KALIMAT KETUJUH BELAS
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
“Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhi- asan baginya, agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. Dan sesungguhnya kami benar-benar akan menjadikan pula apa yang di atasnya menjadi tanah rata dan tandus.”(QS. al-Kahfi [18]: 7-8).“Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau...”(QS. al-An’âm [6]: 32).
Kalimat Ini Berisi Penjelasan tentang Dua Kedudukan Tinggi dan Sebuah Lampiran yang Cemerlang.
Tuhan Pencipta Yang Maha Penyayang, Pemberi Rezeki Yang Maha Pemurah, dan Pencipta Yang Mahabijak telah menjadikan dunia ini dalam gambaran hari raya yang bahagia, pesta besar, serta festi- val alam roh dan ruhaniyyûn. Dia menghiasnya dengan sejumlah je- jak indah nama-nama-Nya. Dia membungkus setiap rohbaik yang kecil maupun besar—dengan jasad sesuai dengan bentuk dan ukurannya. Lalu Dia memberikan padanya sejumlah indra dan perasaan, serta semua perangkat yang bisa digunakan untuk mereguk beragam karunia dan nikmat yang jumlahnya tak terhingga, yang terhampar di hari raya indah itu dan terpampang di festival besar tersebut. Allah memberikan wujud fisik materi kepada setiap roh seraya mengirimnya ke hari raya dan festival itu secara sekaligus.
Kemudian Dia membagi festival yang luas dan megah tadi dari sisi waktu dan tempat kepada sejumlah masa, tahun, dan musim. Bah- kan kepada sejumlah hari dan bagian-bagian hari. Dia menjadikan setiap masa, tahun, musim, hari, dan bagian dari hari sebagai festival mulia, hari raya yang indah, parade umum bagi sekelompok makh- luk-Nya yang memiliki roh dan ciptaan-Nya yang berupa tumbuhan.
Dia menghadirkan sejumlah festival secara bergantian bagi berbagai kelompok ciptaan-Nya yang sangat kecil terutama muka bumi, ter- lebih lagi di musim semi dan musim panas hingga hari raya tersebut menjadi hari raya yang sangat indah dan menarik perhatian makh- luk ruhaniyyûn yang terdapat di alam atas, malaikat, serta penduduk langit untuk menyaksikannya. Dia juga menarik perhatian kaum yang memiliki akal pikiran untuk merefleksikannya sampai pada tingkat di mana akal tak mampu untuk menggambarkannya.
Akan tetapi, jamuan Ilahi dan hari raya rabbani ini berikut ber- bagai manifestasi nama ar-Rahmân (Yang Maha Pengasih) dan al- Muhyî (Yang Maha Menghidupkan) dikelilingi oleh perpisahan dan kematian di mana hal itu menunjukkan nama Allah, al-Qahhâr (Yang Maha Memaksa) dan al-Mumît (Yang Maha Mematikan). Barangkali hal ini secara lahiriah tidak sejalan dengan rahmat-Nya yang menye- luruh yang disebutkan dalam firman-Nya (وَسِعَت۟ رَح۟مَتٖى كُلَّ شَى۟ءٍ ) ‘Rah- mat-Ku meliputi segala sesuatu.’ (QS. al-A’râf [7]: 156). Namun sebe- narnya terdapat sejumlah sisi yang menunjukkan bahwa hal itu sangat sejalan dengan rahmat Ilahi. Kami akan menjelaskan satu sisi saja darinya, yaitu sebagai berikut:
Setelah parade rabbani untuk setiap kelompok selesai diperlihat- kan dan buah yang dituju dari pagelaran tersebut telah diraih, maka Tuhan Sang Pencipta Yang Maha Penyayang dan Pemurah menga- nugerahkan kepada setiap kelompok tersebut keinginan untuk istira- hat dan kecenderungan untuk berpindah ke alam lain. Dia juga membuat mereka jenuh dengan dunia lewat beragam bentuk kebosanan sebagai wujud rahmat bagi mereka. Ketika mereka dibebaskan dari be- ban hidup dan dilepaskan dari tugas yang ada, Allah menanamkan keinginan yang kuat dan kerinduan dalam jiwa mereka untuk kembali ke tanah air mereka yang hakiki.
Sebagaimana Allah memberikan tingkatan syahid bagi seorang prajurit biasa yang mati di saat menunaikan pengabdian dan mening- gal dalam tugas jihad,
sebagaimana Dia memberikan kepada kambing kurban sebuah wujud materi di akhirat seraya membalasnya dengan menjadikannya sebagai tunggangan laksana burak bagi pemiliknya untuk melewati shirath al-mustaqim,(*[1])maka tidak aneh jika Tuhan Yang Maha Penyayang dan Pemurah memberikan kepada makhluk yang memiliki roh sebuah balasan ruhiyah yang sesuai dengannya serta upah maknawi yang sepadan dengan potensi mereka yang ber- sumber dari khazanah rahmat-Nya yang luas. Hal itu setelah mere- ka mengalami berbagai kesulitan, mati di saat menunaikan tugas fitri Ilahi yang khusus terkait dengan mereka, serta bersabar menghadapi sejumlah hal dalam mematuhi perintah-Nya, sehingga mereka tidak merasa sakit saat meninggalkan dunia. Sebaliknya, mereka malah rida dan mendapat rida-Nya.
Hanya Allah yang mengetahui persoalan gaib.
Manusia yang merupakan makhluk termulia dan paling men- dapat manfaat dari hari raya tersebut—dari segi kuantitas dan kuali- tas—dengan rahmat Allah diberi kondisi rindu secara ruhiyah yang membuatnya benci pada dunia tempat ia diuji agar bisa menyeberang ke akhirat dengan selamat. Manusia yang rasa kemanusiaannya tidak tenggelam dalam kesesatan dapat mengambil manfaat dari kondisi ruhiyah tersebut sehingga ia meninggalkan dunia dengan kalbu yang tenteram.Di sini kami akan menjelaskan lima sisi atau aspek, sebagai con- toh, yang bisa melahirkan kondisi ruhiyah di atas.
Pertama, dengan datangnya masa tua, Dia memperlihatkan ke- pada manusia stempel kefanaan dan kebinasaan atas segala sesuatu yang bersifat duniawi sekaligus memberikan sejumlah esensinya yang pahit, sehingga hal itu membuat manusia lari dari dunia dan mencari sesuatu yang abadi dan kekal sebagai ganti darinya.
Kedua, Allah membuat manusia merasa rindu dan ingin menuju ke tempat perginya sembilan puluh sembilan persen dari orang yang ia cintai, yang memiliki ikatan dengan mereka, serta yang bertempat di alam lain. Kecintaan kuat itu mendorong manusia untuk menyambut kematian dan ajal dengan gembira dan bahagia.
Ketiga, Allah mendorong manusia untuk menyadari kelema- han dan ketidakberdayaannya yang tak terhingga, baik karena beban hidup, tugas kehidupan, atau hal yang lain. Hal itu melahirkan keingi- nan kuat pada dirinya untuk menuju tempat istirahat dan kerinduan yang tulus untuk pergi ke negeri lain.
Keempat, Allah menjelaskan kepada manusia yang beri- man—lewat cahaya iman—bahwa kematian bukan ketiadaan, tetapi pergantian tempat; kubur bukan lubang sumur yang gelap, tetapi pintu menuju alam cahaya; dunia berikut semua kesenangannya sama se- perti penjara yang sempit jika dibandingkan dengan akhirat yang luas dan indah. Karena itu, keluar dari penjara dunia menuju taman surga ukhrawi, serta berpindah dari kehidupan materi yang keruh menu- ju alam tempat istirahat dan ketenteraman, berlepas diri dari kebisi- ngan makhluk menuju hadirat Ilahi yang tenang dan menyenangkan merupakan bentuk wisata, bahkan kebahagiaan yang diimpikan meski dengan seribu satu pengorbanan.
Kelima, Allah memberikan pemahaman kepada orang yang mendengar al-Qur’an tentang ilmu hakikat yang berada di dalamnya. Lewat cahaya hakikat, Dia mengajarkan kepadanya substansi dunia se- hingga sikap senang dan cenderung kepada dunia adalah sesuatu yang tak berguna. Dengan kata lain, Dia berkata dan menegaskan padanya:
Dunia merupakan kitab Shamadani. Huruf-huruf dan kalimat- nya tidak mewakili dan mencerminkan dirinya. Namun ia menun- jukkan Dzat Penciptanya berikut sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya yang mulia. Karena itu, pahami dan ambillah maknanya. Tinggalkan ukiran dan tulisannya.
Dunia merupakan ladang akhirat. Tanami, ambil, dan jagalah buahnya. Abaikan semua kotorannya.
Dunia merupakan tempat berkumpulnya cermin secara bergi- lir. Kenalilah Dzat yang tampak di dalamnya. Lihat cahaya-Nya dan pahami makna nama-nama-Nya yang terwujud padanya. Cintai kan- dungannya dan putuskan hubunganmu dengan potongan kacanya yang sewaktu-waktu dapat pecah dan lenyap.
Dunia merupakan tempat bisnis yang berjalan. Lakukanlah jual beli. Jangan membuntuti berbagai rombongan yang melarikan diri darimu dan tidak menghargaimu agar engkau tidak penat.
