KALIMAT KETIGA PULUH DUA

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    18.00, 30 Kasım 2024 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 187748 numaralı sürüm ("'''Nuktah Pertama'''" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)

    Kalimat ini adalah lanjutan yang menjelaskan kilau kedelapan dari “Kalimat Kedua Puluh Dua”.

    Ia menafsirkan lisan pertama dari lima puluh lima lisan entitas yang menjadi saksi atas keesaan Allah seperti ditunjukkan pada risalah “Setetes Lautan Tauhid.”(*[1])Pada saat bersamaan ia juga merupakan salah satu hakikat dari ayat al-Qur’an yang berbunyi لَو۟ كَانَ فٖيهِمَٓا اٰلِهَةٌ اِلَّا اللّٰهُ لَفَسَدَتَا“Sekiranya di langit dan bumi terdapat tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya hancur.” (QS. al-An- biyâ [21]: 22).

    MAUQIF PERTAMA

    Sekiranya di langit dan di bumi terdapat tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya itu telah hancur. (QS. al-Anbiyâ [21]: 22).Tiada Tuhan selain Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Segala kekuasaan dan pujian adalah milik-Nya. Dia menghidupkan dan mematikan. Dia Mahahidup tidak mati. Di tangan-Nya tergenggam segala kebaikan. Dia Mahakuasa atas segala sesuatu dan kepada-Nya semua kembali.(*[2])

    Pada salah satu malam Ramadhan yang penuh berkah, aku telah menjelaskan bahwa pada masing-masing frasa dari ungkapan tauhid di atas terdapat kabar gembira dan salah satu tingkatan tauhid. Aku telah menyuguhkan penjelasan yang mudah untuk dicerna kalangan awam guna menerangkan berbagai makna indah yang terdapat pada ungkapan لَا شَرٖيكَ لَهُ “Tiada sekutu bagi-Nya”. Hal itu disajikan dalam bentuk dialog imajiner dan menjadikan lisan hal dalam bentuk lisan ucapan. Sekarang kumasukkan dialog tersebut untuk membantu saudara-saudaraku yang telah melayaniku dan untuk memenuhi keinginan para kolegaku di masjid. Ia adalah sebagai berikut:

    Anggaplah ada seseorang yang mewakili para sekutu yang diang- gap sebagai partner Tuhan oleh kaum musyrik, kafir, dan sesat seperti para penyembah alam dan orang-orang yang meyakini pengaruh se- bab. Sosok fiktif tersebut ingin menjadi tuhan bagi entitas alam dan mengaku sebagai pemilik hakiki atasnya.

    Pertama-tama si pengaku tersebut bertemu dengan entitas terkecil yang berupa atom atau partikel. Lewat lisan alam dan bahasa filsafat materialis ia mengaku sebagai Tuhan dan pemiliknya yang hakiki.

    Namun lewat lisan hakikat dan dengan bahasa hikmah rabbani yang tersimpan di dalamnya, partikel tadi berkata, “Aku menunaikan sejumlah tugas yang tidak terhitung jumlahnya. Aku masuk ke dalam setiap ciptaan dalam bentuknya yang beragam. Jika engkau wahai si pengaku memiliki ilmu yang luas yang meliputi semua tugas dan mempunyai kekuasaan komprehensif yang mengarah pada semua- nya,(*[3])maka engkau berkuasa penuh dan sempurna dalam menundukkan dan mengarahkanku bersama dengan partikel lainnya yang berjalan di alam wujud ini. Juga, jika engkau mampu menjadi pen- guasa hakiki bagi semua entitas di mana aku merupakan bagian dari- nya—seperti sel darah merah—lalu bisa berbuat apa saja di dalamnya dengan teratur barulah engkau boleh mengaku sebagai pemilikku dan menisbatkan urusanku kepada selain Penciptaku, Allah. Namun, jika tidak, hendaknya engkau diam. Pasalnya, engkau tidak bisa ikut campur dalam urusanku dan tidak bisa menjadi tuhanku. Sebab, keteraturan sempurna yang terdapat dalam tugas dan gerak kami di mana ia tidak bisa dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki hikmah mutlak dan pengetahuan komprehensif, jika ada pihak lain yang ikut campur di dalamnya pasti akan rusak.Karena itu, bagaimana mungkin engkau mengarahkan telunjuk pada urusan kami sementara engkau lemah, mati, buta, dan tertawan oleh alam dan proses kebetulan buta.

    Maka, si pengaku tadi mengutarakan apa yang diucapkan oleh kaum materialis:Kalau begitu, hendaknya engkau menjadi pemilik dirimu sendi- ri. Mengapa engkau mengaku bekerja untuk pihak lain?

    Partikel tersebut menjawab, “Andaikan aku memiliki akal besar seperti matahari, pengetahuan komprehensif seperti sinarnya, kekuatan yang menyeluruh seperti panasnya, indra dan perasaan yang luas seperti tujuh warna cahayanya, serta wajah yang mengarah ke seluruh tempat yang disinarinya, dan mata yang melihat, ucapan yang menem- bus semua entitas, barangkali ketika itu aku bertindak bodoh sepertimu dengan mengaku sebagai pemilik diri. Hendaknya engkau pergi dariku! Engkau tidak memiliki tempat dalam diri kami.

    Ketika si penyeru kemusyrikan putus asa untuk mempengaruhi partikel, ia mendatangi sel darah merah dengan harapan bisa menda- patkan sesuatu darinya. Dengan lisan sebab, bahasa alam, serta logika filsafat, ia berkata kepadanya, “Aku adalah Tuhan dan pemilikmu!” Mendengar hal itu, sel darah merah tadi menjawab dengan li- san hakikat dan bahasa hikmah ilahi, “Aku tidak sendirian. Aku dan seluruh makhluk sepertiku yang terdapat di dalam pasukan darah ini memiliki sistem dan tugas yang sama. Kami semua berada di bawah satu komando. Jika engkau mampu menguasai kendali seluruh darah sepertiku, serta memiliki hikmah dan kekuasaan besar yang bisa mengontrol seluruh sel tubuh tempat kami berjalan dan melaksanakan tugas dengan sangat rapi, maka pengakuanmu itu barangkali bermakna. Namun, wahai si pangaku, yang engkau miliki hanyalah kekuatan buta dan alam yang tuli. Engkau tidak mampu ikut campur dalam urusan kami sedikitpun, apalagi mengaku sebagai pemilik kami. Pasalnya, sistem yang mengontrol kami sangat teliti dan cermat di mana yang bisa mengontrol kami hanyalah Dzat yang melihat segala sesuatu, mendengar segala sesuatu, mengetahui segala sesuatu serta dapat berbuat apa saja yang Dia kehendaki. Karena itu, diamlah! Tugas kami yang agung, serta kecermatan dan keteraturannya tidak memiliki ruang untuk mendengarkan omong kosongmu.” Demikianlah sel darah merah mengusirnya.

    Si pengaku tadi tidak mendapatkan apa yang ia tuju di dalam- nya. Iapun pergi menemui sel yang terdapat di tubuh seraya berkata kepadanya dengan logika filsafat dan lisan alam, “Pernyataan dan pengakuanku tidak didengar oleh partikel dan sel darah merah. Barang- kali engkau mau mendengarnya. Sebab, engkau hanyalah sel kecil yang memuat sejumlah hal yang terpisah. Karena itu, aku mampu menciptamu. Jadilah engkau sebagai ciptaan dan milikku.”

    Sel tadi menjawab dengan bahasa hikmah dan hakikat, “Memang benar aku sangat kecil. Namun, aku memiliki berbagai tugas agung dan besar. Aku memiliki hubungan yang sangat kuat dengan seluruh sel yang terdapat di tubuh. Aku juga memiliki sejumlah tugas yang rapi dengan seluruh tempat darah seperti pembuluh arteri, urat nadi, dan saraf, serta semua daya yang mengatur tubuh seperti daya tarik, daya tolak, daya produksi, daya imajinasi dan sejenisnya. Jika engkau memiliki pengetahuan yang luas, kekuasaan yang komprehensif yang mampu menumbuhkan urat, sarat, dan berbagai daya yang tersimpan di dalam tubuh sekaligus dapat mengordinasikan dan mempergunakan sesuai tugasnya, juga jika engkau memiliki hikmah komprehensif dan kekuasaan yang berpengaruh di mana engkau bisa mengatur semua sel tubuh yang merupakan saudaraku, engkau boleh mengaku telah menciptaku. Namun jika tidak, pergilah dariku! Sel darah merah terus memberiku rezeki, sel darah putih melindungiku dari berbagai penyakit yang menyerang. Aku memiliki berbagai tugas besar. Jangan sibukkan diriku sehingga lalai darinya. Makhluk lemah dan buta sepertimu sama sekali tidak berhak ikut campur dalam urusan kami yang sangat cermat dan detail. Sebab, pada diri kami telah terdapat satu sistem yang rapi dan sempurna.(*[4])Andaikan yang mengontrol kami bukan Dzat Yang Mahabijak, Mahakuasa dan Maha Mengetahui, tentu tatanan dan sistem kami akan rusak.”

    Maka, si pengaku itupun putus asa dari sel di atas. Namun, ia mendatangi tubuh manusia dengan berkata kepadanya seperti perkataan kaum materialis lewat lisan alam yang buta dan filsafat yang linglung:“Engkau milikku. Aku yang telah menciptakanmu. Atau, minimal aku memiliki bagian pada dirimu.”

    Pernyataan tersebut dijawab oleh tubuh manusia dengan hakikat tatanan yang penuh hikmah yang berbunyi: “Wahai si pengaku, jika engkau memiliki pengetahuan yang luas dan kekuasaan komprehensif sehingga berkuasa penuh terhadap seluruh tubuh manusia sepertiku untuk meletakkan tanda pembeda yang tampak di wajah kami di mana ia merupakan stempel qudrah dan fit- rah, demikian pula kalau engkau memiliki kekayaan yang luar biasa dan kepemilikan yang dominan yang bisa mengendalikan simpanan rezekiku yang terbentang dari mulai udara, air, tumbuhan dan hewan, juga jika engkau memiliki hikmah tak terhingga dan qudrah tak terbatas di mana engkau bisa menguasai perangkat maknawi yang mulia dan luas berupa ruh, kalbu, dan akal yang terdapat dalam satu wadah dan lewat hikmah yang mendalam engkau bisa membuatnya tunduk, maka engkau boleh mengaku sebagai pencipta dan pemelihara diriku. Namun jika tidak, hendaknya engkau diam! Sebab, Penciptaku Yang Mahaagung kuasa atas segala sesuatu, mengetahui segala sesuatu, dan melihat segala sesuatu lewat kesaksian tatanan paling sempurna yang telah menjalankan diriku dan lewat dalil stempel keesaan yang terda- pat dalam wajahku. Karena itu, makhluk yang lemah dan sesat sepertimu tidak bisa menunjukkan jari kepada kreasi-Nya yang menakjubkan dan tidak bisa sama sekali ikut campur di dalamnya.”

    Maka, penyeru kemusyrikan itupun pergi karena tidak menemu- kan tempat untuk masuk ke dalam tubuh. Kemudian ia mendatangi spesies manusia dengan berbisik kepada dirinya sendiri, “Barangkali pada kumpulan manusia yang tercerai berai ini aku mendapatkan tempat sehingga bisa masuk ke dalam kondisi fitrah dan wujud mereka sebagaimana setan dengan kesesatannya masuk ke dalam perbuatan dan urusan sosial mereka. Dari sana aku bisa menjalankan kekuasaanku atas tubuh manusia di mana ia berikut sel yang ada di dalamnya yang telah mengusirku.” Iapun berbicara kepada spesies manusia lewat lisan alam yang tuli dan filsafat yang linglung: “Wahai manusia, kalian tampak tak beraturan. Aku tidak melihat ada sebuah tatanan yang mengatur kalian. Aku adalah tuhan dan pemilik kalian. Atau, paling tidak aku memiliki bagian dalam diri kalian.”

    Mendengar hal itu, lewat lisan kebenaran dan hakikat serta de- ngan bahasa hikmah dan keteraturan, spontan spesies manusia terse- but menjawab:“Wahai si pengaku, jika engkau memiliki kekuatan yang dapat menutupi bola bumi ini dengan perhiasan baru yang dihias dengan berbagai warna menarik dan teruntai dengan penuh hikmah lewat berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang berjumlah lebih dari ratu- san ribu spesies serupa dengan spesies kita, lalu dengan itu engkau bisa merangkai hamparan menakjubkan di atas bumi yang berupa untaian ratusan ribu jenis makhluk hidup di mana ia terwujud dalam bentuk paling indah, nah jika engkau memiliki kemampuan komprehensif dan hikmah yang mencakup semacam ini di mana engkau berkuasa atas bumi di mana kita merupakan salah satu buahnya serta engkau dapat menata urusan alam di mana kami merupakan salah satu be- nihnya, kemudian engkau bisa mengirim berbagai kebutuhan kami dari seluruh pelosok alam lewat takaran yang tepat, jika engkau me- miliki kemampuan mencipta tanda qudrah ilahi yang menjadi pembeda pada wajah kami serta pada orang-orang terdahulu dan generasi mendatang, jika engkau memiliki semua itu, barangkali engkau berhak mengaku sebagai tuhanku. Namun jika tidak, hendaknya eng- kau diam! Jangan berkata bahwa, “Diriku mampu ikut campur dalam urusan mereka yang tampak bercampur sedemikian rupa”. Pasalnya, keteraturan pada kami terwujud dalam bentuk yang paling sempurna. Kondisi yang kau kira tidak beraturan merupakan salinan qudrah ilahi yang terwujud lewat keteraturan yang sempurna sesuai dengan ketetapan ilahi. Jika tatanan yang terdapat dalam tingkatan makhluk hidup yang paling rendah seperti tumbuhan dan hewan demikian cermat di mana ia menolak adanya intervensi, apalagi dengan kami yang berada dalam puncak tingkatan kehidupan?! Bukankah kondisi yang tampak bercampur dan tak beraturan merupakan satu bentuk tulisan Tuhan yang penuh hikmah?!

    Mungkinkah Dzat yang telah meletakkan goresan menakjubkan ini masing-masing pada tempatnya serta pada ba- gian dan sisi manapun bukan merupakan Penciptanya?! Mungkinkah Pencipta benih bukan merupakan Pencipta buahnya?! Mungkinkah Pencipta buah bukan merupakan Pencipta pohonnya?! Hanya saja, engkau buta tidak bisa melihat. Apakah engkau tidak melihat mukjizat qudrah ilahi pada wajahku dan kreasi yang luar biasa pada fitrahku?! Jika engkau mampu menyaksikannya, engkau akan mengetahui bahwa bagi Penciptaku tidak ada yang tersembunyi, tidak ada yang sulit, dan tidak ada yang tak mampu Dia kerjakan. Dia mengendalikan bintang dengan sangat mudah seperti mengendalikan partikel dan benih. Dia menciptakan musim semi yang demikian luas semudah menciptakan setangkai bunga. Dia memasukkan indeks alam yang besar ini dalam substansiku dengan sangat cermat. Mungkinkah makhluk lemah sepertimu mampu ikut campur dalam kreasi Sang Pencipta Yang Maha- agung. Karena itu, diamlah dan pergilah dari sisiku!. Akhirnya ia pergi dalam kondisi terusir.

    Kemudian ia pergi ke hamparan yang terbentang di atas bumi dan perhiasan baru yang dikenakan. Ia berbicara kepadanya atas nama kausalitas dan dengan bahasa alam natural serta lisan filsafat:“Aku bisa berbuat apa saja terhadapmu. Jadi, aku adalah pemilikmu. Paling tidak, aku memiliki bagian dalam dirimu.”

    Maka, hamparan(*[5])yang indah dan perhiasan tersebut menjawabnya dengan bahasa hakikat dan dengan lisan hikmah yang terdapat pada keduanya:“Jika engkau memiliki kekuatan yang berpengaruh serta kemampuan yang menakjubkan yang membuatmu bisa menata seluruh hamparan dan perhiasan indah ini di mana ia menghias bumi seiring dengan berjalannya waktu kemudian mencabutnya dengan rapi lalu menyebarkannya di atas pita zaman masa lalu, kemudian dari sana engkau bisa merangkai perhiasan yang dikenakan padanya lewat gore- sannya sekaligus mengurai polanya dalam lingkaran takdir; demikian pula jika engkau menguasai tangan maknawi yang memiliki qudrah dan hikmah di mana ia terjulur kepada segala sesuatu mulai dari penciptaan bumi hingga kehancurannya, bahkan dari azali hingga abadi, lalu ia terus memperbaharui dan mengganti sejumlah bagiannya; juga jika engkau mampu memegang kendali bumi yang menutupi dan membungkus kami; jika demikian maka bolehlah engkau mengaku sebagai tuhanku. Namun jika tidak, keluarlah dalam kondisi hina dari bumi ini. Engkau tidak memiliki tempat di sini. Sebab, pada diri kami terdapat manifestasi dan stempel keesaan di mana siapa yang tidak menggenggam kekuasaan atas seluruh entitas serta tidak melihat segala sesuatu berikut seluruh keadaannya pada waktu yang sama, kemudian tidak dapat mengerjakan urusan yang tak terhingga dalam satu waktu, tidak hadir dan mengawasi di setiap tempat, maka ia sama sekali tidak bisa menjadi pemilik kami. Bahkan, ia tidak dapat ikut campur dalam urusan kami. Dengan kata lain, siapa yang tidak memiliki kekuasaan, hikmah, dan pengetahuan yang bersifat mutlak, ia tidak bisa menguasai kami dan mengaku sebagai pemilik kami.”

    Akhirnya, si pengaku tadi berkata dalam hati, “Aku akan pergi ke bola bumi(*[6])dengan harapan dapat melalaikannya dan mendapatkan tempat di sana.” Iapun menuju kepadanya seraya berbicara atas nama sebabakibat dan dengan lisan alam:“Rotasimu yang berjalan tanpa tujuan ini menunjukkan bahwa engkau terbuang tanpa pemilik. Karena itu, engkau dapat tunduk kepadaku.”

    Bumi menjawabnya dengan suara keras laksana petir. Lewat lisan kebenaran dan hakikat, ia mengingkari pernyataannya dengan berkata:“Jangan sembrono wahai yang bodoh dan dungu. Bagaimana mungkin aku tidak memiliki pemilik dan tuan. Apakah engkau melihat dalam bajuku yang dibungkus dengan satu jahitan sebuah disharmoni yang tanpa hikmah dan tanpa ketelitian sehingga engkau mengira diriku terlantar tanpa tuan dan pemilik? Engkau bisa melihat sejumlah gerakanku. Di antaranya adalah gerakan tahunanku(*[7])di mana aku menempuh jarak sekitar dua puluh lima ribu tahun dalam setahun saja. Pada waktu bersamaan aku melaksanakan berbagai tu- gasku yang dibebankan padaku secara sangat terukur dan penuh hikmah. Jika engkau memiliki hikmah dan qudrah yang bersifat mutlak sehingga bisa menggerakkan sejumlah planet sepertiku di angkasa luas, lalu mencipta matahari yang bersinar terang di mana ia merupa- kan pimpinan kami yang antara kami dan ia diikat oleh tarikan rahmat. Dari sana kami dan seluruh planet mengitari matahari dengan sangat teratur dan penuh hikmah.Ya, wahai si pengaku jika engkau memiliki qudrah dan hikmah yang bersifat mutlak untuk menata semua urusan besar ini, maka eng- kau boleh mengaku sebagai tuhanku. Namun jika tidak, tinggalkan semua ucapan irrasionalmu. Masuklah engkau ke neraka Jahanam se- bagai tempat kembali yang buruk. Jangan lalaikan diriku dari berbagai tugas besar. Sebab, keteraturan yang indah, keharmonisan menakjubkan, dan penundukan yang penuh hikmah yang terdapat di dalamnya dengan jelas menunjukkan bahwa semua entitas mulai dari partikel hingga bintang dan matahari, semuanya tunduk kepada perintah Pencipta kami. Pasalnya, sebagaimana Dia mengatur pohon dan menghias buahnya dengan mudah, Dia juga dengan mudah mengatur matahari berikut semua planetnya. Dia Mahabijak, Mahaagung, Maha berkuasa mutlak dan Maha Sempurna.

    Selanjutnya, si pengaku tadi beranjak menuju matahari setelah gagal mendapatkan tempat berpijak di bumi. Ia berkata dalam hati, “Matahari ini sangat besar. Mudah-mudahan di dalamnya aku menemukan celah untuk menempatkan pengakuanku sehingga dengan demikian aku akan dapat menundukkan bumi pula.”Ia berkata kepada matahari lewat lisan kemusyrikan dan filsafat setani seperti yang dikatakan oleh kaum Majusi:“Wahai Matahari, engkau merupakan pemimpin alam. Engkau pemilik dirimu sendiri dan berbuat di alam ini sesuai dengan kehendakmu.”

    Segera saja hal itu dijawab oleh matahari dengan lisan kebenaran dan hakikat:“Tidak benar. Sama sekali tidak benar. Aku hanyalah makhluk suruhan yang tunduk dan patuh melaksanakan tugas pencahayaan yang diberikan oleh Tuhan. Aku bukan pemilik diriku. Bahkan, aku bukan pemilik dari sayap nyamuk sekalipun. Karena pada tubuh lalat terdapat permata maknawi yang berharga seperti mata, telinga, serta kreasi menakjubkan lainnya yang tidak berada dalam wilayah kekuasaanku.”Begitulah matahari menghardik si pengaku tersebut.

    Akhirnya, ia menjawab dengan lisan filsafat yang sombong dan angkuh:“Jika engkau bukan pemilik dirimu sendiri, tetapi hanya sekadar pesuruh, berarti engkau adalah milikku dan berada dalam kendaliku atas nama sebab-akibat.”

    Mendengar hal itu matahari memberikan sanggahan yang keras atas nama kebenaran dan hakikat serta lewat lisan pengabdian. Ia berkata, “Aku adalah milik Dzat yang menciptakan bintang-gemintang yang tinggi sepertiku, yang menempatkannya di langit dengan hikmah yang sempurna, yang mengaturnya dengan penuh keagungan, serta menghiasnya dengan sangat indah.”

    Selanjutnya si pengaku itu mulai berbicara kepada dirinya sendiri, “Bintang demikian bercampur baur. Satu dengan lainnya saling berserakan dan saling berjauhan. Barangkali aku mendapat tempat di sana sehingga ada yang bisa diraih.” Iapun masuk di antara bintang-ge- mintang. Ia berkata kepadanya seperti perkataan kaum Shâbiah yang menyembah bintang atas nama sebab-akibat dan lewat lisan filsafat:“Wahai bintang, banyak penguasa yang mengendalikanmu karena kalian bertebaran dan berserakan.”

    Mendengar hal tersebut, sebuah bintang memberikan jawaban mewakili yang lainnya, “Engkau sungguh bodoh wahai pengaku yang tolol! Tidakkah engkau melihat tanda tauhid dan stempel keesaan di atas wajah kami. Tidakkah engkau menyadarinya? Apakah engkau tidak mengetahui tatanan kami yang demikian tinggi dan hukum penghambaan kami yang demikian tegas?! Engkau mengira kami tak beraturan?! Kami makhluk dan hamba dari Dzat Yang Mahaesa. Dia menggenggam urusan kami, urusan langit yang merupakan lautan kami, serta semua entitas yang merupakan pohon kami dan angkasa alam luas sebagai tempat perjalanan kami. Kami merupakan bukti bercahaya laksana lentera yang terang yang menjelaskan kesempurnaan rububiyah-Nya. Kami petunjuk yang memperlihatkan kekuasaan rububiyah-Nya. Setiap kelompok dari kami adalah pelayan dan pekerja yang menunjukkan keagungan kekuasaan-Nya di tempat yang tinggi dan rendah, pada kehidupan dunia, barzakh dan akhirat.

    Ya, kami merupakan salah satu mukjizat Dzat Yang Mahaesa, buah pohon penciptaan yang matang, serta petunjuk keesaan yang bersinar. Kami adalah tempat singgah, pesawat dan masjid bagi malaikat; lentera dan matahari bagi alam yang tinggi; saksi atas rububiyah Allah; dan perhiasan dan bunga bagi angkasa dan istana alam. Kami laksana ikan bercahaya yang berenang di lautan langit sekaligus laksana mata yang indah yang terdapat di wajah langit.(*[8])Sebagaimana masing-masing kami memiliki kondisi demikian, maka dalam kese- luruhan kami terdapat diam dalam ketenangan, gerak dengan penuh hikmah, keindahan yang menakjubkan, kesempurnaan penciptaan yang sangat rapi, serta kreasi yang seimbang. Karena itu, lewat lisan yang tak terhingga kami bersaksi atas keesaan Pencipta kami Yang Mahaagung serta lewat keesaan dan keabadian-Nya kami bersaksi atas sifat-sifat indah dan sempurna-Nya. Kami memproklamirkan kesaksian ini kepada semua entitas. Apakah sesudah ini engkau masih menuduh kami, hamba yang suci, yang tunduk, dan patuh, sebagai entitas yang tak beraturan dan berserakan tanpa ada yang mengendalikan dan menguasai?! Jika demikian, engkau layak mendapat tamparan dari tuduhan tersebut.” Maka, sebuah bintang melempari si pengaku tadi seraya menjatuhkannya ke lembah neraka Jahanam sebagai tempat kembali yang buruk. Ia juga mencampakkan alam berikut para penyembahnya ke lembah ilusi, melemparkan proses kebetulan ke sumur ketiadaan, sekutu ke dalam gelapnya kemustahilan, serta filsafat yang anti agama ke tempat yang paling rendah.(*[9])Bintang tadi bersama dengan seluruh bintang yang lain bersa- ma-sama mengucap لَو۟ كَانَ فٖيهِمَٓا اٰلِهَةٌ اِلَّا اللّٰهُ لَفَسَدَتَا “Andaikan pada keduanya (langit dan bumi) terdapat tuhan-tuhan selain Allah ia telah hancur binasa.”Ia mendeklarasikan bahwa sama sekali tidak ada sekutu yang ikut campur bersama-Nya meski dalam hal yang paling kecil.

    Mahasuci Engkau. Tidak ada yang kami ketahui, kecuali yang kau ajarkan kepada kami. Engkau Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.”

    Ya Allah, limpahkan salawat dan salam kepada junjungan kami, Muhammad x, lentera keesaan-Mu dalam banyak makhluk sekaligus dalil keesaan-Mu dalam lembaran entitas.

