Birinci Mektup/id: Revizyonlar arasındaki fark

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    ("Yang mengetahui hal gaib hanyalah Allah. Allah berfirman:“Katakanlah: Pengetahuan tentang hal itu hanya di sisi Allah” (QS. al-Mulk [67]: 26)." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    ("Dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa neraka jahannam terdapat di perut bumi.(*<ref>*Lihat: Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, j.2, h.370, dan j.4, h.287; Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, j.3, h.55; al-Baihaqi, Syuab al-Îmân, j.1, h.331, j.1, 357, j.4, h.334; dan alHakim, al-Mustadrak, j.4, h.612.</ref>)Bola bumi dengan gerak tahunannya (revolusi) menuliskan lingkaran di seputar medan yang akan menjadi mahsyar di masa mendatang, seperti yang telah kami ter..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    102. satır: 102. satır:
    Yang mengetahui hal gaib hanyalah Allah. Allah berfirman:“Katakanlah: Pengetahuan tentang hal itu hanya di sisi Allah” (QS. al-Mulk [67]: 26).
    Yang mengetahui hal gaib hanyalah Allah. Allah berfirman:“Katakanlah: Pengetahuan tentang hal itu hanya di sisi Allah” (QS. al-Mulk [67]: 26).


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    Dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa neraka jahannam terdapat di perut bumi.(*<ref>*Lihat: Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, j.2, h.370, dan j.4, h.287; Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, j.3, h.55; al-Baihaqi, Syuab al-Îmân, j.1, h.331, j.1, 357, j.4, h.334; dan alHakim, al-Mustadrak, j.4, h.612.</ref>)Bola bumi dengan gerak
    Cehennemin yeri, bazı rivayatla “tahte’l-arz” denilmiştir. Başka yerlerde beyan ettiğimiz gibi küre-i arz, hareket-i seneviyesiyle ileride mecma-ı haşir olacak bir meydanın etrafında bir daire çiziyor. Cehennem ise arzın o medar-ı senevîsi altındadır, demektir. Görünmemeleri ve hissedilmemeleri, perdeli ve nursuz ateş olduğu içindir. Küre-i arzın seyahat ettiği mesafe-i azîmede pek çok mahlukat var ki nursuz oldukları için görünmezler. Kamer, nuru çekildikçe vücudunu kaybettiği gibi nursuz çok küreler, mahluklar gözümüzün önünde olup göremiyoruz.
    tahunannya (revolusi) menuliskan lingkaran di seputar medan yang akan menjadi mahsyar di masa mendatang, seperti yang telah kami terangkan di tempat lain.
    </div>


    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
    <div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">

    13.44, 2 Ocak 2025 tarihindeki hâli

    Diğer diller:

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    وَ بِهٖ نَس۟تَعٖينُ

    SURAT PERTAMA

    بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    (Jawaban Singkat atas Empat Pertanyaan)

    Pertanyaan Pertama:

    Apakah Nabi Khidir masih hidup? Apabila masih hidup, mengapa sejumlah ulama terkemuka tidak mempercayainya?

    Jawaban: Nabi Khidir masih hidup. Hanya saja, kehidupan memiliki lima tingkatan. Khidir berada pada tingkatan kedua dari nya. Karena itu, sejumlah ulama meragukan kalau ia masih hidup

    Tingkatan Pertama:Kehidupan kita saat ini yang dibatasi oleh banyak ikatan.

    Tingkatan Kedua:Kehidupan Nabi Khidir dan Nabi Ilyas. Kehidupan mereka relatif tidak terikat. Artinya, mereka bisa berada di banyak tempat dalam satu waktu serta bisa makan dan minum kapan mereka mau. Mereka tidak selalu terikat dengan sejumlah kebutuhan hidup manusia seperti kita. Para wali yang mendapat kasyaf meriwayatkan secara mutawatir berbagai pe ristiwa nyata yang terdapat dalam tingkatan tersebut. Riwayat-riwayat itu menegaskan adanya tingkatan kehidupan ini. Bahkan, dalam maqam kewalian terdapat maqam yang disebut sebagai “Maqam Khidir”. Wali yang mencapai maqam tersebut bisa duduk bersama Khidir serta me�nerima pelajaran darinya. Akan tetapi, orang yang telah mencapai maqam tersebut kadang keliru menduga bahwa dirinya adalah Nabi Khidir

