SURAT KEDELAPAN BELAS

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    16.09, 6 Ocak 2025 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 201392 numaralı sürüm ("Sekarang, kalau ada yang berkata bahwa pe- nguasa tersebut adalah penguasa yang adil saja, yakni hanya lembaga penegak keadilan yang mencerminkan nama sang penguasa, dalam kondisi demikian, sudah pasti bagi lembaga penegak keadilan, sifat dan kondisi para ulama urusan agama terlihat sebagai sesuatu yang relatif; bukan hakiki. Artinya, sifat yang dimiliki oleh lembaga urusan agama dan juga lembaga militer oleh lembaga penegak keadilan dianggap relatif dan..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    Diğer diller:

    بِاس۟مِهٖ سُب۟حَانَهُ

    وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    (Surat ini Berisi Tiga Persoalan Penting)

    Persoalan Pertama

    Pertanyaan:Para wali terkenal seperti Syekh Muhyiddin ibn Arabi, penulis kitab al-Futûhât al-Makkiyyah, dan Syekh Abdul Karim al-Jîlî, penulis kitab al-Insân al-Kâmil, membahas tentang tujuh lapis bumi, bumi putih di balik gunung Qâf, serta sejumlah hal aneh semisal al-Masymasyiyah seperti yang terdapat dalam al-Futûhât. Mereka berkata, “Kami telah melihatnya.” Nah, apakah yang mereka katakan itu benar? Jika memang demikian, di bumi tidak ada seperti yang mereka katakan. Geografi dan sains modern menyangkal ucapan mereka. Namun jika ucapan mereka tidak benar, bagaimana mungkin mereka menjadi wali yang salih? Sebab, bagaimana mungkin orang yang mengutarakan sesuatu yang bertentangan dengan realitas yang terlihat dan terindra, serta menafikan hakikat kebenaran dikatakan sebagai ahlul haq dan ahli hakikat?!

    Jawaban:Mereka termasuk ahlul haq dan ahli hakikat. Mereka juga termasuk kalangan wali. Apa yang mereka saksikan, benar adanya. Hanya saja, kekeliruan terjadi pada sebagian penilaian mereka terhadap apa yang mereka saksikan saat kondisi syuhud yang memang tidak memiliki kaidah dan batasan, serta terhadap ekspresi penglihatan mereka yang sebenarnya tidak bisa dijelaskan.Sebagaimana orang yang bermimpi tidak bisa menjelaskan mimpinya sendiri, maka para ahli syuhud dan kasyaf itu juga tidak bisa menjelaskan penyaksian mereka pada kondisi syuhud tersebut. Yang berhak dan bisa menjelaskannya hanyalah ulama pewaris para nabi yang dikenal sebagai orang pilihan (ashfiya). Tentu saja, ketika ahli syuhud itu naik ke tingkatan ashfiya, mereka bisa menangkap dan meluruskan kekeliruan mereka sendiri lewat petunjuk al-Qur’an dan as-Sunnah. Kenyataannya, sebagian mereka memang telah meluruskan kekeliruan tersebut.

    Perhatikan cerita imajiner berikut untuk memperjelas hakikat di atas:

    Pada satu waktu, ada dua pengembala yang salih. Keduanya memeras susu dari kambing mereka dan meletakkannya di sebuah wadah yang terbuat dari kayu. Lalu mereka meletakkan seruling bambu mereka di atas wadah tersebut. Kemudian salah seorang dari mereka mengantuk hingga akhirnya tertidur. Ia tidur dengan pulas. Adapun orang yang kedua tetap terjaga seraya mengawasi temannya. Tiba-tiba ia melihat seolah-olah ada hewan kecil—seperti lalat—yang keluar dari hidung temannya yang sedang tidur itu. Hewan itu terbang dengan cepat dan hinggap di pinggir wadah tersebut seraya melihat kepada susu. Lalu ia masuk ke lubang suling lewat salah satu sisinya dan keluar dari sisi yang lain. Setelah itu, ia berlalu dan masuk ke lubang kecil yang berada di bawah tanaman berduri yang dekat darinya.Tidak lama kemudian, hewan itu kembali. Ia masuk pula ke seruling tadi dan keluar dari sisi yang lain. Selanjutnya ia mendatangi temannya yang tidur itu dan masuk ke dalam hidungnya. Seketika sang teman terbangun dari tidurnya seraya berkata, “Wahai teman, dalam tidurku tadi aku melihat mimpi yang menakjubkan!” “Ya Allah, perlihatkan dan perdengarkan kebaikan pada kami! Wahai teman, katakan apa yang kau lihat dalam mimpimu!” ujar temannya.“Dalam mimpi aku melihat lautan susu. Di atasnya terbentang jembatan yang menakjubkan. Jembatan itu beratap. Di atapnya terdapat sejumlah jendela. Aku melewati jembatan tersebut. Di ujungnya yang kedua kulihat ada hutan lebat yang penuh dengan pohon berduri. Saat melihat kepadanya dengan kagum, aku melihat sebuah goa berada di bawah pohon. Segera saja aku masuk ke dalamnya. Aku melihat tumpukan emas murni dalam jumlah besar. Wahai teman, apa maksud dari mimpiku ini? ”

