Süfyan ve Mehdi hakkındaki hadîslerin ifade ettikleri mana budur ki: Âhir zamanda dinsizliğin iki cereyanı kuvvet bulacak:
Birisi: Nifak perdesi altında, risalet-i Ahmediyeyi (asm) inkâr edecek Süfyan namında müthiş bir şahıs, ehl-i nifakın başına geçecek, şeriat-ı İslâmiyenin tahribine çalışacaktır. Ona karşı Âl-i Beyt-i Nebevînin silsile-i nuranisine bağlanan, ehl-i velayet ve ehl-i kemalin başına geçecek Âl-i Beyt’ten Muhammed Mehdi isminde bir zat-ı nurani, o Süfyan’ın şahs-ı manevîsi olan cereyan-ı münafıkaneyi öldürüp dağıtacaktır.
İkinci cereyan ise: Tabiiyyun, maddiyyun felsefesinden tevellüd eden bir cereyan-ı Nemrudane, gittikçe âhir zamanda felsefe-i maddiye vasıtasıyla intişar ederek kuvvet bulup uluhiyeti inkâr edecek bir dereceye gelir. Nasıl bir padişahı tanımayan ve ordudaki zabitan ve efrad onun askerleri olduğunu kabul etmeyen vahşi bir adam, herkese her askere bir nevi padişahlık ve bir gûna hâkimiyet verir.
Öyle de Allah’ı inkâr eden o cereyan efradları, birer küçük Nemrut hükmünde nefislerine birer rububiyet verir. Ve onların başına geçen en büyükleri, ispirtizma ve manyetizmanın hâdisatı nevinden müthiş hârikalara mazhar olan Deccal ise daha ileri gidip cebbarane surî hükûmetini bir nevi rububiyet tasavvur edip uluhiyetini ilan eder. Bir sineğe mağlup olan ve bir sineğin kanadını bile icad edemeyen âciz bir insanın uluhiyet dava etmesi, ne derece ahmakçasına bir maskaralık olduğu malûmdur.
İşte böyle bir sırada, o cereyan pek kuvvetli göründüğü bir zamanda, Hazret-i İsa aleyhisselâmın şahsiyet-i maneviyesinden ibaret olan hakiki İsevîlik dini zuhur edecek, yani rahmet-i İlahiyenin semasından nüzul edecek; hal-i hazır Hristiyanlık dini o hakikate karşı tasaffi edecek, hurafattan ve tahrifattan sıyrılacak, hakaik-i İslâmiye ile birleşecek; manen Hristiyanlık bir nevi İslâmiyet’e inkılab edecektir. Ve Kur’an’a iktida ederek o İsevîlik şahs-ı manevîsi tabi ve İslâmiyet metbu makamında kalacak; din-i hak bu iltihak neticesinde azîm bir kuvvet bulacaktır.
Dinsizlik cereyanına karşı ayrı ayrı iken mağlup olan İsevîlik ve İslâmiyet ittihat neticesinde, dinsizlik cereyanına galebe edip dağıtacak istidadında iken; âlem-i semavatta cism-i beşerîsiyle bulunan şahs-ı İsa aleyhisselâm, o din-i hak cereyanının başına geçeceğini, bir Muhbir-i Sadık, bir Kadîr-i külli şey’in vaadine istinad ederek haber vermiştir. Madem haber vermiş, haktır; madem Kādir-i külli şey’ vaad etmiş, elbette yapacaktır.
Evet, her vakit semavattan melâikeleri yere gönderen ve bazı vakitte insan suretine vaz’eden (Hazret-i Cibril’in “Dıhye” suretine girmesi gibi) ve ruhanîleri âlem-i ervahtan gönderip beşer suretine temessül ettiren, hattâ ölmüş evliyaların çoklarının ervahlarını cesed-i misalîyle dünyaya gönderen bir Hakîm-i Zülcelal, Hazret-i İsa aleyhisselâmı, İsa dinine ait en mühim bir hüsn-ü hâtimesi için; değil sema-i dünyada cesediyle bulunan ve hayatta olan Hazret-i İsa belki âlem-i âhiretin en uzak köşesine gitseydi ve hakikaten ölseydi, yine şöyle bir netice-i azîme için ona yeniden ceset giydirip dünyaya göndermek, o Hakîm’in hikmetinden uzak değil belki onun hikmeti öyle iktiza ettiği için vaad etmiş ve vaad ettiği için elbette gönderecek.
Hazret-i İsa aleyhisselâm geldiği vakit, herkes onun hakiki İsa olduğunu bilmek lâzım değildir. Onun mukarreb ve havassı, nur-u iman ile onu tanır. Yoksa bedahet derecesinde herkes onu tanımayacaktır.