    Tingkatan Ketiga: Kehidupan Nabi Idris dan Nabi Isa . Me reka mendapatkan kelembutan nurani dengan kondisinya yang bersih dari berbagai kebutuhan hidup manusia serta masuk ke dalam kehidupan yang menyerupai kehidupan malaikat. Nabi Idris dan Isa terdapat di langit dengan fisik duniawi mereka yang seolah-olah menyerupai kelembutan fisik immateri dan fisik malaikat.

    Hadis Nabi yang menyebutkan bahwa Nabi Isa akan turun di akhir zaman dan mengikuti syariat Nabi Muhammad(*[1]) memiliki hikmah sebagai berikut. Dalam menghadapi gelombang ateisme yang dibawa oleh filsafat naturalisme, ajaran Nabi Isa akan bersih dan terbebas dari berbagai khurafat.Pada saat terjadinya transformasi ajaran Isa kepada Islam, sosok maknawi ajaran Isa menghunus pedang wahyu samawi dan membunuh sosok maknawi ateisme, sebagaimana Isa yang mewakili sosok maknawi ajarannya membunuh Dajjal yang mewakili sosok maknawi ateisme. Dengan kata lain, ia membunuh paham ateisme (inkârul ulûhiyah).

    Tingkatan Keempat: Kehidupan para syuhada. Hal itu seperti yang disebutkan dalam nash al-Qur’an bahwa mereka memiliki tingkatan kehidupan yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada kehidupan orang mati dalam kubur. Ya, karena para syuhada telah mengorbankan kehidupan duniawi mereka demi jalan kebenaran, maka Allah dengan kemurahan-Nya memberikan kehidupan yang menyerupai kehidupan duniawi di alam barzakh. Hanya saja, tanpa disertai dengan penderitaan, kepenatan, dan kerisauan. Mereka tidak sadar kalau diri mereka sudah mati. Yang mereka ketahui, mereka pergi ke alam yang lebih baik. Karena itu, mereka merasa sangat nikmat dan bahagia. Sebab, mereka tidak merasakan sakit nya perpisahan dengan orang-orang tercinta.

    Tidak seperti penghuni kubur lainnya di mana mereka menyadari bahwa mereka telah mati, meskipun ruh mereka bersifat abadi. Tentu saja, kenikmatan dan kebahagiaan yang mereka rasakan di alam barzakh tidak seperti yang dirasakan oleh para syuhada. Perumpamaannya sebagai berikut Dua orang bermimpi masuk ke dalam sebuah istana indah laksana surga. Yang satu sadar kalau yang dilihat hanyalah mimpi belaka. Jadi, kenikmatan yang ia peroleh sangat sedikit. Ia berkata dalam hati, “Kenikmatan ini akan segera berakhir ketika saya tersadar dari tidur.” Adapun yang kedua tidak merasakan hal itu sebagai mimpi. Karena itu, ia mendapatkan kenikmatan hakiki dan kebahagiaan sejati.

    Begitulah kehidupan barzakh yang didapat oleh para syuhada. Kondisi mereka berbeda dengan yang didapat oleh orang mati lainnya.Model kehidupan yang didapat oleh para syuhada serta keyakinan mereka bahwa mereka masih hidup adalah sesuatu yang valid berdasarkan sejumlah peristiwa dan riwayat yang sangat banyak.

