KALIMAT KETUJUH BELAS

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    Bu sayfa On Yedinci Söz sayfasının çevrilmiş sürümü ve çeviri %100 tamamlandı.
    Diğer diller:


    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

    “Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhi- asan baginya, agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. Dan sesungguhnya kami benar-benar akan menjadikan pula apa yang di atasnya menjadi tanah rata dan tandus.”(QS. al-Kahfi [18]: 7-8).“Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau...”(QS. al-An’âm [6]: 32).

    Kalimat Ini Berisi Penjelasan tentang Dua Kedudukan Tinggi dan Sebuah Lampiran yang Cemerlang.

    Tuhan Pencipta Yang Maha Penyayang, Pemberi Rezeki Yang Maha Pemurah, dan Pencipta Yang Mahabijak telah menjadikan dunia ini dalam gambaran hari raya yang bahagia, pesta besar, serta festi- val alam roh dan ruhaniyyûn. Dia menghiasnya dengan sejumlah je- jak indah nama-nama-Nya. Dia membungkus setiap rohbaik yang kecil maupun besar—dengan jasad sesuai dengan bentuk dan ukurannya. Lalu Dia memberikan padanya sejumlah indra dan perasaan, serta semua perangkat yang bisa digunakan untuk mereguk beragam karunia dan nikmat yang jumlahnya tak terhingga, yang terhampar di hari raya indah itu dan terpampang di festival besar tersebut. Allah  memberikan wujud fisik materi kepada setiap roh seraya mengirimnya ke hari raya dan festival itu secara sekaligus.

    Kemudian Dia membagi festival yang luas dan megah tadi dari sisi waktu dan tempat kepada sejumlah masa, tahun, dan musim. Bah- kan kepada sejumlah hari dan bagian-bagian hari. Dia menjadikan setiap masa, tahun, musim, hari, dan bagian dari hari sebagai festival mulia, hari raya yang indah, parade umum bagi sekelompok makh- luk-Nya yang memiliki roh dan ciptaan-Nya yang berupa tumbuhan.

    Dia menghadirkan sejumlah festival secara bergantian bagi berbagai kelompok ciptaan-Nya yang sangat kecil terutama muka bumi, ter- lebih lagi di musim semi dan musim panas hingga hari raya tersebut menjadi hari raya yang sangat indah dan menarik perhatian makh- luk ruhaniyyûn yang terdapat di alam atas, malaikat, serta penduduk langit untuk menyaksikannya. Dia juga menarik perhatian kaum yang memiliki akal pikiran untuk merefleksikannya sampai pada tingkat di mana akal tak mampu untuk menggambarkannya.

    Akan tetapi, jamuan Ilahi dan hari raya rabbani ini berikut ber- bagai manifestasi nama ar-Rahmân (Yang Maha Pengasih) dan al- Muhyî (Yang Maha Menghidupkan) dikelilingi oleh perpisahan dan kematian di mana hal itu menunjukkan nama Allah, al-Qahhâr (Yang Maha Memaksa) dan al-Mumît (Yang Maha Mematikan). Barangkali hal ini secara lahiriah tidak sejalan dengan rahmat-Nya yang menye- luruh yang disebutkan dalam firman-Nya (وَسِعَت۟ رَح۟مَتٖى كُلَّ شَى۟ءٍ ) ‘Rah- mat-Ku meliputi segala sesuatu.’ (QS. al-A’râf [7]: 156). Namun sebe- narnya terdapat sejumlah sisi yang menunjukkan bahwa hal itu sangat sejalan dengan rahmat Ilahi. Kami akan menjelaskan satu sisi saja darinya, yaitu sebagai berikut:

    Setelah parade rabbani untuk setiap kelompok selesai diperlihat- kan dan buah yang dituju dari pagelaran tersebut telah diraih, maka Tuhan Sang Pencipta Yang Maha Penyayang dan Pemurah menga- nugerahkan kepada setiap kelompok tersebut keinginan untuk istira- hat dan kecenderungan untuk berpindah ke alam lain. Dia juga membuat mereka jenuh dengan dunia lewat beragam bentuk kebosanan sebagai wujud rahmat bagi mereka. Ketika mereka dibebaskan dari be- ban hidup dan dilepaskan dari tugas yang ada, Allah  menanamkan keinginan yang kuat dan kerinduan dalam jiwa mereka untuk kembali ke tanah air mereka yang hakiki.

    Sebagaimana Allah memberikan tingkatan syahid bagi seorang prajurit biasa yang mati di saat menunaikan pengabdian dan mening- gal dalam tugas jihad,

    sebagaimana Dia memberikan kepada kambing kurban sebuah wujud materi di akhirat seraya membalasnya dengan menjadikannya sebagai tunggangan laksana burak bagi pemiliknya untuk melewati shirath al-mustaqim,(*[1])maka tidak aneh jika Tuhan Yang Maha Penyayang dan Pemurah memberikan kepada makhluk yang memiliki roh sebuah balasan ruhiyah yang sesuai dengannya serta upah maknawi yang sepadan dengan potensi mereka yang ber- sumber dari khazanah rahmat-Nya yang luas. Hal itu setelah mere- ka mengalami berbagai kesulitan, mati di saat menunaikan tugas fitri Ilahi yang khusus terkait dengan mereka, serta bersabar menghadapi sejumlah hal dalam mematuhi perintah-Nya, sehingga mereka tidak merasa sakit saat meninggalkan dunia. Sebaliknya, mereka malah rida dan mendapat rida-Nya.

    Hanya Allah yang mengetahui persoalan gaib.

    Manusia yang merupakan makhluk termulia dan paling men- dapat manfaat dari hari raya tersebut—dari segi kuantitas dan kuali- tas—dengan rahmat Allah diberi kondisi rindu secara ruhiyah yang membuatnya benci pada dunia tempat ia diuji agar bisa menyeberang ke akhirat dengan selamat. Manusia yang rasa kemanusiaannya tidak tenggelam dalam kesesatan dapat mengambil manfaat dari kondisi ruhiyah tersebut sehingga ia meninggalkan dunia dengan kalbu yang tenteram.Di sini kami akan menjelaskan lima sisi atau aspek, sebagai con- toh, yang bisa melahirkan kondisi ruhiyah di atas.

    Pertama, dengan datangnya masa tua, Dia memperlihatkan ke- pada manusia stempel kefanaan dan kebinasaan atas segala sesuatu yang bersifat duniawi sekaligus memberikan sejumlah esensinya yang pahit, sehingga hal itu membuat manusia lari dari dunia dan mencari sesuatu yang abadi dan kekal sebagai ganti darinya.

    Kedua, Allah membuat manusia merasa rindu dan ingin menuju ke tempat perginya sembilan puluh sembilan persen dari orang yang ia cintai, yang memiliki ikatan dengan mereka, serta yang bertempat di alam lain. Kecintaan kuat itu mendorong manusia untuk menyambut kematian dan ajal dengan gembira dan bahagia.

    Ketiga, Allah mendorong manusia untuk menyadari kelema- han dan ketidakberdayaannya yang tak terhingga, baik karena beban hidup, tugas kehidupan, atau hal yang lain. Hal itu melahirkan keingi- nan kuat pada dirinya untuk menuju tempat istirahat dan kerinduan yang tulus untuk pergi ke negeri lain.

    Keempat, Allah menjelaskan kepada manusia yang beri- man—lewat cahaya iman—bahwa kematian bukan ketiadaan, tetapi pergantian tempat; kubur bukan lubang sumur yang gelap, tetapi pintu menuju alam cahaya; dunia berikut semua kesenangannya sama se- perti penjara yang sempit jika dibandingkan dengan akhirat yang luas dan indah. Karena itu, keluar dari penjara dunia menuju taman surga ukhrawi, serta berpindah dari kehidupan materi yang keruh menu- ju alam tempat istirahat dan ketenteraman, berlepas diri dari kebisi- ngan makhluk menuju hadirat Ilahi yang tenang dan menyenangkan merupakan bentuk wisata, bahkan kebahagiaan yang diimpikan meski dengan seribu satu pengorbanan.