Dunia merupakan tempat rekreasi sementara. Oleh karena itu, arahkan penglihatanmu kepadanya untuk mengambil pelajaran. Cermati wajah indah yang tersembunyi di baliknya di mana ia mengarah kepada Dzat Yang Mahaindah dan abadi. Berpalinglah dari wajah buruk yang mengarah kepada hawa nafsu. Jangan menangis seperti anak kecil yang tertipu ketika tirai yang memperlihatkan pemandangan in- dah terurai.
Dunia merupakan tempat jamuan bagi para musafir. Oleh karena itu, makan dan minumlah dengan izin Sang Pemilik jamuan. Ungkap- kan rasa syukur pada-Nya dan jangan bergerak kecuali sesuai dengan perintah-Nya. Pergilah darinya tanpa menoleh ke belakang. Janganlah engkau sibuk dengan berbagai urusan yang tidak berguna. Jangan ce- burkan diri dengan berbagai urusannya yang segera lenyap.Demikianlah, dengan sejumlah hakikat nyata semacam itu, Allah meringankan begitu banyak luka perpisahan dengan dunia yang dirasakan oleh manusia dengan memperlihatkan rahasia di da- lam dunia. Bahkan Dia membuatnya disukai oleh mereka yang terjaga dan sadar lewat sejumlah rahasia hakikat dunia yang Dia perlihatkan. Perpisahan tersebut merupakan salah satu wujud rahmat-Nya yang luas dalam segala hal dan keadaan.
Al-Qur’an al-Karim menjelaskan kelima sisi yang ada. Ayat-ayatnya juga menunjukkan kepada sejum- lah sisi khusus lainnya.
Sungguh malang orang yang tidak memiliki bagian dari kelima sisi di atas.
KEDUDUKAN KEDUA
Mengeluh adalah Musibah(*[2])
Tidak usah meratap wahai yang malang, dan bertawakkallah kepada Allah dalam menghadapi cobaan yang menimpa.
Mengeluh adalah musibah, bahkan melebihi musibah dan merupakan kesalahan besar.
Jika engkau mengetahui Dzat yang mengujimu, maka musibah akan menjadi karunia dan kebahagiaan.
Tidak usah mengeluh dan banyaklah bersyukur. Bunga tersenyum melihat rasa senang sang kekasih, burung bulbul.
Jika tidak menemukan Allah, duniamu menjadi petaka dan derita, lenyap dan fana, serta sia-sia.
Mengapa engkau mengeluhkan musibah yang kecil, padahal engkau terbebani dengan berbagai musibah seluas dunia. Maka bertawakallah.
Tersenyumlah dengan sikap tawakal dalam menghadapi musibah agar musibah itu pun tersenyum.
Setiap kali tersenyum, ia akan mengecil hingga akhirnya lenyap Wahai yang tertipu,
ketahuilah bahwa kebahagiaan di dunia ini adalah dengan meninggalkannya.
Jika engkau beriman, itu sudah cukup. Jika engkau membelakangi dunia, ia akan menghampirimu.
Jika engkau bangga dengan dirimu, itu merupakan sebuah kebina- saan yang nyata. Apa pun yang engkau kerjakan segalanya akan menjadi musuh.
Karena itu, ia harus ditinggalkan dalam dua kondisi tersebut.
Meninggalkannya dalam arti ia merupakan milik Allah yang dilihat dengan izin dan atas nama-Nya.
Jika engkau mencari bisnis yang menguntukan, tukarlah usia yang fana dengan usia yang abadi.
Jika engkau menuruti keinginan dirimu, ia akan sirna dan lenyap.
Jika engkau menatap cakrawala, stempel fana ada padanya.
Kesenangan di pasar ini paslu sehingga tidak layak dibeli Karenanya tinggalkan ia!
Sebab yang asli telah disiapkan di baliknya.
Buah dari Pohon Murbei Hitam
Di atas pohon murbei hitam yang penuh berkah, Said Lama menuturkan sejumlah hakikat berikut ini lewat lisan Said Baru
Mitra bicaraku bukan Ziya Pasya, namun mereka yang tertipu dengan Eropa.
Yang berbicara bukan diriku, namun hatiku yang merupakan murid al-Qur’an.
Kalimat di atas merupakan hakikat. Jangan bingung! Jangan sampai melampaui batas!
Jangan condong kepada pemikiran asing. Ia adalah kesesatan yang akan berakhir dengan penyesalan.
Tidakkah engkau melihat orang yang paling pintar dan genius selalu berkata dengan penuh kebingungan:
Oh,kepada siapa aku mengadu?Aku bingung.
Sementara tanpa ragu aku berkata dengan dipandu al-Qur’an,
“Aku mengadu kepada-Nya dan tidak bingung seperti dirimu.”
Aku memohon kebenaran kepada Dzat Yang Mahabenar, tanpa mele- wati batas sepertimu.
Aku berdoa dari bumi menuju langit dan tidak akan lari sepertimu.
Dalam al-Qur’an, seluruh dakwah berasal dari cahaya menuju cahaya. Aku takkan berpaling sepertimu.
Dalam al-Qur’an terdapat hikmah yang benar yang kubuktikan. Aku tidak akan condong kepada filsafat yang bertentangan dengan al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an terdapat inti berbagai hakikat. Kuterima ia dengan sepenuh jiwa dan takkan kujual sepertimu.
Perjalananku dari makhluk menuju al-Haq tanpa menyimpang sepertimu.
Aku terbang di atas jalan berduri tanpa mau menginjaknya seper- timu.
Syukurku naik menuju langit tanpa membangkang sepertimu.
Kulihat kematian dan ajal sebagai sahabat, tanpa takut sepertimu.
Aku masuk ke dalam kubur seraya tersenyum tanpa rasa cemas sepertimu.
Aku tidak melihatnya sebagai mulut monster dan ambang ketiadaan.
Namun ia adalah tempat perjumpaan dengan para kekasih sehingga tidak kubenci. Aku tidak risau dengannya dan tidak mengkhawatirkannya.
Ia pintu rahmat, pintu cahaya, dan pintu kebenaran. Aku tidak bosan denganya dan tidak meninggalkannya.
Aku mengetuknya dengan nama Allah, tanpa menoleh dan tanpa rasa cemas.
Aku akan tidur dengan tenang seraya mengucapkan alhamdulillah tanpa merasa sendirian.
Aku akan bangkit di atas gema suara Israfil di fajar kebangkitan de- ngan berkata, “Allahu Akbar.” Aku tidak takut pada mahsyar. Dan tidak akan lari dari masjid terbesar.
Aku tidak putus asa berkat karunia Allah, cahaya al-Qur’an, dan limpahan iman.
Aku berusaha terbang menuju naungan arasy ar-Rahman. Dengan izin Allah, aku tidak akan tersesat sepertimu.
Munajat
هٰذِهِ ال۟مُنَاجَاةُ تَخَطَّرَت۟ فِى ال۟قَل۟بِ هٰكَذَا بِال۟بَيَانِ ال۟فَارِسٖى
Munajat ini ditulis, sebagaimana terlintas di dalam kalbu, dalam bahasa Persia. Ia diterbitkan sebagai bagian dari risalah “Hubâb min Ummân al-Qur’an” (Buih dari lautan al-Qur’an).
يَارَب۟ بَشَش۟ جِهَت۟ نَظَر۟ مٖيكَر۟دَم۟ دَر۟دِ خُود۟رَا دَر۟مَان۟ نَمٖى دٖيدَم۟
“Wahai Tuhan, tatapanku tertuju ke enam arah dengan harapan bisa menemukan obat dari penyakitku. Aku bersandar kepada ke- mampuanku dengan lalai tanpa bertawakkal. Akan tetapi, sungguh malang aku tidak dapat menemukan obat bagi penyakitku, sehingga datanglah bisikan padaku, “Bukankah penyakit tersebut sudah cukup menjadi obat.”
دَر۟رَاس۟ت۟ مٖى دٖيدَم۟ كِه دٖى رُوز۟ مَزَارِ پَدَرِ مَنَس۟ت۟
Ya, dengan lalai aku melihat masa lalu di sisi kananku guna mencari pelipur lara. Namun aku melihat hari kemarin berupa kubur ayahku. Masa lalu tampak bagiku seperti kuburan besar nenek mo- yangku. Alih-alih mendapatkan pelipur lara, hal ini justru membuatku semakin pilu.
Hanya saja kemudian iman memperlihatkan kuburan besar itu sebagai majelis bersinar dan tempat berkumpulnya para kekasih.
وَ دَر۟ چَپ۟ دٖيدَم۟ كِه فَر۟دَا قَب۟رِ مَنَس۟ت۟
Kemudian aku menatap masa depan di sisi kiri. Aku tidak menemukan obat padanya. Namun esok tampak bagiku dalam bentuk kuburku. Masa depan terlihat sebagai kuburan bagi orang-orang se- pertiku dan pemakaman bagi generasi kemudian. Alih-alih mendapat pelipur lara, hal itu malah membuatku semakin pilu.
Hanya saja iman dan rasa tenteram yang dihasilkannya memper- lihatkan kuburan besar itu sebagai undangan kasih sayang Tuhan di istana kebahagiaan yang indah.
وَ اٖيم۟رُوز۟ تَابُوتِ جِس۟مِ پُر۟ اِض۟طِرَابِ مَنَس۟ت۟
Karena sisi kiri tidak berguna, aku pun melihat ke hari ini. Ternyata ia seperti keranda yang membawa jenazah tubuhku yang be- rada dalam kondisi antara mati dan hidup.