    Teman yang terjaga itupun menjelaskan, “Lautan susu yang kau lihat itu sebenarnya adalah susu yang terdapat di wadah ini. Sementara jembatan yang berada di atasnya adalah seruling. Ujung pohon yang berduri tidak lain adalah tanaman getah ini. Dan goa besar yang kau sebut adalah lubang kecil yang berada di bawah tanaman yang berada di dekat kita ini. Tolong berikan cangkul padaku untuk ku- perlihatkan padamu harta yang kau katakan!” Temannya itupun datang membawa cangkul dan mereka berdua mulai menggali tanah di bawah tanaman getah. Tidak lama kemudian terlihat oleh mereka harta berupa emas yang membuat mereka gembira.

    Apa yang dilihat oleh orang yang bermimpi adalah benar. Ia melihat apa yang dilihatnya sebagai sebuah hakikat kebenaran. Akan tetapi, karena ia tenggelam dalam dunia mimpi, sementara dunia mimpi tidak memiliki kaidah dan batasan tertentu, maka orang yang bermimpi tadi tidak bisa menjelaskan mimpinya. Apalagi ia tidak mampu membedakan antara alam materi dan maknawi. Karena itu, sebagian penilaiannya keliru. Sehingga dengan jujur ia berkata kepada temannya, “Aku telah melihat lautan susu.” Sementara, temannya yang terjaga dapat dengan mudah membedakan alam maknawi dari alam materi. Ia dapat menjelaskan mimpinya dengan berkata kepada temannya, “Apa yang kau lihat adalah benar. Namun, lautan yang kau lihat bukan lautan yang sebenarnya. Namun dalam mimpimu wadah susu kayu ini berubah menjadi seperti lautan, dan seruling tersebut berubah menjadi jembatan.” Begitulah.

    Berdasarkan contoh di atas, alam materi harus dibedakan dengan alam rohani. Kalau keduanya dicampur, penilaian terhadap keduanya menjadi keliru dan tidak benar. Contoh lain: Bayangkan engkau memiliki sebuah ruangan yang sempit. Pada keempat dindingnya kau pasang cermin besar yang me- nutup semua sisi dinding. Maka, ketika masuk ke dalam kamarmu, engkau melihat ruanganmu yang sempit menjadi luas dan menjadi seperti halaman. Apabila engkau berkata, “Aku melihat ruanganku seperti halaman luas,” maka perkataanmu benar. Namun jika engkau memberikan penilaian dengan berkata, “Kamarku sangat luas seperti halaman,” ketika itu engkau telah keliru. Sebab, engkau mencampur antara alam mitsal yang di sini berupa alam cermin, dengan alam nyata yang sebenarnya yang di sini berupa kamarmu.

    Jadi, jelas bahwa ucapan sebagian ahli kasyaf atau tulisan mereka tentang tujuh lapis planet bumi berasal dari sejumlah persepsi tanpa ditimbang dengan neraca al-Qur’an dan as-Sunnah di mana ia tidak hanya melihat kondisi fisik dan geografis bumi.Mereka berkata, “Salah satu lapisan bumi khusus didiami jin dan Ifrit. Luasnya sejarak perjalanan ribuan tahun.” Padahal, bola bumi yang bisa dilintasi dalam beberapa tahun tidak mengandung lapisan yang aneh dan sangat luas itu. Akan tetapi, kalau kita berasumsi bahwa bola bumi seperti benih pohon cemara di alam maknawi, alam mitsal, alam barzakh, dan alam arwah, maka pohon mitsali yang akan terwujud di berbagai alam itu akan seperti pohon cemara yang sangat besar jika dibandingkan dengan benih tadi. Karena itu, sebagian ahli syuhud, dalam perjalanan spiritual, mereka melihat sejumlah tingkatan bumi di alam mitsal sangat luas dan mencengangkan. Mereka melihatnya seluas perjalanan ribuan tahun.