    Demikian pula kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.


    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

    Lihatlah kepada jejak rahmat Allah, bagaimana Dia meng- hidupkan bumi setelah sebelumnya mati. (QS. ar-Rûm [30]: 50). Paragraf berikut ini menjelaskan setangkai bunga dari kebun azali ayat al-Qur’an di atas:

    Bahkan seakan-akan pohon yang berkembang itu merupakan untaian sajak yang tertata rapi, yang mendendangkan pujian bagi Sang Pencipta.

    Atau ia membuka matanya untuk menyaksikan berbagai hal menakjubkan milik-Nya.

    Atau, ia menghias seluruh bagiannya yang hijau untuk hari rayanya agar Sang Penguasanya bisa mempersaksikan berbagai jejak-Nya yang bersinar,

    memperlihatkan sejumlah permata, dan menampakkan hikmah penciptaan pohon

    tersebut kepada manusia lewat kekayaannya yang tersimpan dari balik kemurahan Tuhan pemilik buah.

    Mahasuci Dia, sungguh baik kebaikan-Nya, alangkah indah petunjuk-Nya, dan betapa jelas penjelasan-Nya!

    .خَيَال۟ بٖينَد۟ اَزٖين۟ اَش۟جَار۟ مَلَائِك۟ رَا جَسَد۟ اٰمَد۟ سَمَاوٖى بَا هَزَارَان۟ نَى۟

    .اَزٖين۟ نَي۟هَا شُنٖيدَت۟ هُوش۟ سِتَايِش۟هَاىِ ذَاتِ حَى۟

    .وَرَق۟هَارَا زَبَان۟ دَارَن۟د۟ هَمَه هُو هُو ذِك۟ر۟ اٰرَن۟د۟ بَدَر۟ مَع۟نَاىِ حَىُّ حَى۟

    .چُو لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُو بَرَابَر۟ مٖيزَنَد۟ هَر۟شَى۟

    دَمَا دَم۟ جُويَدَن۟د۟ يَا حَق۟ سَرَاسَر۟ گُويَدَن۟د۟ يَا حَى۟ بَرَابَر۟ مٖيزَنَن۟د۟ اَللّٰه۟

    “Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya.” (QS. Qâf [50]: 9).

    Arabî fıkranın tercümesi:

    Yani güya çiçek açmış her bir ağaç, güzel yazılmış manzum bir kasidedir ki o kaside Fâtır-ı Zülcelal’in medayih-i bâhiresini inşad edip şairane lisan-ı hal ile söylüyor.

    Veyahut o çiçek açmış her bir ağaç, binler bakar ve baktırır gözlerini açmış, tâ Sâni’-i Zülcelal’in neşir ve teşhir olunan acayib-i sanatını bir iki gözle değil belki binler gözlerle baksın; tâ ehl-i dikkati öyle baktırsın.

    Veyahut o çiçek açan her bir ağaç, umumî bayram olan baharın içindeki hususi bayramında ve resmigeçit misal bir anda yeşillenmiş azalarını en süslü müzeyyenatla süslemiş. Tâ ki onun Sultan-ı Zülcelal’i, ona ihsan ettiği hedâyâyı ve letaifi ve âsâr-ı nuraniyesini müşahede etsin.

    Hem meşher-i sanat-ı İlahiye olan zeminin yüzünde ve bahar mevsiminde, murassaat-ı rahmetini enzar-ı halka teşhir etsin. Ve şecerin hikmet-i hilkatini beşere ilan etsin. İncecik dallarında ne kadar mühim hazineler bulunduğunu ve ihsanat-ı Rahmaniyenin meyvelerinde ne derece mühim defineler var olduğunu göstermekle kemal-i kudret-i İlahiyeyi göstersin.

    Lampiran Mauqif Pertama

    Perhatikan ayat yang berbunyi:

    “Apakah mereka tidak melihat ke langit yang berada di atas mereka bagaimana kami membangun dan menghiasnya.” (QS. Qâf [50]: 6).

    Kemudian perhatikan permukaan bumi, bagaimana engkau me- nyaksikan adanya kondisi tenang dalam diam, gerak dalam hikmah, kemilau dalam keteraturan, senyum dalam keindahan, disertai kerapian penciptaan berikut keseimbangan kreasi.

    Kilau lenteranya, sinar lam- punya, serta cahaya bintangnya memperlihatkan kekuasaan yang tak terhingga kepada kaum yang berakal.

    Paragraf ini adalah penjelasan terhadap sejumlah makna ayat al- Qur’an di atas. Yakni, ayat al-Qur’an tersebut mengalihkan perhatian manusia ke wajah langit yang indah agar lewat penelaahan dan kecermatan bisa melihat kondisi diam dalam ketenangan serta agar disadari bahwa langit mengambil bentuk tenang semacam itu berdasarkan pe- rintah Dzat Yang Mahakuasa. Sebab, tanpa kekuasaan-Nya yang mutlak, yakni andaikan langit lepas kendali dibiarkan dalam gerak dan diamnya tentu benda-benda yang sangat besar itu dan berbagai planet lainnya lewat gerakannya akan menimbulkan suara gema yang menakutkan yang bisa menulikan pendengaran seluruh makhluk. Selain itu, pasti akan muncul percampuran dan ketidakstabilan yang karena demikian hebat akan membuat semua hancur. Pasalnya, seperti diketahui, andaikan dua puluh kerbau di ladang rusuh, tentu akan terjadi kerusakan luar biasa. Apalagi dengan benda-benda langit yang seribu kali lebih besar daripada bumi kita dan kecepatannya tujuh puluh kali lebih cepat daripada peluru seperti yang disebutkan dalam ilmu falak.

    Dari sini engkau dapat memahami bahwa ketenangan yang menye- limuti benda-benda langit menjelaskan sejauh mana kekuasaan dan penundukkan Sang Pencipta yang Maha Agung dan Dzat Yang Mahakuasa dan Sempurna, sejauh mana kendali-Nya atasnya, serta sejauh mana bintang itu tunduk dan patuh kepada perintah-Nya.
    

    ‘Gerak dalam hikmah’.

    Selanjutnya ayat di atas juga memerintahkan untuk menyaksikan gerak penuh hikmah yang terdapat di langit. Pasalnya, ia merupakan gerakan luar biasa yang penuh hikmah, cermat, dan luas yang mencengangkan kaum berakal serta membuat manusia takjub melihatnya. Sebagaimana seorang pe- rancang yang mahir bisa mengoperasikan dan mengendalikan roda pabrik sesuai dengan hikmah yang telah ditentukan, di mana dengan pengetahuannya itu ia memperlihatkan tingkat kemahirannya dan kecermatan kreasinya, demikian pula dengan Tuhan Yang Mahakuasa. Dia yang memberikan kepada matahari berikut planet sebuah kondisi khusus yang menyerupai pabrik atau bengkel besar. Dia memutar benda-benda yang sangat besar itu laksana batu ketapel kecil dan roda pabrik yang sederhana. Dia memutarnya di sekitar matahari di hadapan seluruh makhluk agar manusia mengetahui kemahakuasaan dan kebijaksanaan-Nya.

    ‘Kemilau dalam keteraturan dan senyum dalam keindahan’.

    Artinya, di permukaan langit juga terdapat cahaya terang dan sinar yang memukau, serta senyum yang indah di mana hal itu menjelaskan besarnya kekuasaan Sang Pencipta Yang Mahaagung serta sejauh mana kecermatan kreasi-Nya. Sebagaimana pencahayaan lentera dan penampakan berbagai manifestasi kegembiraan dan suka cita pada saat penguasa menaiki singgasana menunjukkan tingkat kesempurnaanya, demikian pula langit yang besar berikut bintang-gemintangnya memperlihatkan kepada mata yang melihatnya kesempurnaan kekuasaan Sang Pencipta Yang Mahaagung dan keindahan kreasi-Nya yang menakjubkan.

    Disertai kerapian penciptaan berikut keseimbangan kreasi’.

    Redaksi ini berbunyi, “Lihatlah keteraturan makhluk di langit serta pahami dan ukurlah ciptaan dengan neraca yang cermat. Dari sana engkau dapat memahami betapa luas kekuasaan Tuhan Pencipta makhluk dan betapa komprehensif hikmah-Nya!”Ya, pengelolaan materi yang sangat kecil, benda langit, atau hewan berikut penundukannya serta bagaimana masing-masing digiring menuju jalannya yang khusus dengan neraca tertentu menerangkan sejauh mana kekuasaan Dzat yang melaksanakannya, sejauh mana hikmah-Nya, dan sejauh mana materi dan hewan tersebut tunduk pada perintahNya. Kondisi yang sama terjadi di langit yang sangat luas. Lewat keagungannya yang menakjubkan, lewat bintang-gemin- tangnya yang besar yang jumlahnya tak terhitung, lewat gerakannya yang luar biasa tanpa ada yang menyimpang dari apa yang sudah digariskan meski hanya sekejap, serta lewat kepatuhannya dalam menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, ia menjelaskan kepada semua bahwa Penciptanya menampakkan rububiyah-Nya yang agung dengan menjalankan semua tadi dengan neraca yang sangat cermat.

    ‘Kilau lenteranya, sinar lampunya, serta cahaya bintangnya memperlihatkan kekuasaan yang tak terhingga kepada kaum yang berakal’.

    Artinya, penundukan matahari dan bulan yang terdapat dalam sejumlah ayat al-Qur’an seperti ayat di atas, ayat yang terdapat dalam surat an-Naba dan yang lainnya, semua menjelaskan bahwa penggantungan lentera seperti matahari di atap langit yang indah, di mana ia merupakan lentera yang bersinar terang, serta bagaimana Dia menjadikan cahayanya laksana tinta tulisan kreasi Allah Yang mahakuasa di atas lembaran musim panas dan dingin lewat goresan malam dan siang, juga bagaimana Dia menjadikan bulan sebagai jam besar dan alat pe- ngukur waktu di mana penggantungannya di langit serupa dengan jam yang dipasang di puncak menara dengan menjadikannya berada di sejumlah tempat sabit yang berbeda-beda sehingga seakan-akan Dia meletakkan pada setiap malam bulan sabit yang khusus yang tidak sama dengan sebelumnya, kemudian bagaimana Dia mengembalikan, mengumpulkan, dan menggerakkan bulan sabit tersebut di tempatnya dengan ukuran yang sempurna dan perhitungan yang cermat, lalu bagaimana Dia menghias wajah bumi dan memperindahnya dengan bintang yang berkilau dan tersenyum di kubah langit, sudah pasti semua itu merupakan perlambang kekuasaan rububiyah-Nya yang tak terhingga. Pada saat yang sama ia merupakan petunjuk akan uluhiyah yang agung yang kesempurnaanya tak terkira. Semua itu mengajak kaum yang memiliki pikiran dan akal untuk beriman dan bertauhid.

    Perhatikan lembaran kitab alam yang berwarna-warni dan cemerlang,

    bagaimana pena qudrah berlapis emas telah melukisnya.

    Tidak ada satu titikpun yang gelap bagi pandangan orang yang memiliki kalbu.

    Seakanakan Allah menyunting tanda kekuasaan-Nya lewat cahaya.

    Perhatikan betapa mukjizat hikmahnya demikian agung di mana ia menyita perhatian!

    Betapa pentas keindahannya sangat istimewa di angkasa alam!

    Perhatikan pula bintang-gemintang!

    Perhatikan keindahan pesan dan petunjuknya. Agar engkau bisa melihat stempel hikmah yang Dia tetapkan di mana ia menyinari alam wujud.

    Semua itu membisikkan dan menyuarakan lewat suara kebenaran:

    Kami adalah petunjuk terang atas keagungan Dzat Yang Mahakuasa dan Mahamulia.

    Kami adalah bukti benarnya keberadaan Sang Pencipta Yang

    Mahaagung serta keesaan dan kekuasaan-Nya.

    Laksana malaikat kami tampil di atas berbagai mukjizat

    indah yang menghias muka bumi.

    dari langit ke bumi serta meng- arah ke surga.

    Kami ribuan mata yang muncul

    Kami ribuan buah indah dari pohon penciptaan.

    Tangan hikmah yang Mahaindah dan Mahaagung menggantung kami di atas lembaran langit dan di atas ranting galaksi bima sakti.

    Bagi penduduk langit, kami adalah masjid yang beredar, tempat tinggal yang berputar, sangkar yang tinggi,

    lentera yang bersinar, kapal dan pesawat yang besar.

    Kami merupakan mukjizat qudrah Dzat Yang Mahakuasa dan maha Sempurna, serta kreasi luar biasa dari Dzat Yang Mahabijak dan Maha Mulia.

    Kami juga hikmah yang langka, penciptaan yang cemerlang, dan alam bercahaya.

    Demikianlah, kami menerangkan ratusan ribu petunjuk lewat ratusan ribu lisan yang kami perdengarkan kepada manusia sejati.

    Penglihatan orang ateis telah buta. Ia tidak melihat wujuh kami yang sangat terang dan tidak mendengar ucapan kami yang demikian jelas. Kami adalah tanda kekuasaaan yang menuturkan kebenaran.

    Stempel kami sama, desain kami sama. Kami semua bertasbih dan mengabdi kepada Tuhan. Kami tunduk di bawah perintah-Nya.

    Kami berzikir menyebutnya-Nya dengan kondisi tertarik oleh rasa cinta kepada-Nya serta terpaut kepada lingkaran zikir galaksi bima sakti.


    MAUQIF KEDUA

    Katakanlah, “Dialah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan, tempat segala sesuatu bergantung.” (QS. al-Ikhlâs [112]: 1-2).

    (Mauqif ini memiliki tiga tujuan)

    Tujuan pertama

    Penyeru kemusyrikan dan kesesatan yang jatuh ke bumi lantaran dilempar oleh bintang akhirnya menanggalkan semua pengakuannya itu. Pasalnya, ia tidak bisa mendapatkan sedikitpun kemusyrikan dan persekutuan di manapun adanya, mulai dari atom hingga gugusan galaksi. Hanya saja, seperti halnya setan, ia kembali lagi dan berusaha menimbulkan keraguan kepada ahli tauhid dalam tauhid mereka dengan cara melemparkan berbagai syubhat dan keraguan terkait dengan keesaan-Nya lewat tiga pertanyaan penting.

    Pertanyaan Pertama Lewat lisan zindiq ia berucap, “Wahai ahli tauhid, aku tidak berhasil menemukan sesuatupun atas nama wakilku dan aku tidak mampu bertempat pada sesuatu sebagai sarana untuk mendukung pengakuanku pada seluruh makhluk. Aku tidak bisa meyakinkan kebenaran jalanku. Akan tetapi, bagaimana kalian menetapkan wujud Dzat Yang Mahaesa Yang Maha berkuasa mutlak? Mengapa kalian berpendapat bahwa tidak mungkin ada tangan-tangan lain yang ikut bersama kekuasaan-Nya.

    Jawaban: pada “Kalimat Kedua Puluh Dua” telah dibuktikan secara sangat jelas bahwa semua entitas, mulai dari atom hingga planet, merupakan bukti bersinar yang menunjukkan keberadaan Dzat Yang Wajib ada (mutlak). Dialah Dzat Yang wajib ada dan Maha berkuasa mutlak. Semua rangkaian entitas yang terdapat di alam menjadi petunjuk yang jelas atas keesaan-Nya. Al-Qur’an juga menetapkan hal ini lewat dalil yang tak terhingga. Hanya saja, penyebutan bukti yang jelas tersebut lebih dipertegas untuk seluruh pandangan secara umum. Allah berfirman:

    “Jika engkau bertanya kepada mereka, siapa yang menciptakan langit dan bumi, tentu mereka akan menjawab, ‘Allah’...” (QS. Luqmân [31]: 25).“Di antara tanda kekuasaan-Nya penciptaan langit dan bumi serta perbedaan bahasa dan warna kulit kalian...” (QS. ar-Rûm [30]: 22) serta masih banyak lagi ayat senada yang menyebutkan tentang penciptaan langit dan bumi sebagai bukti atas keesaan secara sangat jelas. Setiap orang yang memiliki perasaan, mau tidak mau, akan membe- narkan Penciptanya dalam mencipta langit dan bumi sebagaimana bunyi firman-Nya لَيَقُولُنَّ اللّٰهُ “tentu mereka akan menjawab, ‘Allah.’

    Pada mauqif pertama kami telah menjelaskan stempel dan cap tauhid pada seluruh makhluk, mulai dari atom atau partikel hingga planet dan langit. Al-Qur’an menghapus dan menolak kemusyrikan mulai dari bintang dan langit hingga atom sebagaimana bunyi ayat di atas.

    Ia mengisyaratkan bahwa Dzat Yang Mahakuasa yang telah mencipta langit dan bumi dalam satu tatanan indah serta bahwa tata surya yang merupakan bagian dari ciptaan-Nya secara otomatis berada da- lam genggaman-Nya.

    Jika Dzat Yang Mahakuasa memegang matahari berikut semua planetnya serta menata dan menundukkannya, tentu saja bumi yang merupakan bagian dari sistem tersebut dan terpaut dengan matahari juga berada dalam genggaman-Nya serta berada di bawah pengaturan-Nya.

    Jika planet bumi berada di bawah pengaturan dan kehendak- Nya, maka tentu semua ciptaan yang tercipta dan tertulis di atas bumi di mana ia laksana buah dan tujuan bumi juga berada dalam genggaman rububiyah-Nya.

    Jika semua ciptaan yang terhampar di muka bumi dan yang dihias, diisi, dan dikosongkan setiap waktu, berada dalam genggaman qudrah dan pengetahuan-Nya, di mana ia diukur dan ditata dengan neraca keadilan dan hikmah-Nya,

    serta semua spesies berada dalam genggaman qudrah-Nya, sudah barang tentu setiap bagiannya yang tertata rapi, di mana masing-masing merupakan miniatur dari alam dan indeks spesies makhluk, secara otomatis berada dalam gengga- man rububiyah, penciptaan, kehendak dan pemeliharaan-Nya.

    Jika setiap makhluk hidup berada dalam genggaman pengaturan dan pemeliharaan-Nya, sudah pasti semua sel, organ, dan saraf yang membentuk makhluk tadi berada dalam genggaman pengetahuan dan kekuasaan-Nya.

    Jika setiap sel dan butiran darah tunduk pada perintah Allah, berada di bawah pengaturan-Nya, serta bergerak sesuai dengan hukum-Nya, sudah pasti semua bahan dasarnya berikut seluruh partikel yang dipakai untuk menyusun ukiran kreasi-Nya berada dalam geng- gaman qudrah-Nya serta berada dalam wilayah pengetahuan-Nya. Selain itu, sudah pasti ia bergerak secara rapi dan menunaikan berbagai tugas dalam bentuk paling sempurna lewat perintah, izin dan kekuatan-Nya.

    Jika gerakan setiap partikel dan penunaian tugasnya sesuai dengan hukum, izin, dan perintah-Nya, sudah pasti paras dan bentuk wajah berikut tanda pembedanya yang terdapat pada setiap individu, baik yang terdapat di wajah maupun di lisan, terwujud berkat penge- tahuan dan hikmah-Nya.

    Perhatikan ayat al-Qur’an berikut ini yang menjelaskan awal dan akhir dari rangkaian tersebut:

    Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya penciptaan langit dan bumi serta perbedaan bahasa dan warna kulit kalian.

    Pada semua itu terdapat tanda bagi kaum yang mengetahui. (QS. ar-Rûm [30]: 22).

    Wahai penyeru kemusyrikan! Berbagai bukti yang menetapkan jalan tauhid dan yang menunjukkan keberadaan Dzat Yang Maha Berkuasa mutlak sangat kuat sekuat rangkaian entitas. Sebab, jika penciptaan langit dan bumi menunjukkan keberadaan Pencipta Yang Mahakuasa, menunjukkan qudrah-Nya yang bersifat mutlak dan ke- sempurnaan qudrah tersebut pada-Nya, sudah pasti Dia tidak membutuhkan sekutu sama sekali. Jika Dia tidak membutuhkan sekutu, mengapa engkau tergiring kepada jalan gelap ini? Apa yang men- dorongmu masuk ke dalamnya?

    Karena Dia tidak membutuhkan sekutu, sementara seluruh entitas tidak membutuhkan sekutu pula, maka sudah pasti keberadaan sekutu dalam hal uluhiyah, rububiyah, dan penciptaan adalah sesuatu yang mustahil. Pasalnya, qudrah yang dimiliki Sang Pencipta langit dan bumi merupakan qudrah yang tak terbatas dan sangat sempurna seperti telah kami terangkan. Andaikan terdapat sekutu, berarti ada qudrah atau kekuasaan lain yang terbatas yang mengalahkan kekuasaan tak terbatas dan sempurna tersebut di mana ia menguasainya sekaligus menjadikannya dalam kondisi tak berdaya. Dengan kata lain, sesuatu yang terbatas mengakhiri sesuatu yang tak terbatas serta menjadikannya terbatas. Ini merupakan kemustahilan yang paling jauh dan paling sulit diterima akal.

    Kemudian keberadaan sekutu tidaklah dibutuhkan dan mus- tahil ada. Jadi, mengakui keberadaan sekutu merupakan pengakuan yang dipaksakan. Pasalnya, secara rasio, logika dan pikiran tidak ada sebab yang dapat menjadi alasan bagi munculnya pengakuan tersebut. Pengakuan semacam ini dalam istilah ushul fikih disebut yang berarti pengakuan belaka yang tak memiliki makna. Di antara hukum yang terdapat dalam ilmu kalam dan ushul adalah:

    “Kemungkinan yang tidak beralasan tidak bisa menjadi pegangan” dan “Kemungkinan belaka (dzati) tidak bertentangan dengan kepastian ilmiah.”

    Sebagai contoh, danau Barla mungkin dan bisa saja berubah menjadi jus atau minyak. Ini adalah sebuah kemungkinan. Akan tetapi kemungkinan ini tidak berdasarkan petunjuk atau indikasi sehingga tidak ada keraguan sedikitpun dalam keyakinan kita bahwa danau tersebut berupa air.

    Sejalan dengan itu, kita telah bertanya dari segala sisi entitas, dari setiap sudut makhluk, dan dari segala sesuatu mulai dari partikel hing- ga planet—seperti yang terdapat dalam mauqif pertama—mulai dari penciptaan langit dan bumi hingga perbedaan warna kulit dan bahasa. Namun jawabannya berupa bukti kebenaran atas keesaan lewat kondi- si yang ada serta petunjuk yang kuat tentang stempel tauhid yang terdapat pada segala sesuatu. Engkau juga telah menyaksikannya sendiri.Karena itu, tidak ada tanda apapun dalam etntitas alam yang bisa menjadi landasan kemungkinan adanya sekuu.

    Dengan kata lain, pengakuan keberadaan sekutu adalah pengakuan tahakkumiyah atau perkataan yang tidak memiliki makna. Ia adalah pengakuan yang tidak memiliki esensi. Oleh sebab itu, siapa yang menetapkan sekutu sesudah ini berarti sangat bodoh dan dungu.

    Di hadapan argumen yang tegas ini, penyeru kesesatan tersebut tersungkur tidak bisa lagi berbicara apa-apa kecuali berkata, “Pengaturan segala sesuatu yang terdapat pada entitas menjadi petunjuk atas keberadaan sekutu. Pasalnya, segala sesuatu terikat oleh sebab. Dengan kata lain, sebab memiliki pengaruh hakiki. Karena memiliki pengaruh, maka mungkin saja ia menjadi sekutu.

    Jawabannya:akibat terikat dengan sebab sesuai dengan kehendak dan hikmah ilahi. Guna memperlihatkan nama-nama-Nya yang mu- lia, Dia mengaitkan segala sesuatu dengan sebab. Kami telah menjelas- kan di banyak tempat dan pada sejumlah “Kalimat” bahwa sebab tidak memiliki pengaruh hakiki dalam mencipta.

    Di sini kami ingin menegaskan bahwa manusia jelas merupakan sebab yang paling mulia, pa- ling bisa memilih, dan paling bisa berbuat dalam banyak hal. Namun dalam perbuatan yang paling ia kehendaki seperti makan, berbicara dan berpikir di mana masing-masing merupakan ekspresi dari sebuah rangkaian menakjubkan yang sangat sempurna, ia tidak memiliki ba- gian kecuali hanya satu persen dari rangkaian tersebut.

    Misalnya, rangkaian perbuatan yang dimulai dari makan, suplai gizi kepada sel, hingga terbentuknya “buah”, dalam rangkaian panjang ini bagian manusia hanya sekadar mengunyah makanan. Di antara rangkaian berbicara, bagian manusia hanya sekadar memasukkan udara ke sejumlah cetakan titik artikulasi sekaligus mengeluarkannya. Apalagi sebuah kata yang terdapat di mulutnya meski laksana benih atau partikel, namun ia seperti pohon karena membuahkan jutaan kata yang sama di udara untuk kemudian masuk ke pendengaran juta- an pendengar. Tidaklah sampai ke pohon imajiner itu kecuali tangan fantasi manusia.

    Jika manusia saja yang merupakan entitas termulia dan paling memiliki pilihan terbelenggu untuk mencipta secara hakiki, apalagi benda mati, binatang dan unsur alam. Bagaimana mungkin ia bisa menjadi pelaku yang sebenarnya?!

    Jadi, sebab hanyalah pembungkus ciptaan rabbani, amplop hadiah-Nya dan pelayan persembahan-Nya. Tentu saja, piring tempat menyuguhkan hadiah penguasa atau kain yang membungkus hadiah tersebut, atau prajurit yang membawa hadiah penguasa itu bukan me- rupakan sekutunya. Siapa yang memiliki pandangan demikian, sung- guh telah mengada-ada.Demikianlah, sebab-sebab dan perantara lahiriah tidak memiliki bagian dalam rububiyah ilahi, kecuali hanya sekadar melakukan tugas penghambaan.

    Tujuan Kedua

    Setelah penyeru kemusyrikan tak mampu menetapkan jalannya serta putus asa, ia ingin melemparkan keraguan dan sejumlah syubhat untuk menghancurkan jalan ahli tauhid. Ia melontarkan pertanyaan kedua dengan berkata:

    “Wahai para ahli tauhid, kalian berkata قُل۟ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌ اَللّٰهُ الصَّمَدُ “Katakanlah, “Dialah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan, tempat segala sesuatu bergantung.” Dengan kata lain, Tuhan Pencipta alam adalah satu, esa dan tempat bergantung. Dia Pencipta segala sesuatu. Di tangan-Nya tergenggam kunci perbendaharaan segala sesuatu. Dia adalah Dzat Yang mahaesa. Dia menggenggam nasib semua makhluk. Dia berbuat terhadap semua dalam satu waktu dengan seluruh kondi- sinya tanpa ada sesuatu yang menghalangi dari yang lain. Bagaimana mungkin hakikat menakjubkan ini dapat dipercaya? Mungkinkah ada satu zat yang bisa melaksanakan berbagai pekerjaan tak terhingga di berbagai tempat yang tak terhingga tanpa ada kesulitan sedikitpun?!”