Hanya saja iman memperlihatkan keranda itu sebagai tempat bisnis dan jamuan yang mewah.
بَر۟ سَرِ عُم۟ر۟ جَنَازَۀِ مَن۟ اٖيس۟تَادَه اَس۟ت۟
Maka, dari sisi ini aku tidak menemukan obat. Kuangkat kepalaku untuk melihat ke puncak pohon usiaku. Kutatap betapa jenazahku merupakan buah satu-satunya dari pohon tersebut. Ia se- dang menantiku di sana.
Hanya saja iman kemudian memperlihatkan bahwa buah terse- but bukanlah jenazah. Namun ia merupakan ruhku yang menuju ke- hidupan abadi dan menantikan kebahagiaan abadi dengan melepas sangkarnya yang lama guna melayang di antara bintang-gemintang.
دَر۟ قَدَم۟ اٰبِ خَاكِ خِل۟قَتِ مَن۟ وَ خَاكِس۟تَرِ عِظَامِ مَنَس۟ت۟
Aku pun berpaling dari sisi tersebut. Kutundukkan kepala- ku. Kulihat tulangku yang telah rusak dan hancur bercampur dengan tanah awal penciptaanku. Ia diinjak oleh berbagai kaki. Sisi ini mem- buatku semakin sakit dan sama sekali tidak membantu.
Hanya saja iman memperlihatkan tanah tersebut sebagai pintu menuju rahmat Tuhan dan tirai ruang surga.
چُون۟ دَر۟ پَس۟ مٖينِگَرَم۟ بٖينَم۟ اٖين۟ دُن۟يَاءِ بٖى بُن۟يَاد۟ هٖيچ۟ دَر۟ هٖيچَس۟ت۟
Kupalingkan pandanganku dari sisi itu menoleh ke be- lakang. Kulihat dunia yang fana bergulir menuju lembah kesia-siaan dan gelapnya ketiadaan. Alih-alih menjadi pelipur lara, sisi ini justru menghembuskan racun rasa cemas dan takut ke dalam penyakitku.
Hanya saja iman memperlihatkan bahwa dunia yang bergulir di kegelapan itu tidak lain merupakan ketentuan Ilahi dan lembaran tulisan-Nya yang menyudahi tugasnya, memberikan maknanya, serta meninggalkan buahnya di alam wujud sebagai ganti darinya.
وَ دَر۟ پٖيش۟ اَن۟دَازَۀِ نَظَر۟ مٖيكُنَم۟ دَرِ قَبِر۟ كُشَادَه اَس۟ت۟
وَ رَاهِ اَبَد۟ بَدُورِ دِرَاز۟ بَدٖيدَارَس۟ت۟
Ketika pada sisi ini aku juga tidak menemukan sebuah ke- baikan, maka kuarahkan pandangan ke depan. Kulihat pintu kubur terbuka di awal perjalananku. Di belakangnya tampak dengan jelas jalan yang membentang menuju keabadian.
Adapun iman, ia menjadikan pintu kubur tersebut sebagai pin- tu menuju alam cahaya, sementara jalan tadi adalah jalan menuju ke- bahagiaan yang kekal. Maka, iman benar-benar menjadi balsam yang bisa menyembuhkan penyakitku.
مَرَا جُز۟ جُز۟ءِ اِخ۟تِيَارٖى چٖيزٖى نٖيس۟ت۟ دَر۟ دَس۟ت۟
Jadi, pada keenam sisi di atas aku tidak menemukan satu pun pelipur lara. Yang kudapatkan hanya rasa resah dan gelisah. Pada ke- semuanya aku tidak mendapatkan sandaran kecuali sebagian kecil dari ikhtiarku yang parsial.
Adapun iman, ia memberikan sebuah instrumen kepadaku agar aku bisa bersandar kepada qudrah-Nya yang Mahaagung sebagai ganti dari ikhtiar ini.
كِه اُو جُز۟ء۟ هَم۟ عَاجِز۟ هَم۟ كُوتَاهُ و هَم۟ كَم۟ عَيَارَس۟ت۟
Ikhtiar parsialku yang merupakan senjata manusia demikian lemah dan terbatas. Ia tidak bisa mencipta dan hanya bisa berikhtiar.
Hanya saja iman menjadikan ikhtiar parsial tersebut memadai untuk segala hal karena digunakan di jalan Allah. Ia laksana prajurit yang ikut dalam pasukan negara sehingga dapat menunaikan ribuan kali lipat dari kekuatannya.
نَه دَر۟ مَاضٖى مَجَالِ حُلُول۟ نَه دَر۟ مُس۟تَق۟بَل۟ مَدَارِ نُفُوذ۟ اَس۟ت۟
Karena ikhtiarku tak mampu menembus masa lalu dan tak ber- pengaruh bagi masa depan, maka ia tak berguna bagi harapan dan ke- pedihanku di masa lalu dan masa mendatang.
Imanlah yang memegang kendali ikhtiarku tersebut dari fisik hewani guna diserahkan ke kalbu dan roh. Karena itu, ia bisa menu- ju masa lalu dan menembus masa depan, di mana wilayah kehidupan kalbu dan ruh sangat luas.
مَي۟دَانِ اُو اٖين۟ زَمَانِ حَال۟ و يَك۟ اٰنِ سَيَّالَس۟ت۟
Wilayah ikhtiarku berupa masa kini yang terbatas. Ia temporer dan pasti berakhir.
بَا اٖين۟ هَمَه فَق۟ر۟هَا وَ ضَع۟ف۟هَا قَلَمِ قُد۟رَتِ تُو اٰشِكَارَه نُوِش۟تَه اَس۟ت۟
دَر۟ فِط۟رَتِ مَا مَي۟لِ اَبَد۟ وَ اَمَلِ سَر۟مَد۟
Di samping seluruh kebutuhanku, kelemahanku, kepapaanku, dan ketidakberdayaanku, aku diserang oleh rasa cemas yang bersum- ber dari enam arah. Sementara harapan yang membentang menuju ke- abadian masuk ke dalam fitrahku.
بَل۟كِه هَر۟ چِه هَس۟ت۟ ، هَس۟ت۟
Dalam fitrahku juga tertanam ber- bagai keinginan yang tertulis secara jelas dengan pena qudrah. Bahkan model dari seluruh yang ada di dunia terdapat di dalam fitrahku. Aku terpaut dengan mereka. Aku berusaha untuknya dan terdorong untuk menggapainya.
دَائِرَۀِ اِح۟تِيَاج۟ مَانَن۟دِ دَائِرَۀِ مَدِّ نَظَر۟ بُزُر۟گٖى دَارَس۟ت۟
Wilayah kebutuhan sangat luas seluas mata memandang, bah- kan seluas jangkauan khayalan.
خَيَال۟ كُدَام۟ رَسَد۟ اِح۟تِيَاج۟ نٖيز۟ رَسَد۟
دَر۟ دَس۟ت۟ هَر۟چِه نٖيس۟ت۟ دَر۟ اِح۟تِيَاج۟ هَس۟ت۟
Bahkan semua yang tidak dapat diraih oleh tangan termasuk dalam kebutuhan, sementara yang tidak terjang- kau oleh tangan sungguh tidak terbatas. Sedangkan wilayah kemam- puan sangat terbatas sebatas jangkauan tangan.
دَائِرَۀِ اِق۟تِدَار۟ هَم۟چُو دَائِرَۀِ دَس۟تِ كُوتَاه۟ كُوتَاهَس۟ت۟
Artinya kefakiran dan kebutuhanku seluas dunia, sementara modalku sangat parsial dan kecil.
پَس۟ فَق۟رُ و حَاجَاتِ مَا بَقَد۟رِ جِهَانَس۟ت۟
Kebutuhan yang seukuran alam ini di mana ia hanya bisa diraih dengan miliaran sama sekali tak bisa dibandingkan dengan ikhtiarku yang parsial.
وَ سَر۟مَايَۀِ مَا هَم۟ چُو جُز۟ءِ لَايَتَجَزَّا اَس۟ت۟
Berbagai kebutuhan tersebut tak bisa dibeli dengan harga yang sangat sedikit ini.
اٖين۟ جُز۟ء۟ كُدَام۟ وَ اٖين۟ كَائِنَاتِ حَاجَات۟ كُدَامَس۟ت۟
Ia tidak mungkin bisa diraih dengannya. Maka, harus dicari cara lain.
پَس۟ دَر۟ رَاهِ تُو اَز۟ اٖين۟ جُز۟ء۟ نٖيز۟ بَاز۟ مٖى گُذَش۟تَن۟ چَارَۀِ مَن۟ اَس۟ت۟
Cara tersebut adalah dengan melepas ikhtiar parsial tadi sekaligus menye- rahkannya kepada kehendak Ilahi. Jadi, dengan menanggalkan kekua- tan dan upaya sendiri serta memohon daya dan kekuatan Allah. De- ngan demikian, manusia berpegang pada tali tawakkal. Wahai Tuhan, karena hanya ini sarana menuju keselamatan, maka aku berlepas dari ikhtiarku yang parsial dan egoku di jalan-Mu.