    Kelima, Allah memberikan pemahaman kepada orang yang mendengar al-Qur’an tentang ilmu hakikat yang berada di dalamnya. Lewat cahaya hakikat, Dia mengajarkan kepadanya substansi dunia se- hingga sikap senang dan cenderung kepada dunia adalah sesuatu yang tak berguna. Dengan kata lain, Dia berkata dan menegaskan padanya:

    Dunia merupakan kitab Shamadani. Huruf-huruf dan kalimat- nya tidak mewakili dan mencerminkan dirinya. Namun ia menun- jukkan Dzat Penciptanya berikut sifat-sifat-Nya dan nama-nama-Nya yang mulia. Karena itu, pahami dan ambillah maknanya. Tinggalkan ukiran dan tulisannya.

    Dunia merupakan ladang akhirat. Tanami, ambil, dan jagalah buahnya. Abaikan semua kotorannya.

    Dunia merupakan tempat berkumpulnya cermin secara bergi- lir. Kenalilah Dzat yang tampak di dalamnya. Lihat cahaya-Nya dan pahami makna nama-nama-Nya yang terwujud padanya. Cintai kan- dungannya dan putuskan hubunganmu dengan potongan kacanya yang sewaktu-waktu dapat pecah dan lenyap.

    Dunia merupakan tempat bisnis yang berjalan. Lakukanlah jual beli. Jangan membuntuti berbagai rombongan yang melarikan diri darimu dan tidak menghargaimu agar engkau tidak penat.

    Dunia merupakan tempat rekreasi sementara. Oleh karena itu, arahkan penglihatanmu kepadanya untuk mengambil pelajaran. Cermati wajah indah yang tersembunyi di baliknya di mana ia mengarah kepada Dzat Yang Mahaindah dan abadi. Berpalinglah dari wajah buruk yang mengarah kepada hawa nafsu. Jangan menangis seperti anak kecil yang tertipu ketika tirai yang memperlihatkan pemandangan in- dah terurai.

    Dunia merupakan tempat jamuan bagi para musafir. Oleh karena itu, makan dan minumlah dengan izin Sang Pemilik jamuan. Ungkap- kan rasa syukur pada-Nya dan jangan bergerak kecuali sesuai dengan perintah-Nya. Pergilah darinya tanpa menoleh ke belakang. Janganlah engkau sibuk dengan berbagai urusan yang tidak berguna. Jangan ce- burkan diri dengan berbagai urusannya yang segera lenyap.Demikianlah, dengan sejumlah hakikat nyata semacam itu, Allah  meringankan begitu banyak luka perpisahan dengan dunia yang dirasakan oleh manusia dengan memperlihatkan rahasia di da- lam dunia. Bahkan Dia membuatnya disukai oleh mereka yang terjaga dan sadar lewat sejumlah rahasia hakikat dunia yang Dia perlihatkan. Perpisahan tersebut merupakan salah satu wujud rahmat-Nya yang luas dalam segala hal dan keadaan.

    Al-Qur’an al-Karim menjelaskan kelima sisi yang ada. Ayat-ayatnya juga menunjukkan kepada sejum- lah sisi khusus lainnya.

    Sungguh malang orang yang tidak memiliki bagian dari kelima sisi di atas.


    KEDUDUKAN KEDUA

    Mengeluh adalah Musibah(*[2])

    Tidak usah meratap wahai yang malang, dan bertawakkallah kepada Allah dalam menghadapi cobaan yang menimpa.

    Mengeluh adalah musibah, bahkan melebihi musibah dan merupakan kesalahan besar.

    Jika engkau mengetahui Dzat yang mengujimu, maka musibah akan menjadi karunia dan kebahagiaan.

    Tidak usah mengeluh dan banyaklah bersyukur. Bunga tersenyum melihat rasa senang sang kekasih, burung bulbul.

    Jika tidak menemukan Allah, duniamu menjadi petaka dan derita, lenyap dan fana, serta sia-sia.

    Mengapa engkau mengeluhkan musibah yang kecil, padahal engkau terbebani dengan berbagai musibah seluas dunia. Maka bertawakallah.

    Tersenyumlah dengan sikap tawakal dalam menghadapi musibah agar musibah itu pun tersenyum.

    Setiap kali tersenyum, ia akan mengecil hingga akhirnya lenyap Wahai yang tertipu,

    ketahuilah bahwa kebahagiaan di dunia ini adalah dengan meninggalkannya.

    Jika engkau beriman, itu sudah cukup. Jika engkau membelakangi dunia, ia akan menghampirimu.

    Jika engkau bangga dengan dirimu, itu merupakan sebuah kebina- saan yang nyata. Apa pun yang engkau kerjakan segalanya akan menjadi musuh.

    Karena itu, ia harus ditinggalkan dalam dua kondisi tersebut.

    Meninggalkannya dalam arti ia merupakan milik Allah yang dilihat dengan izin dan atas nama-Nya.

    Jika engkau mencari bisnis yang menguntukan, tukarlah usia yang fana dengan usia yang abadi.

    Jika engkau menuruti keinginan dirimu, ia akan sirna dan lenyap.

    Jika engkau menatap cakrawala, stempel fana ada padanya.

    Kesenangan di pasar ini paslu sehingga tidak layak dibeli Karenanya tinggalkan ia!

    Sebab yang asli telah disiapkan di baliknya.


    Buah dari Pohon Murbei Hitam

    Di atas pohon murbei hitam yang penuh berkah, Said Lama menuturkan sejumlah hakikat berikut ini lewat lisan Said Baru

    Mitra bicaraku bukan Ziya Pasya, namun mereka yang tertipu dengan Eropa.

    Yang berbicara bukan diriku, namun hatiku yang merupakan murid al-Qur’an.

    Kalimat di atas merupakan hakikat. Jangan bingung! Jangan sampai melampaui batas!

    Jangan condong kepada pemikiran asing. Ia adalah kesesatan yang akan berakhir dengan penyesalan.

    Tidakkah engkau melihat orang yang paling pintar dan genius selalu berkata dengan penuh kebingungan:

    Oh,kepada siapa aku mengadu?Aku bingung.

    Sementara tanpa ragu aku berkata dengan dipandu al-Qur’an,

    “Aku mengadu kepada-Nya dan tidak bingung seperti dirimu.”

    Aku memohon kebenaran kepada Dzat Yang Mahabenar, tanpa mele- wati batas sepertimu.

    Aku berdoa dari bumi menuju langit dan tidak akan lari sepertimu.

    Dalam al-Qur’an, seluruh dakwah berasal dari cahaya menuju cahaya. Aku takkan berpaling sepertimu.

    Dalam al-Qur’an terdapat hikmah yang benar yang kubuktikan. Aku tidak akan condong kepada filsafat yang bertentangan dengan al-Qur’an.

    Dalam al-Qur’an terdapat inti berbagai hakikat. Kuterima ia dengan sepenuh jiwa dan takkan kujual sepertimu.

    Perjalananku dari makhluk menuju al-Haq tanpa menyimpang sepertimu.

    Aku terbang di atas jalan berduri tanpa mau menginjaknya seper- timu.

    Syukurku naik menuju langit tanpa membangkang sepertimu.

    Kulihat kematian dan ajal sebagai sahabat, tanpa takut sepertimu.

    Aku masuk ke dalam kubur seraya tersenyum tanpa rasa cemas sepertimu.