    Bantuan yang diberikan Hamzah d, penghulu para syuhada,(*[2])kepada orang yang meminta bantuan darinya dan bagaimana ia memenuhi kebutuhan duniawi mereka, dan sejumlah peristiwa lain menjelaskan adanya tingkatan kehidupan ini. Bahkan secara pribadi aku pernah mengalami kejadian sebagai berikut:

    Keponakanku sekaligus muridku, Ubaid, mati syahid di dekatku dalam perang dunia pertama. Saat tidur aku bermimpi masuk ke dalam kuburnya yang menyerupai rumah bawah tanah, padahal saat itu aku sedang ditawan di daerah yang jauhnya sejarak perjalanan tiga bulan. Aku juga tidak tahu tempat ia dikubur. Aku melihatnya berada dalam tingkatan kehidupan para syuhada. Ia mengira aku sudah meninggal dan sering menangi siku. Sementara ia sendiri merasa masih hidup. Hanya saja, ia sudah membangun rumah indah di bawah tanah karena khawatir dengan pendudukan Rusia. Mimpi sederhana ini—yang disertai sejumlah isyarat dan petunjuk—mem�buatku sangat yakin, seyakin menyaksikan hakikat tersebut.

    Tingkatan Kelima:Kehidupan spiritual penghuni kubur. Ya, kematian adalah perpindahan tempat, pelepasan ruh, dan bentuk pembebasan tugas. Ia bukan peniadaan, ketiadaan, dan kefanaan. Penjelmaan ruh para wali dan kemunculan mereka di hadapan para ahli kasyaf lewat berbagai peristiwa, relasi penghuni kubur dengan kita dalam mimpi dan di saat terjaga, informasi yang mereka berikan kepada kita yang sesuai dengan fakta, serta petunjuk lainnya yang sejenis menjelaskan dan menegaskan tentang tingkatan kehidupan ini. “Kalimat Kedua Puluh Sembilan” yang secara khusus berbicara tentang keabadian ruh membuktikan tingkatan kehidupan ini secara meyakinkan lewat berbagai dalil yang kuat.

    Pertanyaan Kedua: Ayat al-Qur’an berbunyi: “(Dia) yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapa di antara kalian yang lebih baik amalnya.” (QS. al-Mulk [67]: 2).Ayat di atas dan ayat-ayat lain yang sejenis memosisikan ke�matian sebagai makhluk sama seperti kehidupan, sekaligus meman�dangnya sebagai nikmat Ilahi. Akan tetapi, tampak bahwa kema�tian merupakan bentuk kehancuran, ketiadaan, padam nya cahaya kehidupan, dan pemutus atau penghancur segala kenikmatan. Lalu bagaimana ia bisa menjadi “makhluk” dan bagaimana ia dianggap sebagai “nikmat”?

    Jawaban: Telah kami jelaskan di akhir jawaban dari pertanyaan pertama bahwa kematian hakikatnya merupakan bentuk pembebasan dan penghabisan tugas kehidupan dunia. Ia adalah perpindahan tempat dan perubahan wujud. Ia juga ajakan menuju kehidupan abadi sekaligus sebagai awal dari kehidupan yang kekal. Pasalnya, sebagaimana datangnya kehidupan kepada dunia terwujud berkat penciptaan dan penetapan Ilahi, demikian pula dengan kepergiannya dari dunia. Ia terwujud berkat penciptaan, hikmah, dan penetapan Ilahi.

    Sebab, kematian makhluk hidup yang paling sederhana sekalipun―yaitu tumbuhan―memperlihatkan kepada kita sebuah kreasi penciptaan yang lebih rapi daripada kehidupan itu sendiri. Kematian buah, benih, dan biji yang secara lahiriah tampak hancur dan musnah, pada hakikatnya ia adalah manifestasi dari proses interaksi kimiawi yang terangkai secara sangat teratur, campuran dari berbagai besaran elemen dalam bentuk yang sangat cermat dan terukur, serta komposisi dan formasi antar partikel dalam bentuk yang penuh hikmah di mana kematian yang tidak terlihat yang berisi tatanan penuh hikmah dan cermat tersebut, memperlihatkan bentuk kehidupan bulir dan benih yang tumbuh dan berbuah.

    Artinya, kematian benih merupakan awal dari kehidupan tumbuhan baru dalam bentuk bunga dan buah. Bahkan ia seperti kehidupan baru itu sendiri. Jadi, kematian adalah makhluk yang tertata rapi seperti kehidupan.