تَا عِنَايَتِ تُو دَس۟ت۟گٖيرِ مَن۟ شَوَد۟ رَح۟مَتِ بٖى نِهَايَتِ تُو پَنَاهِ مَن۟ اَس۟ت۟
Hal itu agar pertolo- ngan-Mu membantu sebagai wujud rahmat-Mu terhadap kelemahan dan ketidakberdayaanku serta agar rahmat-Mu menjadi sandaranku dan agar pintunya terbuka bagiku.
اٰن۟ كَس۟ كِه بَح۟رِ بٖى نِهَايَتِ رَح۟مَت۟ يَاف۟ت۟ اَس۟ت۟
تَك۟يَه نَه كُنَد۟ بَر۟ اٖين۟ جُز۟ءِ اِخ۟تِيَارٖى كِه يَك۟ قَط۟رَه سَرَابَس۟ت۟
Ya, setiap orang yang menemukan lautan rahmat yang tak berte- pi tidak akan bersandar pada ikhtiarnya sendiri yang laksana setetes fatamorgana. Ia tidak akan menyerahkan urusannya kepadanya, tetapi kepada rahmat tersebut.
اَي۟وَاه۟ اٖين۟ زِن۟دِگَانٖى هَم۟ چُو خَابَس۟ت۟
وٖين۟ عُم۟رِ بٖى بُن۟يَاد۟ هَم۟ چُو بَادَس۟ت۟
Sungguh malang! Kami telah tertipu. Kami mengira kehidupan dunia ini abadi. Dengan pandangan semacam itu, kami telah menyia- nyiakan segalanya.Ya, kehidupan ini seperti tidur sesaat lalu lenyap seperti mimpi. Usia yang rapuh ini pergi bagaikan angin yang bertiup.
اِن۟سَان۟ بَزَوَال۟ دُن۟يَا بَفَنَا اَس۟ت۟ اٰمَال۟ بٖى بَقَا اٰلَام۟ بَبَقَا اَس۟ت۟
Manusia sombong yang membanggakan diri dan menyangka dirinya abadi ternyata akan menghilang. Ia akan segera pergi. Semen- tara dunia yang menjadi tempatnya akan menuju gelapnya ketiadaan. Berbagai harapan berlalu seperti hembusan angin dan yang tersisa ha- nya kepedihan yang tertanam di dalam jiwa.
بِيَا اَى۟ نَف۟سِ نَافَر۟جَام۟ وُجُودِ فَانِىِ خُود۟رَا فَدَا كُن۟
خَالِقِ خُود۟رَا كِه اٖين۟ هَس۟تٖى وَدٖيعَه هَس۟ت۟
Jika hakikatnya demikian. Marilah wahai diri yang merindu- kan kehidupan, yang mengharap usia panjang, yang mencintai dunia, yang menghadapi derita tak terhingga dan harapan tak terkira. Wahai diri yang malang, sadarlah! Tidakkah engkau melihat bahwa kunang- kunang yang bersandar pada cahayanya selalu berada dalam kegela- pan malam yang pekat. Sementara lebah yang tidak bertumpu pada dirinya mendapatkan cahaya siang. Ia bisa melihat sejumlah bunga yang merupakan temannya berkilau dengan cahaya matahari. Begitu pula dengan dirimu. Jika engkau bersandar pada eksistensi, diri, dan egomu, engkau akan seperti kunang-kunang. Akan tetapi, jika engkau mengorbankan wujudmu yang fana di jalan Penciptamu yang telah menganugerahkannya padamu, engkau akan menjadi seperti lebah. Engkau akan menemukan cahaya wujud yang tak terhingga. Maka, korbankan dirimu, sebab wujud ini merupakan titipan dan amanah yang ada padamu.
وَ مُل۟كِ اُو وَ اُو دَادَه فَنَا كُن۟ تَا بَقَا يَابَد۟
اَز۟ اٰن۟ سِرّٖى كِه ، نَف۟ىِ نَف۟ى۟ اِث۟بَات۟ اَس۟ت۟
Kemudian alam ini merupakan kerajaan-Nya. Dialah yang telah memberikannya kepadamu. Karena itu, korbankanlah ia tanpa ragu. Korbankan ia agar bisa menjadi kekal, sebab menafikan penafian me- rupakan penetapan. Artinya, jika ketiadaan ditiadakan, maka ia me- rupakan keberadaan. Jika “tiada” tidak ada, berarti hasilnya “ada”.
خُدَاىِ پُر۟كَرَم۟ خُود۟ مُل۟كِ خُود۟رَا مٖى خَرَد۟ اَز۟ تُو
بَهَاىِ بٖى كِرَان۟ دَادَه بَرَاىِ تُو نِگَاه۟ دَارَس۟ت۟
Allah membeli milik-Nya darimu lalu memberimu harganya dalam jumlah besar, yaitu surga. Ia menjaga milik-Nya itu sekaligus meninggikan nilainya. Lalu Dia akan mengembalikannya kepadamu dalam bentuk yang kekal dan sempurna. Karena itu wahai diri, cepat- lah melakukan perdagangan tersebut! Ia merupakan perdagangan yang memberikan lima keuntungan. Dengan kata lain, engkau mendapat lima keuntungan sekaligus dan selamat dari lima kerugian.
فَلَمَّٓا اَفَلَ قَالَ لَٓا اُحِبُّ ال۟اٰفِلٖينَ
لَقَد۟ اَب۟كَانٖى نَع۟ىُ ( لَٓا اُحِبُّ ال۟اٰفِلٖينَ ) مِن۟ خَلٖيلِ اللّٰهِ
“Tatkala bintang itu terbenam, ia berkata, “Saya tidak suka kepada yang terbenam.” (QS. al-An’âm [6]: 76). Ungkapan duka, “Saya tidak suka kepada yang terbenam” yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim di saat kepergian entitas telah mem- buatku menangis.
فَصَبَّت۟ عَي۟نُ قَل۟بٖى قَطَرَاتٍ بَاكِيَاتٍ مِن۟ شُئُونِ اللّٰهِ
Mata kalbuku menuangkan sejumlah tetesan. Setiap tetes membawa kesedihan dan duka yang membuatku menangis. Te- tesan itu tidak lain adalah sejumlah bait berikut yang datang ke dalam kalbu dalam bahasa Persia.
لِتَف۟سٖيرِ كَلَامٍ مِن۟ حَكٖيمٍ اَى۟ نَبِىٍّ فٖى كَلَامِ اللّٰهِ
Ia semacam penjelasan dari ucapan Khali- lullah, sang nabi yang bijak, Ibrahim , sebagaimana terkandung da- lam ayat di atas, “Saya tidak suka kepada yang terbenam.”
نَمٖى زٖيبَاس۟ت۟ اُفُول۟دَه گُم۟ شُدَن۟ مَح۟بُوب۟
Kekasih yang terbenam bukanlah kekasih yang indah. Makhluk yang fana tidak akan memiliki keindahan yang hakiki dan tidak akan disukai oleh kalbu. Sebab, kalbu yang tercipta untuk mencintai keaba- dian dan memantulkan cahaya kekekalan tidak menyenangi kefanaan dan tidak layak dengannya.
نَمٖى اَر۟زَد۟ غُرُوب۟دَه غَي۟ب۟ شُدَن۟ مَط۟لُوب۟
Permintaan yang akan segera lenyap tidak layak menjadi pautan kalbu dan tidak pantas dirisaukan. Sebab, ia tidak bisa menjadi ruju- kan amal dan tambatan harapan. Diri tidak boleh meratapinya, apalagi untuk disenangi, digandrungi, dan disembah kalbu?
نَمٖى خٰواهَم۟ فَنَادَه مَح۟و۟ شُدَن۟ مَق۟صُود۟
Tujuan yang lenyap dalam kefanaan tak kuinginkan. Aku tidak menginginkan sesuatu yang fana, sebab aku juga makhluk yang fana. Apa arti sesuatu yang fana bagiku?
نَمٖى خٰوانَم۟ زَوَال۟دَه دَف۟ن۟ شُدَن۟ مَع۟بُود۟
Sesembahan yang terkubur dalam ketiadaan tidak akan kuse- ru, kuminta, dan takkan kuberlindung padanya. Sebab, yang tidak mampu memberikan obat bagi penyakitku yang berat dan tidak dapat membalut luka abadiku, bagaimana mungkin menjadi sesembahan, sementara ia sendiri tak dapat menyelamatkan dirinya dari ketiadaan?
عَق۟ل۟ فَر۟يَاد۟ مٖى دَارَد۟ نِدَاءِ ( لَٓا اُحِبُّ ال۟اٰفِلٖينَ ) مٖى زَنَد۟ رُوحَم۟
Di hadapan entitas yang bergerak menuju fana, akal yang tertipu dengan alam lahiriah berteriak putus asa setiap kali melihat kepergian yang ia cintai. Jiwa yang berusaha mencari kekasih abadi meratap de- ngan berkata, “Saya tidak suka kepada yang terbenam.”
نَمٖى خٰواهَم۟ نَمٖى خٰوانَم۟ نَمٖى تَابَم۟ فِرَاقٖى
Tidak, aku tidak ingin dan tidak akan sanggup berpisah.