    Aku tidak melihatnya sebagai mulut monster dan ambang ketiadaan.

    Namun ia adalah tempat perjumpaan dengan para kekasih sehingga tidak kubenci. Aku tidak risau dengannya dan tidak mengkhawatirkannya.

    Ia pintu rahmat, pintu cahaya, dan pintu kebenaran. Aku tidak bosan denganya dan tidak meninggalkannya.

    Aku mengetuknya dengan nama Allah, tanpa menoleh dan tanpa rasa cemas.

    Aku akan tidur dengan tenang seraya mengucapkan alhamdulillah tanpa merasa sendirian.

    Aku akan bangkit di atas gema suara Israfil di fajar kebangkitan de- ngan berkata, “Allahu Akbar.” Aku tidak takut pada mahsyar. Dan tidak akan lari dari masjid terbesar.

    Aku tidak putus asa berkat karunia Allah, cahaya al-Qur’an, dan limpahan iman.

    Aku berusaha terbang menuju naungan arasy ar-Rahman. Dengan izin Allah, aku tidak akan tersesat sepertimu.


    Munajat

    هٰذِهِ ال۟مُنَاجَاةُ تَخَطَّرَت۟ فِى ال۟قَل۟بِ هٰكَذَا بِال۟بَيَانِ ال۟فَارِسٖى

    Munajat ini ditulis, sebagaimana terlintas di dalam kalbu, dalam bahasa Persia. Ia diterbitkan sebagai bagian dari risalah “Hubâb min Ummân al-Qur’an” (Buih dari lautan al-Qur’an).

    يَارَب۟ بَشَش۟ جِهَت۟ نَظَر۟ مٖيكَر۟دَم۟ دَر۟دِ خُود۟رَا دَر۟مَان۟ نَمٖى دٖيدَم۟

    “Wahai Tuhan, tatapanku tertuju ke enam arah dengan harapan bisa menemukan obat dari penyakitku. Aku bersandar kepada ke- mampuanku dengan lalai tanpa bertawakkal. Akan tetapi, sungguh malang aku tidak dapat menemukan obat bagi penyakitku, sehingga datanglah bisikan padaku, “Bukankah penyakit tersebut sudah cukup menjadi obat.”

    دَر۟رَاس۟ت۟ مٖى دٖيدَم۟ كِه دٖى رُوز۟ مَزَارِ پَدَرِ مَنَس۟ت۟

    Ya, dengan lalai aku melihat masa lalu di sisi kananku guna mencari pelipur lara. Namun aku melihat hari kemarin berupa kubur ayahku. Masa lalu tampak bagiku seperti kuburan besar nenek mo- yangku. Alih-alih mendapatkan pelipur lara, hal ini justru membuatku semakin pilu.

    Hanya saja kemudian iman memperlihatkan kuburan besar itu sebagai majelis bersinar dan tempat berkumpulnya para kekasih.

    وَ دَر۟ چَپ۟ دٖيدَم۟ كِه فَر۟دَا قَب۟رِ مَنَس۟ت۟

    Kemudian aku menatap masa depan di sisi kiri. Aku tidak menemukan obat padanya. Namun esok tampak bagiku dalam bentuk kuburku. Masa depan terlihat sebagai kuburan bagi orang-orang se- pertiku dan pemakaman bagi generasi kemudian. Alih-alih mendapat pelipur lara, hal itu malah membuatku semakin pilu.

    Hanya saja iman dan rasa tenteram yang dihasilkannya memper- lihatkan kuburan besar itu sebagai undangan kasih sayang Tuhan di istana kebahagiaan yang indah.

    وَ اٖيم۟رُوز۟ تَابُوتِ جِس۟مِ پُر۟ اِض۟طِرَابِ مَنَس۟ت۟

    Karena sisi kiri tidak berguna, aku pun melihat ke hari ini. Ternyata ia seperti keranda yang membawa jenazah tubuhku yang be- rada dalam kondisi antara mati dan hidup.

    Hanya saja iman memperlihatkan keranda itu sebagai tempat bisnis dan jamuan yang mewah.

    بَر۟ سَرِ عُم۟ر۟ جَنَازَۀِ مَن۟ اٖيس۟تَادَه اَس۟ت۟

    Maka, dari sisi ini aku tidak menemukan obat. Kuangkat kepalaku untuk melihat ke puncak pohon usiaku. Kutatap betapa jenazahku merupakan buah satu-satunya dari pohon tersebut. Ia se- dang menantiku di sana.

    Hanya saja iman kemudian memperlihatkan bahwa buah terse- but bukanlah jenazah. Namun ia merupakan ruhku yang menuju ke- hidupan abadi dan menantikan kebahagiaan abadi dengan melepas sangkarnya yang lama guna melayang di antara bintang-gemintang.

    دَر۟ قَدَم۟ اٰبِ خَاكِ خِل۟قَتِ مَن۟ وَ خَاكِس۟تَرِ عِظَامِ مَنَس۟ت۟

    Aku pun berpaling dari sisi tersebut. Kutundukkan kepala- ku. Kulihat tulangku yang telah rusak dan hancur bercampur dengan tanah awal penciptaanku. Ia diinjak oleh berbagai kaki. Sisi ini mem- buatku semakin sakit dan sama sekali tidak membantu.

    Hanya saja iman memperlihatkan tanah tersebut sebagai pintu menuju rahmat Tuhan dan tirai ruang surga.

    چُون۟ دَر۟ پَس۟ مٖينِگَرَم۟ بٖينَم۟ اٖين۟ دُن۟يَاءِ بٖى بُن۟يَاد۟ هٖيچ۟ دَر۟ هٖيچَس۟ت۟

    Kupalingkan pandanganku dari sisi itu menoleh ke be- lakang. Kulihat dunia yang fana bergulir menuju lembah kesia-siaan dan gelapnya ketiadaan. Alih-alih menjadi pelipur lara, sisi ini justru menghembuskan racun rasa cemas dan takut ke dalam penyakitku.

    Hanya saja iman memperlihatkan bahwa dunia yang bergulir di kegelapan itu tidak lain merupakan ketentuan Ilahi dan lembaran tulisan-Nya yang menyudahi tugasnya, memberikan maknanya, serta meninggalkan buahnya di alam wujud sebagai ganti darinya.

    وَ دَر۟ پٖيش۟ اَن۟دَازَۀِ نَظَر۟ مٖيكُنَم۟ دَرِ قَبِر۟ كُشَادَه اَس۟ت۟

    وَ رَاهِ اَبَد۟ بَدُورِ دِرَاز۟ بَدٖيدَارَس۟ت۟

    Ketika pada sisi ini aku juga tidak menemukan sebuah ke- baikan, maka kuarahkan pandangan ke depan. Kulihat pintu kubur terbuka di awal perjalananku. Di belakangnya tampak dengan jelas jalan yang membentang menuju keabadian.

    Adapun iman, ia menjadikan pintu kubur tersebut sebagai pin- tu menuju alam cahaya, sementara jalan tadi adalah jalan menuju ke- bahagiaan yang kekal. Maka, iman benar-benar menjadi balsam yang bisa menyembuhkan penyakitku.

    مَرَا جُز۟ جُز۟ءِ اِخ۟تِيَارٖى چٖيزٖى نٖيس۟ت۟ دَر۟ دَس۟ت۟

    Jadi, pada keenam sisi di atas aku tidak menemukan satu pun pelipur lara. Yang kudapatkan hanya rasa resah dan gelisah. Pada ke- semuanya aku tidak mendapatkan sandaran kecuali sebagian kecil dari ikhtiarku yang parsial.

    Adapun iman, ia memberikan sebuah instrumen kepadaku agar aku bisa bersandar kepada qudrah-Nya yang Mahaagung sebagai ganti dari ikhtiar ini.