    Begitu pula karena kematian sejumlah buah atau binatang dalam perut manusia menyebabkan mereka naik ke tingkat kehidupan manusia, maka kematiannya merupakan makhluk yang lebih tertata daripada kehidupan mereka.

    Pada hakikatnya, ia merupakan awal dan permulaan dari naiknya nutrisi dalam sejumlah bagian kehidupan manusia yang mulia. Jadi, kematiannya merupakan makhluk yang lebih tertata daripada kehidupan nutrisi tersebut. Jika kematian tumbuhan yang berada dalam tingkatan kehidupan paling rendah merupakan makhluk yang tertata dengan penuh hikmah, apalagi kematian manusia yang berada dalam tingkat kehidupan yang paling tinggi. Tentu saja kematiannya akan membuahkan kehidupan kekal abadi di alam barzakh. Ini sama seperti benih yang ditanam di mana dengan kematiannya ia menjadi tumbuhan yang sangat indah dan penuh hikmah.

    Lalu bagaimana kematian menjadi nikmat? Jawaban: Kami akan menyebutkan empat sisi nikmat dari kematian:

    Pertama, kematian menyelamatkan manusia dari berbagai beban dan tugas kehidupan dunia serta dari berbagai taklif hidup yang berat. Pada waktu yang sama, ia adalah pintu penghubung dengan 99% orang yang dicinta di alam barzakh. Dengan demikian, ia merupakan nikmat yang sangat besar.

    Kedua, kematian mengeluarkan manusia dari penjara dunia yang gelap, sempit, dan penuh kesulitan untuk masuk ke dalam wilayah rahmat Dzat yang dicinta dan Kekasih abadi. Di sana manusia mendapatkan kehidupan yang lapang, kekal, dan bersinar di mana tidak dibalut ketakutan serta tidak dikotori oleh kesedihan dan kerisauan.

    Ketiga, masa tua dan sejenisnya termasuk faktor yang membuat kehidupan menjadi sulit dan memenatkan.

    Dari sana terlihat betapa kematian merupakan nikmat yang melebihi nikmat kehidupan. Andai engkau membayangkan bahwa kakek-kakekmu dengan kondisi mereka yang sulit masih hidup sampai saat ini bersama kedua orang tuamu yang sudah lanjut usia, engkau pasti memahami betapa kehidupan merupakan bencana bagi mereka dan kematian merupakan nikmat.

    Bahkan, engkau dapat menangkap sejauh mana rahmat yang terdapat dalam kematian dan sejauh mana kesulitan yang terdapat dalam langgengnya kehidupan dengan merenungkan serangga yang menyukai bu nga-bunga indah saat hawa dingin menyengat datang menyerang mereka di musim dingin.

    Keempat, sebagaimana tidur merupakan kelapangan dan rahmat bagi manusia, terutama bagi mereka yang mendapat cobaan, sakit, dan luka, demikian pula dengan kematian yang merupakan saudara kembar tidur. Ia adalah rahmat dan nikmat besar bagi mereka yang mendapat berbagai cobaan berat yang kadang membuat mereka bunuh diri.

    Adapun bagi kaum yang sesat, kematian merupakan bencana besar dan siksa dalam siksa sama seperti kehidupannya. Sebagaimana hal itu telah kami tegaskan dalam sejumlah bagian “al-Kalimât” dan semua itu berada di luar pembahasan kita saat ini.

    Pertanyaan Ketiga:

    Di manakah letak neraka jahannam?

    Jawaban:

    Yang mengetahui hal gaib hanyalah Allah. Allah berfirman:“Katakanlah: Pengetahuan tentang hal itu hanya di sisi Allah” (QS. al-Mulk [67]: 26).

    Dalam sejumlah riwayat disebutkan bahwa neraka jahannam terdapat di perut bumi.(*[3])Bola bumi dengan gerak tahunannya (revolusi) menuliskan lingkaran di seputar medan yang akan menjadi mahsyar di masa mendatang, seperti yang telah kami terangkan di tempat lain.