نَمٖى اَر۟زَد۟ مَرَاقَه اٖين۟ زَوَال۟ دَر۟ پَس۟ تَلَاقٖى
Pertemuan yang berakhir dengan perpisahan sangat menyakitkan. Pertemuan yang dihiasi dengan perpisahan tidak layak dicintai dan tidak pantas dirindukan. Pasalnya, sebagaimana hilangnya nikmat merupakan kepedihan, maka membayangkan kepergiannya juga me- rupakan kepedihan. Kumpulan syair para pujangga cinta serta seluruh untaian bait mereka merupakan ratapan yang bersumber dari kepedi- han akibat membayangkan perpisahan.
اَز۟ اٰن۟ دَر۟دٖى گِرٖينِ ( لَٓا اُحِبُّ ال۟اٰفِلٖينَ ) مٖى زَنَد۟ قَل۟بَم۟
Bahkan jika engkau memeras intisari syair siapa pun dari mereka, yang terlihat dan keluar hanya- lah ratapan kepedihan yang bersumber dari kondisi membayangkan kepergian.Berbagai pertemuan yang diwarnai oleh perpisahan dan kekasih simbolik yang melahirkan kepedihan memeras kalbuku hingga me- nangis seraya berkata, “Saya tidak suka kepada yang terbenam” seperti yang diungkapkan nabi Ibrahim .
دَر۟ اٖين۟ فَانٖى بَقَا خَازٖى بَقَا خٖيزَد۟ فَنَادَن۟
Jika engkau benar-benar ingin kekal, sementara engkau berada di dunia yang fana, ketahuilah bahwa:Kekekalan bersumber dari kefanaan. Maka, lenyapkan nafsu am- mârah agar bisa memperoleh kekekalan.
فَنَا شُد۟ هَم۟ فَدَا كُن۟ هَم۟ عَدَم۟ بٖين۟ كِه اَز۟ دُن۟يَا بَقَايَه رَاه۟ فَنَادَن۟
Bebaskan diri dari semua perangai buruk yang menjadi sum- ber penghambaan terhadap dunia. Lenyapkan ia dari dirimu. Berikan seluruh yang kau miliki di jalan Dzat yang kau cintai. Lihatlah kesuda- han seluruh entitas masa lalu menuju ketiadaan. Maka, jalan di dunia yang menuju keabadian hanya bisa digapai lewat kondisi fana.
فِكِر۟ فٖيزَار۟ مٖى دَارَد۟ اَنٖينِ ( لَٓا اُحِبُّ ال۟اٰفِلٖينَ ) مٖى زَنَد۟ وِج۟دَان۟
Pikiran manusia yang larut memikirkan sebab-sebab materi senantiasa berada dalam kebingungan dan kerisauan menyaksikan pentas lenyapnya kehidupan dunia. Ia pun meminta pertolongan de- ngan penuh ketundukan. Sementara hati nurani yang mengharapkan wujud hakiki mengikuti sikap nabi Ibrahim yang berkata, “Saya tidak suka kepada yang terbenam.” Ia memutus sejumlah hubungan dengan para kekasih kiasan. Ia melepas ikatan dengan seluruh entitas yang fana seraya berpegang pada tali abadi dan Kekasih abadi.
بِدَان۟ اَى۟ نَف۟سِ نَادَانَم۟ كِه دَر۟ هَر۟ فَر۟د۟ اَز۟ فَانٖى دُو رَاه۟ هَس۟ت۟
بَا بَاقٖى دُو سِرِّ جَانِ جَانَانٖى
Wahai diri yang lalai dan bodoh! Ketahuilah bahwa engkau dapat menemukan dua jalan menuju keabadian pada segala sesuatu yang fana di dunia yang fana ini, sehingga pada keduanya engkau dapat menyaksikan cahaya dan rahasia indah Sang Kekasih hakiki. Hal itu manakala engkau mampu melewati bentuk yang fana dan menembus batas-batas dirimu.
كِه دَر۟ نِع۟مَت۟هَا اِن۟عَام۟ هَس۟ت۟ وَ پَس۟ اٰثَار۟هَا اَس۟مَا بِگٖير۟ مَغ۟زٖى
وَ مٖيزَن۟ دَر۟ فَنَا اٰن۟ قِش۟رِ بٖى مَع۟نَا
Ya, pemberian nikmat tampak pada lipatan nikmat. Kelembutan Tuhan Yang Maha Penyayang dapat dirasakan di sela-sela nikmat. Jika engkau menerobos “nikmat” hingga dapat melihat pemberian nikmat, berarti engkau telah menemukan Sang Pemberi nikmat.Kemudian, setiap jejak keabadian Tuhan merupakan risalah-Nya yang tertulis. Masing-masing darinya menjelaskan nama Penciptanya yang mulia. Jika engkau mampu melintas dari ukiran lahiriah menuju makna batinnya, maka engkau akan mendapatkan Sang Pemilik nama lewat nama-nama-Nya yang mulia. Selama engkau berusaha mencapai esensi entitas yang fana, genggamlah maknanya dan biarkan kulitnya terbawa arus kefanaan. Lalu robeklah tirainya tanpa meratapi keper- giannya.
بَلٖى اٰثَار۟هَا گُويَن۟د۟ زِاَس۟مَا لَف۟ظِ پُر۟ مَع۟نَا بِخَان۟ مَع۟نَا
وَ مٖيزَن۟ دَر۟ هَوَا اٰن۟ لَف۟ظِ بٖى سَو۟دَا
Ya, tidak ada sesuatu pun di alam ini kecuali merupakan lafal yang menuturkan berbagai makna agung. Bahkan ia mengungkap se- bagian besar nama-nama Penciptanya yang agung. Selama makhluk yang ada merupakan lafal dan kalimat qudrah Ilahi, maka bacalah esensinya dan jagalah ia di dalam kalbu. Lemparkan lafal-lafal yang ti- dak berharga dalam hembusan angin tanpa pernah menyesalinya dan tanpa disibukkan olehnya.
عَق۟ل۟ فَر۟يَاد۟ مٖى دَارَد۟ غِيَاثِ ( لَٓا اُحِبُّ ال۟اٰفِلٖينَ ) مٖيزَن۟ اَى۟ نَف۟سَم۟
Akal yang diuji dengan berbagai fenomena dunia hanya memiliki pengetahuan yang bersifat lahiriah terseret oleh rangkaian pemikiran- nya menuju ketiadaan dan kehampaan. Karena itu, ia berada dalam keresahan dan cemas dengan kondisi yang ada. Ia pun berteriak putus asa seraya mencari jalan keluar dari dilema yang dialami agar bisa me- nemukan jalan lurus yang mengantarnya pada hakikat.Ketika jiwa melepaskan sesuatu yang fana, kalbu juga mening- galkan kekasih yang segera lenyap, lalu hati nurani berpaling dari semua yang fana, maka wahai diri yang papa ucapkan sebagaimanayang diucapkan oleh nabi Ibrahim , “Saya tidak suka kepada yang terbenam.” Lalu selamatkan dirimu!
چِه خُوش۟ گُويَد۟ اُو شَي۟دَا جَامٖى عِش۟ق۟ خُوى۟
Lihatlah! Betapa indah ucapan Jami, seorang pujangga yang dimabuk cinta hingga seolah-olah fitrahnya telah menyatu dengan cinta kepada Tuhan di saat hendak mengarahkan pandangan kepada tauhid dan berpaling dari banyak hal yang berserakan.
6يَكٖى خٰواه۟1 يَكٖى خٰوان۟2 يَكٖى جُوى۟3 يَكٖى بٖين۟4 يَكٖى دَان۟5 يَكٖى گُوى۟
Ia berkata:
Kutuju Yang Esa, sebab yang lain tak layak dituju.
Kupinta Yang Esa, sebab yang lain tak dapat mengabulkan doa.
Kuseru Yang esa, sebab yang lain tak layak diseru.
Perhatikan Yang Esa, sebab yang lain tak bisa terus terlihat, namun akan lenyap di balik tirai kefanaan.
Kukenal Yang Esa, sebab semua yang tak mengantar untuk mengenal-Nya tidak berguna.
Kusebut Yang Esa, sebab semua ucapan dan sebutan yang tak ada kaitan dengan-Nya tidak bermanfaat sama sekali.
نَعَم۟ صَدَق۟تَ اَى۟ جَامٖى هُوَ ال۟مَط۟لُوبُ هُوَ ال۟مَح۟بُوبُ هُوَ ال۟مَق۟صُودُ هُوَ ال۟مَع۟بُودُ
Ya, Anda benar wahai Jami. Dialah yang dipinta, Dia-lah yang dicinta, Dia-lah yang dituju, dan Dia-lah yang disembah.
كِه لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُو بَرَابَر۟ مٖيزَنَد۟ عَالَم۟
Seluruh alam laksana halakah zikir dan tahlil yang besar yang mendendangkan lâ ilâha illallâh dengan beragam lisan dan irama. Semua mengakui tauhid. Maka ia dapat mengobati luka menganga yang ditimbulkan oleh ungkapan “Saya tidak suka kepada yang terbe- nam”. Seolah-olah ia berkata, “Marilah menuju Kekasih abadi. Lepas- kan tanganmu dari semua kekasih yang fana.”