    Jawaban: Pertanyaan di atas dapat dijawab dengan penjelasan rahasia ke- esaan dan shamadiyah di mana ia sangat mendalam, mulia dan luas sehingga pikiran manusia tak mampu memahami rahasia agung tersebut kecuali lewat teropong kiasan dan perumpamaan. Pasalnya, tidak ada yang sama dan serupa dengan Dzat Allah dan dengan sifat-sifat- Nya yang mulia. Yang ada hanyalah perumpamaan terkait dengan urusan-Nya yang penuh hikmah. Karena itu, rahasia tersebut kami tunjukkan lewat berbagai contoh konkret.

    Contoh Pertama: Sebagaimana telah kami jelaskan dalam “Kalimat Keenam Belas” bahwa seseorang yang mendapatkan sifat komprehensif lewat perantaraan sejumlah cermin, meski kondisinya parsial, ia menjadi sesuatu yang komprehensif yang menguasai banyak hal.

    Kaca, air dan materi sejenisnya menjadi cermin bagi sejumlah hal yang bersifat materi sekaligus membuatnya memiliki sifat komprehensif. Demikian pula dengan udara, eter dan sejumlah entitas alam immateri, semuanya menjadi seperti cermin dan berubah menjadi perantara untuk berjalan secepat kilat dan khayalan di mana para makhluk nuraniyyûn dan ruhaniyyûn dapat melanglang buana dalam berbagai cermin suci itu secepat khayalan. Mereka bisa masuk dalam satu waktu ke sejumlah tempat. Dengan posisi mereka sebagai makh- luk bercahaya berikut bayangan mereka dalam cermin sebagai diri sendiri dan pemilik sifat mereka sendiri, maka mereka bisa menguasai berbagai tempat seakan-akan mereka berada di dalamnya bersama zat mereka. Adapun bayangan dari fisik yang kasar dan padat, bukanlah diri mereka dan bukan pemilik sifatnya. Ia adalah benda mati.

    Sebagai contoh adalah matahari, meskipun ia bersifat parsial namun berposisi sebagai sesuatu yang komprehensif lewat sejumlah materi yang berkilau. Pasalnya, bayangannya tampil pada setiap materi yang berkilau di atas bumi, setiap tetes air, dan setiap potongan kaca sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian, panas dan cahaya matahari berikut tujuh warna yang berada di dalamnya dan bayangannya terdapat pada setiap fisik yang berkilau.Andaikan diasumsikan matahari memiliki pengetahuan dan perasaan, tentu setiap cermin akan seperti tempatnya dan berposisi sebagai singgasana. Ia bersambung, seperti telepon, dengan semua yang memiliki perasaan lewat perantaraan cermin. Tidak ada yang meng- halangi dari sesuatu serta tidak ada satu komunikasi yang menghalangi komunikasi yang lain. Meski berada di setiap tempat, namun ia tidak dibatasi oleh tempat.

    Jika matahari yang berkedudukan seperti cermin fisik dan parsial serta mencakup satu nama dari ribuan nama-Nya yang mulia, yaitu an-Nur, kondisinya menggapai sejumlah perbuatan komprehensif seperti itu serta berada di berbagai tempat yang komprehensif, apalagi dengan Allah . Tidakkah mungkin Dzat Yang Mahaagung lewat kesaan Dzat-Nya dapat melakukan perbuatan yang tak terhingga dalam satu waktu?!

    Contoh Kedua: Karena entitas ibarat pohon, ia bisa dijadikan sebagai contoh untuk memperlihatkan berbagai hakikatnya. Kita ambil pohon besar yang terdapat di hadapan kamar kita sebagai contoh miniatur alam. Kami akan menjelaskan manifestasi keesaan di alam lewat perantaraannya sebagai berikut:

    Pohon ini memiliki tidak kurang dari sepuluh ribu buah. Setiap buah memiliki tidak kurang dari seratus biji. Dengan kata lain, sepuluh ribu buah dan sejuta biji ini pada saat bersamaan menjadi tempat penciptaan karena di dalam biji tersebut terdapat ikatan ke- hidupan bagi pohon tersebut. Pada akar dan batangnya yang merupa- kan sesuatu yang bersifat parsial terdapat manifestasi kehendak ilahi dan benih perintah-Nya. Lewat manifestasi parsial itu terwujud pusat pembentukan pohon yang terdapat pada awal setiap dahan dan di da- lam setiap buah di mana ia tidak meninggalkan satu bagianpun dari bagian pohon.

    Selanjutnya, satu manifestasi dari kehendak dan perintah ilahi itu tidak tersebar ke semua tempat sebagaimana cahaya, hawa panas, dan udara karena ia tidak meninggalkan bekas dalam jarak yang jauh tersebut pada sejumlah tempat yang ia tuju dan pada berbagai ciptaan. Bahkan tidak ada satu jejak sekalipun. Sebab, andaikan hal itu terjadi lewat adanya ketersebaran tentu jejaknya terlihat. Namun ia menjadi sisi setiap bagian tanpa terpisah dan tersebar. Dan perbuatan yang bersifat komprehensif tersebut tidak bertentangan dengan keesaan dan Dzat-Nya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa manifestasi kehen- dak-Nya serta ikatan kehidupan terdapat di sisi setiap bagian dan tidak terbatas pada satu tempat sama sekali. Bahkan seolaholah pada pohon yang besar itu terdapat mata dan telinga milik hukum perintah-Nya sebanyak buah dan biji yang ada. Lebih dari itu, setiap ba- gian pohon ibarat pusat indra darinya di mana jarak yang jauh tidak menjadi penghalang. Namun, ia seperti jaringan telepon yang justru menjadi sarana yang memudahkan dan mendekatkan sehingga yang paling jauh tidak berbeda dengan yang paling dekat.

    Jika kita bisa menyaksikan sebuah manifestasi parsial dari salah satu manifestasi kehendak Dzat Yang Mahaesa dalam jutaan tempat tanpa butuh perantara, maka tidak ada yang bisa meragukan kekuasaan Allah Yang mahaagung dalam berbuat pada pohon penciptaan lewat semua bagian dan benihnya secara bersamaan melalui salah satu manifestasi qudrah dan kehendak-Nya.

    Seperti yang kami tegaskan dan jelaskan dalam “Kalimat Kee- nam Belas”, di sini kami nyatakan bahwa jika makhluk yang lemah dan tunduk seperti matahari, jika makhluk semicahaya dan terikat dengan materi seperti ruhaniyyûn dapat berada di satu tempat dan di bebera- pa tempat lain dalam satu waktu lewat potensi mereka yang bersifat cahaya di mana ia bersifat parsial dan terikat namun memperoleh sifat universal yang membuatnya dapat melakukan banyak aktivitas dalam satu waktu, apalagi dengan Dzat yang terlepas dari unsur materi dan tidak terikat apapun, bahkan semua cahaya tidak lain hanya bayangan dari cahaya nama-Nya serta semua wujud, kehidupan, ruh, dan alam mitsal hanyalah cermin (semitransparan) yang menampakkan keinda- han Dzat Yang Mahasuci tersebut di mana sifat-sifat-Nya mencakup segala sesuatu dan urusan-Nya meliputi segala hal.

    Adakah gerangan yang tertutupi dari keesaan-Nya dalam manifestasi sifat-Nya yang komprehensif dan manifestasi perbuatan-Nya yang terwujud lewat kehendak, qudrah, dan pengetahuan-Nya yang meliputi segala sesuatu?!Adakah sesuatu yang sulit bagi-Nya? Adakah yang tersembunyi dari-Nya? Atau, adakah sesuatu yang menghalangi dari yang lain? Adakah satu tempat yang kosong dari kehadiran-Nya? Bukankah Dia memiliki penglihatan yang bisa melihat semua entitas dan pendengaran yang bisa mendengar semua makhluk seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas?Bukankah rangkaian sesuatu laksana kabel atau urat yang mengalirkan perintah dan hukum-Nya dengan cepat? Bukankah penghalang merupakan media dan sarana bagi segala perbuatan-Nya? Bukankah sebab dan sarana merupakan hijab lahiriah semata?! Bukankah Dia berada di setiap tempat meski tidak terikat oleh tempat?! Mungkinkah jauhnya jarak, kecilnya ukuran, dan hijab tingkatan wujud menjadi penghalang bagi kedekatan, perbuatan, dan penyaksian-Nya?! Mungkinkah Dzat Allah yang suci, yang bersih dari materi, yang wajib ada, yang merupakan sumber cahaya, yang maha- esa, yang tak terikat, dan jauh dari segala cacat dihiasi oleh karakter materi, oleh sesuatu yang bersifat mungkin, padat, banyak, dan ikatan serta oleh segala sesuatu yang melekat pada materi seperti berubah, berganti dan terbelah?!Layakkah Dia lemah?! Mungkinkah cacat dekat dengan kemuliaan-Nya? Sungguh tidak mungkin. Allah sangat jauh dari semua itu.

    Penutup Tujuan Kedua

    Ketika sedang mencermati dan sibuk merenungkan keesaan- Nya, aku melihat buah pohon yang dekat dengan kamarku. Terlintas dalam benak ini renungan berantai lewat ungkapan bahasa Arab. Maka, ia kutulis sebagaimana adanya dengan bahasa Arab. Di sini aku akan menyebutkan penjelasan singkat darinya:

    نَعَم۟ فَال۟اَث۟مَارُ وَال۟بُذُورُ مُع۟جِزَاتُ ال۟حِك۟مَةِ خَوَارِقُ الصَّن۟عَةِ هَدَايَاءُ الرَّح۟مَةِ بَرَاهٖينُ ال۟وَح۟دَةِ بَشَائِرُ لُط۟فِهٖ فٖى دَارِ ال۟اٰخِرَةِ شَوَاهِدُ صَادِقَةٌ بِاَنَّ خَلَّاقَهَا لِكُلِّ شَى۟ءٍ قَدٖيرٌ بِكُلِّ شَى۟ءٍ عَلٖيمٌ كُلُّ ال۟اَث۟مَارِ وَال۟بُذُورِ مَرَايَاءُ ال۟وَح۟دَةِ فٖى اَط۟رَافِ ال۟كَث۟رَةِ اِشَارَاتُ ال۟قَدَرِ رُمُوزَاتُ ال۟قُد۟رَةِ بِاَنَّ تَاكَ ال۟كَث۟رَةَ مِن۟ مَن۟بَعِ ال۟وَح۟دَةِ تَص۟دُرُ شَاهِدَةً لِوَح۟دَةِ ال۟فَاطِرِ فِى الصُّن۟عِ وَالتَّص۟وٖيرِ ثُمَّ اِلَى ال۟وَح۟دَةِ تَن۟تَهٖى ذَاكِرَةً لِحِك۟مَةِ ال۟قَادِرِ فِى ال۟خَل۟قِ وَالتَّد۟بٖيرِ وَكَذَاهُنَّ تَل۟وٖيحَاتُ ال۟حِك۟مَةِ بِاَنَّ صَانِعَ ال۟كُلِّ بِكُلِّيَّةِ النَّظَرِ اِلَى ال۟جُز۟ئِىِّ يَن۟ظُرُ ثُمَّ اِلٰى جُز۟ئِهٖ اِذ۟ اِن۟ كَانَ ثَمَرًا فَهُوَ ال۟مَق۟صُودُ ال۟اَظ۟هَرُ مِن۟ خَل۟قِ هٰذَا الشَّجَرِ فَال۟بَشَرُ ثَمَرٌ لِهٰذِهِ ال۟كَائِنَاتِ فَهُوَ ال۟مَط۟لُوبُ ال۟اَظ۟هَرُ لِخَالِقِ ال۟مَو۟جُودَاتِ وَال۟قَل۟بُ كَالنَّوَاةِ فَهُوَ ال۟مِر۟اٰةُ ال۟اَن۟وَرُ لِصَانِعِ ال۟كَائِنَاتِ مِن۟ هٰذِهِ ال۟حِك۟مَةِ صَارَ ال۟اِن۟سَانُ ال۟اَص۟غَرُ فٖى هٰذِهِ ال۟مَخ۟لُوقَاتِ هُوَ ال۟مَدَارُ ال۟اَظ۟هَرُ لِلنَّش۟رِ وَال۟مَح۟شَرِ فٖى هٰذِهِ ال۟مَو۟جُودَاتِ وَالتَّخ۟رٖيبِ وَالتَّب۟دٖيلِ لِهٰذِهِ ال۟كَائِنَاتِ

    Paragraf awal dari refleksi tersebut adalah sebagai berikut:


    فَسُب۟حَانَ مَن۟ جَعَلَ حَدٖيقَةَ اَر۟ضِهٖ مَش۟هَرَ صَن۟عَتِهٖ مَح۟شَرَ حِك۟مَتِهٖ مَظ۟هَرَ قُد۟رَتِهٖ مَز۟هَرَ رَح۟مَتِهٖ مَز۟رَعَ جَنَّتِهٖ مَمَرَّ ال۟مَخ۟لُوقَاتِ مَسٖيلَ ال۟مَو۟جُودَاتِ مَكٖيلَ ال۟مَص۟نُوعَاتِ فَمُزَيَّنُ ال۟حَي۟وَانَاتِ مُنَقَّشُ الطُّيُورَاتِ مُثَمَّرُ الشَّجَرَاتِ مُزَهَّرُ النَّبَاتَاتِ مُع۟جِزَاتُ عِل۟مِهٖ خَوَارِقُ صُن۟عِهٖ هَدَايَاءُ جُودِهٖ بَشَائِرُ لُط۟فِهٖ تَبَسُّمُ ال۟اَز۟هَارِ مِن۟ زٖينَةِ ال۟اَث۟مَارِ تَسَجُّعُ ال۟اَط۟يَارِ فٖى نَس۟مَةِ ال۟اَس۟حَارِ تَهَزُّجُ ال۟اَم۟طَارِ عَلٰى خُدُودِ ال۟اَز۟هَارِ تَرَحُّمُ ال۟وَالِدَاتِ عَلَى ال۟اَط۟فَالِ الصِّغَارِ تَعَرُّفُ وَدُودٍ تَوَدُّدُ رَح۟مٰنٍ تَرَحُّمُ حَنَّانٍ تَحَنُّنُ مَنَّانٍ لِل۟جِنِّ وَ ال۟اِن۟سَانِ وَ الرُّوحِ وَ ال۟حَي۟وَانِ وَ ال۟مَلَكِ وَ ال۟جَانِّ

    Penjelasan atas refleksi yang terungkap dalam bahasa Arab itu adalah sebagai berikut:

    Seluruh buah berikut benih yang terdapat di dalamnya merupakan mukjizat hikmah rabbani, kreasi-Nya yang luar biasa, persembahan kasih sayang-Nya, petunjuk nyata atas keesaan-Nya, kabar gembira akan kelembutan ilahi di negeri akhirat, serta bukti yang benar bahwa Penciptanya Mahakuasa atas segala sesuatu. Benih dan buah merupakan cermin keesaan di penjuru alam yang plural. Di semua sisi pohon yang bercabang seperti alam ini penglihatan dialihkan dari yang banyak menuju satu.

    Setiap buah dan benih berkata dengan lisan hal, “Jangan tercerai berai di pohon yang besar yang bagian dan akarnya membentang. Semua yang berada di dalamnya berada bersama kita. Jumlahnya yang banyak masuk ke dalam wilayah kesatuan kita. Bahkan benih yang laksana kalbu buah merupakan cermin bagi keesaan-Nya. Ia senantiasa menyebut nama-nama-Nya yang mulia dengan zikir kalbu yang samar sebagaimana pohon menyebutnya dengan zikir yang nyaring.”

    Di samping merupakan cermin keesaan, benih dan buah juga merupakan petunjuk yang jelas dari takdir Tuhan (qadar) serta simbol nyata dari kekuasaan-Nya (qudrah) di mana takdir dan kekuasaan tersebut secara simbolis berkata, “Pohon ini dengan seluruh rantingnya yang bertebaran tumbuh dari satu benih. Ia menunjukkan keesaan Penciptanya dalam menghadirkan dan membentuk. Kemudian haki- katnya terkumpul pada satu buah setelah dahan-dahannya bercabang dan seluruh esensinya masuk ke dalam sebuah benih. Ia menunjukkan hikmah Penciptanya yang Mahaagung dalam mencipta dan mengatur.

    Demikian pula dengan pohon alam ini. Ia muncul dengan bersumber dari keesaan dan berkembang dengannya. Lalu ia menghasilkan buah manusia yang menunjukkan keesaan dalam entitas yang sangat banyak. Kalbu melihat rahasia keesaan dengan penglihatan iman pada jumlah makhluk yang banyak tersebut.

    Selain itu, buah dan benih merupakan catatan hikmah rabbani. Hikmah tersebut menuturkannya sekaligus menyadarkan mereka yang memiliki perasaan lewat hal berikut ini:Penglihatan dan pengaturan secara komprehensif kepada pohon tersebut mengarah kepada buah. Sebab, buah merupakan contoh kecil dari pohon sekaligus merupakan tujuan darinya. Penglihatan dan pe- ngaturan yang bersifat umum itu juga melihat kepada benih yang terdapat di dalam buah karena benih tersebut membawa sejumlah esensi pohon berikut indeksnya. Dengan kata lain, Dzat yang mengatur urusan pohon dan nama-nama-Nya yang memiliki hubungan dengan pengaturannya mengarah kepada setiap buah yang terdapat di pohon di mana ia merupakan tujuan dari penciptaan pohon.

    Bisa jadi pohon besar itu sebagian rantingnya dipotong untuk pembaharuan demi buah yang kecil tadi serta diberi pupuk untuk menghasilkan buah permanen yang lebih indah dan lebih lembut.Demikian pula dengan manusia yang merupakan buah pohon alam. Pasalnya, tujuan dari penciptaannya dan maksud dari penghadiran entitas adalah manusia. Benih dari buah tersebut adalah kalbu manusia yang merupakan cermin milik Pencipta Mahaagung yang paling bercahaya dan paling komprehensif.Berdasarkan hikmah di atas, manusia kecil ini menjadi poros berbagai perubahan besar dalam kebangkitan serta menjadi sebab kehancuran dan pergantian entitas. Pasalnya, pintu dunia ditutup demi perhitungan atasnya serta pintu akhirat terbuka karenanya.

    Sekarang tiba saatnya menjelaskan sebuah hakikat mendalam yang menjelaskan sisi kefasihan al-Qur’an dan kekuatan ekspresinya dalam menetapkan kebangkitan, yaitu sebagai berikut:

    Hasil dari refleksi ini menerangkan bahwa untuk melakukan perhitungan dan pembalasan atas manusia dan agar ia mendapat ke- bahagiaan abadi, Allah menghancurkan seluruh alam karena memang diperlukan. Kekuatan yang kuasa untuk menghancurkan dan mengganti benar-benar ada. Ia tampak dengan sangat jelas. Hanya saja, kebangkitan memiliki beberapa tingkatan: Di antaranya ada yang harus diketahui dan wajib diimani. Sementara, bagian lain tampak sesuai dengan tingkatan spiritualitas dan pemikiran sehingga pengetahuan dan pengenalan terhadapnya sangat penting. Untuk menetapkan tingkatan kebangkitan yang paling sederhana dan paling mudah secara meyakinkan, al-Qur’an menerangkan kekuasaan yang mampu membuka salah satu wilayah terluas dan tera- gung dari kebangkitan.

    Tingkatan kebangkitan yang harus diimani secara umum adalah bahwa sesudah mati ruh manusia pergi menuju sejumlah kedudukan lain, sementara jasad mereka punah kecuali tulang ekoryang merupakan bagian kecil yang tidak hancur dari tubuh manusia di mana ia seperti benih. Juga bahwa Allah membangkitkan tubuh manusia dari bagian kecil tersebut pada hari kebangkitan nanti serta menghembus- kan ruh ke dalamnya.

    Tingkatan kebangkitan ini sangat mudah dipahami sehingga ada jutaan contoh yang sama dengannya pada setiap musim semi. Namun, untuk menetapkan tingkatan yang mudah ini al-Qur’an kadangkala menjelaskan kekuatan yang mampu membangkitkan seluruh benih serta kadangkala menerangkan jejak qudrah dan hikmah-Nya di mana ia mampu mengirim seluruh entitas menuju fana dan tiada kemudian mengembalikannya lagi dari sana. Pada sejumlah ayat, al-Qur’an menjelaskan jejak pengaturan qudrah dan hikmah di mana ia mampu menebarkan bintang-gemintang dan membelah langit. Sejumlah ayat lainnya menjelaskan pengaturan qudrah dan hikmah dalam mematikan semua makhluk hidup serta membangkitkannya dalam satu teriakan secara seketika. Lalu pada ayat lain al-Qur’an menjelaskan manifestasi qudrah dan hikmah-Nya dalam mengumpulkan seluruh makhluk hi- dup dan membangkitkannya sendiri-sendiri. Kadang al-Qur’an menjelaskan jejak qudrah dan hikmah-Nya dalam menghancurkan bumi, melenyapkan gunung dan menggantinya dalam bentuk lain yang lebih indah.

    Dengan kata lain, selain tingkatan kebangkitan yang harus diimani dan diketahui oleh semua, ada banyak tingkatannya yang bisa terwujud dengan qudrah dan hikmah-Nya. Ketika hikmah ilahi menuntut kemunculannya tentu Dia akan menegakkan dan memunculkan semua berikut kebangkitan manusia. Atau, Dia akan menegakkan bagian yang penting darinya.

    Ada sebuah pertanyaan:

    “Dalam al-Kalimat engkau sering me- mergunakan analogi perumpamaan. Sementara, analogi tersebut menurut ilmu logika tidak mendatangkan keyakinan. Pasalnya, dalam berbagai persoalan keyakinan diperlukan petunjuk logis. Adapun analogi perumpamaan diperlukan dalam hal yang cukup dengan dugaan kuat sebagaimana pandangan ulama ushul fikih.

    Di samping itu, engkau menyebutkan sejumlah contoh dalam bentuk cerita, sementara cerita itu bisa fiktif dan bisa tidak sesuai de- ngan realitas.”

    Jawaban: Ya, dalam ilmu logika memang disebutkan bahwa analogi de- ngan perumpamaan tidak mendatangkan keyakinan. Hanya saja, ada satu bentuk dari analogi perumpamaan yang jauh lebih kuat daripada petunjuk atau dalil logis. Bahkan, ia jauh lebih meyakinkan daripada bentuk logika yang pertama. Bentuk analogi tersebut adalah menampilkan satu bagian atau satu sisi dari hakikat universal dengan perumpamaan parsial. Lalu menetapkan hukum di atas landasan hakikat tersebut serta menjelaskan rambu darinya pada materi yang khusus agar hakikat besar tadi bisa diketahui dan agar berbagai materi parsial bisa dikembalikan kepadanya.

    Sebagai contoh, matahari dekat dengan segala sesuatu yang berkilau lewat perantaraan cahaya meskipun ia hanya satu. Dengan contoh ini ia menjelaskan sebuah rambu hakikat, yaitu bahwa cahaya tidak terikat, yang jauh dan yang dekat sama, yang sedikit dan yang banyak tidak berbeda sehingga ia tidak dibatasi oleh tempat.

    Contoh lain: pembentukan buah dan daun pohon berikut penggambarannya dalam satu waktu dengan desain yang sama secara sangat mudah dalam bentuk yang paling sempurna dari satu sentral melalui hukum perintah-Nya yang satu. Semua itu merupakan contoh penampakan sebagian dari hakikat besar dan satu sisi dari rambu yang bersifat universal.

    Hakikat dan rambu tersebut menegaskan secara pasti bahwa benda-benda besar itu sama seperti pohon ini. Yang menjadi landasan geraknya adalah rambu hakikat tersebut. Sebagaimana pohon, ia me- rupakan medan gerak rahasia keesaan-Nya.Jadi, analogi perumpamaan dalam al-Kalimât dalam posisi semacam itu di mana ia lebih kuat dan lebih meyakinkan daripada petunjuk logis.

    Jawaban dari pertanyaan kedua: Dalam ilmu balagah atau retorika diketahui bahwa apabila makna yang dimaksud dari sebuah redaksi dan ungkapan diarahkan ke makna lain ia dikenal sebagai “lafal kiasan”. Dalam hal ini makna asli pada lafal kiasan tidak menjadi landasan kejujuran atau kebohongan, tetapi makna kiasan itulah yang menjadi sumber kejujuran dan kebo- hongan. Jika makna majasi itu benar (jujur), maka ungkapan itu benar. Sedangkan jika makna aslinya salah (bohong), maka kebohongan makna asli tidak merusak kejujuran makna kiasan. Akan tetapi, jika makna kiasan itu tidak benar (tidak jujur), sementara makna aslinya benar (jujur), maka ungkapan itu dusta.

    Sebagai contoh: ungkapan فِلَانٌ طَوٖيلُ النَّجَاد۟ “Panjang sarung pedang- nya”. Ungkapan ini adalah kiasan tentang postur orang yang tinggi. Nah, jika ia memang benar-benar tinggi, ungkapannya benar dan jujur meskipun ia tidak memiliki pedang dan sarung pedang. Akan tetapi, jika postur orang itu tidak tinggi, sementara ia memiliki pedang dan sarung pedang, maka ungkapan itu dusta karena yang dimaksud bu- kan makna aslinya.

    Nah, berbagai cerita yang terdapat dalam “Kalimat Kesepuluh”, “Kedua Puluh Dua” dan sejenisnya termasuk kiasan. Sejumlah hakikat yang menjadi penutupnyadi mana ia sangat jujur, benar, dan sesuai realita—merupakan makna kiasan dari cerita tersebut. Makna aslinya hanyalah merupakan teropong perumpamaan. Bagaimanapun adanya benar dan tidaknya tidak berpengaruh. Apalagi berbagai cerita tersebut hanyalah perumpamaan yang di dalamnya lisan hal ditampilkan dalam bentuk lisan ucapan. Juga, sosok maknawinya di tampilkan da- lam bentuk sosok materi agar bisa dipahami oleh masyarakat secara umum.

