78.073
düzenleme
("2.Firman Allah:“Jangan kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah se- hingga Allah membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri...” (QS. al-Hasyr [59]: 19). Ayat ini mengarah kepada langkah kedua." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
("------ <center> KALIMAT KEDUA PULUH LIMA ⇐ | Al-Kalimât | ⇒ KALIMAT KEDUA PULUH TUJUH </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu) |
||
(Aynı kullanıcının aradaki diğer 20 değişikliği gösterilmiyor) | |||
221. satır: | 221. satır: | ||
2.Firman Allah:“Jangan kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah se- hingga Allah membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri...” (QS. al-Hasyr [59]: 19). Ayat ini mengarah kepada langkah kedua. | 2.Firman Allah:“Jangan kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah se- hingga Allah membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri...” (QS. al-Hasyr [59]: 19). Ayat ini mengarah kepada langkah kedua. | ||
3.Firman Allah:“Kebaikan yang kau terima berasal dari Allah, sementara keburu- kan yang kau terima berasal dari dirimu...” (QS. an-Nisa [4]: 79). Ayat ini mengarah kepada langkah ketiga. | |||
4.Firman Allah:“Segala sesuatu binasa kecuali Dzat-Nya.” (QS. al-Qashash [28]: 88). Ayat ini mengarah kepada langkah keempat. | |||
Penjelasan ringkas mengenai keempat langkah tersebut sebagai berikut: | |||
'''Langkah Pertama''' | |||
''' | Ia seperti yang disebutkan oleh ayat:“Jangan menganggap diri kalian suci.”Yaitu tidak merasa diri sudah bersih dan suci. Hal itu karena sesuai watak dan fitrahnya, manusia mencintai dirinya sendiri. Bahkan itulah yang pertama kali ia cintai. Ia rela mengorbankan segala sesuatu untuk dirinya. Ia berikan pada dirinya pujian yang hanya layak untuk Tuhan. Ia kultuskan dirinya dan ia bebaskan dari segala aib. Bahkan ia tidak menerima adanya kekurangan untuk dirinya. Ia sangat membela dirinya dengan sangat kuat lewat kecintaan yang berlebihan. Sehingga sejumlah perangkat yang Allah berikan untuk bertahmid dan menyucikan Dzat yang layak disembah, ia alihkan kepada dirinya. Akhirnya ia seperti yang digambarkan oleh al-Qur’an, “Orang yang menuhankan hawa nafsunya.” (QS. al-Furqan [25]: 43). | ||
Ia kagum pada dirinya. Karenanya, hal tersebut perlu dibersihkan dan disucikan. Cara menyucikannya adalah dengan tidak menganggapnya suci. | |||
'''Langkah Kedua''' | |||
''' | Ia seperti pelajaran yang diberikan oleh ayat:“Jangan kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah membuat mereka lupa kepada diri mereka sendiri.”Hal itu karena manusia kerap lupa dan lalai kepada dirinya. Ketika ingat mati, ia mengalihkannya kepada yang lain. Ketika melihat kondisi fana, ia mengembalikannya kepada orang lain. Seolah-olah itu tidak terkait dengannya sama sekali. Pasalnya, sesuai tuntutannya, nafsu ammârah mengingat dirinya saat pengambilan upah dan bagian, namun di sisi lain melupakan dirinya saat penunaian tugas dan ber- amal. | ||
Maka, cara membersihkan dan mentarbiyah nafsu pada langkah ini adalah dengan mengamalkan kondisi sebaliknya. Yaitu tidak lupa di saat lupa diri. Dengan kata lain, lupa meraih kesenangan dan upah untuk diri, serta memikirkan diri saat pengabdian dan kematian. | |||
'''Langkah Ketiga''' | |||
''' | Ia seperti yang dijelaskan oleh ayat: | ||
“Kebaikan yang kau terima berasal dari Allah, sementara keburukan yang kau terima berasal dari dirimu.” | |||
Hal itu karena nafsu manusia selalu ingin menisbatkan kebaikan kepada dirinya sehingga mengantarkan kepada sikap ujub dan sombong. Maka, pada langkah ini seseorang hendaknya hanya melihat kekurangan, ketidakberdayaan, dan kefakiran dirinya, serta melihat semua kebaikan dan kesempurnaannya sebagai karunia Penciptanya Yang Mahaagung. Ia terima hal itu sebagai karunia dari-Nya seraya bersyukur sebagai ganti dari sikap bangga diri, dan memuji Allah | |||
sebagai ganti dari memuji diri. | |||
Cara menyucikan diri di tingkatan ini terdapat pada rahasia ayat, “Sungguh beruntung orang yang menyucikannya.” (QS. asy-Syams [91]: 9). Yaitu mengetahui bahwa kesempurnaannya terletak pada ketidaksempurnaannya, kemampuannya terletak pada ketidakberdayaannya, dan kekayaannya terletak pada kefakirannya. | |||
'''Langkah Keempat'''Ia adalah apa yang diajarkan oleh ayat:“Segala sesuatu binasa kecuali Dzat-Nya.” | |||
