KALIMAT KETIGA

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    13.27, 4 Kasım 2024 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 177639 numaralı sürüm ("------ <center> KALIMAT KEDUA ⇐ | Al-Kalimât | ⇒ KALIMAT KEEMPAT </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    (fark) ← Önceki sürüm | Güncel sürüm (fark) | Sonraki sürüm → (fark)

    بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

    “Wahai manusia, beribadahlah!” (QS. al-Baqarah [2]: 21).

    Jika engkau ingin memahami bagaimana ibadah merupakan se- buah perniagaan agung dan kebahagiaan terbesar, serta bagaimana sikap fasik dan bodoh merupakan kerugian dan kebinasaan yang nya- ta, maka perhatikan cerita imajiner berikut ini:

    Pada suatu hari, dua orang prajurit menerima perintah untuk pergi ke sebuah kota yang jauh. Keduanya berjalan bersama-sama sampai di persimpangan jalan. Di sana keduanya bertemu dengan seo- rang lelaki yang berkata kepada mereka: “Jalan sebelah kanan ini, di samping tidak mengandung baha- ya, sembilan dari sepuluh musafir yang melaluinya akan menemukan kelapangan, ketenangan dan keberuntungan. Sementara jalan sebelah kiri, di samping tidak bermanfaat, sembilan dari sepuluh para pelin- tasnya mengalami kerugian besar.” Perlu diketahui bahwa kedua jalan tersebut memiliki jarak yang sama. Yang membedakan hanya satu, yaitu pejalan yang melalui sisi kiri—yang tidak mau terikat dengan peraturan dan pemerintah—berjalan tanpa membawa tas barang dan senjata sehingga secara lahiriah ia merasa ringan dan nyaman. Seba- liknya, pejalan yang melalui sisi kanan yang terikat dengan status- nya sebagai prajurit harus membawa tas lengkap berisi perlengkapan makanan seberat 4 kg dan senjata negara seberat 2 kg di mana dengan itu dapat mengalahkan semua musuh.

    Setelah kedua prajurit itu mendengar ucapan lelaki pemberi pe- tunjuk tadi, orang yang bernasib baik melewati jalan sebelah kanan. Ia berjalan seraya memikul sejumlah beban, namun hatinya tenang dan jiwanya bebas dari segala ketakutan.

    Adapun orang yang berna- sib buruk enggan menjadi prajurit dan tidak mau terikat peraturan. Dia meniti jalan sebelah kiri. Meski fisiknya bebas dari beban satu ons, namun kalbunya di bawah tekanan beban ribuan kuintal derita dan jiwanya tersiksa oleh berbagai kecemasan yang tak terhingga. Ia melin- tasi jalannya dengan terus meminta tolong kepada setiap orang, serta cemas terhadap segala hal dan takut terhadap semua kejadian. Ketika sampai di tempat tujuan ia pun mendapatkan hukuman sebagai bala- san atas sikapnya yang lari dan membangkang.

    Adapun pejalan yang melintasi jalan sebelah kanan, yang patuh terhadap aturan keprajuritan serta menjaga tas dan senjatanya, ber- jalan dalam kondisi lapang dan jiwanya tenang tanpa harus meng- harap budi baik orang atau takut kepada siapa pun. Ketika sampai di kota tujuan, di sana ia mendapatkan upah yang layak untuknya sebagai prajurit yang telah menyelesaikan tugas dengan baik.

    Wahai orang yang ceroboh dan liar! Ketahuilah bahwa salah satu dari kedua musafir di atas adalah mereka yang taat terhadap hukum Ilahi, sementara yang lain ialah para pembangkang yang menuruti hawa nafsu. Adapun jalan tersebut adalah jalan kehidupan yang be- rawal dari alam arwah melintasi alam kubur menuju alam akhirat.

    Tas dan senjatanya berupa ibadah dan takwa. Betapa pun iba- dah tampak berat, namun sebenarnya ia berisi kelapangan yang tak terlukiskan.