    كِه اُو جُز۟ء۟ هَم۟ عَاجِز۟ هَم۟ كُوتَاهُ و هَم۟ كَم۟ عَيَارَس۟ت۟

    Ikhtiar parsialku yang merupakan senjata manusia demikian lemah dan terbatas. Ia tidak bisa mencipta dan hanya bisa berikhtiar.

    Hanya saja iman menjadikan ikhtiar parsial tersebut memadai untuk segala hal karena digunakan di jalan Allah. Ia laksana prajurit yang ikut dalam pasukan negara sehingga dapat menunaikan ribuan kali lipat dari kekuatannya.

    نَه دَر۟ مَاضٖى مَجَالِ حُلُول۟ نَه دَر۟ مُس۟تَق۟بَل۟ مَدَارِ نُفُوذ۟ اَس۟ت۟

    Karena ikhtiarku tak mampu menembus masa lalu dan tak ber- pengaruh bagi masa depan, maka ia tak berguna bagi harapan dan ke- pedihanku di masa lalu dan masa mendatang.

    Imanlah yang memegang kendali ikhtiarku tersebut dari fisik hewani guna diserahkan ke kalbu dan roh. Karena itu, ia bisa menu- ju masa lalu dan menembus masa depan, di mana wilayah kehidupan kalbu dan ruh sangat luas.

    مَي۟دَانِ اُو اٖين۟ زَمَانِ حَال۟ و يَك۟ اٰنِ سَيَّالَس۟ت۟

    Wilayah ikhtiarku berupa masa kini yang terbatas. Ia temporer dan pasti berakhir.

    بَا اٖين۟ هَمَه فَق۟ر۟هَا وَ ضَع۟ف۟هَا قَلَمِ قُد۟رَتِ تُو اٰشِكَارَه نُوِش۟تَه اَس۟ت۟

    دَر۟ فِط۟رَتِ مَا مَي۟لِ اَبَد۟ وَ اَمَلِ سَر۟مَد۟

    Di samping seluruh kebutuhanku, kelemahanku, kepapaanku, dan ketidakberdayaanku, aku diserang oleh rasa cemas yang bersum- ber dari enam arah. Sementara harapan yang membentang menuju ke- abadian masuk ke dalam fitrahku.

    بَل۟كِه هَر۟ چِه هَس۟ت۟ ، هَس۟ت۟

    Dalam fitrahku juga tertanam ber- bagai keinginan yang tertulis secara jelas dengan pena qudrah. Bahkan model dari seluruh yang ada di dunia terdapat di dalam fitrahku. Aku terpaut dengan mereka. Aku berusaha untuknya dan terdorong untuk menggapainya.

    دَائِرَۀِ اِح۟تِيَاج۟ مَانَن۟دِ دَائِرَۀِ مَدِّ نَظَر۟ بُزُر۟گٖى دَارَس۟ت۟

    Wilayah kebutuhan sangat luas seluas mata memandang, bah- kan seluas jangkauan khayalan.

    خَيَال۟ كُدَام۟ رَسَد۟ اِح۟تِيَاج۟ نٖيز۟ رَسَد۟

    دَر۟ دَس۟ت۟ هَر۟چِه نٖيس۟ت۟ دَر۟ اِح۟تِيَاج۟ هَس۟ت۟

    Bahkan semua yang tidak dapat diraih oleh tangan termasuk dalam kebutuhan, sementara yang tidak terjang- kau oleh tangan sungguh tidak terbatas. Sedangkan wilayah kemam- puan sangat terbatas sebatas jangkauan tangan.

    دَائِرَۀِ اِق۟تِدَار۟ هَم۟چُو دَائِرَۀِ دَس۟تِ كُوتَاه۟ كُوتَاهَس۟ت۟

    Artinya kefakiran dan kebutuhanku seluas dunia, sementara modalku sangat parsial dan kecil.

    پَس۟ فَق۟رُ و حَاجَاتِ مَا بَقَد۟رِ جِهَانَس۟ت۟

    Kebutuhan yang seukuran alam ini di mana ia hanya bisa diraih dengan miliaran sama sekali tak bisa dibandingkan dengan ikhtiarku yang parsial.

    وَ سَر۟مَايَۀِ مَا هَم۟ چُو جُز۟ءِ لَايَتَجَزَّا اَس۟ت۟

    Berbagai kebutuhan tersebut tak bisa dibeli dengan harga yang sangat sedikit ini.

    اٖين۟ جُز۟ء۟ كُدَام۟ وَ اٖين۟ كَائِنَاتِ حَاجَات۟ كُدَامَس۟ت۟

    Ia tidak mungkin bisa diraih dengannya. Maka, harus dicari cara lain.

    پَس۟ دَر۟ رَاهِ تُو اَز۟ اٖين۟ جُز۟ء۟ نٖيز۟ بَاز۟ مٖى گُذَش۟تَن۟ چَارَۀِ مَن۟ اَس۟ت۟

    Cara tersebut adalah dengan melepas ikhtiar parsial tadi sekaligus menye- rahkannya kepada kehendak Ilahi. Jadi, dengan menanggalkan kekua- tan dan upaya sendiri serta memohon daya dan kekuatan Allah. De- ngan demikian, manusia berpegang pada tali tawakkal. Wahai Tuhan, karena hanya ini sarana menuju keselamatan, maka aku berlepas dari ikhtiarku yang parsial dan egoku di jalan-Mu.

    تَا عِنَايَتِ تُو دَس۟ت۟گٖيرِ مَن۟ شَوَد۟ رَح۟مَتِ بٖى نِهَايَتِ تُو پَنَاهِ مَن۟ اَس۟ت۟

    Hal itu agar pertolo- ngan-Mu membantu sebagai wujud rahmat-Mu terhadap kelemahan dan ketidakberdayaanku serta agar rahmat-Mu menjadi sandaranku dan agar pintunya terbuka bagiku.

    اٰن۟ كَس۟ كِه بَح۟رِ بٖى نِهَايَتِ رَح۟مَت۟ يَاف۟ت۟ اَس۟ت۟

    تَك۟يَه نَه كُنَد۟ بَر۟ اٖين۟ جُز۟ءِ اِخ۟تِيَارٖى كِه يَك۟ قَط۟رَه سَرَابَس۟ت۟

    Ya, setiap orang yang menemukan lautan rahmat yang tak berte- pi tidak akan bersandar pada ikhtiarnya sendiri yang laksana setetes fatamorgana. Ia tidak akan menyerahkan urusannya kepadanya, tetapi kepada rahmat tersebut.

    اَي۟وَاه۟ اٖين۟ زِن۟دِگَانٖى هَم۟ چُو خَابَس۟ت۟

    وٖين۟ عُم۟رِ بٖى بُن۟يَاد۟ هَم۟ چُو بَادَس۟ت۟

    Sungguh malang! Kami telah tertipu. Kami mengira kehidupan dunia ini abadi. Dengan pandangan semacam itu, kami telah menyia- nyiakan segalanya.Ya, kehidupan ini seperti tidur sesaat lalu lenyap seperti mimpi. Usia yang rapuh ini pergi bagaikan angin yang bertiup.

    اِن۟سَان۟ بَزَوَال۟ دُن۟يَا بَفَنَا اَس۟ت۟ اٰمَال۟ بٖى بَقَا اٰلَام۟ بَبَقَا اَس۟ت۟

    Manusia sombong yang membanggakan diri dan menyangka dirinya abadi ternyata akan menghilang. Ia akan segera pergi. Semen- tara dunia yang menjadi tempatnya akan menuju gelapnya ketiadaan. Berbagai harapan berlalu seperti hembusan angin dan yang tersisa ha- nya kepedihan yang tertanam di dalam jiwa.