Sual: Rivayetlerde gelmiş ki: “Deccal’ın bir yalancı cenneti var, kendine tabi olanları ona atar. Hem yalancı bir cehennemi var, tabi olmayanları ona atar. Hattâ o, kendi merkebinin de bir kulağını cennet gibi bir kulağını da cehennem gibi yapmış. Azamet-i bedeniyesi bu kadardır, şu kadardır…” diye tarifat var?
Elcevap: Deccal’ın şahs-ı surîsi insan gibidir. Mağrur, firavunlaşmış, Allah’ı unutmuş olduğundan surî, cebbarane olan hâkimiyetine, uluhiyet namını vermiş bir şeytan-ı ahmaktır ve bir insan-ı dessastır. Fakat şahs-ı manevîsi olan dinsizlik cereyan-ı azîmi, pek cesîmdir. Rivayetlerde Deccal’a ait tavsifat-ı müthişe ona işaret eder. Bir vakit Japonya’nın Başkumandanının resmi, bir ayağı Bahr-i Muhit’te, diğer ayağı on günlük mesafedeki Port Artur Kalesinde tasvir edilmiş. O küçük Japon Kumandanının bu surette tasviriyle, ordusunun şahs-ı manevîsi gösterilmiş.
Amma Deccal’ın yalancı cenneti ise medeniyetin cazibedar lehviyatı ve fanteziyeleridir. Merkebi ise şimendifer gibi bir vasıtadır ki bir başında ateş ocağı bulunur, kendine tabi olmayanları bazen ateşe atar. O merkebin bir kulağı yani diğer başı cennet gibi tefriş edilmiş, tabi olanları oraya oturtur. Zaten sefih ve gaddar medeniyetin mühim bir merkebi olan şimendifer, ehl-i sefahet ve dünya için yalancı bir cennet getirir. Bîçare ehl-i diyanet ve ehl-i İslâm için medeniyet elinde cehennem zebanisi gibi tehlike getirir, esaret ve sefalet altına atar.
İşte İsevîliğin din-i hakikisi zuhur ile ve İslâmiyet’e inkılab etmesiyle, çendan âlemde ekseriyet-i mutlakaya nurunu neşreder. Fakat yine kıyamet kopmasına yakın tekrar bir dinsizlik cereyanı baş gösterir, galebe eder ve “El-hükmü li’l-ekser” kaidesince, yeryüzünde “Allah Allah” diyecek kalmayacak, yani ehemmiyetli bir cemaat, küre-i arzda mühim bir mevkiye sahip olacak bir surette “Allah Allah” denilmeyecek demektir.
Yoksa ekalliyette kalan veyahut mağlup düşen ehl-i hak, kıyamete kadar bâki kalacak; yalnız, kıyametin kopacağı anında, kıyametin dehşetlerini görmemek için bir eser-i rahmet olarak ehl-i imanın ruhları daha evvel kabzedilecek, kıyamet kâfirlerin başına kopacaktır.
BEŞİNCİ SUALİNİZİN MEALİ
Kıyametin hâdisatından ervah-ı bâkiye müteessir olacaklar mı?
Elcevap: Derecatlarına göre müteessir olacaklar. Melâikelerin tecelliyat-ı kahriyede kendilerine göre müteessir oldukları gibi müteessir olurlar. Nasıl ki bir insan, sıcak bir yerde iken, hariçte kar ve tipi içinde titreyenleri görse akıl ve vicdan itibarıyla müteessir olur. Öyle de zîşuur olan ervah-ı bâkiye, kâinatla alâkadar oldukları için kâinatın hâdisat-ı azîmesinden derecelerine göre müteessir olmalarını; ehl-i azap ise elemkârane, ehl-i saadet ise hayretkârane, istiğrabkârane, belki bir cihette istibşarkârane teessüratları bulunmasını, işarat-ı Kur’aniye gösteriyor. Zira Kur’an-ı Hakîm, her zaman kıyametin acayibini tehdit suretinde zikrediyor. “Göreceksiniz!” diyor. Halbuki cism-i insanî ile onu görenler, kıyamete yetişenlerdir. Demek, kabirde cesetleri çürüyen ervahların da o tehdid-i Kur’aniyeden hisseleri var.
ALTINCI SUALİNİZİN MEALİ
كُلُّ شَى۟ءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَج۟هَهُ Bu âyetin âhirete, cennete, cehenneme ve ehillerine şümulü var mı, yok mu?
Elcevap: Şu mesele, pek çok ehl-i tahkik ve ehl-i keşif ve ehl-i velayetin medar-ı bahsi olmuş. Şu meselede söz onlarındır. Hem de şu âyetin çok genişliği ve çok meratibi var. Ehl-i tahkikin bir kısm-ı ekseri demişler ki: Âlem-i bekaya şümulü yok. Diğer kısmı ise: Âni olarak onlar da az bir zamanda, bir nevi helâkete mazhar olurlar. O kadar az bir zamanda oluyor ki fenaya gidip gelmiş, hissetmeyecekler.