    Tujuan Ketiga

    Setelah mendapatkan jawaban yang meyakinkan dan memuaskan atas pertanyaan kedua,(*[10])sang penyeru kesesatan bertanya tentang hal berikut sebagai pertanyaan ketiga.

    Ia berkata, “Di dalam al-Qur’an disebutkan اَح۟سَنُ ال۟خَالِقٖينَ ‘Sebaik-baik Pencipta, اَر۟حَمُ الرَّاحِمٖينَ ‘Pengasih yang paling sayang’ dan redaksi sejenis yang memberikan pemahaman akan adanya pencipta dan pengasih yang lain.

    Kemudian kalian berkata bahwa Tuhan Pemelihara semesta alam memiliki kesempurnaan yang tak terbatas. Dia mengumpulkan seluruh puncak tingkat kesempurnaan. Padahal kesempurnaan sesuatu hanya diketahui lewat kebalikannya. Tanpa penderitaan, kenikmatan tak menjadi sempurna. Tanpa gelap, cahaya tidak akan terwujud. Tanpa perpisahan, pertemuan tak akan mendatangkan kenikmatan. Demikian seterusnya!”

    Jawaban: Kami akan menjawab bagian pertama dari pertanyaan di atas dengan lima petunjuk:

    Petunjuk Pertama

    Al-Qur’an menerangkan tauhid dari awal hingga akhir serta menetapkannya secara tegas. Hal ini menjadi dalil bahwa beragam bentuk kosakata al-Qur’an tersebut tidak seperti yang kalian pahami. Akan tetapi, maksud dari firman Allah yang berbunyi اَح۟سَنُ ال۟خَالِقٖينَ adalah Dia berada dalam tingkatan al-Khâliqiyah yang paling baik. Sama sekali tidak ada dalil yang menunjukkan keberadaan pencipta lain. Sebab, al-Khâliqiyah memiliki banyak tingkatan seperti sifat-sifat lainnya.

    Jadi, اَح۟سَنُ ال۟خَالِقٖينَ maknanya Sang Pencipta Yang Mahaagung berada dalam tingkatan Khâliqiyah yang paling baik dan paling sempurna.

    Petunjuk Kedua

    Ungkapan اَح۟سَنُ ال۟خَالِقٖينَ “Sebaik-baik Pencipta” dan ungkapan sejenis dalam al-Qur’an tidak melihat pada kuantitas pencipta, tetapi melihat pada kualitas ciptaan. Dengan kata lain, Tuhan Sang Pencipta yang menciptakan segala sesuatu menciptakannya dalam desain terbaik dan tingkatan yang paling indah. Pengertian ini dijelaskan oleh firman-Nya yang berbunyi اَح۟سَنَ كُلَّ شَى۟ءٍ خَلَقَهُ “Dia menjadikan segala sesuatu yang Dia ciptakan dalam bentuk terbaik” (QS. as-Sajadah [32]: 7) dan oleh ayat-ayat sejenis.

    Petunjuk Ketiga

    Perbandingan yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan beri- kut ini: اَح۟سَنُ ال۟خَالِقٖينَ “Sebaik-baik Pencipta”, اَللّٰهُ اَك۟بَرُ “Allah Mahabesar”, خَي۟رُ ال۟فَاصِلٖينَ “Pemutus terbaik”, خَي۟رُ ال۟مُح۟سِنٖينَ “Sebaik-baik yang berbuat ihsan” dan sejenisnya bukan merupakan bentuk perbandingan dan pengutamaan antara sifat-sifat Allah dan para pemilik sifat tersebut. Pasalnya, semua bentuk kesempurnaan yang terdapat di alam, baik yang ada pada jin, manusia, atau malaikat merupakan bayangan lemah dari kesempurnaan-Nya. Jadi bagaimana mungkin keduanya akan dibandingkan?! Perbandingan tersebut hanya disesuaikan dengan pan- dangan manusia, terutama bagi mereka yang lalai.

    Agar lebih jelas, kami berikan sebuah contoh. Seorang prajurit memperlihatkan loyalitas dan kepatuhan total kepada komandannya dalam sebuah pasukan. Ia melihat berbagai kebaikan berasal darinya. Tidak terlintas dalam benaknya gambaran sultan kecuali hanya sese- kali. Bahkan, kalaupun terlintas dalam benaknya ia juga mempersem- bahkan penghargaan dan syukurnya kepada sang komandan. Maka nasihat yang bisa diberikan kepada prajurit tersebut, “Sultan lebih besar daripada komandanmu. Karena itu, berikan syukurmu kepadanya semata.” Ucapan ini bukan dalam rangka membandingkan antara kepemimpinan sultan yang demikian besar dan kepemimpinan komandan yang kecil. Sebab, perbandingan semacam ini sama sekali tidak bermakna. Namun, perbandingan tersebut dilakukan sesuai dengan urgensi sang komandan dan hubungan seorang prajurit dengan ko- mandan di mana ia telah melebihkannya atas yang lain sehingga memberikan syukur, pujian, dan cinta kepadanya semata.

    Begitulah, sebab-sebab lahiriah yang terdapat dalam benak orang lalai dianggap sebagai pencipta dan pemberi nikmat di mana hal itu menjadi hijab terhadap Pemberi nikmat hakiki. Pasalnya, mereka melihat datangnya limpahan nikmat dan kebaikan dari hijab dan sebab tersebut sehingga memberikan pujian dan sanjungan padanya. Al-Qur’an berkata kepada mereka, “Allah Mahabesar. Dia Sebaik-baik Pencipta. Dia Sebaik-baik yang berbuat ihsan.” Dengan kata lain, menghadaplah dan tunjukkan syukurmu pada-Nya!

    Petunjuk Keempat

    Perbandingan terjadi di antara entitas hakiki sebagaimana yang terjadi antara sesuatu yang bersifat hipotesis dan mungkin. Kemudian dalam sebagian besar esensi sesuatu terdapat banyak tingkatan. Demikian pula dalam esensi nama-nama ilahi dan sifat-Nya yang suci. Allah berada pada tingkatan sifat dan nama yang paling sempurna dan paling baik dari semua tingkatan yang dibayangkan dan dimungkin- kan. Seluruh alam berikut kesempurnaan yang terdapat di dalamnya menjadi bukti atas kebenaran hakikat ini. Firman Allah لَهُ ال۟اَس۟مَٓاءُ ال۟حُس۟نٰى‌ “Dia memiliki nama-nama yang paling mulia,” adalah gambaran dari seluruh nama-Nya yang menggambarkan makna tersebut.

    Petunjuk Kelima

    Perbandingan dan pengutamaan ini tidak berhadapan dengan selain Allah , tetapi Allah memiliki dua macam manifestasi sifat.

    Pertama, pengaturan dan penanganan persoalan dalam bentuk hukum secara umum yang berada di balik tirai sebab dan perantara lewat rahasia wâhidiyah.

    Kedua, pengaturan dan penanganan urusan secara langsung tan- pa hijab dan perantara lewat rahasia ahadiyah. Kebaikan dan penciptaan-Nya secara langsung dan menifestasi kebesaran-Nya adalah lebih agung, lebih indah, dan lebih tinggi daripada kebaikan, penciptaan, kebesaran-Nya yang jejak jejaknya tampak melalui sebab dan perantara dengan rahasia ahadiyah.

    Allah lebih dari itu. Dia adalah Penguasa azali dan abadi. Dia Tuhan Pemelihara semesta alam. Dia menjadikan sebab sebagai hijab bagi berbagai proses yang Dia gulirkan guna memperlihatkan kemuliaan dan keagungan rububiyah-Nya. Di samping itu, Dia meletakkan di hati hamba sebuah telepon khusus serta memerintahkan mereka de- ngan firman-Nya, “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta.”

    Yakni, dengan pengabdian khusus agar me- reka menghadap kepada-Nya secara langsung dengan meninggalkan semua sebab. Dengan ini Allah mengarahkan wajah seluruh hamba kepada-Nya.

    Dalam firman Allah yang berbunyi: اَح۟سَنُ ال۟خَالِقٖينَ “Dia sebaik-baik Pencipta”, اَر۟حَمُ الرَّاحِمٖينَ “Dia Pengasih yang paling sayang”, اَللّٰهُ اَك۟بَرُ “Allah Mahabesar” terdapat makna yang dimaksud.

    Sementara, bagian kedua dari pertanyaan di atas jawabannya dalam lima tanda:

    Tanda Pertama

    Dalam pertanyaan di atas disebutkan, “Bagaimana mungkin sesuatu bisa dikatakan sempurna sementara tidak ada kebalikannya?”

    Jawaban dari pertanyaan ini adalah bahwa si penanya tidak mengetahui kesempurnaan hakiki karena disangka bersifat relatif, sementara keistimewaan, keutamaan dan keunggulan atas yang lain yang lahir sebagai hasil dari melihat hal lain dan membandingkan dengannya bukanlah keutamaan hakiki, melainkan keutamaan yang bersifat relatif. Ia sangat lemah dan rapuh yang langsung jatuh nilainya manakala yang lain diabaikan.

    Sebagai contoh, nikmat kehangatan lahir karena pengaruh hawa dingin. Juga kenikmatan relatif yang terdapat pada makanan muncul karena pengaruh rasa lapar. Ketika pengaruh tersebut hilang, kenik- matannya juga berkurang. Adapun kenikmatan, cinta, kesempurnaan dan keutamaan hakiki tidak dibangun di atas landasan persepsi atas yang lain, tetapi ia memang terdapat secara asli pada dirinya. Ia meru- pakan hakikat yang melekat pada diri. Misalnya, nikmat wujud, nikmat hidup, nikmat cinta, nikmat pengetahuan, nikmat iman, nikmat keabadian, nikmat kasih sayang, bagusnya cahaya, bagusnya pengliha- tan, bagusnya perkataan, bagusnya kemurahan, bagusnya perjalanan, bagusnya bentuk, kesempurnaan zat, kesempurnaan sifat, kesempur- naan perbuatan, dan berbagai keistimewaan asli lainnya yang tidak be- rubah karena ada atau tidaknya hal lain.

    Berbagai kesempurnaan as-Shâni’ Yang Mahaagung, al-Fâthir Yang Mahaindah, dan al-Khâliq Yang Maha Sempurna merupakan kesempurnaan hakiki, asli, yang tidak terpengaruh oleh yang lain. Selain Allah hanyalah tampilan luar semata.

    Tanda Kedua

    Sayyid asy-Syarîf al-Jurjânî dalam kitab Syarh al-Mawâqif menjelaskan bahwa mencintai sesuatu bisa karena kenikmatan, manfaat, kesamaan spesies, atau kesempurnaan karena kesempurnaan adalah sesuatu yang memang dicintai dan disenangi. Dengan kata lain, apa saja yang kau senangi bisa jadi kau senangi karena kenikmatan, manfaat, kesamaan spesies—seperti kecende- rungan pada anak—atau karena keberadaannya yang sempurna. Jika sebabnya karena sempurna, maka sebab atau faktor yang lain tidak diperlukan karena kesempurnaan merupakan sesuatu yang pada dasarnya memang disenangi. Misalnya ketika orang-orang menyenangi dan mencintai para pendahulu yang memiliki sejumlah keutamaan. Mereka memperlihatkan kecintaan dan kekaguman pada para penda- hulu tersebut meski tidak ada ikatan dan hubungan.

    Nah, kesempurnaan Allah , tingkatan nama-Nya dan ke- utamaan-Nya merupakan kesempurnaan hakiki. Karena itu, ia disenangi. Allah adalah Dzat yang dicinta dengan haq. Kekasih hakiki mencintai kesempurnaannya yang bersifat hakiki berikut keindahan sifat dan nama-Nya yang mulia lewat kecintaan yang sesuai denganNya. Ia juga mencintai berbagai kebaikan makhluk, kreasi, dan ciptaan-Nya yang merupakan manifestasi dan cermin dari kesempurnaan-Nya.

    Maka, ia mencintai nabi dan wali-Nya, terutama junjungan para rasul, pemimpin para wali, dan kekasih Tuhan.Artinya, karena cinta-Nya kepada keindahan-Nya, ia mencintai kekasih-Nya, Muhammad x, sebagai cermin dari keindahan tersebut. Karena cinta-Nya kepada nama-nama-Nya yang mulia ia mencintai kekasih-Nya, Muhammad x, sebab beliau sosok yang bisa merasakan nama-nama tersebut. Karena cinta-Nta kepada kreasi-Nya ia mencintai kekasih-Nya, Muhammad x dan yang lain, sebab beliau adalah sosok penyeru atas kreasi-Nya. Karena cinta-Nya kepada ciptaan-Nya ia mencintai kekasih-Nya, Muhammad x, serta orang-orang yang mengikuti petunjuknya, sebab beliau sosok yang menghargai nilai ciptaan dengan berkata, masya’allah, barakallah “Betapa indah penciptaannya!” Karena menyukai kebaikan dan keindahan makhluk-Nya ia mencintai kekasih-Nya, muhammad x, berikut orang yang mengikutinya, sebab beliau adalah sosok yang mengumpulkan semua akhlak mulia.

    Tanda Ketiga

    Seluruh bentuk kesempurnaan yang terdapat di alam merupakan tanda kesempurnaan Dzat yang agung dan petunjuk akan keindahan-Nya. Bahkan, semua kebaikan, kesempurnaan, dan keindahan tidak lain merupakan bayangan suram jika diukur dengan kesempurnaan-Nya yang hakiki. Kami akan menunjukkan lima dalil tentang hakikat ini:

    Dalil pertama: Istana yang megah, indah dan sempurna dengan jelas menunjukkan adanya sifat kemahiran yang sempurna. Kemahiran tersebut yang merupakan perbuatan sempurna menunjukkan pelaku, pencipta dan arsitek yang sempurna serta menunjukkan tanda dan nama mereka seperti pengukir, penggambar dan seterusnya. Nama-nama sempurna tersebut juga menunjukkan secara jelas sifat sempurna milik si pencipta tadi. Kesempurnaan kreasi dan sifat di atas secara jelas menunjukkan kesempurnaan potensi dan kemampuan pencipta tersebut. Lalu potensi dan kemampuan itu menunjukkan ke- sempurnaan dzatnya sekaligus ketinggian esensinya.

    Demikianlah, istana alam dan jejak yang indah ini menunjukkan perbuatan yang sangat sempurna karena berbagai bentuk kesempurnaan yang terdapat di dalamnya bersumber dari kesempurnaan perbuatan tersebut. Lalu kesempurnaan perbuatan menunjukkan keberada- an pelaku yang sempurna dan kesempurnaan nama-nama-Nya seperti Yang Maha Mengatur, Yang Maha membentuk, Yang Mahabijak, Yang Maha Menghias serta nama-nama lain yang terpaut dengan jejak tadi. Selanjutnya, kesempurnaan nama dan atribut tentu saja menunjukkan kesempurnaan sifat dari si pelaku karena jika sifatnya tidak sempur- na, nama-nama yang bersumber darinya juga tidak akan sempurna. Kesempurnaan sifat menunjukkan kesempurnaan kondisi diri karena landasan sifat adalah kondisi diri. Lalu kesempurnaan kondisi diri secara pasti menunjukkan kesempurnaan Dzat Yang Mahamulia sebagai Pemiliknya. Pasalnya, cahaya kesempurnaan itu telah menampakkan bagusnya keindahan dan kesempurnaan yang terdapat di alam meski dihijab oleh berbagai kondisi, sifat, nama, perbuatan dan jejak.

    Dengan demikian, apa perlunya kesempurnaan relatif yang melihat kepada hal lain setelah wujud kesempurnaan diri yang bersifat hakiki demikian jelas? Bukankah ia menjadi lenyap dan tak bernilai?!

    Dalil kedua:Ketika melihat alam dengan pandangan tafakkur, nurani dan kalbu merasa bahwa Dzat yang memperindah dan menghias alam dengan berbagai macam keindahan tentu memiliki keindahan dan kesempurnaan tak terkira. Karena itu, keindahan dan kesem- purnaan tadi terdapat dalam perbuatan-Nya.

    Dalil ketiga:Seperti diketahui bahwa kreasi seimbang, teratur, dan indah bersandar kepada rancangan yang sangat indah dan rapi. Rancangan yang sempurna dan rapi pasti didasarkan pada pengeta- huan yang indah, pikiran yang bagus, dan potensi ruhiyah yang sempurna. Ini berarti bahwa keindahan maknawi pada ruh tampak dalam kreasi lewat pengetahuan.

    Alam berikut apa yang terdapat di dalamnya serta semua keindahan materinya yang tak terhingga tidak lain merupakan percikan keindahan maknawi dan ilmiah. Keduanya tentu saja merupakan manifestasi dari keindahan dan kesempurnaan abadi.

    Dalil keempat:Seperti diketahui bahwa kilau cahaya sudah pasti bercahaya. Setiap yang menerangi sudah pasti memiliki penerangan. Sifat pemurah bersumber dari yang kaya. Serta sifat lembut bersumber dari sesuatu yang lembut. Karena itu, melekatkan kebaikan dan keindahan kepada alam serta memberikan beragam kesempurnaan kepada entitas menunjukkan adanya keindahan abadi sebagaimana cahaya menunjukkan adanya matahari.

    Nah, ketika entitas mengalir seperti sungai besar dan berkilau dengan sempurna lalu pergi, maka ketika sungai itu berkilau karena manifestasi matahari, aliran dan perjalanan entitas itu berkilau untuk sementara lalu kembali kepada kondisi semula. Dari pergantian kilau dapat dipahami bahwa kilau dan keindahan buih di atas sungai yang mengalir tidak bersifat asli, melainkan hanya pantulan keindahan cahaya matahari yang bersinar. Keindahan dan kesempurnaan yang berkilau secara temporer di atas aliran entitas merupakan kilau keindahan nama Dzat yang merupakan Cahaya Abadi.

    Ya, lenyapnya cermin dan kepergian entitas bersamaan dengan adanya manifestasi permanen merupakan tanda paling jelas dan bukti paling terang yang menunjukkan bahwa keindahan lahiriah dan kesempurnaan formal tersebut tidak hakiki. Ia juga merupakan penjelasan yang paling fasih dan dalil yang paling jelas akan keindahan murni dari kebaikan yang terus terbaharui milik Dzat Yang Wâjibul wujûd dan Maha Abadi.

    نَعَم۟ تَفَانِى ال۟مِر۟اٰتِ زَوَالُ ال۟مَو۟جُودَاتِ مَعَ تَجَلِّى الدَّائِمِ مَعَ ال۟فَي۟ضِ ال۟مُلَازِمِ مِن۟ اَظ۟هَرِ الظَّوَاهِرِ اَنَّ ال۟جَمَالَ الظَّاهِرَ لَي۟سَ مُل۟كَ ال۟مَظَاهِرِ مِن۟ اَف۟صَحِ تِب۟يَانٍ مِن۟ اَو۟ضَحِ بُر۟هَانٍ لِل۟جَمَالِ ال۟مُجَرَّدِ لِل۟اِح۟سَانِ ال۟مُجَدَّدِ لِل۟وَاجِبِ ال۟وُجُودِ لِل۟بَاقِى ال۟وَدُودِ

    Dalil kelima:Seperti diketahui apabila sejumlah orang yang berbeda lewat beragam jalur yang berbeda meriwayatkan adanya sebuah peristiwa tertentu, hal tersebut menjadi bukti secara mutawatir atas kepastian peristiwa yang terjadi.

    Nah, para ahli kasyaf dari beragam tingkatan ahli hakikat serta dari beragam jalur wali dan ahli hikmah, mereka semua yang memiliki jalur, jalan, potensi dan era yang berbeda sepakat bahwa keindahan dan kesempurnaan yang tampak di alam dan cermin entitas merupakan manifestasi kesempurnaan Dzat Allah Yang Mahaagung dan manifestasi keindahan nama-Nya yang mulia. Menurutku, kesepakatan mereka semua merupakan dalil kuat yang tak terbantahkan.

    Tampaknya penyeru kesesatan terpaksa lari seraya menutup kedua telinganya agar tidak mendengar berbagai hakikat di atas.Ya, kepala yang gelapseperti kelelawar—tak mampu melihat cahaya. Karena itu, kita tidak perlu terlalu memberikan perhatian kepadanya.

    Tanda Keempat

    Kenikmatan dan keindahan sesuatu lebih mengacu kepada wujud lahiriahnya daripada kepada kebalikan dan yang sejenisnya. Misalnya, pemurah merupakan sifat yang indah dan mulia. Orang yang pemurah merasa senang atas kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang mereka santuni. Ia beriburibu kali lebih merasa senang dengan kegembiraan mereka daripada kesenangan relatif yang dida- pat dari keadaannya yang lebih unggul daripada sejumlah rekan yang lain.Begitu pula dengan orang yang pengasih dan penyayang. Masing-masing merasakan kesenangan hakiki setara dengan nikmat yang dirasakan oleh makhluk yang mereka sayangi. Kenikmatan yang didapat oleh seorang ibu ketika melihat anak-anaknya senang dan gembira demikian kuat dan kokoh sehingga ia rela mengorbankan nyawa demi mereka. Bahkan, nikmat dari kasih sayang tadi mendorong induk ayam untuk menyerang singa demi melindungi anak-anaknya.

    Jadi, kenikmatan, kebaikan, kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki dalam sifat-sifat yang mulia tidak mengacu kepada rekan dan kebalikan. Tetapi, kepada wujud lahiriah dan hal-hal yang terkait dengannya. Keindahan rahmat Dzat Pemilik keindahan dan kesem- purnaan, Yang Mahahidup dan Berdiri sendiri, Yang Mahakasih dan Maha Memberi, Yang Maha Pengasih dan Penyayang mengarah kepada makhluk yang mendapat rahmat-Nya. Terutama, mereka yang mendapatkan berbagai jenis rahmat-Nya yang luas dalam surga yang kekal. Allah memiliki rasa cintayang sesuai dengan Dzat-Nya—sesuai dengan kadar kebahagiaan makhluk dan kegembiraan mereka. Dia juga memiliki urusan yang mulia, suci dan indah yang memili- ki sejumlah esensi yang sesuai dengan-Nya di mana kita tidak bisa menyebutkannya karena tidak memiliki izin syar’i. Misalnya, sejumlah ungkapan yang sangat suci dan agung yang diungkap dengan kenik- matan, cinta, kegembiraan dan kesenangan yang suci di mana masing-masing lebih mulia, lebih tinggi, dan lebih suci lewat tingkatan ketingian, kemuliaan dan kesucian yang tak terkira melalui rasa rindu dan gembira yang terdapat di alam dan kita rasakan di antara entitas. Hal ini seperti yang telah kami sebutkan sebelumnya di banyak tempat.Jika engkau ingin melihat salah satu kilau esensi agung tersebut engkau bisa melihatnya melalui contoh berikut ini:

    Seorang dermawan, pemurah dan penyayang menyiapkan jamu- an indah bagi orang-orang miskin yang membutuhkan. Ia mengham- parkan jamuan besarnya di atas salah satu kapal pesiarnya. Mereka tampak senang dengan nikmat yang ia berikan. Engkau bisa melihat betapa si dermawan tadi sangat gembira dan senang karena orang- orang itu menikmati, senang, puas dan menyanjungnya. Ini bisa kau ukur pada dirimu.

    Demikianlah, manusia yang tidak memiliki kepemilikan hakiki untuk sebuah jamuan kecil serta tidak memiliki bagian apapun dari jamuan tersebut kecuali hanya sekadar menyiapkan dan menghampar- kannya, apabila ia merasa senang dan gembira ketika memberi kepada orang lain dalam jamuan parsial itu, apalagi dengan Dzat yang ayat- ayat pujian dan syukur tercurah pada-Nya, yang tangan sanjungan dan rida terangkat untuk-Nya untuk berdoa dan bermunajat, mulai dari jin, manusia, hingga seluruh makhluk hidup di mana Dia mengangkut mereka dalam sebuah kapal rabbani yang sangat besar yang berupa bumi. Dia menjalankannya dan mengajak mereka mengelilingi jagat raya. Dia curahkan nikmat lahir dan batin untuk mereka seraya mengajak semua makhluk hidup kepada jamuan itu yang laksana sarapan sederhana jika diukur dengan apa yang Dia hamparkan di negeri akhirat. Di akhirat, setiap surganya laksana hidangan yang terhampar di hadapan mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Hal itu Dia siapkan untuk para hamba-Nya yang tak terhitung di mana mereka sangat membutuhkan dan merindukan berbagai kenikmatan untuk memenuhi perangkat halus yang jumlahnya tak terhingga sehingga bisa makan dari jamuan hakiki itu dan bisa menikmatinya secara abadi. Ukurlah dirimu dengannya di mana ia berupa sejumlah esensi suci dari rasa cinta berikut berbagai ungkapan suci dari hasil kasih sayang yang mengarah kepada Dzat Yang Maha Pengasih dan Penyayang.

    Misalnya, jika seorang kreator yang mahir membuat sebuah gramofon indah yang bisa bersuara tanpa membutuhkan piringan lalu meletakkannya di tempat yang bisa dicoba dan dilihat oleh orang- orang, kemudian perangkat tersebut bisa mengungkap apa yang diinginkan serta bekerja dengan cara terbaik, tentu ia akan sangat bangga dan senang melihat ciptaannya berguna sehingga ia berulang kali berdoa dalam hati, “Semoga Allah memberikan keberkahan.”

    Demikianlah, apabila manusia yang kecil dan tidak mampu men- cipta merasa senang semacam itu lantaran apa yang telah diperbuatnya, apalagi Tuhan Yang Mahaagung yang menciptakan alam ini dalam bentuk musik dan gramofon besar. Terutama gema tasbih makhluk hidup di muka bumi dan gramofon serta musik ilahi yang Dia letak- kan di kepala manusia sehingga hikmah dan pengetahuan manusia berhenti di hadapannya dengan penuh takjub dan terheran-heran.

    Ya, semua ciptaan memperlihatkan hasil yang diinginkan. Ia memperlihatkannya dalam bentuk yang sangat indah dan sempurna dengan tunduk pada perintah penciptaan yang diekspresikan dengan ibadah dan tasbih khusus. Dari sana ada rasa bangga, gembira, dan berbagai makna suci lainnya yang sulit untuk diungkapkan. Ia demi- kian mulia dan suci di mana ketika semua akal manusia bersatu dalam satu akal, tentu ia tidak akan mampu mencapai hakikatnya.