    بِيَا اَى۟ نَف۟سِ نَافَر۟جَام۟ وُجُودِ فَانِىِ خُود۟رَا فَدَا كُن۟

    خَالِقِ خُود۟رَا كِه اٖين۟ هَس۟تٖى وَدٖيعَه هَس۟ت۟

    Jika hakikatnya demikian. Marilah wahai diri yang merindu- kan kehidupan, yang mengharap usia panjang, yang mencintai dunia, yang menghadapi derita tak terhingga dan harapan tak terkira. Wahai diri yang malang, sadarlah! Tidakkah engkau melihat bahwa kunang- kunang yang bersandar pada cahayanya selalu berada dalam kegela- pan malam yang pekat. Sementara lebah yang tidak bertumpu pada dirinya mendapatkan cahaya siang. Ia bisa melihat sejumlah bunga yang merupakan temannya berkilau dengan cahaya matahari. Begitu pula dengan dirimu. Jika engkau bersandar pada eksistensi, diri, dan egomu, engkau akan seperti kunang-kunang. Akan tetapi, jika engkau mengorbankan wujudmu yang fana di jalan Penciptamu yang telah menganugerahkannya padamu, engkau akan menjadi seperti lebah. Engkau akan menemukan cahaya wujud yang tak terhingga. Maka, korbankan dirimu, sebab wujud ini merupakan titipan dan amanah yang ada padamu.

    وَ مُل۟كِ اُو وَ اُو دَادَه فَنَا كُن۟ تَا بَقَا يَابَد۟

    اَز۟ اٰن۟ سِرّٖى كِه ، نَف۟ىِ نَف۟ى۟ اِث۟بَات۟ اَس۟ت۟

    Kemudian alam ini merupakan kerajaan-Nya. Dialah yang telah memberikannya kepadamu. Karena itu, korbankanlah ia tanpa ragu. Korbankan ia agar bisa menjadi kekal, sebab menafikan penafian me- rupakan penetapan. Artinya, jika ketiadaan ditiadakan, maka ia me- rupakan keberadaan. Jika “tiada” tidak ada, berarti hasilnya “ada”.

    خُدَاىِ پُر۟كَرَم۟ خُود۟ مُل۟كِ خُود۟رَا مٖى خَرَد۟ اَز۟ تُو

    بَهَاىِ بٖى كِرَان۟ دَادَه بَرَاىِ تُو نِگَاه۟ دَارَس۟ت۟

    Allah membeli milik-Nya darimu lalu memberimu harganya dalam jumlah besar, yaitu surga. Ia menjaga milik-Nya itu sekaligus meninggikan nilainya. Lalu Dia akan mengembalikannya kepadamu dalam bentuk yang kekal dan sempurna. Karena itu wahai diri, cepat- lah melakukan perdagangan tersebut! Ia merupakan perdagangan yang memberikan lima keuntungan. Dengan kata lain, engkau mendapat lima keuntungan sekaligus dan selamat dari lima kerugian.


    فَلَمَّٓا اَفَلَ قَالَ لَٓا اُحِبُّ ال۟اٰفِلٖينَ

    لَقَد۟ اَب۟كَانٖى نَع۟ىُ ( لَٓا اُحِبُّ ال۟اٰفِلٖينَ ) مِن۟ خَلٖيلِ اللّٰهِ

    “Tatkala bintang itu terbenam, ia berkata, “Saya tidak suka kepada yang terbenam.” (QS. al-An’âm [6]: 76). Ungkapan duka, “Saya tidak suka kepada yang terbenam” yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim  di saat kepergian entitas telah mem- buatku menangis.

    فَصَبَّت۟ عَي۟نُ قَل۟بٖى قَطَرَاتٍ بَاكِيَاتٍ مِن۟ شُئُونِ اللّٰهِ

    Mata kalbuku menuangkan sejumlah tetesan. Setiap tetes membawa kesedihan dan duka yang membuatku menangis. Te- tesan itu tidak lain adalah sejumlah bait berikut yang datang ke dalam kalbu dalam bahasa Persia.

    لِتَف۟سٖيرِ كَلَامٍ مِن۟ حَكٖيمٍ اَى۟ نَبِىٍّ فٖى كَلَامِ اللّٰهِ

    Ia semacam penjelasan dari ucapan Khali- lullah, sang nabi yang bijak, Ibrahim , sebagaimana terkandung da- lam ayat di atas, “Saya tidak suka kepada yang terbenam.”

    نَمٖى زٖيبَاس۟ت۟ اُفُول۟دَه گُم۟ شُدَن۟ مَح۟بُوب۟

    Kekasih yang terbenam bukanlah kekasih yang indah. Makhluk yang fana tidak akan memiliki keindahan yang hakiki dan tidak akan disukai oleh kalbu. Sebab, kalbu yang tercipta untuk mencintai keaba- dian dan memantulkan cahaya kekekalan tidak menyenangi kefanaan dan tidak layak dengannya.

    نَمٖى اَر۟زَد۟ غُرُوب۟دَه غَي۟ب۟ شُدَن۟ مَط۟لُوب۟

    Permintaan yang akan segera lenyap tidak layak menjadi pautan kalbu dan tidak pantas dirisaukan. Sebab, ia tidak bisa menjadi ruju- kan amal dan tambatan harapan. Diri tidak boleh meratapinya, apalagi untuk disenangi, digandrungi, dan disembah kalbu?

    نَمٖى خٰواهَم۟ فَنَادَه مَح۟و۟ شُدَن۟ مَق۟صُود۟

    Tujuan yang lenyap dalam kefanaan tak kuinginkan. Aku tidak menginginkan sesuatu yang fana, sebab aku juga makhluk yang fana. Apa arti sesuatu yang fana bagiku?

    نَمٖى خٰوانَم۟ زَوَال۟دَه دَف۟ن۟ شُدَن۟ مَع۟بُود۟

    Sesembahan yang terkubur dalam ketiadaan tidak akan kuse- ru, kuminta, dan takkan kuberlindung padanya. Sebab, yang tidak mampu memberikan obat bagi penyakitku yang berat dan tidak dapat membalut luka abadiku, bagaimana mungkin menjadi sesembahan, sementara ia sendiri tak dapat menyelamatkan dirinya dari ketiadaan?

    عَق۟ل۟ فَر۟يَاد۟ مٖى دَارَد۟ نِدَاءِ ( لَٓا اُحِبُّ ال۟اٰفِلٖينَ ) مٖى زَنَد۟ رُوحَم۟

    Di hadapan entitas yang bergerak menuju fana, akal yang tertipu dengan alam lahiriah berteriak putus asa setiap kali melihat kepergian yang ia cintai. Jiwa yang berusaha mencari kekasih abadi meratap de- ngan berkata, “Saya tidak suka kepada yang terbenam.”

    نَمٖى خٰواهَم۟ نَمٖى خٰوانَم۟ نَمٖى تَابَم۟ فِرَاقٖى

    Tidak, aku tidak ingin dan tidak akan sanggup berpisah.

    نَمٖى اَر۟زَد۟ مَرَاقَه اٖين۟ زَوَال۟ دَر۟ پَس۟ تَلَاقٖى

    Pertemuan yang berakhir dengan perpisahan sangat menyakitkan. Pertemuan yang dihiasi dengan perpisahan tidak layak dicintai dan tidak pantas dirindukan. Pasalnya, sebagaimana hilangnya nikmat merupakan kepedihan, maka membayangkan kepergiannya juga me- rupakan kepedihan. Kumpulan syair para pujangga cinta serta seluruh untaian bait mereka merupakan ratapan yang bersumber dari kepedi- han akibat membayangkan perpisahan.