    Apa yang mereka lihat benar dan nyata. Hanya saja, karena gambaran alam mitsal menyerupai alam materi, maka mereka melihatnya—kedua alam tersebut—bercampur secara bersamaan. Sehingga mereka menjelaskan apa yang mereka lihat sebagaimana adanya. Namun karena apa yang mereka saksikan tidak ditimbang dengan neraca al-Qur’an dan as-Sunnah, dan menuliskan apa adanya dalam buku-buku mereka saat kembali ke alam sadar, maka orang-orang menerimanya dalam kondisi yang berbeda dengan kenyataan. Pasalnya, sebagaimana wujud mitsali dari istana besar dan taman yang luas bisa dimuat oleh sebuah cermin kecil, demikian pula luas ribuan tahun dari alam mitsal dan hakikat maknawi bisa dihimpun oleh jarak setahun dari alam materi.

    Penutup Dari masalah ini dapat dipahami bahwa tingkat penyaksian (syuhud) jauh lebih rendah daripada tingkatan iman kepada alam gaib. Artinya, sejumlah ketersingkapan (kasyaf) yang tidak memiliki kaidah khusus yang dimiliki oleh sejumlah wali yang bersandar kepada penyaksian semata tidak bisa mencapai penilaian dan ketetapan kalangan ashfiya dan ahli hakikat yang merupakan pewaris nabi di mana mereka tidak bersandar kepada penyaksian; tetapi kepada al-Qur’an dan wahyu.

    Mereka menetapkan hukum dan penilaian tentang sejumlah hakikat iman yang bersifat gaib tetapi bersih, komprehensif dan benar. Ia juga dibatasi oleh sejumlah kaidah dan dapat diukur dengan sejumlah neraca. Jadi, neraca dari seluruh kondisi spiritual, kasyaf, rasa, dan penyaksian adalah hukum-hukum al-Qur’an dan as-Sunnah yang mulia; serta rambu-rambu intuitif yang dimiliki oleh kalangan ash- fiya dan ahli hakikat.

    Persoalan Kedua

    Pertanyaan:Banyak orang menilai wahdatul wujud sebagai tingkatan spiritual yang paling tinggi, sementara kami tidak melihat jejaknya pada para sahabat Nabi yang mulia yang berada di tingkat kewalian agung, terutama khulafa ar-Rasyidin. Juga, pada imam- imam ahlul bait, terutama kelima orang yang dihimpun dalam jubah Nabi (Alu al-Abâ’), serta pada para mujtahid, terutama empat imamnya, dan para tabi’in. Apakah generasi yang datang sesudah mereka telah menyingkap sebuah jalan yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada jalan mereka? Apakah generasi tersebut dalam hal ini mengungguli mereka?

    Jawaban:Tidak demikian. Kondisinya tidak seperti itu. Tidak ada seorangpun yang dapat sampai kepada tingkatan kalangan ashfiya di atas yang laksana bintang bersinar paling dekat dengan mentari risalah, sekaligus pewaris pertama dari khazanah kenabian, apalagi sampai mendahului mereka. Jalan yang lurus (shirat al-mustaqim) adalah jalan mereka dan manhaj yang benar adalah manhaj mereka.

    Adapun wahdatul wujud adalah sebuah masyrab (jalan), pendekatan, serta sebuah keadaan. Ia adalah tingkatan yang tidak sempurna. Akan tetapi, karena bercampur dengan kenikmatan perasaan dan ekstase spiritual, maka sebagian besar orang yang masuk ke dalam maqam tersebut pada perjalanan suluk tidak ingin meninggal- kannya sehingga tetap bersamanya. Mereka mengira bahwa ia merupakan tingkatan terakhir yang di atasnya tidak ada lagi tingkatan lain.