    Sebagai contoh, seorang hakim yang adil merasa senang dan puas ketika bisa mengembalikan hak orang yang dizalimi dari orang yang zalim. Ia juga bangga ketika bisa melindungi kaum lemah dari kejahatan orang-orang kuat. Ia senang manakala bisa memberi kepa- da setiap orang apa yang menjadi haknya.

    Sekarang, ukurlah berbagai esensi dan makna suci yang berasal dari tindakan Tuhan Yang Maha- bijak, adil dan gagah dalam merealisasikan kebenaran pada seluruh makhluk; tidak hanya pada jin dan manusia. Yakni, yang berasal dari anugerah-Nya dalam memberikan sejumlah syarat kehidupan dalam bentuk hak-hak hidup bagi seluruh makhluk, terutama makhluk hidup, lewat karunia-Nya kepada mereka di mana Dia memberikan sejumlah perangkat yang menjaga dan melindungi kehidupan dari serangan agresor. Juga dengan menghentikan entitas yang besar pada batas-batasnya. Terutama, berbagai esensi suci yang bersumber dari manifestasi paling agung keadilan yang sempurna dan hikmah yang paripurna dalam kebangkitan di negeri akhirat bagi seluruh makhluk di samping jin dan manusia.

    Demikianlah, pada setiap nama dari seribu nama ilahi terdapat sejumlah tingkatan kebaikan, keutamaan dan kesempurnaan. Di dalamnya juga terdapat begitu banyak derajat cinta, kebanggaan, kemuliaan dan kebesaran. Dari sini para wali ahli hakikat yang telah meraih nama al-Wadûd berkata, “Inti seluruh alam adalah cinta dan gerakan semua entitas berdasarkan cinta. Rambu ketertarikan dan gravitasi yang berlaku di alam bersumber dari perasaan cinta.” Salah seorang di antara mereka berkata:

    Semua partikel wujud berada dalam gelora cinta. Cakrawala dan malaikat bersuka cita. Bintang dan langit bersuka ria. Bulan, matahari dan bumi bergembira. Demikian halnya berbagai unsur, tumbuhan dan pohon.

    Maknanya, segala sesuatu bergelora oleh minuman cinta lewat manifestasi cinta ilahi.

    Masing-masing sesuai dengan potensinya. Seperti diketahui, setiap kalbu mencintai pihak yang baik padanya, mencintai kesempurnaan hakiki, serta merindukan keindahan abadi. Cintanya semakin bertambah kepada orang yang berbuat baik kepada dirinya sekaligus orang-orang yang mencintainya.Engkau bisa melihat sejauh mana rasa rindu dan cinta yang sesuai dengan Dzat yang pada setiap nama-Nya Dia memiliki seribu satu kekayaan ihsan dan karunia, di mana Dia membahagiakan semua yang kita cinta, di mana Dia menjadi sumber ribuan macam kesempurnaan serta Dia memiliki seribu satu nama. Dia Mahaindah yang Mahaagung dan Kekasih Yang Maha Sempurna. Dari sini dapat dipahami kadar kelayakan alam untuk bersuka cita dengan cinta-Nya.

    Karena rahasia inilah sebagian wali yang mendapatkan manifestasi nama al-Wadûd berkata, “Kami tidak menginginkan surga, sebab kilau cinta Allah sudah cukup bagi kami selamanya.”

    Dari rahasia itu pula terdapat hadis Nabi yang bermakna, “Me- lihat keindahan Allah dalam surga mengalahkan seluruh kenikmatan surga lainnya.”(*[11])

    Kesempurnaan dan keistimewaan cinta dapat diraih dalam wila- yah wahidiyah dan ahadiyah serta lewat nama-nama-Nya dan makhluk-Nya. Maknanya, apa yang dianggap sebagai kesempurnaan yang berada di luar wilayah tersebut bukan merupakan kesempurnaan.

    Tanda Kelima

    (terdiri atas lima poin):

    Poin Pertama Penyeru kesesatan berkata, “Dalam hadis disebutkan bahwa dunia terlaknat.(*[12])Ia disebut sebagai bangkai. Kami menyaksikan bagaimana para wali dan ahli hakikat meremehkan dunia dan mengecil- kannya. Menurut mereka dunia rusak dan kotor. Sementara, engkau menyebutnya sebagai tempat yang memantulkan kesempurnaan ilahi dan sebagai dalil bagi-Nya. Engkau menyebutnya seperti orang yang mencintai dunia.”

    Jawaban: dunia memiliki tiga sisi:

    Sisi pertama, mengarah kepada nama-nama Allah yang mulia dan menerangkan jejak dari nama tersebut. Lewat sisi ini dunia ber- fungsi sebagai cermin dari nama itu dengan makna harfi. Sisi ini merupakan tulisan shamadâniyah yang tak terhingga. Karena itu, ia layak dicintai; bukan dibenci karena sangat indah.

    Sisi kedua, sisi yang mengarah kepada akhirat. Ia merupakan ladang akhirat, ladang surga, dan tempat tumbuh bunga-bunga kasih sayang ilahi. Sisi ini sangat indah seperti yang pertama. Ia layak dicintai; bukan dihinakan.

    Sisi ketiga adalah sisi yang mengarah kepada hawa nafsu ma- nusia sehingga menjadi hijab bagi orang-orang yang lalai dan tempat permainan pecinta dunia. Sisi ini sangat buruk dan jelek karena kebe- radaannya yang fana, lenyap, menyakitkan dan menipu.

    Nah, laknat yang terdapat dalam hadis Nabi serta sikap menjauhi dunia yang ditunjukkan oleh ahli hakikat adalah dari sisi ini. Adapun penyebutan al-Qur’an tentang berbagai entitas sebagai sesuatu yang penting dan mengagumkan adalah mengarah kepada kedua sisi sebelumnya. Lalu dunia yang dicintai oleh para sahabat mulia dan para wali adalah dalam dua sisi yang pertama.

    Sekarang, kita akan menyebutkan mereka yang menghinakan dunia. Mereka empat kelompok:

    Pertama, para ahli makrifat. Mereka menghinakan dunia karena dunia dianggap bisa menjadi penghalang untuk mengenal Allah, mencintai-Nya, dan beribadah kepada-Nya.

    Kedua, mereka yang terpaut dengan akhirat. Entah kebutuhan hidup dan kesibukan dunia yang menghalangi mereka dari melakukan amal ukhrawi atau mereka melihat dunia sebagai sesuatu yang keji diukur dengan kesempurnaan dan keindahan surga yang mereka saksikan lewat kacamata iman.Ya, jika orang yang tampan disandingkan dengan Yusuf, tentu akan tampak buruk. Demikian pula semua gemerlap dunia yang bernilai menjadi tidak berharga jika diukur dengan kenikmatan surga.

    Ketiga, dunia dihinakan dan dibenci karena tidak bisa diraih. Sikap ini lahir dari rasa cinta kepada dunia; bukan membenci dunia.

    Keempat, dunia dihinakan karena diraih dalam bentuk sementara yang setelah itu pergi meninggalkannya. Nah, untuk menghibur diri akhirnya ia berkata, “Dunia kotor.” Sikap ini juga bersumber dari rasa cinta kepada dunia. Adapun sikap membenci yang benar adalah yang bersumber dari kecintaan kepada akhirat dan makrifatullah. Dengan kata lain, sikap membenci yang diterima adalah dua bentuk yang pertama.

    Ya Allah, jadikanlah kami sebagai bagian dari mereka dengan kemuliaan junjungan para rasul, Muhammad x.

    MAUQIF KETIGA

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

    “Segala sesuatu bertasbih memuji-Nya”(QS. al-Isrâ [17]: 44).

    Bagian ini adalah penjelasan dari dua pembahasan.

    Pembahasan Pertama

    Pada segala sesuatu terdapat banyak sekali sisi—seperti jendela—yang mengarah kepada Allah sesuai dengan kandungan ayat al-Qur’an وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ “Segala sesuatu bertasbih memuji-Nya.” Pasalnya, hakikat entitas dan alam bersandar kepada nama-nama-Nya yang mulia. Hakikat segala sesuatu bersandar kepada sejumlah nama atau kepada banyak nama. Kerapian yang terdapat pada segala sesua- tu bersandar kepada salah satu nama tersebut.

    Bahkan ilmu hikmah hakiki bersandar kepada nama Allah al-Hakîm (Yang Mahabijak). Ilmu kedokteran bersandar kepada nama Allah asy-Syâfî (Yang Maha Menyembuhkan). Ilmu teknik dan arsitektur bersandar kepada nama Allah al-Muqaddir (Yang Maha Menentukan).Demikianlah, setiap ilmu bersandar kepada salah satu nama-Nya dan berakhir kepadanya. Demikian pula hakikat seluruh ilmu, hakikat kesempurnaan manusia, serta tingkatan orang-orang sempurna bersandar kepada nama-nama ilahi.

    Bahkan, para wali ahli hakikat berkata:“Hakikat dari segala hakikat adalah nama-nama ilahi. Adapun substansi segala sesuatu merupakan bayangan dari hakikat tersebut.

    Bahkan menyaksikan jejak atau makhluk dapat dilakukan hanya menyingkap dua puluh nama-Nya pada bentuk lahiriah setiap makhluk hidup.”

    Kita akan berusaha mendekatkan hakikat mendalam, besar dan luas ini kepada pemahaman kita dengan mengetengahkan sebuah contoh yang kita analisa dengan berbagai macam cara. Meskipun pemba- hasannya agak panjang, namun ia tetap dianggap singkat. Karena itu, kita tidak boleh merasa bosan.

    Jika seorang seniman yang mahir dalam melukis dan memahat hendak menggambar bentuk bunga yang sangat indah, lalu ia membuat patung yang sangat bagus, maka yang pertama kali ia lakukan adalah menentukan sejumlah kerangka umum untuk keduanya. Hal ini ia lakukan dengan adanya penataan dan pengaturan. Ia melaksanakannya dengan menetapkan ukuran yang bersandar kepada ilmu arsitektur. Ia menetapkan batas-batasnya sesuai dengan ilmu tadi. Pengaturan dan penetapan ukuran tersebut menunjukkan bahwa keduanya dilakukan dengan ilmu dan hikmah. Dengan kata lain, penataan dan penetapan batas ukuran terwujud sesuai ilmu dan hikmah yang ada. Karenanya, kontrol atas esensi ilmu dan hikmah berada di balik pengaturan dan penataan tersebut.

    Jadi, batasan ilmu dan hikmah itu sendiri akan tam- pak. Ya, ia menjelaskan keberadaannya. Kita menyaksikan seniman itu mulai membentuk mata, telinga, dan hidung yang cantik. Ia juga melukis daun bunga berikut goresannya yang halus dan lembut dalam batas ukuran yang telah ditetapkan.Sekarang kita menyaksikan organ patung yang ditetapkan di mana ia sesuai dengan ukuran ilmu dan hikmah telah menjadi satu bentuk kreasi yang rapi dan cermat. Dari sana, kontrol makna kreasi dan perhatian berada di balik ilmu dan hikmah tersebut.

    Jadi, ia menjelaskan dirinya. Ya, potensi keindahan dan hiasannya tampak di mana hal itu menunjukkan bahwa yang menggerakkan kreasi dan perhatian di dalamnya adalah kehendak untuk memperindah dan mempercantik.

    Kedua hal itulah yang berada di baliknya. Sekarang sang seniman itu mulai menambahkan kondisi senyum kepada patung cantik itu. Ia mulai memberikan sejumlah kondisi kehi- dupan kepada bentuk bunga. Yakni, ia mulai melakukan dekorasi dan penyinaran (memberi kehidupan).

    Karena itu, yang menggerakkan makna dekorasi dan penyinaran adalah esensi kelembutan dan keder- mawanan. Kedua hal itulah yang mengendalikannya. Bahkan kedua- nya mengontrol hingga ke tingkat di mana seolah-olah bunga itu ada- lah kelembutan yang berwujud serta patung itu adalah kedermawanan yang berwujud. Bisa dilihat bahwa yang menggerakkan kedermawanan dan kelembutan itu dan yang berada di balik keduanya adalah makna kebaikan hati dan perkenalan.

    Yakni, ia ingin memperkenalkan dirinya lewat kemahiran dan seninya serta ingin membuatnya disenangi oleh orang lain. Hal ini bersumber dari kecenderungan untuk memberikan rahmat dan karunia. Nah, karena rahmat dan kehendak memberi karunia berada di balik sifat baik hati dan ingin memperkenalkan diri, keduanya akan mengisi seluruh sisi patung dengan beragam perhia- san dan karunia. Keduanya akan digantungkan pada gambar yang ada; gambar bunga yang indah sebagai persembahan yang berharga.

    Di sini kita menyaksikan bagaimana seniman itu mulai mengisi kedua tangan patung dan dadanya dengan berbagai karunia bernilai seraya meng- gantungkan sejumlah mutiara kepada bentuk bunga.

    Artinya, makna kasih sayanglah yang menggerakkan rahmat dan kehendak tadi. Lalu, tidak ada yang menggerakkan munculnya kasih sayang kecuali kein- dahan dan kesempurnaan maknawi yang terdapat pada dirinya. Selan- jutnya, hal terindah yang terdapat dalam keindahan tersebut—yaitu cinta—dan hal ternikmat yang terdapat di dalamnya—yaitu kasih sayang—masing-masing ingin menampakkan diri lewat cermin kreasi.

    Ia ingin melihat dirinya lewat mata para pecinta. Sebab, keindahan dan kesempurnaan adalah sesuatu yang pada dasarnya memang disukai. Ia lebih mencintai dirinya daripada yang lain. Pada waktu yang sama ia juga kebaikan dan kerinduan. Berkumpulnya kebaikan dan kerinduan lahir dari titik ini. Nah, karena keindahan mencintai dirinya, tentu ia ingin melihat dirinya pada sejumlah cermin. Berbagai nikmat yang diletakkan di atas patung, serta buah lembut yang tergantung pada gambar tersebut membawa kilau yang terang dari keindahan maknawi tadi. Kilau terang itu menampilkan dirinya kepada pemilik keindahan dan kepada yang lain secara bersamaan.

    Demikianlah Tuhan Sang Pencipta Yang Mahabijak menata surga, dunia, langit, bumi, tumbuhan, hewan, jin, manusia, malaikat dan makhluk lainnya. Singkat kata, Dia menata segala sesuatu dari yang besar sampai yang kecil lewat manifestasi nama-nama-Nya yang mulia. Dia memberikan kepada masing-masingnya ukuran tertentu sehingga nama-Nya sebagai (al-Muqaddir) Dzat Yang Menentukan, (al- Munazhzhim) Yang Maha Mengatur, dan (al-Mushawwir) Yang Maha Menggambar.Jadi, dengan penentuan Allah atas batas ukuran segala sesuatu secara umum Dia memperlihatkan nama al-Alîm (Yang Maha mengetahui) dan al-Hakîm (Yang Mahabijaksana).

    Kemudian dengan garisan ilmu dan hikmah Dia membentuk sesuatu dalam batas ukuran yang jelas secara rapi sehingga memperlihatkan makna kreasi dan perhatian-Nya, yaitu nama ash-Shâni’ (Yang Maha Mencipta) dan al-Karîm (Yang Mahamulia).

    Setelah itu, Dia hiasi bentuk tadi dengan keinda- han dan perhiasan lewat kuas perhatian dan tangan kreasi yang mulia. Jika bentuknya berupa manusia Dia berikan sejumlah keindahan pada organnya seperti mata, hidung dan telinga. Jika berupa bunga Dia berikan sejumlah keindahan pada daun dan garis-garisnya yang halus. Jika berupa bumi Dia berikan sejumlah perhiasan dan keindahan pada mineral, tumbuhan dan hewannya. Jika berupa surga yang penuh nikmat, Dia celupkan pada istananya sejumlah keindahan dan pada bida- darinya sejumlah perhiasan. Demikian seterusnya. Kemudian Dia hiasi dan sinari ciptaan-Nya dengan satu model perhiasan dan cahaya yang menarik sehingga ia dikendalikan oleh makna kelembutan dan kedermawanan. Ia menjadikan sesuatu yang dihias dan ciptaan yang disinari tadi sebagai satu bentuk kelembutan dan kedermawanan yang berwujud yang mengingatkan pada nama al-Lathîf (Yang Mahalembut), dan al-Karîm (Yang Mahadermawan). Yang menggiring kelembutan dan kedermawanan tadi muncul adalah sikap baik hati dan perkenalan. Yaitu keinginan-Nya agar dicinta oleh makhluk hidup dan keinginan memperkenalkan diri kepada mereka sehingga yang terbaca padanya nama al-Wadûd (Yang Mahabaik) dan al-Ma’rûf (Yang Dikenal) di mana keduanya berada di balik nama al-Lathîf dan al-Karîm.

    Bahkan, bacaannya memperdengarkan kepada telingamu kedua nama tersebut dari kondisi ciptaan itu sendiri. Setelah itu, Dia memperindah makhluk yang dihias tadi dengan sejumlah buah yang nikmat lewat berbagai hasil yang disenangi.

    Dia mengubah perhiasan tersebut kepada nikmat, serta kelembutan kepada rahmat sehingga mendorong setiap orang yang menyaksikan untuk membaca nama al-Mun’im (Yang Maha Memberi nikmat) dan ar-Rahîm (Yang Maha Penyayang) di mana ia tampak dari balik hijab lahiriah.

    Lalu yang menggiring nama ar-Rahîm dan al-Karîm muncul ke permukaan adalah rasa cinta dan kasih sayang. Di sini orang yang menyaksikan akan membaca nama al-Hannân dan ar-Rahmân.

    Yang memunculkan makna cinta dan kasih sayang itu adalah keindahan dan kesempurnaan dzat di mana keduanya ingin tampil sehingga mendorong orang yang menyaksikannya untuk membaca nama al-Jamîl (Yang Mahaindah) serta nama al-Wadûd dan ar-Rahîm yang terdapat padanya. Pasalnya, keindahan merupakan sesuatu yang memang disenangi dan dicintai; tanpa ada sebab dan faktor lain. Ia mencintai dan dicintai.

    Ketika sebuah keindahan dalam kesempurnaan tak terhingga dan sebuah kesempurnaan dalam keindahan tak terkira saling mencintai di mana keduanya layak dicinta dan disenangi, tentu saja ia ingin tampil dalam cermin dan ingin menyaksikan kilaunya sesuai dengan kapasitas cermin sekaligus memperlihatkan pada yang lain.

    Ini berarti bahwa keindahan asli dan kesempurnaan dzat yang dimiliki Tuhan Sang Pencipta Yang mahaagung, Sang Mahabijak Yang Mahaindah, Sang Mahakuasa Yang Maha Sempurna menghendaki sifat cinta dan kasih sayang. Keduanya mendorong nama ar-Rahmân al-Hanân untuk tampil.

    Cinta dan kasih sayang itu menggiring nama ar-Rahîm al-Mun’im untuk muncul yaitu dengan memperlihatkan rah- mat dan nikmat secara bersamaan.

    Rahmat dan nikmat mengonseku- ensikan adanya sifat baik dan ingin berkenalan serta menggiring nama al-Wadûd al-Ma’rûf untuk muncul sehingga tampak pada ciptaan.

    Sifat baik dan ingin berkenalan itu menggerakkan makna kelembutan dan kedermawanan serta memperlihatkan nama al-Lathîf al-Karîm pada sejumlah sisi ciptaan.

    Sifat lembut dan mulia menggerakkan per- buatan menghias dan menyinari sehingga tampaklah nama al-Muzayyin (Yang Maha menghias) dan al-Munawwir (Yang Maha Menyinari) lewat keindahan dan cahaya yang terdapat pada ciptaan.

    Tindakan menghias dan memperindah melahirkan makna kreasi dan perhatian serta memperlihatkan nama asShâni’ al-Muhsin pada ciri yang indah yang terdapat pada ciptaan.

    Kreasi dan perhatian itu menuntut keberadaan pengetahuan dan hikmah sehingga ia memperlihatkan nama al-Alim dan al-Hakîm pada bagian-bagiannya yang tertata dengan pe- nuh hikmah.

    Sudah pasti pengetahuan dan hikmah di atas melahirkan penataan dan pembentukan sehingga dengan bentuk rupanya ciptaan tersebut memperlihatkan nama al-Mushawwir al-Muqaddir.

    Demikianlah, Allah menciptakan seluruh makhluk-Nya sehingga sebagian besar darinya, terutama makhluk hidup, memperlihatkan banyak hal dari nama-nama-Nya. Seakan-akan Dia membungkus setiap ciptaan dengan dua puluh pakaian berbeda yang saling bertumpuk. Atau seolah-olah Dia menutup ciptaan-Nya itu dengan dua puluh pe- nutup di mana pada setiap pakaian dan pada setiap tutup Dia tuliskan nama-nama-Nya yang berbeda. Misalnya, pada setangkai bunga yang indah dan pada wanita cantik, pada wujud lahiriah penciptaan keduanya terdapat begitu ba- nyak lembaran di mana engkau bisa menjadikannya sebagai contoh dan standar untuk mengukur ciptaan lainnya yang besar.

    Lembaran pertama: rangka sesuatu yang menjelaskan bentuk dan ukurannya secara umum di mana ia mengingatkan pada nama yâ Mushawwir (Wahai Dzat Yang Maha membentuk), yâ Muqaddir (Wahai Yang Maha menentukan), ya Munazhzhim (Wahai Yang Maha mengatur).

    Lembaran kedua: bentuk organ yang berbeda-beda yang berada di dalam rangka sederhana dari bunga dan manusia di mana dalam lembaran tersebut tertulis begitu banyak nama seperti al-Alîm (Yang Maha mengetahui), dan al-Hakîm (Yang Mahabijak).

    Lembaran ketiga: pemberian keindahan dan perhiasan kepada organ-organ yang berbeda dari kedua makhluk itu dengan desain hiasan yang baragam sehingga padanya tertulis begitu banyak nama seperti ash-Shâni’ dan al-Bârî.

    Lembaran keempat: perhiasan indah yang dipersembahkan kepada keduanya sehingga seolah-olah kelembutan dan kedermawanan terwujud padanya. Lembaran ini mengingatkan pada banyak nama seperti yâ Lathîf dan yâ Karîm.

    Lembaran kelima: penggantungan berbagai buah yang nikmat pada bunga tersebut serta pemberian anak-anak tersayang berikut akhlak yang mulia kepada wanita cantik tadi. Kedua hal tersebut menjadikan lembaran tersebut memperkenalkan banyak nama seperti yâ Wadûd, yâ Rahîm, yâ Mun’im.

    Lembaran keenam: lembaran karunia dan kebaikan yang menu- turkan nama-nama seperti yâ Rahmân dan yâ Hannân.

    Lembaran ketujuh: kemunculan kilau keindahan yang demikian jelas pada nikmat dan hasil tersebut sehingga layak untuk mendapat pujian tulus disertai rasa rindu dan kasih sayang hakiki. Selain itu, ia layak mendapat cinta tulus yang murni. Maka lembaran itu menulis- kan nama yâ Jamîl dzul Kamâl (Wahai Sang Mahaindah yang sempur- na) yâ Kâmil dzul Jamal (wahai Sang Maha Sempurna yang indah).

    Ya, jika setangkai bunga indah dan seorang wanita cantik memperlihatkan nama-nama-Nya semacam itu dalam bentuk lahiriahnya, apalagi dengan seluruh bunga dan semua makhluk hidup yang besar dan universal. Semuanya menuturkan nama-nama ilahi. Engkau bisa mengukurnya sendiri.

    Dalam konteks tersebut engkau juga bisa mengukur sejauh mana nama-nama ilahi seperti al-Hayy, al-Qayyûm, al-Muhyî yang dibaca manusia pada setiap lembaran kehidupan dan perangkat halus manu- sia seperti ruh, kalbu dan akal.

    Demikianlah, surga adalah bunga. Begitu pula dengan bidadari, permukaan bumi, musim semi, langit, ukirannya yang indah, bintang, dan matahari, sementara tujuh warna cahayanya adalah ukiran dari bunga tersebut. Alam ibarat sosok manusia yang cantik dan besar. Jika manusia merupakan miniatur alam, maka bidadari, sekumpulan makhluk ruhaniyyûn, malaikat, sekelompok jin, manusia, semua itu telah diben- tuk, ditata dan dihadirkan dalam bentuk manusia yang cantik.

    Selain itu, masing-masing mereka merupakan cermin beragam untuk memperlihatkan keindahan Allah berikut kesempurnaan, rahmat, dancinta-Nya.Masing-masing mereka menjadi saksi yang jujur bagi keindahan, kesempurnaan, rahmat dan cinta yang tak terkira. Semua mereka merupakan tanda keindahan, kesempurnaan, rahmat dan cinta.Berbagai jenis kesempurnaan yang tidak terhingga itu dihasilkan dari wilayah keesaan. Ini berarti kesempurnaan yang berada di luar itu sebenarnya bukan merupakan kesempurnaan.

    Dari sini dapat dipahami bahwa penisbatan hakikat segala sesuatu kepada nama-nama-Nya, bahkan hakikat hakiki tidak lain berupa manifestasi dari nama-nama tersebut. Segala sesuatu lewat banyak sisi dan banyak lisan menegaskan, bertasbih dan menyucikan Penciptanya.

    Dari sini dapat dipahami sebuah makna dari banyak makna ayat yang berbunyi وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ “Segala sesuatu bertasbih memuji-Nya”. (QS. al-Isrâ [17]: 44). Katakanlah سُب۟حَانَ مَنِ اخ۟تَفٰى بِشِدَّةِ ظُهُورِهٖ “Mahasuci Dzat yang samar lantaran begitu jelasnya.” Pahamilah salah satu rahasia dari ayat-ayat penutup dan hikmah pengulangan-Nya seperti: وَ هُوَ ال۟غَفُورُ الرَّحٖيمُ “Dia Maha Mengetahui dan Mahakuasa”, وَهُوَ ال۟عَزٖيزُ ال۟حَكٖيمُ “Dia Maha Pe- ngampun dan Penyayang”, هُوَ ال۟عَلٖيمُ ال۟قَدٖيرُ “Dia Mahamulia dan Bijak- sana”.

    Jika engkau tidak bisa membaca nama-nama-Nya pada setangkai bunga serta tidak mampu melihatnya secara jelas, lihatlah surga, renungkan musim semi, dan saksikan permukaan bumi. Ketika itulah engkau dapat membaca nama-nama-Nya yang tertulis di atas surga, musim semi, dan muka bumi dengan jelas di mana ia merupakan bunga rahmat Allah yang sangat banyak.