    Cehennem ikidir: Biri suğra, biri kübradır. İleride suğra, kübraya inkılab edeceği ve çekirdeği hükmünde olduğu gibi ileride ondan bir menzil olur. Cehennem-i suğra yerin altında, yani merkezindedir. Kürenin altı, merkezidir.

    İlm-i tabakatü’l-arzca malûmdur ki: Ekseriya her otuz üç metre hafriyatta, bir derece-i hararet tezayüd eder. Demek, merkeze kadar nısf-ı kutr-u arz, altı bin küsur kilometre olduğundan iki yüz bin derece-i harareti câmi’, yani iki yüz defa ateş-i dünyevîden şedit ve rivayet-i hadîse muvafık bir ateş bulunuyor.

    Şu cehennem-i suğra, cehennem-i kübraya ait çok vezaifi, dünyada ve âlem-i berzahta görmüş ve ehadîslerle işaret edilmiştir. Âlem-i âhirette, küre-i arz nasıl ki sekenesini medar-ı senevîsindeki meydan-ı haşre döker; öyle de içindeki cehennem-i suğrayı dahi cehennem-i kübraya emr-i İlahî ile teslim eder. Ehl-i İtizal’in bazı imamları “Cehennem sonradan halk edilecektir.” demeleri, hal-i hazırda tamamıyla inbisat etmediğinden ve sekenelerine tam münasip bir tarzda inkişaf etmediğinden galattır ve gabavettir.

    Hem perde-i gayb içindeki âlem-i âhirete ait menzilleri dünya gözümüzle görmek ve göstermek için ya kâinatı küçültüp iki vilayet derecesine getirmeli veyahut gözümüzü büyütüp yıldızlar gibi gözlerimiz olmalı ki yerlerini görüp tayin edelim. وَال۟عِل۟مُ عِن۟دَ اللّٰهِ âhiret âlemine ait menziller, bu dünyevî gözümüzle görülmez. Fakat bazı rivayatın işaratıyla âhiretteki cehennem, bu dünyamızla münasebettardır. Yazın şiddet-i hararetine مِن۟ فَي۟حِ جَهَنَّمَ denilmiştir. Demek bu dünyevî, küçücük ve sönük akıl gözüyle o büyük cehennem görülmez. Fakat ism-i Hakîm’in nuruyla bakabiliriz. Şöyle ki:

    Arzın medar-ı senevîsi altında bulunan cehennem-i kübra, yerin merkezindeki cehennem-i suğrayı güya tevkil ederek bazı vezaifini gördürmüş. Kadîr-i Zülcelal’in mülkü pek çok geniştir. Hikmet-i İlahiye nereyi göstermiş ise cehennem-i kübra oraya yerleşir.

    Evet, bir Kadîr-i Zülcelal ve “Emr-i kün feyekûn”e mâlik bir Hakîm-i Zülkemal, gözümüzün önünde kemal-i hikmet ve intizam ile kameri arza bağlamış; azamet-i kudret ve intizam ile arzı güneşe rabtetmiş ve güneşi seyyaratıyla beraber arzın sürat-i seneviyesine yakın bir sürat ile ve haşmet-i rububiyetiyle, bir ihtimale göre Şemsü’ş-şümus tarafına bir hareket vermiş ve donanma elektrik lambaları gibi yıldızları, saltanat-ı rububiyetine nurani şahitler yapmış; onunla saltanat-ı rububiyetini ve azamet-i kudretini göstermiş bir Zat-ı Zülcelal’in kemal-i hikmetinden ve azamet-i kudretinden ve saltanat-ı rububiyetinden uzak değildir ki cehennem-i kübrayı elektrik lambalarının fabrikasının kazanı hükmüne getirip âhirete bakan semanın yıldızlarını onunla iş’al etsin; hararet ve kuvvet versin. Yani, âlem-i nur olan cennetten yıldızlara nur verip cehennemden nâr ve hararet göndersin. Aynı halde o cehennemin bir kısmını ehl-i azaba mesken ve mahbes yapsın.