    Karena itu, orang yang berada di jalan ini, apabila memiliki ruh yang terlepas dari kungkungan materi dan berbagai sarananya, lalu merobek tirai sebab, bebas dari belenggunya, dan meraih penyaksian dalam ketenggelaman yang menyeluruh, maka orang seperti itu bisa jadi sampai kepada wahdatul wujud yang didasarkan pada kondisi yang dirasakan; bukan berdasarkan pengetahuan. Ia bersumber dari kesatuan penyaksian (wahdatusy-syuhud); bukan dari wahdatul wujud. Dari sanalah, pemiliknya merasakan kesempurnaan dan kedudukan yang ia miliki. Bahkan hal itu bisa membuatnya mengingkari wujud alam saat memusatkan perhatian pada wujud Allah.Adapun apabila pemilik jalan ini termasuk yang tenggelam dalam dunia materi, maka pengakuannya tentang wahdatul wujud bisa membuatnya mengingkari wujud Allah karena perhatiannya terbatas pada wujud alam.

    Ya, jalan yang lurus adalah jalan para sahabat, tabi’in, dan kalangan ashfiya yang melihat bahwa “Hakikat sesuatu adalah nyata”.

    Ia merupakan kaidah universal bagi mereka. Mereka mengetahui bahwa yang layak dengan hak Allah adalah firman-Nya:“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia…” (QS. asy- Syûrâ [42]: 11). Artinya, Dia tidak diserupai oleh sesuatu, tidak berpihak, tidak parsial, dan tidak terbagi. Hubungan-Nya dengan entitas adalah hubungan antara Khalik dan makhluk (penciptaan). Entitas bukan ilusi seperti anggapan kalangan wahdatul wujud. Namun entitas yang tampak ini merupakan jejak kekuasaan Allah. Jadi, ung- kapan mereka “Tiada yang ada selain Dia” tidaklah benar. Yang benar “Tiada yang ada selain dari-Nya.” Hal itu, karena entitas tidak mungkin bersifat qadim (tak bermula) atau azali. Persoalan ini mungkin bisa lebih dipahami dengan dua contoh berikut:

    Pertama, misalkan seorang penguasa memiliki lembaga penegak keadilan. Maka, lembaga tersebut mencerminkan nama “penguasa yang adil.” Pada waktu bersamaan penguasa tersebut juga merupakan sosok “khalifah”. Karena itu, ia memiliki lembaga keagamaan dan ilmiah yang memantulkan nama tersebut. Kemudian penguasa itu membawa nama “panglima militer.” Dengan nama tersebut, ia bertindak di wilayah militer. Tentaranya juga merupakan manifestasi dari nama tersebut.

    Sekarang, kalau ada yang berkata bahwa pe- nguasa tersebut adalah penguasa yang adil saja, yakni hanya lembaga penegak keadilan yang mencerminkan nama sang penguasa, dalam kondisi demikian, sudah pasti bagi lembaga penegak keadilan, sifat dan kondisi para ulama urusan agama terlihat sebagai sesuatu yang relatif; bukan hakiki. Artinya, sifat yang dimiliki oleh lembaga urusan agama dan juga lembaga militer oleh lembaga penegak keadilan dianggap relatif dan aksesori; tidak hakiki dan tidak aktual.Dalam kondisi seperti itu, nama penguasa hakiki dan sifat kekuasaan hakikinya (penguasa yang adil) terwujud pada lembaga penegak keadilan. Sementara, sifat-sifatnya yang lain, seperti khalifah dan panglima tentara, bersifat relatif dan tidak hakiki. Padahal, esensi dan hakikat kekuasaan menuntut keberadaan seluruh nama tersebut dalam bentuk yang aktual dan hakiki. Di sisi lain, nama-nama hakiki tersebut menuntut keberadaan lembaga kekuasaan yang bersifat hakiki.

    İşte saltanat-ı uluhiyet Rahman, Rezzak, Vehhab, Hallak, Faal, Kerîm, Rahîm gibi pek çok esma-i mukaddeseyi hakiki olarak iktiza ediyor. O hakiki esma dahi hakiki âyineleri iktiza ediyorlar. Şimdi ehl-i vahdetü’l-vücud madem لَا مَو۟جُودَ اِلَّا هُوَ der, hakaik-i eşyayı hayal derecesine indirir. Cenab-ı Hakk’ın Vâcibü’l-vücud ve Mevcud ve Vâhid ve Ehad isimlerinin hakiki cilveleri ve daireleri var. Belki âyineleri, daireleri hakiki olmazsa; hayalî, ademî dahi olsa onlara zarar etmez. Belki vücud-u hakikinin âyinesinde vücud rengi olmazsa daha ziyade safi ve parlak olur. Fakat Rahman, Rezzak, Kahhar, Cebbar, Hallak gibi isimleri ise tecellileri hakiki olmuyor, itibarî oluyor. Halbuki o esmalar, Mevcud ismi gibi hakikattirler, gölge olamazlar; aslîdirler, tebeî olamazlar.