    Pembahasan Kedua

    Wakil dari golongan sesat, ketika tidak mempunyai landasan atas kesesatannya serta saat tidak memiliki argumen dan alasan yang jelas, ia berkata:

    “Menurutku kebahagiaan dunia, bersenang-senang dengan kenikmatan yang ada, kemajuan dan peradaban, serta perkembangan industri hanya bisa terwujud dengan melupakan akhirat, mengingkari Tuhan, mencintai dunia, kebebasan, serta dengan sikap bangga diri. Karena itu, aku telah dan terus menggiring manusia menuju jalan ini dengan bantuan setan.”

    Sebagai jawaban: atas nama al-Qur’an al-Karim, kami menga- takan, “Wahai manusia yang malang, sadarlah! Jangan mendengar seruan orang-orang yang sesat. Jika engkau mendengarkannya, pasti engkau akan mendapatkan kerugian besar yang jika digambarkan akan menyentak roh, akal, dan kalbu. Di hadapanmu ada dua jalan:

    Pertama, jalan penderitaan yang diperlihatkan oleh penyeru kesesatan.

    Kedua, jalan kebahagiaan yang diterangkan oleh al-Qur’an al- Karim.

    Engkau telah melihat begitu banyak perbandingan antara dua jalan tersebut dalam sejumlah pembahasan dalam al-Kalimât, teruta- ma, dalam buku “Nasihat Spiritual”. Terkait dengan itu, perhatikan dan renungkan salah satu dari 1000 perbandingan tersebut berikut ini:

    Jalan kemusyrikan, kesesatan, kebodohan, dan kefasikan bisa menjatuhkan manusia ke dalam derajat yang paling rendah sekaligus membebani pundaknya yang lemah dengan berbagai beban yang sangat berat sedang ia dalam penderitaan yang tak terbatas. Hal itu karena ketika manusia tidak mengenal dan tidak bertawakkal kepada Allah, ia tak ubahnya seperti hewan yang fana. Ia senantiasa bersedih dan merasakan kepedihan. Ia terus berada dalam kepapaan dan ketidakberdayaan, serta memiliki banyak kebutuhan. Ia menghadapi berbagai musibah yang tak kunjung usai serta merasa sakit lantaran berpisah dengan sesuatu yang dicintai yang terhubung sebelumnya. Ia senantiasa menderita hingga akhirnya meninggalkan sejumlah orang tercinta yang masih tersisa, lalu pergi menuju gelapnya kubur seorang diri.

    Sepanjang hidup ia akan menghadapi sejumlah penderitaan dan impian yang tak terhingga dengan ikhtiar terbatas, kekuatan terbatas, kehidupan singkat, umur pendek, serta akal pikiran yang buram. Dia terus berupaya untuk mendapatkan keinginan-keinginan dan tujuan-tujuan yang tak terhingga tanpa memetik hasil apa pun. Ketika ia tidak mampu memikul beban dirinya, ia berusaha membebani pundak dan bahunya yang lemah dengan sejumlah beban dunia yang de- mikian berat. Dengan begitu, ia sudah sangat tersiksa sebelum sampai pada siksa neraka.

    Orang-orang yang sesat tidak merasakan penderitaan pahit dan siksaan jiwa yang menakutkan tersebut untuk sementara waktu, karena mereka telah mencampakkan diri dalam kubang kelalaian guna menghilangkan kesadaran dan melenyapkan sensitifitas mereka dengan mabuk. Namun, begitu salah seorang dari mereka sudah dekat kepada liang kubur, tiba-tiba ia merasakannya! Hal itu karena jika tidak menjadi hamba yang tulus kepada Allah, ia akan mengira berkuasa atas dirinya sendiri. Padahal, dengan ikhtiarnya yang parsial dan sangat terbatas serta kemampuannya yang tak seberapa itu, ia tidak mampu menata diri menghadapi berbagai kondisi dunia yang demikian keras. Pasalnya, ia melihat sejumlah musuh mengelilinginya; mulai dari mikroba yang paling kecil hingga gempa yang dahsyat di mana semua itu siap untuk menghancurkan kehidupannya. Akhirnya ia pun merinding dan ketakutan tiap kali mengkhayalkan dan melihat kuburan.

    Saat manusia dalam kondisi semacam itu, berbagai kekhawatiran dunia dan nasib umat manusia memenatkannya. Hal itu lantaran ia menganggap segala yang terjadi dikendalikan oleh hukum alam dan proses kebetulan, bukan tindakan Dzat Yang Mahaesa, Mahabijak- sana, dan Maha Mengetahui. Serta tidak dianggap sebagai ketentuan dari Dzat Yang Mahakuasa, Maha Penyayang, dan Maha Pemurah.Di samping penderitaan yang dialaminya, ia juga merasakan penderitaan orang lain. Maka gempa, penyakit menular, badai, keke- ringan, tingginya harga, serta perpisahan dan yang sejenisnya menjadi musibah dan bencana besar yang menyiksa.

    Manusia yang berada dalam kondisi demikian tidak layak mendapatkan rasa belas kasihan dan kasih sayang. Karena dialah yang justru menyebabkan kondisi yang menakutkan tersebut terjadi. Ia seperti orang yang disebutkan dalam perbandingan antara dua orang bersaudara pada “Kalimat Kedelapan” bahwa seseorang tidak merasa puas dengan kenikmatan yang halal, kesenangan yang suci, hiburan yang menyenangkan, serta tamasya yang dibenarkan, bersama orang- orang yang dicinta, di sebuah taman luas, di tengah-tengah jamuan yang mulia, ia malah mengonsumsi minuman keras yang haram untuk mendapatkan kenikmatan yang tidak dibenarkan. Lalu ia mabuk sehingga terbayang bahwa dirinya sedang berada di sebuah tempat yang kotor di tengah-tengah binatang buas yang siap menerkam. Ia menggigil seolah-olah berada di musim dingin. Ia pun kemudian berteriak dan meminta tolong, namun tak seorangpun yang merasa kasihan padanya. Pasalnya, ia telah menganggap teman-temannya yang baik sebagai binatang buas sehingga menghina dan merendahkan mereka. Ia membayangkan sejumlah makanan yang enak berikut wadahnya yang bersih yang berada di tempat jamuan sebagai batu keras yang kotor, lalu segera merusaknya. Buku-buku yang bernilai serta pesan-pesan berharga yang terdapat dalam majelis dianggap sebagai tulisan biasa dan hiasan yang tidak bermakna, sehingga ia merobek dan menginjaknya, demikian seterusnya.

    Orang tersebut dan yang semisalnya tidak layak dikasihani, tetapi pantas mendapatkan hukuman dan celaan. Begitu pula orang yang ketika dimabuk oleh kekufuran dan kesesatan lantaran ikhtiarnya yang keliru beranggapan bahwa dunia yang merupakan jamuan Tuhan Yang Mahabijaksana ini sebagai sebuah proses kebetulan dan alamiah semata. Dalam anggapannya, pembaharuan berbagai ciptaan yang merupakan manifestasi dari nama-nama-Nya yang mulia serta bagaimana ia berjalan menuju alam gaib seiring dengan perjalanan waktu, setelah tugas dan tujuannya selesai, seolah-olah semuanya dibuang ke dalam lautan ketiadaan dan lembah kehampaan, lalu lenyap ditelan ombak pantai kefanaan. Suara-suara tasbîh dan tahmîd yang memenuhi alam dan ang- kasa dianggap sebagai rintihan dan ratapan yang terucap oleh makh- luk yang fana dalam sebuah perpisahan abadi. Lembaran entitas yang merupakan risalah Tuhan yang menakjubkan dianggap bahan oplosan yang tidak bernilai dan tidak mempunyai tujuan. Pintu kubur yang membuka jalan menuju alam kasih sayang yang luas diposisikan se- bagai terowongan yang menghantar kepada gelapnya ketiadaan. Serta ajal yang merupakan undangan pertemuan dengan para kekasih hakiki dianggap sebagai saat perpisahan dengan seluruh kekasih.Orang yang senantiasa berada dalam persepsi dan ilusi semacam itu sesungguhnya telah mencampakkan diri dalam tungku siksa dunia yang sangat pedih. Di samping tidak layak mendapatkan kasih sayang, ia justru pantas mendapatkan siksa yang pedih, karena telah merendahkan entitas dengan menganggapnya sia-sia, menghina na- ma-nama-Nya yang mulia dengan mengingkari manifestasinya, serta tidak memercayai risalah Tuhan dengan menolak kesaksiannya atas keesaan Tuhan.

    Wahai kaum sesat yang bodoh! Wahai orang celaka yang malang! Apakah ilmu pengetahuan dan peradaban kalian, serta kecerdasan dan kemajuan kalian memiliki arti saat terjadinya penurunan derajat yang menakutkan itu? Dan apakah ia mampu mengobati keputusasaan yang meluluhlantahkan jiwa manusia; yang merindukan pelipur lara?

    Apakah ada di antara hukum alam, sebab-sebab materi, sekutu, penemuan, ras dan tuhan batil yang kalian percayai dan kalian sandarkan, serta menisbatkan ciptaan dan berbagai karunia Allah, yang pada semua itu mampu menyelamatkan kalian dari gelapnya kematian; yang merupakan kemusnahan abadi bagi kalian? Apakah semua itu mampu membuat kalian melewati kubur, alam Barzakh, dan Padang Mahsyar dengan aman dan tenteram? serta apakah semua itu mampu menolong kalian saat menyeberangi jembatan (Shirat al-Mustaqim) dengan selamat sekaligus menjadikan kalian layak untuk mendapat kebahagiaan abadi?

    Karena kalian tidak mampu menutup pintu alam kubur, maka sudah pasti kalian akan melewati jalan ini. Siapa yang melewatinya, ia harus bersandar pada Dzat yang memiliki pengetahuan komprehensif mengenai gerbang, lorong, dan batasannya, bahkan seluruh wilayah yang sangat besar dan jalan yang demikian luas berada di bawah ken- dali dan perintah-Nya.

    Wahai kaum sesat yang lalai! Potensi cinta dan pengetahuan yang terdapat dalam fitrah kalian, serta seluruh sarana bersyukur dan beribadah yang seharusnya dicurahkan untuk Allah dan ditujukan ke- pada sifat-sifat-Nya yang agung berikut nama-nama-Nya yang mulia, justru semua itu kalian curahkan untuk kepentingan diri sendiri dan dunia dengan cara yang terlarang. Akibatnya, kalian layak mendapat siksa sesuai dengan prinsip yang berbunyi, “Konsekuensi dari cinta yang terlarang (tidak syar’i) adalah penderitaan yang pedih tanpa diiringi kasih sayang.” Pasalnya, kalian telah memberikan kepada diri kalian rasa cinta yang mestinya hanya untuk Allah semata. Karenanya, kalian mendapat berbagai bencana yang jumlahnya tak terhingga dari hawa nafsu yang kalian cintai itu. Sebab, kalian tidak memberinya kesenangan yang hakiki. Di samping itu, kalian tidak menyerahkan- nya dengan bertawakkal kepada Sang Mahakuasa Yang Mutlak sebagai Kekasih yang sebenarnya. Akibatnya, kalian selalu berada dalam pen- deritaan.

    Kalian juga telah memberikan kepada dunia rasa cinta yang se- benarnya mengacu kepada nama-nama-Nya yang mulia dan sifat-Nya yang agung. Kalian membagi tanda-tanda ciptaan-Nya yang indah di antara sebab-sebab materi. Karena itu, kalian merasakan hukuman atas perbuatan kalian. Sebab, sebagian dari obyek-obyek yang kalian cintai akan meninggalkan kalian tanpa mengucapkan “selamat tinggal.” Bahkan, ada di antara mereka yang sama sekali tidak pernah mengenal kalian. Kalau pun mengenal, mereka tidak mencintai kalian. Kalau pun mencintai, mereka tidak memberikan manfaat buat kalian. Oleh sebab itu, kalian senantiasa mendapatkan siksaan lantaran pedihnya perpi- sahan yang tak terhingga dan derita akibat kepergian yang tak pernah akan kembali.

    Itulah hakikat dan esensi dari kebahagiaan hidup, kesempurnaan manusia, keindahan peradaban, dan kenikmatan kebebasan yang kaum sesat suarakan. Sungguh kebodohan dan kondisi mabuk menjadi hijab tebal yang membuat mereka mati rasa untuk sementara waktu! Ucapkanlah, “Sungguh celaka akal mereka!”

    Adapun jalan nurani al-Qur’an bisa mengobati seluruh luka yang diderita oleh kaum yang sesat sekaligus membalutnya dengan berbagai hakikat keimanan. Ia juga melenyapkan seluruh kegelapan yang terdapat di jalan kesesatan, serta menutup semua pintu kesesatan dan kebinasaan lewat cara sebagai berikut:

    Ia mengobati ketidakberdayaan, kelemahan, dan kepapaan ma- nusia serta memenuhi kebutuhannya dengan bersandar pada Dzat Yang Mahakuasa dan Maha Penyayang. Ia menyerahkan seluruh beban hidup kepada kekuasaan dan kasih sayang-Nya yang luas tanpa memikulkannya pada pundak manusia. Bahkan, ia membuat manusia dapat mengendalikan diri dan hidupnya sehingga mendapatkan ketenangan. Jalan tersebut memberitahukan bahwa manusia bukan sekadar “makhluk hidup yang bisa berpikir”, tetapi ia adalah benar-benar manusia sejati dan merupakan tamu terhormat di hadapan Tuhan Yang Maha Pengasih.Selain itu, jalan tersebut mampu mengobati luka-luka manusia yang disebabkan oleh fana dan lenyapnya dunia, serta dari kecintaan kepada segala hal yang bersifat sementara. Yakni, dengan cara yang lembut dan penuh kasih sayang, yaitu menampakkan dunia sebagai tempat jamuan Tuhan seraya menjelaskan bahwa seluruh entitas yang terdapat di dalamnya merupakan cermin yang memantulkan nama-nama-Nya yang mulia, dan menjelaskan bahwa semua ciptaan merupakan risalah Tuhan yang terus terbaharui setiap waktu dengan izin-Nya.

    Dengan begitu, ia menyelamatkan manusia dari cengkera- man gelapnya ilusi dan khayalan.Kemudian, ia mengobati luka akibat kematian, yang oleh kaum sesat dianggap sebagai perpisahan abadi dengan para kekasih, lewat penjelasannya; kematian merupakan awal mula perjumpaan dengan para kekasih yang telah mendahului menuju alam Barzakh dan orang- orang yang sekarang sudah berada di alam Baqa. Ia menegaskan bah- wa perpisahan tersebut sebenarnya merupakan awal perjumpaan!

    Lalu, ia melenyapkan rasa takut yang paling dirasakan oleh manusia dengan memberikan keterangan bahwa kubur merupakan pintu menuju alam kasih sayang yang sangat luas, negeri kebahagiaan, taman-taman surga, dan negeri cahaya Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Ia menjelaskan bahwa wisata ke alam Barzah yang paling menyakitkan dan merupakan perjalanan paling menakutkan bagi kaum yang sesat, sebenarnya merupakan perjalanan yang paling menyenangkan dan paling menggembirakan. Sebab, kubur bukanlah mulut ular yang menyeramkan, melainkan pintu menuju salah satu taman surga.

    Ia berkata kepada orang mukmin, “Jika ikhtiar dan kehendakmu bersifat parsial, serahkanlah urusanmu kepada kehendak Tuhan yang bersifat universal. Jika kekuatanmu sangat lemah, bergantunglah pada kekuatan Dzat Yang Maha Berkuasa mutlak. Jika hidupmu singkat, renungkan kehidupan abadi yang kekal. Jika umurmu pendek, janganlah khawatir, sebab engkau masih memiliki umur yang abadi. Jika pikiranmu redup, bernaunglah di bawah cahaya mentari al-Qur’an. Lihatlah dengan cahaya iman agar setiap ayat al-Qur’an memberimu sinar se- perti bintang terang-benderang sebagai ganti dari cahaya pikiranmu yang redup tadi. Jika engkau memiliki impian dan penderitaan tak terhingga, pahala yang tak terbatas dan kasih sayang yang tak terkira sedang menantikanmu. Jika engkau memiliki tujuan dan keinginan yang tak bertepi, jangan risau memikirkannya, karena ia tak terbatas di dunia ini saja. Namun, tempatnya adalah di alam lain, sementara Dzat yang akan memberikannya Maha Pemurah.”

    Ia juga mengatakan: “Wahai manusia! Engkau bukan pemilik dirimu sendiri. Tetapi, dikendalikan oleh Dzat Yang Maha Berkuasa mutlak dan Dzat Yang Pengasih. Karena itu, jangan penatkan diri dengan memberinya beban hidup. Pasalnya, Dzat yang menganugerahkan kehidupan inilah yang telah mengaturnya.Lalu, dunia juga bukan makhluk liar tanpa pemilik sehingga engkau tak perlu merasa risau, terbebani, dan penat pikiran lantaran memikirkannya. Sebab, Pemiliknya adalah Dzat Yang Mahabijak dan Maha Mengetahui. Engkau hanyalah tamu-Nya. Karena itu, jangan ikut mencampuri urusan yang tidak perlu serta jangan ikut terlibat, sementara engkau sendiri tidak paham.

    Kemudian, manusia dan binatang bukanlah makhluk yang di- biarkan begitu saja, melainkan petugas yang melaksanakan kewa- jibannya di bawah pengawasan Dzat Yang Maha Bijaksana dan Maha Penyayang. Karena itu, jangan kau biarkan dirimu tersiksa lantaran memikirkan kesulitan dan penderitaan mereka. Jangan sampai engkau lebih mengedepankan kasih sayangmu terhadap mereka ketimbang rahmat Tuhan Pencipta mereka Yang Maha Penyayang.Kendali sesuatu yang berposisi sebagai musuhmu, mulai dari mikroba hingga wabah penyakit, badai, kekeringan, dan gempa, bahkan kendali segala sesuatu berada di tangan Dzat Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah. Dia Maha Bijaksana sehingga tidak menciptakan sesuatu yang sia-sia. Dia Maha Penyayang dengan kasih sayang-Nya yang sangat luas. Segala yang Dia lakukan di dalamnya merupakan wujud dari kelembutan dan kasih-Nya.”

    Ia juga berkata: “Meskipun alam ini fana, namun ia menyiapkan segala hal yang diperlukan di alam abadi. Meski ia bersifat sementara, namun melahirkan sejumlah buah yang bersifat abadi, serta memunculkan berbagai manifestasi dari nama-nama-Nya yang mulia dan kekal. Meskipun kenikmatannya sedikit dan penderitaannya banyak, namun kemurahan Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang serta karunia-Nya merupakan kenikmatan hakiki yang tak akan lenyap. Adapun penderitaannya akan melahirkan sejumlah kenikmatan maknawi berupa pahala di akhirat. Selama seluruh wilayah yang dibolehkan syariah cukup bagi roh, jiwa, dan kalbu untuk mendapatkan seluruh kesenangannya, maka tidak perlu masuk ke wilayah yang tidak dibenarkan oleh agama. Sebab, satu kesenangan yang terlarang bisa menimbulkan beribu-ribu penderitaan.

    Di samping itu, ia bisa juga menjadi penghalang dari kemurahan dan karunia Tuhan Yang Maha Pengasih dan Pemurah sebagai sebuah kesenangan yang sebenarnya dan kekal abadi. Dari keterangan di atas jelas bahwa jalan kesesatan bisa menjatuhkan manusia ke dalam tingkatan yang paling rendah (asfalu sâ- filîn) hingga tidak ada satu pun peradaban atau filsafat yang mampu memberikan solusi untuknya. Bahkan, kemajuan umat manusia dan ilmu pengetahuan yang dicapainya tidak dapat mengeluarkannya dari gelapnya kesesatan yang sangat dalam.

    Sebaliknya, dengan iman dan amal saleh, al-Qur’an menolong manusia serta mengangkatnya dari tingkatan yang paling rendah menuju derajat yang paling tinggi (a’la ‘illiyyîn). Ia membuktikan hal tersebut dengan sejumlah dalil yang kuat. Ia menutup lubang yang da- lam itu dengan berbagai jenjang ketinggian spiritual dan kesempur- naan rohani.

    Selain itu, dengan sangat mudah al-Qur’an meringankan perjalanan manusia yang panjang, membadai, dan sulit menuju keabadian. Yaitu dengan cara memperlihatkan sejumlah sarana dan media yang mampu untuk menempuh perjalanan 1000 tahun, bahkan 50 ribu tahun dalam satu hari.Di samping itu, ia menempatkan manusia sebagai hamba yang diperintah dan tamu yang ditugaskan dengan cara memperkenalkan Allah sebagai Raja dan Tuan yang azali dan abadi. Ia memberi jaminan kenyamanan dalam perjalanan manusia di dunia, atau dalam perjalanan menyusuri alam Barzakh di akhirat.Sebagaimana pegawai raja yang tulus bisa berkeliling dengan sangat mudah di wilayah kerajaannya dengan sarana transportasi yang cepat seperti pesawat, kapal laut, dan kereta api, demikian pula manusia yang berafiliasi dengan Raja Azali lewat keimanannya. Dengan amal saleh, manusia bisa melewati tempat mana saja di dunia ini, berbagai daerah alam Barzakh dan tempat kebangkitan, serta dari batas- batasnya yang demikian luas dengan sangat cepat secepat kilat hingga menemukan kebahagiaan abadi.” Al-Qur’an al-Karim membuktikan hakikat ini secara pasti sekaligus memperlihatkannya kepada para ula- ma dan wali.

    Setelah itu, hakikat al-Qur’an menerangkan dengan berkata: “Wahai orang mukmin! Jangan mencurahkan potensi cintamu yang tak terhingga kepada nafsumu yang senantiasa condong pada kebu- rukan, sangat jelek, jahat, dan membahayakan dirimu. Jangan jadikan ia sebagai kekasihmu. Jangan jadikan seleranya sebagai tuhan semba- hanmu. namun jadikanlah Dzat yang memang layak untuk mendapat cinta tak terhingga sebagai kekasih dan sembahanmu; yang mampu memberikan karunia tak terbatas padamu; membuatmu bahagia yang tak terkira di masa depan; bahkan membahagiakanmu dengan cara membahagiakan orang-orang yang memiliki hubungan denganmu. Dialah Dzat yang memiliki kesempurnaan mutlak serta keindahan suci yang terbebas dari kekurangan dan kefanaan. Keindahan-Nya tidak terbatas dan seluruh nama-Nya indah dan mulia.Ya, pada setiap nama-Nya terdapat cahaya kebaikan dan keinda- han yang tak terhingga; surga dengan seluruh keindahan dan kenik- matannya hanyalah manifestasi untuk menunjukkan keindahan rahmat-Nya dan rahmat keindahan-Nya; seluruh kebaikan, keindahan, dan kesempurnaan yang disenangi di alam hanyalah isyarat yang menunjukkan keindahan-Nya serta bukti atas kesempurnaan-Nya.”

    Lalu, ia berkata: “Wahai manusia! Mata air cinta yang terpancar di lubuk hatimu, yang tertuju kepada Allah, serta yang terpaut dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya; jangan engkau jadikan ia sia-sia dengan menambatkannya pada entitas yang fana, dan jangan engkau peruntukkan potensi cintamu itu kepada makhluk-makhluk yang ti- dak kekal. Sebab, seluruh makhluk adalah fana, sementara nama-na- ma-Nya yang indah (Asmaul Husna), yang manifestasi dan keinda- hannya terlihat pada seluruh ciptaan, bersifat kekal dan abadi. Pada setiap nama-Nya yang indah terdapat ribuan tingkat kebaikan dan keindahan, dan pada setiap sifat-Nya yang suci terdapat ribuan jenjang kesempurnaan. Lihatlah nama-Nya ar-Rahmân (Yang Maha Pengasih), engkau pasti akan mengetahui bahwa surga hanyalah salah satu manifestasinya, kebahagiaan abadi hanyalah salah satu kilaunya serta semua reze- ki dan kenikmatan yang tersebar di seluruh bumi hanyalah salah satu tetesannya.

    Perhatikan dan renungkan sejumlah ayat al-Qur’an yang menjelaskan perbandingan antara kaum yang sesat dan kaum yang beriman dari sisi kehidupan dan tugas mereka: “Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik- baiknya. Kemudian, Kami kembalikan ia ke tempat yang serendah- rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh” (QS. at-Tîn [95]: 4-6).“Langit dan bumi tidak menangisi mereka” (QS. ad-Dukhân [44]:29).Ayat-ayat ini menjelaskan kesudahan dan balasan bagi masing-masing mereka. Perhatikan kedua ayat di atas, niscaya engkau mengetahui ketinggian dan kemukjizatannya dalam menjelaskan perbandi- ngan yang telah kita sebutkan.

    Mengenai ayat pertama, penjelasan tentang hakikat kemukjizatannya bisa merujuk pada “Kalimat Kesebelas” yang menerangkannya secara rinci. Kami menyerahkan perinciannya kepada pembahasan tersebut.

    Sementara ayat kedua, secara ringkas kami akan menjelaskan kandungannya yang berisi hakikat luhur sebagai berikut:

    Ayat tersebut berkata bahwa langit dan bumi tidak menangisi kematian kaum yang sesat. Dari sini dapat dipahami makna sebaliknya: bahwa langit dan bumi menangisi kepergian kaum beriman dari dunia. Mereka yang dimaksud ayat itu adalah kaum sesat yang mengingkari tugas langit dan bumi, menganggapnya sia-sia, tidak mengetahui makna-makna dari tugas yang diembannya, dan merendahkan kedudukannya. Bahkan mereka tidak mengenali Pencipta keduanya, dan tidak mengetahui posisi keduanya sebagai petunjuk atas keberadaan penciptanya sehingga mereka menghina dan memusuhi keduanya, maka sangat pantas kalau langit dan bumi bukan hanya tidak menangisi kepergian mereka, tetapi juga melaknat mereka, bah- kan merasa senang dengan kematian mereka.

    Dengan makna sebaliknya, ayat tersebut berkata: “Langit dan bumi menangisi kematian kaum beriman.” Pasalnya, mereka mengetahui tugas langit dan bumi, membenarkan hakikat langit dan bumi yang sebenarnya, dan memahami makna-makna yang langit dan bumi ungkapkan dengan landasan iman di mana setiap kali orang beriman merenungkan langit dan bumi, mereka berkata, “Betapa indah penciptaan keduanya! Betapa baik tugas yang dilakukan keduanya!” Mereka memberikan penghargaan yang layak untuknya. Mereka juga mencintai langit dan bumi atas dasar cinta kepada Allah karena menganggap keduanya sebagai cermin yang menampakkan manifestasi Asmaul Husna. Karena rahasia ini, langit dan bumi bersedih dengan kematian kaum beriman seolah-olah keduanya menangisi kepergian mereka.