    اَز۟ اٰن۟ دَر۟دٖى گِرٖينِ ( لَٓا اُحِبُّ ال۟اٰفِلٖينَ ) مٖى زَنَد۟ قَل۟بَم۟

    Bahkan jika engkau memeras intisari syair siapa pun dari mereka, yang terlihat dan keluar hanya- lah ratapan kepedihan yang bersumber dari kondisi membayangkan kepergian.Berbagai pertemuan yang diwarnai oleh perpisahan dan kekasih simbolik yang melahirkan kepedihan memeras kalbuku hingga me- nangis seraya berkata, “Saya tidak suka kepada yang terbenam” seperti yang diungkapkan nabi Ibrahim .

    دَر۟ اٖين۟ فَانٖى بَقَا خَازٖى بَقَا خٖيزَد۟ فَنَادَن۟

    Jika engkau benar-benar ingin kekal, sementara engkau berada di dunia yang fana, ketahuilah bahwa:Kekekalan bersumber dari kefanaan. Maka, lenyapkan nafsu am- mârah agar bisa memperoleh kekekalan.

    فَنَا شُد۟ هَم۟ فَدَا كُن۟ هَم۟ عَدَم۟ بٖين۟ كِه اَز۟ دُن۟يَا بَقَايَه رَاه۟ فَنَادَن۟

    Bebaskan diri dari semua perangai buruk yang menjadi sum- ber penghambaan terhadap dunia. Lenyapkan ia dari dirimu. Berikan seluruh yang kau miliki di jalan Dzat yang kau cintai. Lihatlah kesuda- han seluruh entitas masa lalu menuju ketiadaan. Maka, jalan di dunia yang menuju keabadian hanya bisa digapai lewat kondisi fana.

    فِكِر۟ فٖيزَار۟ مٖى دَارَد۟ اَنٖينِ ( لَٓا اُحِبُّ ال۟اٰفِلٖينَ ) مٖى زَنَد۟ وِج۟دَان۟

    Pikiran manusia yang larut memikirkan sebab-sebab materi senantiasa berada dalam kebingungan dan kerisauan menyaksikan pentas lenyapnya kehidupan dunia. Ia pun meminta pertolongan de- ngan penuh ketundukan. Sementara hati nurani yang mengharapkan wujud hakiki mengikuti sikap nabi Ibrahim  yang berkata, “Saya tidak suka kepada yang terbenam.” Ia memutus sejumlah hubungan dengan para kekasih kiasan. Ia melepas ikatan dengan seluruh entitas yang fana seraya berpegang pada tali abadi dan Kekasih abadi.

    بِدَان۟ اَى۟ نَف۟سِ نَادَانَم۟ كِه دَر۟ هَر۟ فَر۟د۟ اَز۟ فَانٖى دُو رَاه۟ هَس۟ت۟

    بَا بَاقٖى دُو سِرِّ جَانِ جَانَانٖى

    Wahai diri yang lalai dan bodoh! Ketahuilah bahwa engkau dapat menemukan dua jalan menuju keabadian pada segala sesuatu yang fana di dunia yang fana ini, sehingga pada keduanya engkau dapat menyaksikan cahaya dan rahasia indah Sang Kekasih hakiki. Hal itu manakala engkau mampu melewati bentuk yang fana dan menembus batas-batas dirimu.

    كِه دَر۟ نِع۟مَت۟هَا اِن۟عَام۟ هَس۟ت۟ وَ پَس۟ اٰثَار۟هَا اَس۟مَا بِگٖير۟ مَغ۟زٖى

    وَ مٖيزَن۟ دَر۟ فَنَا اٰن۟ قِش۟رِ بٖى مَع۟نَا

    Ya, pemberian nikmat tampak pada lipatan nikmat. Kelembutan Tuhan Yang Maha Penyayang dapat dirasakan di sela-sela nikmat. Jika engkau menerobos “nikmat” hingga dapat melihat pemberian nikmat, berarti engkau telah menemukan Sang Pemberi nikmat.Kemudian, setiap jejak keabadian Tuhan merupakan risalah-Nya yang tertulis. Masing-masing darinya menjelaskan nama Penciptanya yang mulia. Jika engkau mampu melintas dari ukiran lahiriah menuju makna batinnya, maka engkau akan mendapatkan Sang Pemilik nama lewat nama-nama-Nya yang mulia. Selama engkau berusaha mencapai esensi entitas yang fana, genggamlah maknanya dan biarkan kulitnya terbawa arus kefanaan. Lalu robeklah tirainya tanpa meratapi keper- giannya.

    بَلٖى اٰثَار۟هَا گُويَن۟د۟ زِاَس۟مَا لَف۟ظِ پُر۟ مَع۟نَا بِخَان۟ مَع۟نَا

    وَ مٖيزَن۟ دَر۟ هَوَا اٰن۟ لَف۟ظِ بٖى سَو۟دَا

    Ya, tidak ada sesuatu pun di alam ini kecuali merupakan lafal yang menuturkan berbagai makna agung. Bahkan ia mengungkap se- bagian besar nama-nama Penciptanya yang agung. Selama makhluk yang ada merupakan lafal dan kalimat qudrah Ilahi, maka bacalah esensinya dan jagalah ia di dalam kalbu. Lemparkan lafal-lafal yang ti- dak berharga dalam hembusan angin tanpa pernah menyesalinya dan tanpa disibukkan olehnya.

    عَق۟ل۟ فَر۟يَاد۟ مٖى دَارَد۟ غِيَاثِ ( لَٓا اُحِبُّ ال۟اٰفِلٖينَ ) مٖيزَن۟ اَى۟ نَف۟سَم۟

    Akal yang diuji dengan berbagai fenomena dunia hanya memiliki pengetahuan yang bersifat lahiriah terseret oleh rangkaian pemikiran- nya menuju ketiadaan dan kehampaan. Karena itu, ia berada dalam keresahan dan cemas dengan kondisi yang ada. Ia pun berteriak putus asa seraya mencari jalan keluar dari dilema yang dialami agar bisa me- nemukan jalan lurus yang mengantarnya pada hakikat.Ketika jiwa melepaskan sesuatu yang fana, kalbu juga mening- galkan kekasih yang segera lenyap, lalu hati nurani berpaling dari semua yang fana, maka wahai diri yang papa ucapkan sebagaimanayang diucapkan oleh nabi Ibrahim , “Saya tidak suka kepada yang terbenam.” Lalu selamatkan dirimu!

    چِه خُوش۟ گُويَد۟ اُو شَي۟دَا جَامٖى عِش۟ق۟ خُوى۟

    Lihatlah! Betapa indah ucapan Jami, seorang pujangga yang dimabuk cinta hingga seolah-olah fitrahnya telah menyatu dengan cinta kepada Tuhan di saat hendak mengarahkan pandangan kepada tauhid dan berpaling dari banyak hal yang berserakan.


    6يَكٖى خٰواه۟1 يَكٖى خٰوان۟2 يَكٖى جُوى۟3 يَكٖى بٖين۟4 يَكٖى دَان۟5 يَكٖى گُوى۟

    Ia berkata:

    Kutuju Yang Esa, sebab yang lain tak layak dituju.

    Kupinta Yang Esa, sebab yang lain tak dapat mengabulkan doa.

    Kuseru Yang esa, sebab yang lain tak layak diseru.

    Perhatikan Yang Esa, sebab yang lain tak bisa terus terlihat, namun akan lenyap di balik tirai kefanaan.

    Kukenal Yang Esa, sebab semua yang tak mengantar untuk mengenal-Nya tidak berguna.

    Kusebut Yang Esa, sebab semua ucapan dan sebutan yang tak ada kaitan dengan-Nya tidak bermanfaat sama sekali.