Sekitar dua puluh lima tahun yang lalu,(*[3])aku berada di puncak bukit Yusha yang mengarah ke selat Bosphorus, Istanbul. Ketika aku memutuskan untuk menjauh dari hiruk-pikuk kehidupan dunia, se- jumlah sahabat dekat datang mengajakku kembali kepada kondisiku dahulu. Maka, kukatakan pada mereka, “Tinggalkan diriku sendi- rian hingga esok untuk beristikharah kepada Tuhan. Di pagi harinya, datanglah dua potret berikut ke dalam kalbuku. Keduanya mirip de- ngan syair, namun ia bukanlah syair. Spontanitasnya tetap kupelihara dan kujaga sebagaimana adanya.
Lalu kusisipkan ia pada penutup “Ka- limat Kedua Puluh Tiga.” Karena konteksnya sesuai, ia dimasukkan di sini.
Potret Pertama
(potret yang menggambarkan hakikat dunia bagi orang-orang lalai)
Jangan mengajakku kepada dunia, aku telah mendatanginya Dan aku melihat kerusakan dan kefanaan padanya.
Ketika kelalaian menjadi hijab, dan menutupi cahaya Allah,
Kulihat seluruh entitas fana dan berbahaya.
Jika engkau berkata, “Wujud.” Ia telah kukenakan. Betapa banyak penderitaan dalam ketiadaan.
Jika engkau berkata, “Kehidupan.” Aku telah mencicipinya.Betapa banyak siksaan yang kurasakan.
Sebab, akal menjadi hukuman, keabadian menjadi ujian.
Usia seperti angin, kesempurnaan menjadi sia-sia.
Amal menjadi sumber riya, harapan menjadi sumber derita.
Visal nefs-i zeval oldu Devayı ayn-ı dâ’ gördüm.
Bu envar zulümat oldu Bu ahbabı yetim gördüm.
Bu savtlar na’y-ı mevt oldu Bu ahyayı mevat gördüm.
Ulûm evhama kalboldu Hikemde bin sekam gördüm.
Lezzet ayn-ı elem oldu Vücudda bin adem gördüm.
Habib desen onu buldum Âh firakta çok elem gördüm.
İkinci Levha
Ehl-i hidayet ve huzurun hakikat-i dünyalarına işaret eder levhadır.
Demâ gaflet zeval buldu Ve nur-u Hak ayân gördüm.
Vücud bürhan-ı Zat oldu Hayat mir’at-ı Hak’tır gör.
Akıl miftah-ı kenz oldu Fena bab-ı bekadır gör.
Kemalin lem’ası söndü Fakat şems-i Cemal var gör.
Zeval ayn-ı visal oldu Elem ayn-ı lezzettir gör.
Ömür nefs-i amel oldu Ebed ayn-ı ömürdür gör.
Zalâm zarf-ı ziya oldu Bu mevtte hak hayat var gör.
Bütün eşya enis oldu Bütün asvat zikirdir gör.
Bütün zerrat-ı mevcudat Birer zâkir, müsebbih gör.
Fakrı kenz-i gına buldum Aczde tam kuvvet var gör.
Eğer Allah’ı buldunsa Bütün eşya senindir gör.
Eğer Mâlik-i Mülk’e memlûk isen Onun mülkü senindir gör.
Eğer hodbin ve kendi nefsine mâlik isen Bilâ-addin beladır gör,
Bilâ-haddin azaptır tat Bilâ-gayet ağırdır gör.
Eğer hakiki abd-i hudâbin isen Hudutsuz bir safadır gör,
Hesapsız bir sevap var tat Nihayetsiz saadet gör.
* * *
Yirmi beş sene evvel ramazanda ikindiden sonra Şeyh-i Geylanî’nin (ks) Esma-i Hüsna manzumesini okudum. Bana bir arzu geldi ki esma-i hüsna ile bir münâcat yazayım. Fakat o vakit bu kadar yazıldı. O kudsî üstadımın mübarek münâcat-ı esmaiyesine bir nazire yapmak istedim. Heyhat! Nazma istidadım yok. Yapamadım, noksan kaldı.
Bu münâcat, Otuz Üçüncü Söz’ün Otuz Üçüncü Mektup’u olan Pencereler Risalesi’ne ilhak edilmişti. Makam münasebetiyle buraya alındı.
هُوَ ال۟بَاقٖى
حَكٖيمُ ال۟قَضَايَا نَح۟نُ فٖى قَب۟ضِ حُك۟مِهٖ هُوَ ال۟حَكَمُ ال۟عَد۟لُ لَهُ ال۟اَر۟ضُ وَ السَّمَاءُ
عَلٖيمُ ال۟خَفَايَا وَ ال۟غُيُوبِ فٖى مُل۟كِهٖ هُوَ ال۟قَادِرُ ال۟قَيُّومُ لَهُ ال۟عَر۟شُ وَ الثَّرَاءُ
لَطٖيفُ ال۟مَزَايَا وَ النُّقُوشِ فٖى صُن۟عِهٖ هُوَ ال۟فَاطِرُ ال۟وَدُودُ لَهُ ال۟حُس۟نُ وَ ال۟بَهَاءُ
جَلٖيلُ ال۟مَرَايَا وَ الشُّؤُنِ فٖى خَل۟قِهٖ هُوَ ال۟مَلِكُ ال۟قُدُّوسُ لَهُ ال۟عِزُّ وَ ال۟كِب۟رِيَاءُ
بَدٖيعُ ال۟بَرَايَا نَح۟نُ مِن۟ نَق۟شِ صُن۟عِهٖ هُوَ الدَّائِمُ ال۟بَاقٖى لَهُ ال۟مُل۟كُ وَ ال۟بَقَاءُ
كَرٖيمُ ال۟عَطَايَا نَح۟نُ مِن۟ رَك۟بِ ضَي۟فِهٖ هُوَ الرَّزَّاقُ ال۟كَافٖى لَهُ ال۟حَم۟دُ وَ الثَّنَاءُ
جَمٖيلُ ال۟هَدَايَا نَح۟نُ مِن۟ نَس۟جِ عِل۟مِهٖ هُوَ ال۟خَالِقُ ال۟وَافٖى لَهُ ال۟جُودُ وَ ال۟عَطَاءُ
سَمٖيعُ الشَّكَايَا وَ الدُّعَاءِ لِخَل۟قِهٖ هُوَ الرَّاحِمُ الشَّافٖى لَهُ الشُّك۟رُ وَ الثَّنَاءُ
غَفُورُ ال۟خَطَايَا وَ الذُّنُوبِ لِعَب۟دِهٖ هُوَ ال۟غَفَّارُ الرَّحٖيمُ لَهُ ال۟عَف۟وُ وَ الرِّضَاءُ
Ey nefsim! Kalbim gibi ağla ve bağır ve de ki:
“Fâniyim, fâni olanı istemem.
Âcizim, âciz olanı istemem.
Ruhumu Rahman’a teslim eyledim, gayr istemem.
İsterim fakat bir yâr-ı bâki isterim.
Zerreyim fakat bir şems-i sermed isterim.
Hiç-ender hiçim fakat bu mevcudatı umumen isterim.”
Barla Yaylası Çam, Katran, Ardıç, Karakavağın Bir Meyvesidir
(Makam münasebetiyle buraya alınmış, On Birinci Mektup’un bir parçasıdır.)