''' | Hal itu karena diri manusia merasa merdeka dan mandiri. Kare- nanya, ia menganggap memiliki semacam kekuasaan rububiyah dan menyimpan sifat pembangkangan terhadap Dzat yang layak disembah. Dengan mengenal hakikat berikut ini, manusia akan selamat darinya. | ||
Yaitu dari sisi makna ismi segala sesuatu bersifat fana, baru, dan tiada. Namun dilihat dari makna harfi dan kedudukannya sebagai cermin yang memantulkan nama-nama Sang Pencipta serta dilihat dari tugas dan fungsinya, ia menjadi saksi dan yang disaksikan, serta menjadi pengada dan yang diadakan. | |||
Nah dalam hal ini, cara menyucikannya adalah dengan me- ngetahui bahwa ketiadaannya terletak pada keberadaannya, dan ke- beradaannya terletak pada ketiadaannya. Maksudnya, bila melihat dirinya dan memberikan sifat ada pada wujudnya, berarti ia tenggelam dalam gelap ketiadaan seluas jagat raya. Yaitu ketika ia lalai terhadap Dzat yang menghadirkannya, Allah, dan bersandar pada wujudnya sendiri, maka ia melihat dirinya sendirian tenggelam dalam gelapnya perpisahan dan ketiadaan yang tak bertepi laksana kunang-kunang dalam cahayanya yang redup di gelap malam yang pekat. Akan tetapi, ketika ia meninggalkan sikap ego, ia akan melihat dirinya sebagai sesuatu yang tiada. Ia hanya cermin yang memantulkan manifestasi Penciptanya yang hakiki. Dengan begitu, ia mendapatkan wujud tak bertepi dan meraih wujud seluruh makhluk.Ya, siapa yang menemukan Allah, maka ia menemukan segala sesuatu. Sebab, seluruh entitas hanyalah manifestasi dari nama-nama-Nya yang mulia. | |||
< | <span id="HÂTİME"></span> | ||
== | ==Penutup== | ||
Jalan yang terdiri dari empat langkah ini: ketidakberdayaan, kefakiran, kasih sayang, dan tafakkur telah dijelaskan pada dua pu- luh enam kalimat dari kitab al-Kalimât yang membahas tentang ilmu hakikat, hakikat syariat, dan hikmah al-Qur’an al-Karim. Di sini kami hanya ingin memberikan penjelasan singkat tentang beberapa poin se- bagai berikut: | |||
Jalan ini merupakan jalan yang paling singkat. Pasalnya, ia hanya terdiri dari empat langkah. Bila ketidakberdayaan tertanam dalam diri, ia akan segera diserahkan kepada al-Qadîr Yang Mahaagung. Namun bila kerinduan yang menguasai diri—sebagai jalan yang paling pintas menuju Allah—ia akan bergantung pada kekasih majasi. Ketika ia melihatnya pergi, barulah sampai pada kekasih hakiki. | |||
Kemudian jalan ini juga paling selamat. Karena, padanya diri tidak memiliki syatahât atau klaim di luar kemampuan. Sebab, yang dilihat seseorang pada dirinya hanya ketidakberdayaan, kefakiran, dan ketidaksempurnaan, sehingga tidak melampaui batas. | |||
Lalu jalan ini juga bersifat luas dan besar. Pasalnya, ia tidak perlu menafikan entitas dan tidak perlu memenjarakannya di mana penga- nut wahdatul wujud menganggap entitas tiada. Mereka berkata, “Yang ada hanyalah Dia,” untuk mencapai ketenangan dan kehadiran hati. Begitu pula dengan penganut wahdatusy syuhûd. Mereka memenja- rakan entitas dalam penjara kealpaan. Mereka berkata, “Yang terlihat hanyalah Dia,” untuk sampai kepada ketenangan kalbu.Adapun al-Qur’an, dengan sangat jelas, menjauhkan entitas dan makhluk dari penafian serta melepaskan ikatannya dari penjara. Jalan yang sesuai dengan pendekatan al-Qur’an ini melihat alam sebagai sesuatu yang tunduk pada Penciptanya Yang Mahaagung sekaligus berkhidmah untuk-Nya. Ia merupakan wujud manifestasi Asmaul Husna laksana cermin yang memantulkan manifestasi tadi. Artinya, ia dipergunakan dengan makna harfi sehingga tidak berkhidmah dan tunduk dengan sendirinya. Dengan demikian, manusia akan selamat dari kelalaian dan kalbunya selalu hadir sesuai dengan pendekatan al- Qur’an al-Karim. Ia pun menemukan jalan menuju Allah dari segala arah. | |||
'''Kesimpulan''' | |||
''' | Jalan ini tidak melihat entitas dengan makna ismi. Yakni, tidak melihatnya sebagai pesuruh yang tunduk dengan sendirinya untuk dirinya. Namun, ia membebaskan entitas dari semua itu, dan mempersandangkan untuknya sebuah tugas, serta melihatnya sebagai pesuruh yang tunduk kepada Allah. | ||
------ | ------ | ||
<center> [[Yirmi Beşinci Söz]] ⇐ | [[Sözler]] | ⇒ [[Yirmi Yedinci Söz]] </center> | <center> [[Yirmi Beşinci Söz/id|KALIMAT KEDUA PULUH LIMA]] ⇐ | [[Sözler/id|Al-Kalimât]] | ⇒ [[Yirmi Yedinci Söz/id|KALIMAT KEDUA PULUH TUJUH]] </center> | ||
------ | ------ | ||
düzenleme