    PERTANYAAN PENTING SEPUTAR CINTA

    Kalian berkata: “Cinta itu bukan pilihan. Ia berada di luar kehendak kita. Karena tuntutan kebutuhan alamiah, sayamisalnya— mencintai makanan yang lezat dan buah-buahan yang baik. Saya juga mencintai orang tua, anak-anak, dan istriku yang menjadi pendamping hidupku. Saya mencintai para nabi dan para wali. Saya mencintai masa muda dan kehidupanku. Saya pun mencintai musim semi dan sega- la sesuatu yang indah. Singkatnya, saya mencintai dunia. Bagaimana mungkin saya tidak mencintai semua ini? Akan tetapi, bagaimana ca- ranya saya bisa mempersembahkan seluruh rasa cinta ini kepada Dzat, nama-nama, dan sifat-sifat Allah? Apa makna dari semua ini?”

    Sebagai jawabannya, kalian harus memperhatikan empat nuktah berikut ini:

    Nuktah Pertama

    Meskipun rasa cinta bukan pilihan dan di luar kehendak kita, namun dengan ikhtiar yang ada haluannya bisa diubah dari kecintaan pada suatu obyek ke obyek yang lain. Misalnya, ketika keburukan dan hakikat dari sesuatu yang dicintai telah tampak, atau ketika diketahui bahwa ia menjadi penghalang atau cermin bagi kekasih hakiki yang layak dicintai, haluan cinta bisa dialihkan dari kekasih majasi kepada kekasih hakiki.

    Nuktah Kedua

    Kami tidak mengatakan, “Jangan mencintai semua yang engkau sebutkan tadi.” Kami hanya berpesan agar cintamu terhadap apa yang kau sebutkan tadi demi Allah dan karena cinta kepada-Nya.

    Misalnya, menikmati makanan yang enak dan buah-buahan yang segar disertai kesadaran bahwa ia merupakan karunia Allah dan anugerah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Hal itu merupakan bentuk rasa cinta terhadap nama ar-Rahmân (Yang Maha Pengasih) dan al-Mun’im (Yang Maha Memberi nikmat). Di samping itu, ia juga merupakan bentuk syukur maknawi. Yang menjadi petun- juk bahwa cinta ini bukan untuk memenuhi hawa nafsu; tetapi untuk nama ar-Rahmân, adalah mencari rezeki yang halal disertai perasaan cukup dalam batas-batas yang dibenarkan oleh agama dan memakan- nya dengan merenungkan bahwa ia merupakan nikmat Allah disertai rasa syukur.

    Kemudian rasa cinta dan penghormatanmu kepada kedua orang tua merupakan bentuk kecintaan kepada Allah. Pasalnya, Dialah yang menanamkan perasaan kasih sayang pada keduanya sehingga mereka mau mengasuh dan mendidikmu dengan penuh kasih sayang dan bijaksana. Bukti yang menunjukkan bahwa rasa cinta pada kedua- nya tadi merupakan cinta karena Allah adalah mencintai dan menghormati keduanya, melebihi sebelumnya, ketika mereka sudah tua; saat di mana tidak ada lagi faedah bagimu dari mereka. Engkau pun sangat menyayangi mereka meskipun menyibukkan dan menyusahkanmu.

    اِمَّا يَب۟لُغَنَّ عِن۟دَكَ ال۟كِبَرَ اَحَدُهُمَٓا اَو۟ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل۟ لَهُمَٓا اُفٍّ âyeti beş mertebe hürmet ve şefkate evladı davet etmesi, Kur’an’ın nazarında valideynin hukukları ne kadar ehemmiyetli ve ukukları ne derece çirkin olduğunu gösterir. Madem peder kimseyi değil, yalnız veledinin kendinden daha ziyade iyi olmasını ister. Ona mukabil veled dahi pedere karşı hak dava edemez. Demek, valideyn ve veled ortasında fıtraten sebeb-i münakaşa yok. Zira münakaşa, ya gıpta ve hasedden gelir, pederde oğluna karşı o yok. Veya münakaşa, haksızlıktan gelir, veledin hakkı yoktur ki pederine karşı hak dava etsin. Pederini haksız görse de ona isyan edemez. Demek, pederine isyan eden ve onu rencide eden, insan bozması bir canavardır.

    Ve evlatlarını; o Zat-ı Rahîm-i Kerîm’in hediyeleri olduğu için kemal-i şefkat ve merhamet ile onları sevmek ve muhafaza etmek, yine Hakk’a aittir. Ve o muhabbet ise Cenab-ı Hakk’ın hesabına olduğunu gösteren alâmet ise vefatlarında sabır ile şükürdür, meyusane feryat etmemektir. “Hâlık’ımın benim nezaretime verdiği sevimli bir mahluku idi, bir memlûkü idi, şimdi hikmeti iktiza etti, benden aldı, daha iyi bir yere götürdü. Benim o memlûkte bir zâhirî hissem varsa hakiki bin hisse onun Hâlık’ına aittir.   اَل۟حُك۟مُ لِلّٰهِ   ” deyip teslim olmaktır.

    Hem dost ve ahbap ise eğer onlar iman ve amel-i salih sebebiyle Cenab-ı Hakk’ın dostları iseler   اَل۟حُبُّ فِى اللّٰهِ   sırrınca o muhabbet dahi Hakk’a aittir.

    Hem refika-i hayatını; rahmet-i İlahiyenin munis, latîf bir hediyesi olduğu cihetiyle sev ve muhabbet et. Fakat çabuk bozulan hüsn-ü suretine muhabbetini bağlama. Belki kadının en cazibedar, en tatlı güzelliği, kadınlığa mahsus bir letafet ve nezaket içindeki hüsn-ü sîretidir. Ve en kıymettar ve en şirin cemali ise ulvi, ciddi, samimi, nurani şefkatidir. Şu cemal-i şefkat ve hüsn-ü sîret, âhir hayata kadar devam eder, ziyadeleşir. Ve o zaîfe, latîfe mahlukun hukuk-u hürmeti, o muhabbetle muhafaza edilir. Yoksa hüsn-ü suretin zevaliyle, en muhtaç olduğu bir zamanda bîçare hakkını kaybeder.

    Hem enbiya ve evliyayı sevmek, Cenab-ı Hakk’ın makbul ibadı olmak cihetiyle, Cenab-ı Hakk’ın namına ve hesabınadır ve o nokta-i nazardan ona aittir.

    Hem hayatı; Cenab-ı Hakk’ın insana ve sana verdiği en kıymettar ve hayat-ı bâkiyeyi kazandıracak bir sermaye ve bir define ve bâki kemalâtın cihazatını câmi’ bir hazine cihetiyle onu sevmek, muhafaza etmek, Cenab-ı Hakk’ın hizmetinde istihdam etmek, yine o muhabbet bir cihette Mabud’a aittir.

    Hem gençliğin letafetini, güzelliğini; Cenab-ı Hakk’ın latîf, şirin, güzel bir nimeti nokta-i nazarından istihsan etmek, sevmek, hüsn-ü istimal etmek, şâkirane bir nevi muhabbet-i meşruadır.

    Hem baharı; Cenab-ı Hakk’ın nurani esmalarının en latîf, güzel nakışlarının sahifesi ve Sâni’-i Hakîm’in antika sanatının en müzeyyen ve şaşaalı bir meşher-i sanatı olduğu cihetiyle mütefekkirane sevmek Cenab-ı Hakk’ın esmasını sevmektir.

    Hem dünyayı; âhiretin mezraası ve esma-i İlahiyenin âyinesi ve Cenab-ı Hakk’ın mektubatı ve muvakkat bir misafirhanesi cihetinde sevmek –nefs-i emmare karışmamak şartıyla– Cenab-ı Hakk’a ait olur.

    Elhasıl: Dünyayı ve ondaki mahlukatı mana-yı harfiyle sev. Mana-yı ismiyle sevme. “Ne kadar güzel yapılmış.” de. “Ne kadar güzeldir.” deme. Ve kalbin bâtınına, başka muhabbetlerin girmesine meydan verme. Çünkü bâtın-ı kalp, âyine-i Samed’dir ve ona mahsustur.

    اَللّٰهُمَّ ار۟زُق۟نَا حُبَّكَ وَ حُبَّ مَا يُقَرِّبُنَا اِلَي۟كَ   de.

    İşte bütün ta’dad ettiğimiz muhabbetler, eğer bu suretle olsa hem elemsiz bir lezzet verir hem bir cihette zevalsiz bir visaldir. Hem muhabbet-i İlahiyeyi ziyadeleştirir. Hem meşru bir muhabbettir. Hem ayn-ı lezzet bir şükürdür. Hem ayn-ı muhabbet bir fikirdir.

    Mesela, nasıl ki bir padişah-ı âlî, (Hâşiye[13]) sana bir elmayı ihsan etse o elmaya iki muhabbet ve onda iki lezzet var:

    Biri; elma, elma olduğu için sevilir ve elmaya mahsus ve elma kadar bir lezzet var. Şu muhabbet padişaha ait değil. Belki huzurunda o elmayı ağzına atıp yiyen adam, padişahı değil, elmayı sever ve nefsine muhabbet eder. Bazen olur ki padişah o nefis-perverane olan muhabbeti beğenmez, ondan nefret eder. Hem elma lezzeti dahi cüz’îdir. Hem zeval bulur; elmayı yedikten sonra o lezzet dahi gider, bir teessüf kalır.

    İkinci muhabbet ise elma içindeki, elma ile gösterilen iltifatat-ı şahanedir. Güya o elma, iltifat-ı şahanenin numunesi ve mücessemidir diye başına koyan adam, padişahı sevdiğini izhar eder. Hem iltifatın gılafı olan o meyvede öyle bir lezzet var ki bin elma lezzetinin fevkindedir. İşte şu lezzet ayn-ı şükrandır. Şu muhabbet, padişaha karşı hürmetli bir muhabbettir.

    Aynen onun gibi bütün nimetlere ve meyvelere, zatları için muhabbet edilse, yalnız maddî lezzetleriyle gafilane telezzüz etse o muhabbet nefsanîdir. O lezzetler de geçici ve elemlidir. Eğer Cenab-ı Hakk’ın iltifatat-ı rahmeti ve ihsanatının meyveleri cihetiyle sevse ve o ihsan ve iltifatatın derece-i lütuflarını takdir etmek suretinde kemal-i iştiha ile lezzet alsa hem manevî bir şükür hem elemsiz bir lezzettir.

    Üçüncü Nükte

    Cenab-ı Hakk’ın esmasına karşı olan muhabbetin tabakatı var: Sâbıkan beyan ettiğimiz gibi; bazen âsâra muhabbet suretiyle esmayı sever. Bazen esmayı, kemalât-ı İlahiyenin unvanları olduğu cihetle sever. Bazen insan, câmiiyet-i mahiyet cihetiyle hadsiz ihtiyacat noktasında esmaya muhtaç ve müştak olur ve o ihtiyaçla sever.

    Mesela, sen bütün şefkat ettiğin akraba ve fukara ve zayıf ve muhtaç mahlukata karşı, âcizane istimdad ihtiyacını hissettiğin halde; biri çıksa, istediğin gibi onlara iyilik etse o zatın in’am edici unvanı ve kerîm ismi ne kadar senin hoşuna gider, ne kadar o zatı, o unvan ile seversin. Öyle de yalnız Cenab-ı Hakk’ın Rahman ve Rahîm isimlerini düşün ki sen sevdiğin ve şefkat ettiğin bütün mü’min âbâ ve ecdadını ve akraba ve ahbabını dünyada nimetlerin envaıyla ve cennette enva-ı lezaiz ile ve saadet-i ebediyede onları sana gösterip ve kendini onlara göstermesiyle mesud ettiği cihette o Rahman ismi ve Rahîm unvanı, ne kadar sevilmeye lâyıktırlar ve ne derece o iki isme ruh-u beşer muhtaç olduğunu kıyas edebilirsin. Ve ne derece اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ عَلٰى رَح۟مَانِيَّتِهٖ وَ عَلٰى رَحٖيمِيَّتِهٖ yerindedir anlarsın.

    Hem alâkadar olduğun ve perişaniyetlerinden müteessir olduğun senin bir nevi hanen ve içindeki mevcudat, senin o hanenin ünsiyetli levazımatı ve sevimli müzeyyenatı hükmünde olan dünyayı ve içindeki mahlukatı kemal-i hikmet ile tanzim ve tedbir ve terbiye eden zatın Hakîm ismine ve Mürebbi unvanına senin ruhun ne kadar muhtaç, ne kadar müştak olduğunu dikkat etsen anlarsın.

    Hem bütün alâkadar olduğun ve zevalleriyle müteellim olduğun insanları, mevtleri hengâmında adem zulümatından kurtarıp şu dünyadan daha güzel bir yerde yerleştiren bir zatın Vâris, Bâis isimlerine, Bâki, Kerîm, Muhyî ve Muhsin unvanlarına ne kadar ruhun muhtaç olduğunu dikkat etsen anlarsın.

    İşte insanın mahiyeti ulviye, fıtratı câmia olduğundan binler enva-ı hâcat ile bin bir esma-i İlahiyeye, her bir ismin çok mertebelerine fıtraten muhtaçtır. Muzaaf ihtiyaç, iştiyaktır. Muzaaf iştiyak, muhabbettir. Muzaaf muhabbet dahi aşktır. Ruhun tekemmülatına göre meratib-i muhabbet, meratib-i esmaya göre inkişaf eder. Bütün esmaya muhabbet dahi –çünkü o esma Zat-ı Zülcelal’in unvanları ve cilveleri olduğundan– muhabbet-i zatiyeye döner.

    Şimdi yalnız numune olarak bin bir esmadan yalnız Adl ve Hakem ve Hak ve Rahîm isimlerinin bin bir mertebelerinden bir mertebeyi beyan edeceğiz. Şöyle ki:

    Hikmet ve adl içindeki Rahmanu’r-Rahîm ve Hak ismini a’zamî bir dairede görmek istersen şu temsile bak: Nasıl ki bir orduda dört yüz muhtelif taifeler bulunduğunu farz ediyoruz ki her bir taife beğendiği elbiseleri ayrı, hoşuna gittiği erzakı ayrı, rahatla istimal edeceği silahları ayrı ve mizacına deva olacak ilaçları ayrı oldukları halde; bütün o dört yüz taife, ayrı ayrı takım, bölük tefrik edilmeyerek belki birbirine karışık olduğu halde onları kemal-i şefkat ve merhametinden ve hârikulâde iktidarından ve mu’cizane ilim ve ihatasından ve fevkalâde adalet ve hikmetinden, misilsiz bir tek padişah onların hiçbirini şaşırmayarak, hiçbirini unutmayarak bütün ayrı ayrı onlara lâyık elbise, erzak, ilaç ve silahlarını muînsiz olarak bizzat kendisi verse o zat acaba ne kadar muktedir, müşfik, âdil, kerîm bir padişah olduğunu anlarsın. Çünkü bir taburda on milletten efrad bulunsa onları ayrı ayrı giydirmek ve teçhiz etmek çok müşkül olduğundan bilmecburiye, ne cinsten olursa olsun, bir tarzda teçhiz edilir.

    İşte öyle de Cenab-ı Hakk’ın adl ve hikmet içindeki ism-i Hak ve Rahmanu’r-Rahîm’in cilvesini görmek istersen bahar mevsiminde zeminin yüzünde çadırları kurulmuş, muhteşem dört yüz bin milletten mürekkeb nebatat ve hayvanat ordusuna bak ki bütün o milletler, o taifeler, birbiri içinde oldukları halde, her birinin libası ayrı, erzakı ayrı, silahı ayrı, tarz-ı hayatı ayrı, talimatı ayrı, terhisatı ayrı oldukları halde ve o hâcatlarını tedarik edecek iktidarları ve o metalibi isteyecek dilleri olmadığı halde, daire-i hikmet ve adl içinde, mizan ve intizam ile Hak ve Rahman, Rezzak ve Rahîm, Kerîm unvanlarını seyret, gör. Nasıl hiçbirini şaşırmayarak, unutmayarak, iltibas etmeyerek terbiye ve tedbir ve idare eder.

    İşte, böyle hayret verici muhit bir intizam ve mizan ile yapılan bir işe, başkalarının parmakları karışabilir mi? Vâhid-i Ehad, Hakîm-i Mutlak, Kādir-i külli şey’den başka, bu sanata, bu tedbire, bu rububiyete, bu tedvire hangi şey elini uzatabilir? Hangi sebep müdahale edebilir?

    Dördüncü Nükte

    Diyorsun: Benim taamlara, nefsime, refikama, valideynime, evladıma, ahbabıma, evliyaya, enbiyaya, güzel şeylere, bahara, dünyaya müteallik ayrı ayrı muhtelif muhabbetlerimin –Kur’an’ın emrettiği tarzda olsa– neticeleri, faydaları nedir?

    Elcevap: Bütün neticeleri beyan etmek için büyük bir kitap yazmak lâzım gelir. Şimdilik yalnız icmalen bir iki neticeye işaret edilecek. Evvela, dünyadaki muaccel neticeleri beyan edilecek. Sonra âhirette tezahür eden neticeleri zikredilecek. Şöyle ki:

    Sâbıkan beyan edildiği gibi ehl-i gaflet ve ehl-i dünya tarzında ve nefis hesabına olan muhabbetlerin; dünyada belaları, elemleri, meşakkatleri çoktur. Safaları, lezzetleri, rahatları azdır. Mesela şefkat, acz yüzünden elemli bir musibet olur. Muhabbet, firak yüzünden belalı bir hırkat olur. Lezzet, zeval yüzünden zehirli bir şerbet olur. Âhirette ise Cenab-ı Hakk’ın hesabına olmadıkları için ya faydasızdır veya azaptır. (Eğer harama girmiş ise)

    Sual: Enbiya ve evliyaya muhabbet, nasıl faydasız kalır?

    Elcevap: Ehl-i Teslis’in İsa aleyhisselâma ve Râfızîlerin Hazret-i Ali radıyallahu anha muhabbetleri faydasız kaldığı gibi.

    Eğer o muhabbetler, Kur’an’ın irşad ettiği tarzda ve Cenab-ı Hakk’ın hesabına ve muhabbet-i Rahman namına olsalar o zaman hem dünyada hem âhirette güzel neticeleri var.

    Amma dünyada ise leziz taamlara, güzel meyvelere muhabbetin, elemsiz bir nimet ve ayn-ı şükür bir lezzettir.

    Nefsine muhabbet ise: Ona acımak, terbiye etmek, zararlı hevesattan men’etmektir. O vakit nefis sana binmez, seni hevasına esir etmez. Belki sen nefsine binersin. Onu hevaya değil, hüdaya sevk edersin.

    Refika-i hayatına muhabbetin, madem hüsn-ü sîret ve maden-i şefkat ve hediye-i rahmet olduğuna bina edilmiş. O refikaya samimi muhabbet ve merhamet edersen o da sana ciddi hürmet ve muhabbet eder. İkiniz ihtiyar oldukça o hal ziyadeleşir, mesudane hayatını geçirirsin. Yoksa hüsn-ü surete muhabbet nefsanî olsa o muhabbet çabuk bozulur, hüsn-ü muaşereti de bozar.

    Peder ve valideye karşı muhabbetin, Cenab-ı Hak hesabına olduğu için hem bir ibadet hem de onlar ihtiyarlandıkça hürmet ve muhabbeti ziyadeleştirirsin. En âlî bir his ile en merdane bir himmet ile onların tûl-ü ömrünü ciddi arzu edip bekalarına dua etmek, tâ onların yüzünden daha ziyade sevap kazanayım diye samimi hürmetle onların elini öpmek, ulvi bir lezzet-i ruhanî almaktır. Yoksa nefsanî, dünya itibarıyla olsa onlar ihtiyar oldukları ve sana bâr olacak bir vaziyete girdikleri zaman; en süflî ve en alçak bir his ile vücudlarını istiskal etmek, sebeb-i hayatın olan o muhterem zatların mevtlerini arzu etmek gibi vahşi, kederli, ruhanî bir elemdir.

    Evladına muhabbet ise: Cenab-ı Hakk’ın senin nezaretine ve terbiyene emanet ettiği sevimli, ünsiyetli o mahluklara muhabbet ise saadetli bir muhabbet, bir nimettir. Ne musibetleriyle fazla elem çekersin, ne de ölümleriyle meyusane feryat edersin. Sâbıkan geçtiği gibi onların Hâlıkları hem Hakîm hem Rahîm olduğundan onlar hakkında o mevt bir saadettir, dersin. Senin hakkında da onları sana veren zatın rahmetini düşünürsün, firak eleminden kurtulursun.

    Ahbaplara muhabbetin ise: Madem lillah içindir. O ahbapların firakları, hattâ ölümleri, sohbetinize ve uhuvvetinize mani olmadığı için o manevî muhabbet ve ruhanî irtibattan istifade edersin. Ve mülakat lezzeti daimî olur. Lillah için olmazsa bir günlük mülakat lezzeti, yüz günlük firak elemini netice verir. (Hâşiye[14])

    Enbiya ve evliyaya muhabbetin ise: Ehl-i gaflete karanlıklı bir vahşetgâh görünen âlem-i berzah, o nuranilerin vücudlarıyla tenevvür etmiş menzilgâhları suretinde sana göründüğü için o âleme gitmeye tevahhuş, tedehhüş değil belki bilakis temayül ve iştiyak hissini verir, hayat-ı dünyeviyenin lezzetini kaçırmaz. Yoksa onların muhabbeti, ehl-i medeniyetin meşahir-i insaniyeye muhabbeti nevinden olsa o kâmil insanların fena ve zevallerini ve mazi denilen mezar-ı ekberinde çürümelerini düşünmekle, elemli hayatına bir keder daha ilâve eder. Yani “Öyle kâmilleri çürüten bir mezara, ben de gideceğim.” diye düşünür; mezaristana endişeli bir nazarla bakar, “Âh!” çeker. Evvelki nazarda ise cisim libasını mazide bırakıp kendileri istikbal salonu olan berzah âleminde kemal-i rahatla ikametlerini düşünür, mezaristana ünsiyetkârane bakar.

    Hem güzel şeylere muhabbetin, madem Sâni’leri hesabınadır. “Ne güzel yapılmışlar.” tarzındadır. O muhabbetin bir leziz tefekkür olduğu halde hüsün-perest, cemal-perest zevkinin nazarını daha yüksek daha mukaddes ve binler defa daha güzel cemal mertebelerinin definelerine yol açar, baktırır. Çünkü o güzel âsârdan ef’al-i İlahiyenin güzelliğine intikal ettirir. Ondan esmanın güzelliğine, ondan sıfâtın güzelliğine, ondan Zat-ı Zülcelal’in cemal-i bîmisaline karşı kalbe yol açar. İşte bu muhabbet bu surette olsa hem lezzetlidir hem ibadettir ve hem tefekkürdür.

    Gençliğe muhabbetin ise: Madem Cenab-ı Hakk’ın güzel bir nimeti cihetinde sevmişsin elbette onu ibadette sarf edersin, sefahette boğdurup öldürmezsin. Öyle ise o gençlikte kazandığın ibadetler, o fâni gençliğin bâki meyveleridir. Sen ihtiyarlandıkça gençliğin iyilikleri olan bâki meyvelerini elde ettiğin halde, gençliğin zararlarından, taşkınlıklarından kurtulursun. Hem ihtiyarlıkta daha ziyade ibadete muvaffakiyet ve merhamet-i İlahiyeye daha ziyade liyakat kazandığını düşünürsün. Ehl-i gaflet gibi beş on senelik bir gençlik lezzetine mukabil, elli senede “Eyvah gençliğim gitti!” diye teessüf edip gençliğe ağlamayacaksın. Nasıl ki öylelerin birisi demiş:

    لَي۟تَ الشَّبَابَ يَعُودُ يَو۟مًا      فَاُخ۟بِرَهُ بِمَا فَعَلَ ال۟مَشٖيبُ

    Yani “Keşke gençliğim bir gün dönse idi ihtiyarlık benim başıma neler getirdiğini şekva ederek haber verecektim.”

    Bahar gibi ziynetli meşherlere muhabbet ise: Madem sanat-ı İlahiyeyi seyran itibarıyladır. O baharın gitmesiyle temaşa lezzeti zâil olmaz. Çünkü bahar, yaldızlı bir mektup gibi verdiği manaları her vakit temaşa edebilirsin. Senin hayalin ve zaman, ikisi de sinema şeritleri gibi sana o temaşa lezzetini idame ettirmekle beraber o baharın manalarını, güzelliklerini sana tazelendirirler. O vakit muhabbetin esefli, elemli, muvakkat olmaz. Lezzetli, safalı olur.

    Dünyaya muhabbetin ise: Madem Cenab-ı Hakk’ın namınadır. O vakit dünyanın dehşetli mevcudatı, sana ünsiyetli bir arkadaş hükmüne geçer. Mezraa-i âhiret cihetiyle sevdiğin için her şeyinde, âhirete fayda verecek bir sermaye, bir meyve alabilirsin. Ne musibetleri sana dehşet verir, ne zeval ve fenası sana sıkıntı verir. Kemal-i rahatla o misafirhanede müddet-i ikametini geçirirsin. Yoksa ehl-i gaflet gibi seversen yüz defa sana söylemişiz ki sıkıntılı, ezici, boğucu, fenaya mahkûm, neticesiz bir muhabbet içinde boğulur, gidersin.

    İşte bazı mahbubların, Kur’an’ın irşad ettiği surette olduğu vakit, her birisinden yüzde ancak bir letafetini gösterdik. Kur’an’ın gösterdiği yolda olmazsa yüzden bir mazarratına işaret ettik.