    İşte sahabe ve asfiya-i müçtehidîn ve Eimme-i Ehl-i Beyt حَقَائِقُ ال۟اَش۟يَاءِ ثَابِتَةٌ derler ki Cenab-ı Hakk’ın bütün esmasıyla hakiki bir surette tecelliyatı var. Bütün eşyanın onun icadıyla bir vücud-u ârızîsi vardır. Ve o vücud çendan Vâcibü’l-vücud’un vücuduna nisbeten gayet zayıf ve kararsız bir zıll, bir gölgedir fakat hayal değil, vehim değildir. Cenab-ı Hak, Hallak ismiyle vücud veriyor ve o vücudu idame ediyor.

    İkinci Temsil: Mesela, şu menzilin dört duvarında dört tane endam âyinesi bulunsa her bir âyine içinde her ne kadar o menzil öteki üç âyine ile beraber irtisam ediyor. Fakat her bir âyine, kendinin heyetine ve rengine göre eşyayı kendi içinde ihtiva eyler; kendine mahsus misalî bir menzil hükmündedir.

    İşte şimdi iki adam o menzile girse; birisi bir tek âyineye bakar, der ki: “Her şey bunun içindedir.” Başka âyineleri ve âyinelerin içlerindeki suretleri işittiği vakit, mesmuatını o tek âyinedeki iki derece gölge olmuş, hakikati küçülmüş, tagayyür etmiş o âyinenin küçük bir köşesinde tatbik eder. Hem der: “Ben öyle görüyorum, öyle ise hakikat böyledir.”

    Diğer adam ona der ki: “Evet, sen görüyorsun, gördüğün haktır fakat vakide ve nefsü’l-emirde hakikatin hakiki sureti öyle değil. Senin dikkat ettiğin âyine gibi daha başka âyineler var; gördüğün kadar küçücük, gölgenin gölgesi değiller.”

    İşte esma-i İlahiyenin her biri, ayrı ayrı birer âyine ister. Hem mesela Rahman, Rezzak hakikatli, asıl oldukları için kendilerine lâyık, rızka ve merhamete muhtaç mevcudatı ister. Rahman nasıl hakiki bir dünyada rızka muhtaç hakikatli zîruhları ister; Rahîm de öyle hakiki bir cenneti ister. Eğer yalnız Mevcud ve Vâcibü’l-vücud ve Vâhid-i Ehad isimleri hakiki tutulup öteki isimler onların içine gölge olmak haysiyetiyle alınsa o esmaya karşı bir haksızlık hükmüne geçer.

    İşte şu sırdandır ki cadde-i kübra, elbette velayet-i kübra sahipleri olan sahabe ve asfiya ve tabiîn ve Eimme-i Ehl-i Beyt ve eimme-i müçtehidînin caddesidir ki doğrudan doğruya Kur’an’ın birinci tabaka şakirdleridir.

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    رَبَّنَا لَا تُزِغ۟ قُلُوبَنَا بَع۟دَ اِذ۟ هَدَي۟تَنَا وَهَب۟ لَنَا مِن۟ لَدُن۟كَ رَح۟مَةً اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟وَهَّابُ

    اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلٰى مَن۟ اَر۟سَل۟تَهُ رَح۟مَةً لِل۟عَالَمٖينَ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ اَج۟مَعٖينَ

    ÜÇÜNCÜ MESELE

    Hikmet ve akıl ile halledilmeyen bir mesele-i mühimme.

    كُلَّ يَو۟مٍ هُوَ فٖى شَا۟نٍ ۝ فَعَّالٌ لِمَا يُرٖيدُ

    Sual: Kâinattaki mütemadiyen şu hayret-engiz faaliyetin sırrı ve hikmeti nedir? Neden şu durmayanlar durmuyorlar, daima dönüp tazeleniyorlar?

    Elcevap: Şu hikmetin izahı bin sahife ister. Öyle ise izahını bırakıp gayet muhtasar bir icmalini iki sahifeye sığıştıracağız.

    İşte nasıl ki bir şahıs, bir vazife-i fıtriyeyi veyahut bir vazife-i içtimaiyeyi yapsa ve o vazife için hararetli bir surette çalışsa; elbette ona dikkat eden anlar ki o vazifeyi ona gördüren iki şeydir:

    Birisi: Vazifeye terettüp eden maslahatlar, semereler, faydalardır ki ona ille-i gaiye denilir.