Amma bazı müfrit fikirli ehl-i keşfin hükmettikleri fena-yı mutlak ise hakikat değildir. Çünkü Zat-ı Akdes-i İlahî madem sermedî ve daimîdir, elbette sıfâtı ve esması dahi sermedî ve daimîdirler. Madem sıfâtı ve esması daimî ve sermedîdirler, elbette onların âyineleri ve cilveleri ve nakışları ve mazharları olan âlem-i bekadaki bâkiyat ve ehl-i beka, fena-yı mutlaka bizzarure gidemez.
Kur’an-ı Hakîm’in feyzinden şimdilik iki nokta hatıra gelmiş, icmalen yazacağız:
Birincisi: Cenab-ı Hak öyle bir Kadîr-i Mutlak’tır ki adem ve vücud, kudretine ve iradesine nisbeten iki menzil gibi gayet kolay bir surette oraya gönderir ve getirir. İsterse bir günde, isterse bir anda oradan çevirir. Hem adem-i mutlak zaten yoktur, çünkü bir ilm-i muhit var. Hem daire-i ilm-i İlahînin harici yok ki bir şey ona atılsın. Daire-i ilim içinde bulunan adem ise adem-i haricîdir ve vücud-u ilmîye perde olmuş bir unvandır. Hattâ bu mevcudat-ı ilmiyeye bazı ehl-i tahkik “a’yân-ı sabite” tabir etmişler.
Öyle ise fenaya gitmek, muvakkaten haricî libasını çıkarıp vücud-u manevîye ve ilmîye girmektir. Yani hēlik ve fâni olanlar vücud-u haricîyi bırakıp mahiyetleri bir vücud-u manevî giyer, daire-i kudretten çıkıp daire-i ilme girer.
İkincisi: Çok Sözlerde izah ettiğimiz gibi: Her şey, mana-yı ismiyle ve kendine bakan vecihte hiçtir. Kendi zatında müstakil ve bizatihî sabit bir vücudu yok. Ve yalnız kendi başıyla kaim bir hakikati yok. Fakat Cenab-ı Hakk’a bakan vecihte ise yani mana-yı harfiyle olsa hiç değil. Çünkü onda cilvesi görünen esma-i bâkiye var. Ma’dum değil, çünkü sermedî bir vücudun gölgesini taşıyor. Hakikati vardır, sabittir hem yüksektir. Çünkü mazhar olduğu bâki bir ismin sabit bir nevi gölgesidir.
Hem كُلُّ شَى۟ءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَج۟هَهُ insanın elini mâsivadan kesmek için bir kılınçtır ki o da Cenab-ı Hakk’ın hesabına olmayan fâni dünyada, fâni şeylere karşı alâkaları kesmek için hükmü dünyadaki fâniyata bakar. Demek, Allah hesabına olsa, mana-yı harfiyle olsa, livechillah olsa mâsivaya girmez ki كُلُّ شَى۟ءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَج۟هَهُ kılıncıyla başı kesilsin.
Elhasıl: Eğer Allah için olsa, Allah’ı bulsa gayr kalmaz ki başı kesilsin. Eğer Allah’ı bulmazsa ve hesabıyla bakmazsa her şey gayrdır. كُلُّ شَى۟ءٍ هَالِكٌ اِلَّا وَج۟هَهُ kılıncını istimal etmeli, perdeyi yırtmalı tâ onu bulmalı!..
اَل۟بَاقٖى هُوَ ال۟بَاقٖى
Said Nursî
- ↑ *Lihat: Ahmad ibn hambal, Fadha’il ash-Shahabah, h.355; at-Thabari al-Umam wal Muluk, j.2, h.553; Ibn Katsir, al-Bidayah wan-Nihayah, j.7, h.130; Ibnu Adiy, al-Kamil, j.2, h.441-442; al-Ajluni, Kasyful Khafa, j.2, h.380 (nomor hadis 3172).
- ↑ *زِمِصْرَشْ بُوىِ پِــيرَاهَنْ شِنِيدِى چِرَا دَرْ چَاهِ كَنْعَانَشْ نَدِيدِى بَگُفْت اَحْوَالِ مَا بَرْقِ جِهَانَسْت دَمِى پَيْدَاوُ دِيگَرْ دَمْ نِهَانَسْت گَهِى بَرْ طَارُمِ اَعْلَى نِشِينَـمْ گَهِى بَرْ پُشْتِ پَاىِ خُودْ نَبِينَـمْ
- ↑ *Dalam Nahjil Anam, karya Ustadz al-Awhadi al-Mala Khalil al-Umri as-Sa’radi h.18.
- ↑ *Lihat: Muslim, al-Imârah h.53-54; Abu Daud, al-Adab h.111; Ibnu Majah, al-Fit- an h.7; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad j.2, h.488.
- ↑ *Muslim dalam al-Iman 234, at-Tirmidzi dalam al-Fitan 35, al-Musnad 3/107, 201, dan 268.