Bir vakit esaretimde dağ başında azametli çam ve katran ve ardıç ağaçlarının heybet-nüma suretlerini, hayret-feza vaziyetlerini temaşa ederken pek latîf bir rüzgâr esti. O vaziyeti pek muhteşem ve şirin, velvele-âlûd bir zelzele-i raks-nüma, bir tesbihat-ı cezbe-eda suretine çevirdiğinden eğlence temaşası, nazar-ı ibrete ve sem’-i hikmete döndü. Birden Ahmed-i Cezerî’nin Kürtçe şu fıkrası:
هَر۟كَس۟ بِتَمَاشَاگَهِ حُس۟نَاتَه زِهَر۟ جَاى۟ تَش۟بٖيهِ نِگَارَان۟ بِجَمَالَاتَه دِنَازِن۟ hatırıma geldi. Kalbim, ibret manalarını ifade için şöyle ağladı:
يَا رَب۟ هَر۟ حَى۟ بِتَمَاشَاگَهِ صُن۟عِ تُو زِهَر۟جَاى۟ بَتَازٖى زِنِشٖيبُ اَز۟ فِرَازٖى مَانَن۟دِ دَلَّالَان۟ بِنِدَاءِ بِاٰوَازٖى دَم۟ دَم۟ زِجَمَالِ نَق۟شِ تُو دَر۟ رَق۟ص۟ بَازٖى زِكَمَالِ صُن۟عِ تُو خُوش۟ خُوش۟ بِگَازٖى زِشٖيرٖينٖى اٰوَازِ خُود۟ هَى۟ هَى۟ دِنَازٖى اَز۟وَى۟ رَق۟صَ اٰمَد۟ جَذ۟بَه خَازٖى اَزٖين۟ اٰثَارِ رَح۟مَت۟ يَاف۟ت۟ هَر۟ حَى۟ دَر۟سِ تَس۟بٖيحُ نَمَازٖى اٖيس۟تَادَس۟ت۟ هَر۟ يَكٖى بَر۟ سَن۟گِ بَالَا سَر۟فِرَازٖى دِرَاز۟ كَر۟دَس۟ت۟ دَس۟ت۟هَارَا بَدَر۟گَاهِ اِلٰهٖى هَم۟ چُو شَه۟بَازٖى بِجُن۟بٖيدَس۟ت۟ زُل۟ف۟هَارَا بَشَو۟ق۟ اَن۟گٖيزِ شَه۟نَازٖى بَبَالَا مٖيزَنَن۟د۟ اَز۟ پَر۟دَه هَاىِ هَاىِ هُوىِ عِش۟ق۟ بَازٖى مٖيدِهَد۟ هُوشَه گِرٖين۟هَاىِ دَرٖين۟هَاىِ زَوَالٖى اَز۟ حُبِّ مَجَازٖى بَر۟ سَرِ مَح۟مُود۟هَا نَغ۟مَهَاىِ حُز۟ن۟ اَن۟گٖيزِ اَيَازٖى مُر۟دَهَارَا نَغ۟مَهَاىِ اَزَلٖى اَز۟ حُز۟ن۟ اَن۟گٖيزِ نَوَازٖى رُوحَه مٖى اٰيَد۟ اَزُو زَم۟زَمَۀِ نَازُ نِيَازٖى قَل۟ب۟ مٖيخٰوانَد۟ اَزٖين۟ اٰيَات۟هَا سِرِّ تَو۟حٖيد۟ زِعُلُوِّ نَظ۟مِ اِع۟جَازٖى نَف۟س۟ مٖيخٰواهَد۟ دَر۟ اٖين۟ وَل۟وَلَهَا زَل۟زَلَهَا ذَو۟قِ بَاقٖى دَر۟ فَنَاىِ دُن۟يَا بَازٖى عَق۟ل۟ مٖيبٖينَد۟ اَزٖين۟ زَم۟زَمَهَا دَم۟دَمَهَا نَظ۟مِ خِل۟قَت۟ نَق۟شِ حِك۟مَت۟ كَن۟زِ رَازٖى اٰر۟زُو مٖيدَارَد۟ هَوَا اَزٖين۟ هَم۟هَمَهَا هَو۟هَوَهَا مَر۟گِ خُود۟ دَر۟ تَر۟كِ اَذ۟وَاقِ مَجَازٖى خَيَال۟ بٖينَد۟ اَزٖين۟ اَش۟جَار۟ مَلَائِك۟ رَا جَسَد۟ اٰمَد۟ سَمَاوٖى بَاهَزَارَان۟ نَى۟ اَزٖين۟ نَي۟هَا شُنٖيدَت۟ هُوش۟ سِتَايِش۟هَاىِ ذَاتِ حَى۟ وَرَق۟هَارَا زَبَان۟ دَارَن۟د۟ هَمَه هُو هُو ذِك۟ر۟ اٰرَن۟د۟ بَدَر۟ مَع۟نَاىِ حَىُّ حَى۟ چُو لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُو بَرَابَر۟ مٖيزَنَد۟ هَر۟ شَى۟ دَمَادَم۟ جُويَدَن۟د۟ يَا حَق۟ سَرَاسَر۟ گُويَدَن۟د۟ يَا حَى۟ بَرَابَر۟ مٖيزَنَن۟د۟ اَللّٰه۟ فَيَا حَىُّ يَا قَيُّومُ بِحَقِّ اِس۟مِ حَىِّ قَيُّومِ حَيَاتٖى دِه۟ بَاٖين۟ قَل۟بِ پَرٖيشَان۟ رَا اِس۟تِقَامَت۟ دِه۟ بَاٖين۟ عَق۟لِ مُشَوَّش۟ رَا اٰمٖين۟
Barla yaylası Tepelice’de çam, katran, ardıç, karakavak meyvesi hakkında yazılan Farisî beyitlerin manası:
هَر۟كَس۟ بِتَمَاشَاگَهِ حُس۟نَاتَه زِهَر۟ جَاى۟ تَش۟بٖيهِ نِگَارَان۟ بِجَمَالَاتَه دِنَازِن۟
Hatırıma geldi. Kalbim dahi ibret manalarını ifade için şöyle ağladı:
Yani senin temaşageh-i hüsnüne, herkes her yerden koşup gelmiş. Senin cemalinle nazdarlık ediyorlar.
يَا رَب۟ هَر۟ حَى۟ بِتَمَاشَاگَهِ صُن۟عِ تُو زِهَر۟جَاى۟ بَتَازٖى
Her zîhayat, senin temaşageh-i sanatın olan zemin yüzüne her yerden çıkıp bakıyorlar.
زِنِشٖيبُ اَز۟ فِرَازٖى مَانَن۟دِ دَلَّالَان۟ بِنِدَاءِ بِاٰوَازٖى
Aşağıdan, yukarıdan dellâllar gibi çıkıp bağırıyorlar.
دَم۟ دَم۟ زِجَمَالِ نَق۟شِ تُو ( نُس۟خَه: زِهَوَاىِ شَو۟قِ تُو ) دَر۟ رَق۟ص۟ بَازٖى
Senin cemal-i nakşından keyiflenip o dellâl-misal ağaçlar oynuyorlar.
زِكَمَالِ صُن۟عِ تُو خُوش۟ خُوش۟ بِگَازٖى
Senin kemal-i sanatından neşelenip güzel güzel sadâ veriyorlar.
زِشٖيرٖينٖى اٰوَازِ خُود۟ هَى۟ هَى۟ دِنَازٖى
Güya sadâlarının tatlılığı, onları da neşelendirip nâzeninane bir naz ettiriyor.
اَز۟وَى۟ رَق۟صَه اٰمَد۟ جَذ۟بَه خَازٖى
İşte ondandır ki şu ağaçlar raksa gelmiş, cezbe istiyorlar.
اَزٖين۟ اٰثَارِ رَح۟مَت۟ يَاف۟ت۟ هَر۟ حَى۟ دَر۟سِ تَس۟بٖيحُ نَمَازٖى
Şu rahmet-i İlahiyenin âsârıyladır ki her zîhayat, kendine mahsus tesbih ve namazın dersini alıyorlar.
اٖيس۟تَادَس۟ت۟ هَر۟ يَكٖى بَر۟ سَن۟گِ بَالَا سَر۟فِرَازٖى
Ders aldıktan sonra her bir ağaç, yüksek bir taş üstünde arşa başını kaldırıp durmuşlar.
دِرَاز۟ كَر۟دَس۟ت۟ دَس۟ت۟هَارَا بَدَر۟گَاهِ اِلٰهٖى هَم۟ چُو شَه۟بَازٖى
Her birisi, yüzler ellerini Şehbaz-ı Kalender (Hâşiye[4]) gibi dergâh-ı İlahîye uzatıp muhteşem bir ibadet vaziyetini almışlar.
بِجُن۟بٖيدَس۟ت۟ زُل۟ف۟هَارَا بَشَو۟ق۟ اَن۟گٖيزِ شَه۟نَازٖى (Hâşiye[5])
Oynattırıyorlar, zülüfvari küçük dallarını ve onunla, temaşa edenlere de latîf şevklerini ve ulvi zevklerini ihtar ediyorlar.
بَبَالَا مٖيزَنَن۟د۟ اَز۟ پَر۟دَه هَاىِ هَاىِ هُوىِ عِش۟ق۟ بَازٖى
Aşkın “Hây Hûy” perdelerinden en hassas tellere, damarlara dokunuyor gibi sadâ veriyorlar. (Nüsha[6])
مٖيدِهَد۟ هُوشَه گِرٖين۟هَاىِ دَرٖين۟هَاىِ زَوَالٖى اَز۟ حُبِّ مَجَازٖى
Fikre şu vaziyetten şöyle bir mana geliyor: Mecazî muhabbetlerin zeval elemiyle gelen ağlayış hem derinden derine hazîn bir enîni ihtar ediyorlar.
بَر۟ سَرِ مَح۟مُود۟هَا نَغ۟مَهَاىِ حُز۟ن۟ اَن۟گٖيزِ اَيَازٖى
Mahmudların, yani Sultan Mahmud gibi mahbubundan ayrılmış bütün âşıkların başlarında, hüzün-âlûd mahbublarının nağmesinin tarzını işittiriyorlar.
مُر۟دَهَارَا نَغ۟مَهَاىِ اَزَلٖى اَز۟ حُز۟ن۟ اَن۟گٖيزِ نَوَازٖى
Dünyevî sadâların ve sözlerin dinlemesinden kesilmiş olan ölmüşlere; ezelî nağmeleri, hüzün-engiz sadâları işittiriyor gibi bir vazifesi var görünüyorlar.
رُوحَه مٖى اٰيَد۟ اَزُو زَم۟زَمَۀِ نَازُ نِيَازٖى
Ruh ise şu vaziyetten şöyle anladı ki eşya, tesbihat ile Sâni’-i Zülcelal’in tecelliyat-ı esmasına mukabele edip bir naz niyaz zemzemesidir, geliyor.
قَل۟ب۟ مٖيخٰوانَد۟ اَزٖين۟ اٰيَات۟هَا سِرِّ تَو۟حٖيد۟ زِعُلُوِّ نَظ۟مِ اِع۟جَازٖى
Kalp ise şu her biri birer âyet-i mücesseme hükmünde olan şu ağaçlardan sırr-ı tevhidi, bu i’cazın ulüvv-ü nazmından okuyor. Yani, hilkatlerinde o derece hârika bir intizam, bir sanat, bir hikmet vardır ki bütün esbab-ı kâinat birer fâil-i muhtar farz edilse ve toplansalar taklit edemezler.