    نَعَم۟ صَدَق۟تَ اَى۟ جَامٖى هُوَ ال۟مَط۟لُوبُ ۝ هُوَ ال۟مَح۟بُوبُ ۝ هُوَ ال۟مَق۟صُودُ ۝ هُوَ ال۟مَع۟بُودُ

    Ya, Anda benar wahai Jami. Dialah yang dipinta, Dia-lah yang dicinta, Dia-lah yang dituju, dan Dia-lah yang disembah.

    كِه لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُو بَرَابَر۟ مٖيزَنَد۟ عَالَم۟

    Seluruh alam laksana halakah zikir dan tahlil yang besar yang mendendangkan lâ ilâha illallâh dengan beragam lisan dan irama. Semua mengakui tauhid. Maka ia dapat mengobati luka menganga yang ditimbulkan oleh ungkapan “Saya tidak suka kepada yang terbe- nam”. Seolah-olah ia berkata, “Marilah menuju Kekasih abadi. Lepas- kan tanganmu dari semua kekasih yang fana.”

    Sekitar dua puluh lima tahun yang lalu,(*[3])aku berada di puncak bukit Yusha yang mengarah ke selat Bosphorus, Istanbul. Ketika aku memutuskan untuk menjauh dari hiruk-pikuk kehidupan dunia, se- jumlah sahabat dekat datang mengajakku kembali kepada kondisiku dahulu. Maka, kukatakan pada mereka, “Tinggalkan diriku sendi- rian hingga esok untuk beristikharah kepada Tuhan. Di pagi harinya, datanglah dua potret berikut ke dalam kalbuku. Keduanya mirip de- ngan syair, namun ia bukanlah syair. Spontanitasnya tetap kupelihara dan kujaga sebagaimana adanya.

    Lalu kusisipkan ia pada penutup “Ka- limat Kedua Puluh Tiga.” Karena konteksnya sesuai, ia dimasukkan di sini.

    Potret Pertama

    (potret yang menggambarkan hakikat dunia bagi orang-orang lalai)

    Jangan mengajakku kepada dunia, aku telah mendatanginya Dan aku melihat kerusakan dan kefanaan padanya.

    Ketika kelalaian menjadi hijab, dan menutupi cahaya Allah,

    Kulihat seluruh entitas fana dan berbahaya.

    Jika engkau berkata, “Wujud.” Ia telah kukenakan. Betapa banyak penderitaan dalam ketiadaan.

    Jika engkau berkata, “Kehidupan.” Aku telah mencicipinya.Betapa banyak siksaan yang kurasakan.

    Sebab, akal menjadi hukuman, keabadian menjadi ujian.

    Usia seperti angin, kesempurnaan menjadi sia-sia.

    Amal menjadi sumber riya, harapan menjadi sumber derita.

    Perjumpaan menjadi perpisahan, obat menjadi penyakit.

    Cahaya menjadi kegelapan, para kekasih menjadi yatim.

    Suara menjadi rintihan, makhluk hidup menjadi mati.

    Ilmu menjadi ilusi, seribu penyakit dalam hikmah.

    Kenikmatan menjadi derita, seribu “tiada” dalam wujud.

    Jika engkau berkata, “kekasih!”. Aku telah mendapatkannya.Oh, betapa penderitaan dalam perpisahan.


    Potret Kedua

    (Potret yang menunjukkan hakikat dunia bagi mereka yang mendapat hidayah)

    Ketika kelalaian lenyap, aku melihat cahaya Allah dengan jelas.

    Wujud merupakan bukti Dzat-Nya, kehidupan adalah cermin Yang Mahabenar!

    Akal merupakan kunci kekayaan, kefanaan adalah pintu keabadian.

    Padamnya kilau kesempurnaan, terbitnya mentari Sang Mahaindah.

    Perpisahan menjadi perjumpaan, penderitaan menjadi kenikmatan!

    Usia menjadi amal itu sendiri, keabadian adalah usia yang sebenarnya!

    Kegelapan adalah tirai cahaya, kehidupan sejati ada dalam kematian.

    Segala sesuatu menjadi teman, semua suara menjadi zikir.

    Seluruh entitas menuturkan zikir dan tasbih.

    Kefakiran adalah sumber kekayaan, kekuatan ada pada kelemahan!

    Jika engkau menemukan Allah, maka segala sesuatu menjadi milikmu.

    Jika engkau hamba Sang Raja Diraja, kerajaan-Nya menjadi milikmu.

    Jika engkau hamba bagi dirimu dengan bangga terhadapnya, bencana yang tak terhingga.

    Rasakanlah ia sebagai siksa yang tak bertepi.

    Jika engkau benar-benar menjadi hamba Allah, lihatlah ketenangan yang tak terbatas!

    Dapatkan pahala tak terkira, dan raih kebahagiaan yang tak terhingga.

    Aku telah membaca untaian bait Asmaul Husna karya Syekh Abdul Qadir al-Jailani, sesudah asar, di salah satu hari di bulan Ra- madhan yang penuh berkah. Tepatnya dua puluh lima tahun yang lalu. Ketika itu, aku ingin menuliskan munajat lewat Asmaul Husna. Akhir- nya kutuliskan ia sebatas ini. Sebenarnya aku ingin menulis padanan dari munajat guruku yang mulia tersebut. Hanya saja, sungguh sangat jauh. Aku tidak memiliki bakat bersajak. Karena itu, aku tidak mampu melakukannya sehingga munajat ini terputus.

    Munajat ini kusisipkan dalam risalah “Jendela Tauhid”, yaitu Ka- limat Ketiga Puluh Tiga. Akan tetapi, karena sesuai dengan konteks- nya, ia juga disisipkan di sini.

    Dia-lah Yang Mahakekal

    Dia Pemutus semua perkara dan kami berada dalam hukum-Nya. Dia Hakim Yang Mahaadil Pemilik bumi dan langit seisinya.

    Dia mengetahui segala hal tersembunyi dan semua yang gaib ada dalam kerajaan-Nya. Dia-lah Yang Mahakuasa dan Abadi Pemilik Arasy dan seluruh kekayaan yang ada.

    Dia Mahalembut dan semua tulisan dalam ciptaan-Nya. Dia-lah Pencipta Mahakasih Pemilik kebaikan dan keindahan.

    Dia yang cermin-Nya Mahaindah, semua urusan berada dalam kreasi-Nya. Dia-lah Raja Yang Mahasuci Pemilik kemuliaan dan keagungan.

    Dia Pencipta seluruh manusia, dan kita termasuk tulisan kreasi-Nya. Dia-lah Yang Mahakekal dan Abadi Pemilik kerajaan dan kekekalan.

    Dia Maha Pemurah dalam memberikan hadiah dan kita adalah rombongan tamu-Nya. Dia-lah Pemberi rezeki Yang Mencukupi, Pemilik pujian dan sanjungan.

    Dia yang hadiah-Nya indah, dan kita adalah buah pengetahuan-Nya. Dia-lah Pencipta Yang setia dan Pemilik sifat pemurah.

    Dia Mendengar semua pengaduan dan doa makhluk-Nya. Dia-lah Pengasih dan Penyembuh, Pemilik syukur dan sanjungan.

    Dia pengampun semua kesalahan dan dosa hamba-Nya. Dia-lah Pemberi ampunan dan Penyayang Pemilik maaf dan rida.

    Wahai diri, mintalah pertolongan dan menangislah sebagaimana kalbu ini menangis dan berucaplah:

    Aku fana sehingga tidak menyukai yang fana.

    Aku lemah sehingga tidak menyenangi yang lemah.

    Kuserahkan jiwaku kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, tidak kepada yang lain.

    Aku menginginkan Sang Kekasih yang kekal abadi.

    Aku adalah sebuah partikel, Mentari Abadi yang kucari.