    İkincisi: Bir muhabbet, bir iştiyak, bir lezzet vardır ki hararetle o vazifeyi yaptırıyor ki ona dâî ve muktezî tabir edilir.

    Mesela yemek yemek, iştihadan gelen bir lezzet, bir iştiyaktır ki onu yemeye sevk eder. Sonra da yemeğin neticesi vücudu beslemektir, hayatı idame etmektir.

    Öyle de وَلِلّٰهِ ال۟مَثَلُ ال۟اَع۟لٰى şu kâinattaki dehşet-engiz ve hayret-nüma hadsiz faaliyet, iki kısım esma-i İlahiyeye istinad ederek iki hikmet-i vâsia içindir ki her bir hikmeti de nihayetsizdir:

    Birincisi: Cenab-ı Hakk’ın esma-i hüsnasının hadd ü hesaba gelmez enva-ı tecelliyatı var. Mahlukatın tenevvüleri, o tecelliyatın tenevvüünden geliyor. O esma ise daimî bir surette tezahür isterler. Yani nakışlarını göstermek isterler. Yani nakışlarının âyinelerinde cilve-i cemallerini görmek ve göstermek isterler. Yani kâinat kitabını ve mevcudat mektubatını ânen fe-ânen tazelendirmek isterler. Yani yeniden yeniye manidar yazmak ve her bir mektubu, Zat-ı Mukaddes ve Müsemma-yı Akdes ile beraber, bütün zîşuurların nazar-ı mütalaasına göstermek ve okutturmak iktiza ederler.

    İkinci sebep ve hikmet: Nasıl ki mahlukattaki faaliyet bir iştiha, bir iştiyak, bir lezzetten geliyor. Ve hattâ her bir faaliyette kat’iyen lezzet vardır; belki her bir faaliyet, bir nevi lezzettir.

    Öyle de Vâcibü’l-vücud’a lâyık bir tarzda ve istiğna-i zatîsine ve gına-i mutlakına muvafık bir surette ve kemal-i mutlakına münasip bir şekilde hadsiz bir şefkat-i mukaddese ve hadsiz bir muhabbet-i mukaddese var.

    Ve o şefkat-i mukaddese ve o muhabbet-i mukaddeseden gelen hadsiz bir şevk-i mukaddes var.

    Ve o şevk-i mukaddesten gelen hadsiz bir sürur-u mukaddes var.

    Ve o sürur-u mukaddesten gelen –tabir caiz ise– hadsiz bir lezzet-i mukaddese var.

    Hem o lezzet-i mukaddeseden gelen hadsiz terahhumdan, mahlukatın faaliyet-i kudret içinde ve istidatları kuvveden fiile çıkmasından ve tekemmül etmesinden neş’et eden memnuniyetlerinden ve kemallerinden gelen ve Zat-ı Rahman-ı Rahîm’e ait –tabir caiz ise– hadsiz memnuniyet-i mukaddese ve hadsiz iftihar-ı mukaddes vardır ki hadsiz bir surette, hadsiz bir faaliyeti iktiza ediyor.

    İşte şu hikmet-i dakikayı, felsefe ve fen ve hikmet bilmediği içindir ki şuursuz tabiatı ve kör tesadüfü ve camid esbabı; şu gayet derecede alîmane, hakîmane, basîrane faaliyete karıştırmışlar, dalalet zulümatına düşüp nur-u hakikati bulamamışlar.

    قُلِ اللّٰهُ ثُمَّ ذَر۟هُم۟ فٖى خَو۟ضِهِم۟ يَل۟عَبُونَ

    رَبَّنَا لَا تُزِغ۟ قُلُوبَنَا بَع۟دَ اِذ۟ هَدَي۟تَنَا وَهَب۟ لَنَا مِن۟ لَدُن۟كَ رَح۟مَةً اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟وَهَّابُ

    اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلٰى كَاشِفِ طِل۟سِمِ كَائِنَاتِكَ بِعَدَدِ ذَرَّاتِ ال۟مَو۟جُودَاتِ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ مَا دَامَ ال۟اَر۟ضُ وَ السَّمٰوَاتُ

    اَل۟بَاقٖى هُوَ ال۟بَاقٖى

    Said Nursî