نَف۟س۟ مٖيخٰواهَد۟ دَر۟ اٖين۟ وَل۟وَلَهَا زَل۟زَلَهَا ذَو۟قِ بَاقٖى دَر۟ فَنَاىِ دُن۟يَا بَازٖى
Nefis ise şu vaziyeti gördükçe, bütün rûy-i zemin, velvele-âlûd bir zelzele-i firakta yuvarlanıyor gibi gördü, bir zevk-i bâki aradı. “Dünya-perestliğin terkinde bulacaksın.” manasını aldı.
عَق۟ل۟ مٖيبٖينَد۟ اَزٖين۟ زَم۟زَمَهَا دَم۟دَمَهَا نَظ۟مِ خِل۟قَت۟ نَق۟شِ حِك۟مَت۟ كَن۟زِ رَازٖى
Akıl ise şu zemzeme-i hayvan ve eşcardan ve demdeme-i nebat ve havadan gayet manidar bir intizam-ı hilkat, bir nakş-ı hikmet, bir hazine-i esrar buluyor. Her şey, çok cihetlerle Sâni’-i Zülcelal’i tesbih ettiğini anlıyor.
اٰر۟زُو مٖيدَارَد۟ هَوَا اَزٖين۟ هَم۟هَمَهَا هَو۟هَوَهَا مَر۟گِ خُود۟ دَر۟ تَر۟كِ اَذ۟وَاقِ مَجَازٖى
Heva-yı nefis ise şu hemheme-i hava ve hevheve-i yapraktan öyle bir lezzet alıyor ki bütün ezvak-ı mecazîyi ona unutturup o heva-yı nefsin hayatı olan zevk-i mecazîyi terk etmekle bu zevk-i hakikatte ölmek istiyor.
خَيَال۟ بٖينَد۟ اَزٖين۟ اَش۟جَار۟ مَلَائِك۟ رَا جَسَد۟ اٰمَد۟ سَمَاوٖى بَاهَزَارَان۟ نَى۟
Hayal ise görüyor, güya şu ağaçların müekkel melâikeleri içlerine girip her bir dalında çok neyler takılan ağaçları ceset olarak giymişler. Güya Sultan-ı Sermedî, binler ney sadâsıyla muhteşem bir resm-i küşadda onlara onları giydirmiş ki o ağaçlar camid, şuursuz cisim gibi değil belki gayet şuurkârane manidar vaziyetleri gösteriyorlar.
اَزٖين۟ نَي۟هَا شُنٖيدَت۟ هُوش۟ سِتَايِش۟هَاىِ ذَاتِ حَى۟
İşte o neyler; semavî, ulvi bir musikîden geliyor gibi safi ve müessirdirler. Fikir, o neylerden başta Mevlana Celaleddin-i Rumî olarak bütün âşıkların işittikleri elemkârane teşekkiyat-ı firakı işitmiyor. Belki Zat-ı Hayy-ı Kayyum’a karşı takdim edilen teşekkürat-ı Rahmaniyeyi ve tahmidat-ı Rabbaniyeyi işitiyor.
وَرَق۟هَارَا زَبَان۟ دَارَن۟د۟ هَمَه هُو هُو ذِك۟ر۟ اٰرَن۟د۟ بَدَر۟ مَع۟نَاىِ حَىُّ حَى۟
Madem ağaçlar, birer ceset oldu. Bütün yapraklar dahi diller oldu. Demek her biri, binler dilleriyle havanın dokunmasıyla “Hû Hû” zikrini tekrar ediyorlar. Hayatlarının tahiyyatıyla Sâni’inin Hayy-ı Kayyum olduğunu ilan ediyorlar.
چُو لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُو بَرَابَر۟ مٖيزَنَد۟ هَر۟ شَى۟
Çünkü bütün eşya لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُو deyip kâinatın azîm halka-i zikrinde beraber zikrederek çalışıyorlar.
دَمَادَم۟ جُويَدَن۟د۟ يَا حَق۟ سَرَاسَر۟ گُويَدَن۟د۟ يَا حَى۟ بَرَابَر۟ مٖيزَنَن۟د۟ اَللّٰه۟
Vakit be-vakit lisan-ı istidat ile Cenab-ı Hak’tan hukuk-u hayatını “Yâ Hak” deyip hazine-i rahmetten istiyorlar. Baştan başa da hayata mazhariyetleri lisanıyla “Yâ Hay” ismini zikrediyorlar.
فَيَا حَىُّ يَا قَيُّومُ بِحَقِّ اِس۟مِ حَىِّ قَيُّومِ
حَيَاتٖى دِه۟ بَاٖين۟ قَل۟بِ پَرٖيشَان۟ رَا اِس۟تِقَامَت۟ دِه۟ بَاٖين۟ عَق۟لِ مُشَوَّش۟ رَا اٰمٖين۟
Bir vakit Barla’da Çam Dağı’nda yüksek bir mevkide, gecede semanın yüzüne baktım. Gelecek fıkralar, birden hutur etti. Yıldızların lisan-ı hal ile konuşmalarını hayalen işittim gibi bu yazıldı. Nazım ve şiir bilmediğim için şiir kaidesine girmedi. Tahattur olduğu gibi yazılmış.
Dördüncü Mektup ile Otuz İkinci Söz’ün Birinci Mevkıfı’nın âhirinden alınmıştır.
Yıldızları Konuşturan Bir Yıldızname
Dinle de yıldızları şu hutbe-i şirinine
Name-i nurîn-i hikmet, bak ne takrir eylemiş.
Hep beraber nutka gelmiş, hak lisanıyla derler:
“Bir Kadîr-i Zülcelal’in haşmet-i sultanına
Birer bürhan-ı nur-efşanız vücud-u Sâni’a
Hem vahdete hem kudrete şahitleriz biz.
Şu zeminin yüzünü yaldızlayan
Nâzenin mu’cizatı çün melek seyranına.
Bu semanın arza bakan, cennete dikkat eden
Binler müdakkik gözleriz biz. (Hâşiye)[7]
Tûba-i hilkatten semavat şıkkına, hep Kehkeşan ağsanına
Bir Cemil-i Zülcelal’in, dest-i hikmetle takılmış pek güzel meyveleriyiz biz.
Şu semavat ehline birer mescid-i seyyar, birer hane-i devvar, birer ulvi âşiyane
Birer misbah-ı nevvar, birer gemi-i cebbar, birer tayyareleriz biz.
Bir Kadîr-i Zülkemal’in, bir Hakîm-i Zülcelal’in birer mu’cize-i kudret, birer hârika-i sanat-ı Hâlıkane,
Birer nadire-i hikmet, birer dâhiye-i hilkat, birer nur âlemiyiz biz.
Böyle yüz bin dil ile yüz bin bürhan gösteririz, işittiririz insan olan insana.
Kör olası dinsiz gözü, görmez oldu yüzümüzü hem işitmez sözümüzü, hak söyleyen âyetleriz biz.
Sikkemiz bir, turramız bir, Rabb’imize musahharız. Müsebbihiz, zikrederiz abîdane.
Kehkeşan’ın halka-i kübrasına mensup birer meczuplarız biz.”
dediklerini hayalen dinledim.
- ↑ *Lihat HR. ad-Daylami, al-Musnad 1/85, al-Qurthubi, al-Jâmi li Ahkam al-Qur’ân 15/111, al-Sarkhasi, al-Mabsûth 12/10, al-Kasâni, Badâ’i ash-Shanâ’i’ 5/80, Ibnu Hajar, Talkhîsh al-Khabîr 4/138.
- ↑ *Teks asli yang terdapat pada Kedudukan Kedua ini berbentuk seperti syair, namun sebetulnya ia bukanlah syair dan tidak ada maksud merangkainya. Akan tetapi, tatanan hakikat yang sempurna menjadikannya berbentuk seperti untaian syair—Penulis.
- ↑ *Maksudnya tahun 1922 M.
- ↑ Hâşiye: Şehbaz-ı Kalender, meşhur bir kahramandır ki Şeyh-i Geylanî’nin irşadıyla dergâh-ı İlahîye iltica edip mertebe-i velayete çıkmıştır.
- ↑ Hâşiye: Şehnaz-ı Çelkezî, kırk örme saç ile meşhur bir dünya güzelidir.
- ↑ Nüsha: Şu nüsha, mezaristandaki ardıç ağacına bakar:
نسخة: بَبَالاَ مِي زَنَـنْدْ اَزْ پَرْدَه هَاىِ هَاىِ هُوىِ چَرْخِ بَازِى مُرْدَهَارَا نَغْمَ هَاىِ اَزَلِى اَزْ حُزْنْ اَنْگِيزِ نَوَازِى - ↑ Hâşiye: Yani cennet çiçeklerinin fidanlık ve mezraacığı olan zeminin yüzünde hadsiz mu’cizat-ı kudret teşhir edildiğinden semavat âlemindeki melâikeler o mu’cizatı, o hârikaları temaşa ettikleri gibi ecram-ı semaviyenin gözleri hükmünde olan yıldızlar dahi güya melâikeler gibi zemin yüzündeki nâzenin masnuatı gördükçe cennet âlemine bakıyorlar. O muvakkat hârikaları, bâki bir surette cennette dahi müşahede ediyorlar gibi bir zemine, bir cennete bakıyorlar. Yani o iki âleme nezaretleri var demektir.