    Hem bir Fâtır-ı Hakîm ki dağ gibi koca bir ağacı, tırnak gibi bir çekirdekte saklar. Elbette o Zat-ı Zülcelal’in kudret ve hikmetinden uzak değildir ki küre-i arzın kalbindeki cehennem-i suğra çekirdeğinde cehennem-i kübrayı saklasın.

    Elhasıl: Cennet ve cehennem, şecere-i hilkatten ebed tarafına uzanıp eğilerek giden bir dalın iki meyvesidir. Meyvenin yeri ise dalın müntehasındadır.

    Hem şu silsile-i kâinatın iki neticesidir. Neticelerin mahalleri, silsilenin iki tarafındadır. Süflîsi, sakîli aşağı tarafında; nuranisi, ulvisi yukarı tarafındadır.

    Hem şu seyl-i şuunatın ve mahsulat-ı maneviye-i arziyenin iki mahzenidir. Mahzenin mekânı ise mahsulatın nevine göre fenası altında, iyisi üstündedir.

    Hem ebede karşı cereyan eden ve dalgalanan mevcudat-ı seyyalenin iki havuzudur. Havuzun yeri ise seylin durduğu ve tecemmu ettiği yerdedir. Yani habîsatı ve muzahrefatı esfelde, tayyibatı ve safiyatı a’lâdadır.

    Hem lütuf ve kahrın, rahmet ve azametin iki tecelligâhıdır. Tecelligâhın yeri ise her yerde olabilir. Rahman-ı Zülcemal ve Kahhar-ı Zülcelal nerede isterse tecelligâhını açar.

    Amma cennet ve cehennemin vücudları ise Onuncu ve Yirmi Sekizinci ve Yirmi Dokuzuncu Sözler’de gayet kat’î bir surette ispat edilmiştir. Şurada yalnız bu kadar deriz ki: Meyvenin vücudu dal kadar ve neticenin silsile kadar ve mahzenin mahsulat kadar ve havuzun ırmak kadar ve tecelligâhın, rahmet ve kahrın vücudları kadar kat’î ve yakîndir.

    Dördüncü Sual

    Mahbublara olan aşk-ı mecazî aşk-ı hakikiye inkılab ettiği gibi acaba ekser nâsda bulunan dünyaya karşı olan aşk-ı mecazî dahi bir aşk-ı hakikiye inkılab edebilir mi?

    Elcevap: Evet. Dünyanın fâni yüzüne karşı olan aşk-ı mecazî; eğer o âşık, o yüzün üstündeki zeval ve fena çirkinliğini görüp ondan yüzünü çevirse bâki bir mahbub arasa dünyanın pek güzel ve âyine-i esma-i İlahiye ve mezraa-i âhiret olan iki diğer yüzüne bakmaya muvaffak olursa o gayr-ı meşru mecazî aşk, o vakit aşk-ı hakikiye inkılaba yüz tutar. Fakat bir şart ile ki kendinin zâil ve hayatıyla bağlı kararsız dünyasını, haricî dünyaya iltibas etmemektir.

    Eğer ehl-i dalalet ve gaflet gibi kendini unutup âfaka dalıp umumî dünyayı hususi dünyası zannedip ona âşık olsa tabiat bataklığına düşer, boğulur. Meğerki hârika olarak bir dest-i inayet onu kurtarsın. Şu hakikati tenvir için şu temsile bak. Mesela:

    Şu güzel ziynetli odanın dört duvarında, dördümüze ait dört endam âyinesi bulunsa o vakit beş oda olur. Biri hakiki ve umumî, dördü misalî ve hususi… Her birimiz kendi âyinemiz vasıtasıyla, hususi odamızın şeklini, heyetini, rengini değiştirebiliriz. Kırmızı boya vursak kırmızı, yeşil boyasak yeşil gösterir ve hâkeza… Âyinede tasarrufla çok vaziyetler verebiliriz; çirkinleştirir, güzelleştirir, çok şekillere koyabiliriz. Fakat haricî ve umumî odayı ise kolaylıkla tasarruf ve tağyir edemeyiz. Hususi oda ile umumî oda hakikatte birbirinin aynı iken ahkâmda ayrıdırlar. Sen bir parmak ile odanı harap edebilirsin, ötekinin bir taşını bile kımıldatamazsın.