    Hal itu karena seorang abid dalam salatnya mengucap lâ ilâha illallâh. Artinya, tiada pencipta dan Pemberi Rezeki selain Allah. Manfaat dan bahaya berada di tangan-Nya. Dia Mahabijak yang tidak berbuat sia-sia. Dia juga Maha Penyayang yang kasih sayang dan ke- baikan-Nya demikian berlimpah. Orang mukmin yakin dengan apa yang ia ucapkan. Karena itu, dalam segala hal ia menemukan pintu yang terbuka menuju perbendaharaan rahmat Ilahi sehingga ia ketuk pintu tersebut dengan doa.

    Ia pun melihat segala sesuatu tunduk atas perintah-Nya, sehingga ia bersimpuh di hadapan-Nya dengan sikap merendah. Ia membentengi diri di hadapan semua musibah dengan sikap tawakkal sehingga imannya membuat dirinya merasa aman dan tenang.

    Ya, sumber keberanian serta seluruh kebaikan hakiki adalah iman dan ubudiyah (penghambaan). Sebaliknya, sumber segala keta- kutan serta seluruh keburukan adalah kesesatan dan kebodohan. An- daikan bola bumi menjadi bom yang bisa meledak, barangkali ia tidak akan membuat takut sang abid yang memiliki kalbu bersinar. Bahkan, bisa jadi ia melihatnya sebagai salah satu tanda kekuasaan Tuhan yang luar biasa sehingga ia merasa kagum dan senang. Sebaliknya, seorang fasik yang memiliki kalbu mati, meski ia seorang filsuf yang diang- gap cerdas, apabila melihat meteor di angkasa ia akan merasa takut dan cemas seraya bertanya-tanya, “Mungkinkah bintang ini menabrak bumi kita?” Ia terhempas dalam lembah ilusi. Sebagai contoh, Ameri- ka pernah ketakutan dengan keberadaan meteor yang terlihat di langit sehingga banyak penduduk yang meninggalkan tempat tinggal mereka di malam hari.

    Ya, meski kebutuhan manusia terhadap segala sesuatu tak ter- hingga, namun modalnya nyaris tidak ada. Meski ia rentan terhadap musibah yang tak bertepi, namun kemampuannya tidak berarti. Pa- salnya, kadar modal dan kemampuannya sejauh jangkauan tangan, se- mentara impian dan keinginannya, serta penderitaan dan cobaannya sangat luas sejauh mata memandang, bahkan sejauh jangkaun kha- yalan.Karena itu, jiwa manusia yang lemah dan tak berdaya benar-be- nar membutuhkan berbagai hakikat ibadah dan tawakkal, serta tauhid dan sikap pasrah. Keuntungan, kebahagiaan dan nikmat yang didapat darinya juga sangat besar. Siapa yang penglihatannya masih sehat, pas- ti bisa melihat dan menjangkaunya.

    Pasalnya, seperti diketahui bahwa jalan yang tidak berbahaya tentu lebih dipilih daripada jalan yang ber- bahaya meski kemungkinan manfaat yang ada padanya satu banding sepuluh. Terlebih persoalan kita ini, yakni jalan ibadah, di samping ti- dak berbahaya dan kemungkinan manfaatnya sembilan puluh persen, ia juga memberikan kepada kita perbendaharaan kebahagiaan abadi. Sebaliknya, jalan kefasikan dan kebodohan—seperti pengakuan si fasik itu sendiri—di samping tidak memberi manfaat, ia juga menjadi sebab datangnya derita dan kebinasaan abadi disertai keyakinan sembilan puluh sembilan persen mengandung kerugian dan tidak adanya kebaikan padanya. Hal ini adalah sesuatu yang pasti berdasarkan ke- saksian para pakar di mana sampai pada tingkat mutawatir dan ijmak. Ia adalah sebuah keyakinan yang kuat sesuai dengan informasi dari kalangan yang telah mencapai tingkatan kasyaf dan dzauq.

    Dari sini dapat disimpulkan bahwa sebagaimana akhirat, keba- hagiaan dunia juga terletak pada ibadah dan seberapa taat kita menja- di hamba Allah.Karena itu, kita harus senantiasa mengucap alhamdulillah atas ketaatan dan taufik yang Allah berikan. Kita juga wajib bersyukur ke- pada-Nya karena kita menjadi muslim.


    KALIMAT KEDUA ⇐ | Al-Kalimât | ⇒ KALIMAT KEEMPAT