    Şimdi şu mahbubların dâr-ı bekada, âlem-i âhirette, Kur’an-ı Hakîm’in âyât-ı beyyinatıyla işaret ettiği neticeleri işitmek ve anlamak istersen, işte o çeşit meşru muhabbetlerin dâr-ı âhiretteki neticelerini bir mukaddime ve dokuz işaretle yüzden bir faydasını icmalen göstereceğiz:

    Mukaddime: Cenab-ı Hak celil uluhiyetiyle, cemil rahmetiyle, kebir rububiyetiyle, kerîm re’fetiyle, azîm kudretiyle, latîf hikmetiyle, şu küçük insanın vücudunu bu kadar havas ve hissiyat ile bu derece cevarih ve cihazat ile ve muhtelif aza ve âlât ile ve mütenevvi letaif ve maneviyat ile teçhiz ve tezyin etmiştir ki tâ mütenevvi ve pek çok âlât ile hadsiz enva-ı nimetini, aksam-ı ihsanatını, tabakat-ı rahmetini, o insana ihsas etsin, bildirsin, tattırsın, tanıttırsın. Hem tâ bin bir esmasının hadsiz enva-ı tecelliyatlarını, insana o âlât ile bildirsin, tarttırsın, sevdirsin. Ve o insandaki pek kesretli âlât ve cihazatın her birisinin ayrı ayrı hizmeti, ubudiyeti olduğu gibi ayrı ayrı lezzeti, elemi, vazifesi ve mükâfatı vardır.

    Mesela göz, suretlerdeki güzellikleri ve âlem-i mubsıratta güzel mu’cizat-ı kudretin envaını temaşa eder. Vazifesi, nazar-ı ibretle Sâni’ine şükrandır. Nazara mahsus lezzet ve elem malûmdur, tarife hâcet yok.

    Mesela kulak, sadâların envalarını, latîf nağmelerini ve mesmuat âleminde Cenab-ı Hakk’ın letaif-i rahmetini hisseder. Ayrı bir ubudiyet, ayrı bir lezzet, ayrı da bir mükâfatı var.

    Mesela kuvve-i şâmme, kokular taifesindeki letaif-i rahmeti hisseder. Kendine mahsus bir vazife-i şükraniyesi, bir lezzeti vardır. Elbette mükâfatı dahi vardır.

    Mesela dildeki kuvve-i zaika, bütün mat’umatın ezvakını anlamakla gayet mütenevvi bir şükr-ü manevî ile vazife görür ve hâkeza…

    Bütün cihazat-ı insaniyenin ve kalp ve akıl ve ruh gibi büyük ve mühim letaifin böyle ayrı ayrı vazifeleri, lezzetleri ve elemleri vardır. İşte Cenab-ı Hak ve Hakîm-i Mutlak, bu insanda istihdam ettiği bu cihazatın elbette her birerlerine lâyık ücretlerini verecektir.

    O müteaddid enva-ı muhabbetin sâbıkan beyan edilen dünyadaki muaccel neticelerini, herkes vicdan ile hisseder ve bir hads-i sadık ile ispat edilir. Âhiretteki neticeleri ise kat’iyen vücudları ve tahakkukları, icmalen Onuncu Söz’ün on iki hakikat-i kātıa-i sâtıasıyla ve Yirmi Dokuzuncu Söz’ün altı esas-ı bâhiresiyle ispat edildiği gibi, tafsilen اَص۟دَقُ ال۟كَلَامِ وَاَب۟لَغُ النِّظَامِ كَلَامُ اللّٰهِ ال۟مَلِكِ ال۟عَزٖيزِ ال۟عَلَّامِ olan Kur’an-ı Hakîm’in âyât-ı beyyinatıyla, tasrih ve telvih ve remiz ve işaratıyla kat’iyen sabittir. Daha uzun bürhanları getirmeye lüzum yok. Zaten başka Sözlerde ve cennete dair Yirmi Sekizinci Söz’ün Arabî olan ikinci makamında ve Yirmi Dokuzuncu Söz’de çok bürhanlar geçmiştir.

    Birinci İşaret: Leziz taamlara, hoş meyvelere şâkirane muhabbet-i meşruanın uhrevî neticesi: Kur’an’ın nassıyla, cennete lâyık bir tarzda leziz taamları, güzel meyveleridir. Ve o taamlara ve o meyvelere müştehiyane bir muhabbettir. Hattâ dünyada yediğin meyve üstünde söylediğin “Elhamdülillah” kelimesi, cennet meyvesi olarak tecessüm ettirilip sana takdim edilir. Burada meyve yersin, orada “Elhamdülillah” yersin. Ve nimette ve taam içinde in’am-ı İlahîyi ve iltifat-ı Rahmanîyi gördüğünden o lezzetli şükr-ü manevî, cennette gayet leziz bir taam suretinde sana verileceği, hadîsin nassıyla, Kur’an’ın işaratıyla ve hikmet ve rahmetin iktizasıyla sabittir.

    İkinci İşaret: Dünyada meşru bir surette nefsine muhabbet, yani mehasinine bina edilen muhabbet değil belki noksaniyetlerini görüp tekmil etmeye bina edilen şefkat ile onu terbiye etmek ve onu hayra sevk etmek neticesi: O nefse lâyık mahbubları, cennette veriyor. Nefis, madem dünyada heva ve hevesini Cenab-ı Hak yolunda hüsn-ü istimal etmiş. Cihazatını, duygularını hüsn-ü suretle istihdam etmiş. Kerîm-i Mutlak, ona dünyadaki meşru ve ubudiyetkârane muhabbetin neticesi olarak cennette, cennetin yetmiş ayrı ayrı enva-ı ziynet ve letafetinin numuneleri olan yetmiş muhtelif hulleyi giydirip nefisteki bütün hâsseleri memnun edecek, okşayacak yetmiş enva-ı hüsün ile vücudunu süslendirip her biri, ruhlu küçük birer cennet hükmünde olan hurileri, o dâr-ı bekada vereceği, pek çok âyât ile tasrih ve ispat edilmiştir.

    Hem dünyada gençliğe muhabbet, yani ibadette gençlik kuvvetini sarf etmenin neticesi: Dâr-ı saadette ebedî bir gençliktir.

    Üçüncü İşaret: Refika-i hayatına meşru dairesinde, yani latîf şefkatine, güzel hasletine, hüsn-ü sîretine binaen samimi muhabbet ile refika-i hayatını da naşizelikten, sair günahlardan muhafaza etmenin netice-i uhreviyesi ise: Rahîm-i Mutlak, o refika-i hayatı, hurilerden daha güzel bir surette ve daha ziynetli bir tarzda, daha cazibedar bir şekilde, ona dâr-ı saadette ebedî bir refika-i hayatı ve dünyadaki eski maceraları birbirine mütelezzizane nakletmek ve eski hatıratı birbirine tahattur ettirecek enis, latîf, ebedî bir arkadaş, bir muhib ve mahbub olarak verileceğini vaad etmiştir. Elbette vaad ettiği şeyi kat’î verecektir.

    Dördüncü İşaret: Valideyn ve evlada muhabbet-i meşruanın neticesi: Nass-ı Kur’an ile Cenab-ı Erhamü’r-Râhimîn, onların makamları ayrı ayrı da olsa yine o mesud aileye safi olarak lezzet-i sohbeti, cennete lâyık bir hüsn-ü muaşeret suretinde, dâr-ı bekada ebedî mülakat ile ihsan eder. Ve on beş yaşına girmeden, yani hadd-i büluğa vâsıl olmadan vefat eden çocuklar   وِل۟دَانٌ مُخَلَّدُونَ   ile tabir edilen cennet çocukları şeklinde ve cennete lâyık bir tarzda gayet süslü, sevimli bir surette, onları cennette dahi peder ve validelerinin kucaklarına verir. Veled-perverlik hislerini memnun eder. Ebedî o zevki ve o lezzeti onlara verir. Zira çocuklar sinn-i teklife girmediklerinden ebedî, sevimli, şirin çocuk olarak kalacaklar. Dünyadaki her lezzetli şeyin en a’lâsı cennette bulunur. Yalnız çok şirin olan veled-perverlik, yani çocuklarını sevip okşamak zevki –cennet tenasül yeri olmadığından– cennette yoktur, zannedilirdi. İşte bu surette o dahi vardır. Hem en zevkli ve en şirin bir tarzda vardır. İşte kable’l-büluğ evladı vefat edenlere müjde…

    Beşinci İşaret: Dünyada   اَل۟حُبُّ فِى اللّٰهِ   hükmünce salih ahbaplara muhabbetin neticesi: Cennette   عَلٰى سُرُرٍ مُتَقَابِلٖينَ   ile tabir edilen, karşı karşıya kurulmuş cennet iskemlelerinde oturup hoş, şirin, güzel, tatlı bir surette, dünya maceralarını ve kadîm olan hatıratlarını birbirine nakledip eğlendirmeleri suretinde; firaksız, safi bir muhabbet ve sohbet suretinde ahbaplarıyla görüştüreceği, Kur’an’ın nassıyla sabittir.

    Altıncı İşaret: Enbiya ve evliyaya Kur’an’ın tarif ettiği tarzda muhabbetin neticesi: O enbiya ve evliyanın şefaatlerinden berzahta, haşirde istifade etmekle beraber; gayet ulvi ve onlara lâyık makam ve füyuzattan o muhabbet vasıtasıyla istifaza etmektir. Evet اَل۟مَر۟٦ُ مَعَ مَن۟ اَحَبَّ   sırrınca, âdi bir adam, en yüksek bir makama, muhabbet ettiği âlî makam bir zatın tebaiyetiyle girebilir.

    Yedinci İşaret: Güzel şeylere ve bahara meşru muhabbetin, yani “Ne kadar güzel yapılmış.” nazarıyla, o âsârın arkasındaki ef’alin güzelliğini ve intizamını ve intizam-ı ef’al arkasındaki güzel esmanın cilvelerini ve o güzel esmanın arkasında sıfâtın tecelliyatını ve hâkeza sevmekliğin neticesi ise: Dâr-ı bekada o güzel gördüğü masnuattan bin defa daha güzel bir tarzda esmanın cilvesini ve esma içindeki cemal ve sıfâtını, cennette görmektir. Hattâ İmam-ı Rabbanî radıyallahu anh demiş ki: “Letaif-i cennet, cilve-i esmanın temessülatıdır.” Teemmel!

    Sekizinci İşaret: Dünyada, dünyanın âhiret mezraası ve esma-i İlahiye âyinesi olan iki güzel yüzüne karşı mütefekkirane muhabbetin uhrevî neticesi: Dünya kadar fakat fâni dünya gibi fâni değil, bâki bir cennet verilecektir. Hem dünyada yalnız zayıf gölgeleri gösterilen esma, o cennetin âyinelerinde en şaşaalı bir surette gösterilecektir.

    Hem dünyayı, mezraa-i âhiret yüzünde sevmenin neticesi: Dünyayı fidanlık, yani ancak fidanları bir derece yetiştiren küçük bir mezraası hükmünde olacak öyle bir cenneti verecek ki dünyada havas ve hissiyat-ı insaniye, küçük fidanlar olduğu halde, cennette en mükemmel bir surette inkişaf ve dünyada tohumcuklar hükmünde olan istidatları, enva-ı lezaiz ve kemalât ile sümbüllenecek surette ona verileceği, rahmetin ve hikmetin muktezası olduğu gibi, hadîsin nususuyla ve Kur’an’ın işaratıyla sabittir.

    Hem madem dünyanın her hatanın başı olan mezmum muhabbeti değil belki esmaya ve âhirete bakan iki yüzünü, esma ve âhiret için sevmiş ve ibadet-i fikriye ile o yüzleri mamur etmiş, güya bütün dünyasıyla ibadet etmiş. Elbette dünya kadar bir mükâfat alması, mukteza-yı rahmet ve hikmettir.

    Hem madem âhiretin muhabbetiyle onun mezraasını sevmiş ve Cenab-ı Hakk’ın muhabbetiyle âyine-i esmasını sevmiş. Elbette dünya gibi bir mahbub ister. O da dünya kadar bir cennettir.

    Sual: O kadar büyük ve hâlî bir cennet neye yarar?

    Elcevap: Nasıl ki eğer mümkün olsa idi hayal süratiyle zeminin aktarını ve yıldızların ekserini gezsen “Bütün âlem benimdir.” diyebilirsin. Melâike ve insan ve hayvanların iştirakleri, senin o hükmünü bozmaz. Öyle de o cennet dahi dolu olsa “O cennet benimdir.” diyebilirsin. Hadîste bazı ehl-i cennete verilen beş yüz senelik bir cennet sırrı, Yirmi Sekizinci Söz’de ve İhlas Lem’ası’nda beyan edilmiştir.

    Dokuzuncu İşaret: İman ve muhabbetullahın neticesi: Ehl-i keşif ve tahkikin ittifakıyla; dünyanın bin sene hayat-ı mesudanesi, bir saatine değmeyen cennet hayatı ve cennet hayatının dahi bin senesi, bir saat müşahedesine değmeyen bir kudsî, münezzeh cemal ve kemal sahibi olan Zat-ı Zülcelal’in müşahedesi, rü’yetidir ki (Hâşiye[15]) hadîs-i kat’î ile ve Kur’an’ın nassıyla sabittir.

    Hazret-i Süleyman aleyhisselâm gibi muhteşem bir kemal ile meşhur bir zatın rü’yetine iştiyaklı bir merak, Hazret-i Yusuf aleyhisselâm gibi bir cemal ile mümtaz bir zatın şuhuduna meraklı bir iştiyak; herkes vicdanen hisseder. Acaba dünyanın bütün mehasin ve kemalâtından binler derece yüksek olan cennetin bütün mehasin ve kemalâtı, bir cilve-i cemali ve kemali olan bir zatın rü’yeti, ne kadar mergub, merak-âver ve şuhudu ne derece matlub ve iştiyak-aver olduğunu kıyas edebilirsen et.

    اَللّٰهُمَّ ار۟زُق۟نَا فِى الدُّن۟يَا حُبَّكَ وَ حُبَّ مَا يُقَرِّبُنَا اِلَي۟كَ وَ ال۟اِس۟تِقَامَةَ كَمَا اَمَر۟تَ وَ فِى ال۟اٰخِرَةِ رَح۟مَتَكَ وَ رُؤ۟يَتَكَ

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّم۟ عَلٰى مَن۟ اَر۟سَل۟تَهُ رَح۟مَةً لِل۟عَالَمٖينَ وَ عَلٰى اٰلِهٖ وَ صَح۟بِهٖ اَج۟مَعٖينَ اٰمٖينَ

    Tenbih

    Şu sözün âhirinde uzun tafsilatı uzun görme; ehemmiyetine nisbeten kısadır, daha uzun ister.

    Bütün Sözlerde konuşan ben değilim. Belki işarat-ı Kur’aniye namına hakikattir. Hakikat ise hak söyler, doğru konuşur. Eğer yanlış bir şey gördünüz, muhakkak biliniz ki haberim olmadan fikrim karışmış, karıştırmış, yanlış etmiş.


    MÜNÂCAT

    Yâ Rab! Nasıl büyük bir sarayın kapısını çalan bir adam, açılmadığı vakit, o sarayın kapısını, diğer makbul bir zatın sarayca me’nus sadâsıyla çalar; tâ ona açılsın. Öyle de bîçare ben dahi senin dergâh-ı rahmetini, mahbub abdin olan Üveyse’l-Karanî’nin nidasıyla ve münâcatıyla şöyle çalıyorum. O dergâhını ona açtığın gibi rahmetinle bana da aç.

    :اَقُولُ كَمَا قَالَ

    اِلٰهٖى اَن۟تَ رَبّٖى وَ اَنَا ال۟عَب۟دُ  وَ اَن۟تَ ال۟خَالِقُ وَ اَنَا ال۟مَخ۟لُوقُ  

    وَ اَن۟تَ الرَّزَّاقُ وَ اَنَا ال۟مَر۟زُوقُ  وَ اَن۟تَ ال۟مَالِكُ وَ اَنَا ال۟مَم۟لُوكُ

    وَ اَن۟تَ ال۟عَزٖيزُ وَ اَنَا الذَّلٖيلُ  وَ اَن۟تَ ال۟غَنِىُّ وَ اَنَا ال۟فَقٖيرُ

    وَ اَن۟تَ ال۟حَىُّ وَ اَنَا ال۟مَيِّتُ  وَ اَن۟تَ ال۟بَاقٖى وَ اَنَا ال۟فَانٖى

    وَ اَن۟تَ ال۟كَرٖيمُ وَ اَنَا اللَّئٖيمُ  وَ اَن۟تَ ال۟مُح۟سِنُ وَ اَنَا ال۟مُسِىءُ  

    وَ اَن۟تَ ال۟غَفُورُ وَ اَنَا ال۟مُذ۟نِبُ  وَ اَن۟تَ ال۟عَظٖيمُ وَ اَنَا ال۟حَقٖيرُ

    وَ اَن۟تَ ال۟قَوِىُّ وَ اَنَا الضَّعٖيفُ  وَ اَن۟تَ ال۟مُع۟طٖى وَ اَنَا السَّائِلُ

    وَ اَن۟تَ ال۟اَمٖينُ وَ اَنَا ال۟خَائِفُ  وَ اَن۟تَ ال۟جَوَّادُ وَ اَنَا ال۟مِس۟كٖينُ

    وَ اَن۟تَ ال۟مُجٖيبُ وَ اَنَا الدَّاعٖى  وَ اَن۟تَ الشَّافٖى وَ اَنَا ال۟مَرٖيضُ

    فَاغ۟فِر۟لٖى ذُنُوبٖى وَ تَجَاوَز۟ عَنّٖى وَ اش۟فِ اَم۟رَاضٖى يَا اَللّٰهُ يَا كَافٖى

    يَا رَبُّ يَا وَافٖى  يَا رَحٖيمُ يَا شَافٖى  يَا كَرٖيمُ يَا مُعَافٖى

    فَاع۟فُ عَنّٖى مِن۟ كُلِّ ذَن۟بٍ وَ عَافِنٖى مِن۟ كُلِّ دَا٦ٍ وَار۟ضَ عَنّٖى اَبَدًا بِرَح۟مَتِكَ

    يَا اَر۟حَمَ الرَّاحِمٖينَ وَ اٰخِرُ دَع۟وٰيهُم۟ اَنِ ال۟حَم۟دُ لِلّٰهِ رَبِّ ال۟عَالَمٖينَ


    1. *Risalah Keempat dalam buku al-Matsnawi al-Arabi an-Nûri.
    2. *Lihat: at-Tirmidzi, ad-Da’awât 36; an-Nasâi, al-Manâsik 163; Ibnu Majah, al- Manâsik 84; ad-Dârimi, al-Manâsik 34; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad 1/47.
    3. *Ya, sebagaimana segala sesuatu yang bergerak mulai dari atom hingga planet memperlihatkan keesaan Allah dengan stempel shamadaniyah yang terdapat pada diri mereka, begitu pula mereka menguasai tempat yang mereka kelilingi dengan gerakan me- reka atas nama keesaan-Nya. Mereka masuk ke dalam kerajaan pemilik mereka. Sementara ciptaan yang tidak bergerak mulai dari tumbuhan hingga bintang gemintang yang tetap merupakan stempel keesaan sehingga mereka memperlihatkan tempat yang mereka tempati sebagai surat Sang Pencipta. Dengan kata lain, setiap tumbuhan dan buah merupakan stempel keesaan sehingga mereka memperlihatkan tempat yang mereka tempati sebagai surat Sang Pencipta atas nama keesaan. Kesimpulanya, segala sesuatu menguasai segala sesuatu dengan gerakannya atas nama keesaan. Dzat yang tidak mengendalikan semua bintang tidak mungkin menjadi tuhan bagi satu atom pun—Penulis.
    4. *Sang Pencipta Yang Mahabijak telah menciptakan manusia dalam bentuk seperti kota yang tertata rapi. Sebagian urat berfungsi sebagai telegraf dan telepon. Sebagian lagi berfungsi sebagai pipa yang menyalurkan air dari sumbernya di mana di dalamnya darah yang membangkitkan kehidupan mengalir. Darah itu sendiri terbagi dua. Yang satu dise- but sel darah merah yang mendistribusikan makanan ke sel-sel tubuh sehingga rezekinya sampai kepadanya lewat hukum ilahi sebagaimana petugas pembagi makanan. Sementara yang satunya lagi adalah sel darah putih yang jumlahnya lebih sedikit daripada yang per- tama. Ia bertugas melindungi tubuh dari penyakit dengan mengambil posisi yang menak- jubkan lewat putaran dan gerakan laksana murid al-Maulawi ketika memasuki medan perang. Adapun keseluruhan darah memiliki dua tugas penting: Pertama, membangun sel-sel yang hancur. Kedua, membersihkan tubuh dengan mengumpulkan semua sisa atau sampah sel. Selain itu, terdapat dua jenis urat. Yang satu disebut dengan arteri yang memindahkan dan mendistribusikan darah bersih. Ia laksana saluran darah yang bersih. Yang lainnya adalah saluran darah kotor yang mengumpulkan sisa-sisa berbahaya. Ia dibawa ke paru-paru yang menjadi pusat pernafasan.Sang pencipta Yang Mahabijak menciptakan dua unsur dalam udara. Pertama, nitro- gen dan yang kedua adalah oksigen. Unsur yang terakhir ini ketika bersentuhan dengan darah di saat bernafas menarik karbon yang mengotori darah di mana ia menjadikannya sebagai zat racun bernama karbondioksida. Dengan demikian, oksigen bertugas mem- bersihkan dan memfilternya. Di samping itu, ia menjamin kehangatan suhu tubuh. Pasalnya, sang Pencipta Yang Mahabijak telah memberikan kepada oksigen dan karbon hubu- ngan yang sangat kuat yang disebut dengan kedekatan kimiawi di mana ketika keduanya bertemu mereka bercampur lewat hukum ilahi. Dari percampuran itulah kehangatan tadi muncul seperti disebutkan dalam sains. Hikmah rahasia ini adalah atom dari kedua un- sur di atas masing-masing memiliki gerakan sendiri. Ketika kedua atom menyatu, yakni atom nitrogen bersatu padu dengan atom oksigen sehingga mereka bergerak satu gera- kan, sementara gerakan satunya tidak berfungsi karena sebelum menyatu ada dua gera- kan, sekarang dua atom menjadi satu. Kedua atom bergerak seperti satu atom, gerakan lainnya berubah menjadi panas dengan hukum Sang Pencipta yang Mahabijak. Memang “gerakan melahirkan panas” merupakan hukum yang permanen. Berdasarkan rahasia ini, sebagaimana panas dalam diri manusia dihasilkan dari penyatuan kimiawi di atas, begitu pula darah menjadi bersih dengan dikeluarkannya karbon dari darah. Demikianlah, in- halasi (menghirup udara) dapat membersihkan darah manusia sekaligus menghangatkan tubuh. Sementara menghembuskan udara dapat menghasilkan ucapan yang merupakan mukjizat qudrah ilahi, ‘Mahasuci Dzat yang ciptaan-Nya membuat akal tercengang’—Penulis.
    5. *Hamparan ini bersifat hidup dan bergerak dengan sangat teratur. Ukiran-Nya di- ubah dengan hikmah dan tatanan yang sempurna pada setiap waktu agar memperlihatkan manifestasi beragam milik Pengukirnya—Penulis.
    6. *Kesimpulannya: partikel mengalihkan si pengaku tadi kepada sel atau butiran da- rah merah. Butiran darah merah mengalihkannya ke sel. Sel mengalihkannya ke tubuh. Tubuh mengalihkannya ke spesies manusia. Spesies manusia mengalihkannya ke rangkaian makhluk hidup yang terdapat di muka bumi. Lalu, ia mengalihkannya ke bumi itu sendiri. Bumi mengalihkannya ke matahari, dan matahari mengalihkannya ke bintang. Demikianlah di mana masing-masing berkata, “Pergilah dariku. Jika engkau bisa menguasai apa yang berada di atasku silahkan menguasaiku. Namun jika tidak, berarti eng- kau lemah tak mampu mengendalikanku. Siapa yang perintahnya tidak menembus semua bintang, tidak mampu menembus satu partikel sekalipun—Penulis.
    7. *Jika jari-jari sebuah lingkaran sekitar 180 juta km, maka keliling lingkaran tersebut kira-kira berjarak 25 ribu tahun perjalanan—Penulis.
    8. *Kami menyaksikan ciptaan menakjubkan Sang Khalik. Bahkan, kami membuat yang lain bisa menyaksikannya dengan penuh kekaguman. Artinya, langit menatap ber- bagai keajaiban kreasi ilahi di bumi lewat mata tak terhingga. Bintang laksana malaikat yang terdapat di langit. Mereka menatap bumi yang merupakan tempat berbagai hal menakjubkan, sekaligus menarik perhatian makhluk lain untuk melihatnya—Penulis.
    9. *Setelah jatuh, “alam” bertobat dan menyadari bahwa tugas hakikinya adalah menerima dan menjadi tempat terjadinya perbuatan Allah, bukan pelaku dan perbuatannya. Ia mengetahui bahwa dirinya sebuah buku tulis takdir ilahi yang selalu berubah, sejenis program bagi qudrah rabbani, sebuah syari’at fitri milik Dzat yang Maha Kuasa dan Maha Agung dan sejenis kumpulan hukum. Ia menjadi pelayan yang menjalankan tugasnya dengan kelemahan dan ketundukkan yang sempurna. Namaya berubah menjadi fitrah ilahi dan kreasi rabbani—Penulis.
    10. *Maksudnya adalah pertanyaan yang terdapat di awal tujuan kedua, bukan pertanyaan yang terdapat di akhir penutup—Penulis.
    11. *Lihat: Muslim, al-Iman 297; Ibnu Majah, al-Muqaddimah 13; Ahmad ibn Hambal,al-Musnad 4/333; ad-Dailami, al-Musnad 4/356; asy-Syafi’i, al-Musnad 2/389.
    12. *Rasulullah x bersabda, “Dunia terlaknat dan terlaknat pula apa yang berada di dalamnya kecuali zikir mengingat Allah, yang terkait dengannya, orang berilmu dan penun- tut ilmu.” (HR. at-Tirmidzî)
    13. Hâşiye: Bir zaman iki aşiret reisi, bir padişahın huzuruna girmişler, yazılan aynı vaziyette bulunmuşlar.
    14. Hâşiye: Lillah için bir saniye mülakat, bir senedir. Dünya için olsa bir sene, bir saniyedir.
    15. Hâşiye: Hadîsin nassıyla “O şuhud, bütün lezaiz-i cennetin o derece fevkindedir ki onları unutturur. Ve şuhuddan sonra ehl-i şuhudun hüsn-ü cemali o derece fazlalaşır ki döndükleri vakit, saraylarındaki aileleri çok dikkat ile zor ile onları tanıyabilirler.” hadîste vârid olmuştur.