    İşte dünya süslü bir menzildir. Her birimizin hayatı, bir endam âyinesidir. Şu dünyadan her birimize birer dünya var, birer âlemimiz var. Fakat direği, merkezi, kapısı, hayatımızdır. Belki o hususi dünyamız ve âlemimiz, bir sahifedir. Hayatımız bir kalem, onunla sahife-i a’malimize geçecek çok şeyler yazılıyor.

    Eğer dünyamızı sevdikse sonra gördük ki dünyamız hayatımız üstünde bina edildiği için hayatımız gibi zâil, fâni, kararsızdır, hissedip bildik. Ona ait muhabbetimiz, o hususi dünyamız âyine olduğu ve temsil ettiği güzel nukuş-u esma-i İlahiyeye döner; ondan, cilve-i esmaya intikal eder.

    Hem o hususi dünyamız, âhiret ve cennetin muvakkat bir fidanlığı olduğunu derk edip ona karşı şedit hırs ve talep ve muhabbet gibi hissiyatımızı onun neticesi ve semeresi ve sümbülü olan uhrevî fevaidine çevirsek o vakit o mecazî aşk, hakiki aşka inkılab eder.

    Yoksa نَسُوا اللّٰهَ فَاَن۟سٰيهُم۟ اَن۟فُسَهُم۟ اُولٰٓئِكَ هُمُ ال۟فَاسِقُونَ sırrına mazhar olup nefsini unutup hayatın zevalini düşünmeyerek hususi kararsız dünyasını, aynı umumî dünya gibi sabit bilip kendini lâyemut farz ederek dünyaya saplansa, şedit hissiyat ile ona sarılsa onda boğulur, gider. O muhabbet onun için hadsiz bela ve azaptır. Çünkü o muhabbetten yetimane bir şefkat, meyusane bir rikkat tevellüd eder. Bütün zîhayatlara acır, hattâ güzel ve zevale maruz bütün mahlukata bir rikkat ve bir firkat hisseder; elinden bir şey gelmez, yeis-i mutlak içinde elem çeker.

    Fakat gafletten kurtulan evvelki adam, o şedit şefkatin elemine karşı ulvi bir tiryak bulur ki acıdığı bütün zîhayatların mevt ve zevalinde bir Zat-ı Bâki’nin bâki esmasının daimî cilvelerini temsil eden âyine-i ervahları bâki görür; şefkati, bir sürura inkılab eder.

    Hem zeval ve fenaya maruz bütün güzel mahlukatın arkasında bir cemal-i münezzeh ve hüsn-ü mukaddesi ihsas eden bir nakış ve tahsin ve sanat ve tezyin ve ihsan ve tenvir-i daimîyi görür. O zeval ve fenayı tezyid-i hüsün ve tecdid-i lezzet ve teşhir-i sanat için bir tazelendirmek şeklinde görüp lezzetini ve şevkini ve hayretini ziyadeleştirir.

    اَل۟بَاقٖى هُوَ ال۟بَاقٖى

    Said Nursî

    1. *Ini adalah makna dari banyak hadis yang berbicara tentang masalah tersebut. Li�hat: al-Bukhari, bab al-Anbiyâ, h.49; dan Muslim, bab al-Iman, h.244-246
    2. *Lihat: at-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, j.3, h.151; al-Mu’jam al-Ausath, j.4, h.328; al-Hakim, al-Mustadrak, j.3, h.219
    3. *Lihat: Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, j.2, h.370, dan j.4, h.287; Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, j.3, h.55; al-Baihaqi, Syuab al-Îmân, j.1, h.331, j.1, 357, j.4, h.334; dan alHakim, al-Mustadrak, j.4, h.612.