    Aku tidak berarti. Aku menginginkan semua entitas yang ada.


    di Padang Rumput Barla, di Tengah Pepohonan Cemara, Cedar, Beri, dan Cemara Hitam.

    (*[4])

    Ketika berada di puncak sebuah gunung di Barla di saat menjala- ni masa pengasingan, aku mengarahkan pandangan ke pepohonan Ce- mara, Cedar dan Beri yang demikian rindang hingga menutupi berba- gai sisi. Dengan penuh takjub kupandangi kondisinya dan keindahan bentuknya. Angin sepoi-sepoi berhembus di sekitar pemandangan yang indah tersebut menuju kondisi tasbih, zikir yang menarik, gelo- ra cinta dan tahlil. Tiba-tiba pemandangan menyenangkan itu men- datangkan sejumlah pelajaran ke hadapan mata dan menghembuskan hikmah ke telinga. Seketika terlintas dalam benakku ungkapan kali- mat berikut dalam bahasa Kurdi karya Ahmad al-Jazari.(*[5])

    Semuanya datang dengan cepat dari segala sisi untuk menyak- sikan keindahan-Mu. Mereka menunjukkan sikap manja di hadapan keindahan-Mu.Sebagai ekspresi makna yang mengandung pelajaran, kalbuku menangis melihat gambaran tersebut:

    يَا رَب۟ هَر۟ حَى۟ بِتَمَاشَاگَهِ صُن۟عِ تُو زِهَر۟جَاى۟ بَتَازٖى ۝ زِنِشٖيبُ اَز۟ فِرَازٖى مَانَن۟دِ دَلَّالَان۟ بِنِدَاءِ بِاٰوَازٖى ۝ دَم۟ دَم۟ زِجَمَالِ نَق۟شِ تُو دَر۟ رَق۟ص۟ بَازٖى ۝ زِكَمَالِ صُن۟عِ تُو خُوش۟ خُوش۟ بِگَازٖى ۝ زِشٖيرٖينٖى اٰوَازِ خُود۟ هَى۟ هَى۟ دِنَازٖى ۝ اَز۟وَى۟ رَق۟صَ اٰمَد۟ جَذ۟بَه خَازٖى ۝ اَزٖين۟ اٰثَارِ رَح۟مَت۟ يَاف۟ت۟ هَر۟ حَى۟ دَر۟سِ تَس۟بٖيحُ نَمَازٖى ۝ اٖيس۟تَادَس۟ت۟ هَر۟ يَكٖى بَر۟ سَن۟گِ بَالَا سَر۟فِرَازٖى ۝ دِرَاز۟ كَر۟دَس۟ت۟ دَس۟ت۟هَارَا بَدَر۟گَاهِ اِلٰهٖى هَم۟ چُو شَه۟بَازٖى ۝ بِجُن۟بٖيدَس۟ت۟ زُل۟ف۟هَارَا بَشَو۟ق۟ اَن۟گٖيزِ شَه۟نَازٖى ۝ بَبَالَا مٖيزَنَن۟د۟ اَز۟ پَر۟دَه هَاىِ هَاىِ هُوىِ عِش۟ق۟ بَازٖى ۝ مٖيدِهَد۟ هُوشَه گِرٖين۟هَاىِ دَرٖين۟هَاىِ زَوَالٖى اَز۟ حُبِّ مَجَازٖى ۝ بَر۟ سَرِ مَح۟مُود۟هَا نَغ۟مَهَاىِ حُز۟ن۟ اَن۟گٖيزِ اَيَازٖى ۝ مُر۟دَهَارَا نَغ۟مَهَاىِ اَزَلٖى اَز۟ حُز۟ن۟ اَن۟گٖيزِ نَوَازٖى ۝ رُوحَه مٖى اٰيَد۟ اَزُو زَم۟زَمَۀِ نَازُ نِيَازٖى ۝ قَل۟ب۟ مٖيخٰوانَد۟ اَزٖين۟ اٰيَات۟هَا سِرِّ تَو۟حٖيد۟ زِعُلُوِّ نَظ۟مِ اِع۟جَازٖى ۝ نَف۟س۟ مٖيخٰواهَد۟ دَر۟ اٖين۟ وَل۟وَلَهَا زَل۟زَلَهَا ذَو۟قِ بَاقٖى دَر۟ فَنَاىِ دُن۟يَا بَازٖى ۝ عَق۟ل۟ مٖيبٖينَد۟ اَزٖين۟ زَم۟زَمَهَا دَم۟دَمَهَا نَظ۟مِ خِل۟قَت۟ نَق۟شِ حِك۟مَت۟ كَن۟زِ رَازٖى ۝ اٰر۟زُو مٖيدَارَد۟ هَوَا اَزٖين۟ هَم۟هَمَهَا هَو۟هَوَهَا مَر۟گِ خُود۟ دَر۟ تَر۟كِ اَذ۟وَاقِ مَجَازٖى ۝ خَيَال۟ بٖينَد۟ اَزٖين۟ اَش۟جَار۟ مَلَائِك۟ رَا جَسَد۟ اٰمَد۟ سَمَاوٖى بَاهَزَارَان۟ نَى۟ ۝ اَزٖين۟ نَي۟هَا شُنٖيدَت۟ هُوش۟ سِتَايِش۟هَاىِ ذَاتِ حَى۟ ۝ وَرَق۟هَارَا زَبَان۟ دَارَن۟د۟ هَمَه هُو هُو ذِك۟ر۟ اٰرَن۟د۟ بَدَر۟ مَع۟نَاىِ حَىُّ حَى۟ ۝ چُو لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُو بَرَابَر۟ مٖيزَنَد۟ هَر۟ شَى۟ ۝ دَمَادَم۟ جُويَدَن۟د۟ يَا حَق۟ سَرَاسَر۟ گُويَدَن۟د۟ يَا حَى۟ بَرَابَر۟ مٖيزَنَن۟د۟ اَللّٰه۟ ۝ فَيَا حَىُّ يَا قَيُّومُ بِحَقِّ اِس۟مِ حَىِّ قَيُّومِ ۝ حَيَاتٖى دِه۟ بَاٖين۟ قَل۟بِ پَرٖيشَان۟ رَا اِس۟تِقَامَت۟ دِه۟ بَاٖين۟ عَق۟لِ مُشَوَّش۟ رَا ۝ اٰمٖين۟

    di Padang Rumput Barla, di Tengah Pepohonan Cemara, Cedar, Beri, dan Cemara Hitam.

    Semuanya datang dengan cepat dari segala sisi untuk menyak- sikan keindahan-Mu. Mereka menunjukkan sikap manja di hadapan keindahan-Mu.

    Sebagai ekspresi makna yang mengandung pelajaran, kalbuku menangis melihat gambaran tersebut:

    Wahai Tuhan, semua yang hidup datang dari setiap tempat untuk melihat keindahan-Mu. Mereka memerhatikan keindahan bumi yang merupakan galeri kreasi-Mu.

    يَا رَب۟ هَر۟ حَى۟ بِتَمَاشَاگَهِ صُن۟عِ تُو زِهَر۟جَاى۟ بَتَازٖى

    Mereka laksana penyeru dan penunjuk jalan.

    زِنِشٖيبُ اَز۟ فِرَازٖى مَانَن۟دِ دَلَّالَان۟ بِنِدَاءِ بِاٰوَازٖى

    Dari setiap tempat, dari bumi dan dari langit yang tinggi, mereka menyerukan keindahan-Mu.

    دَم۟ دَم۟ زِجَمَالِ نَق۟شِ تُو ( نُس۟خَه: زِهَوَاىِ شَو۟قِ تُو ) دَر۟ رَق۟ص۟ بَازٖى

    Pepohonan yang menjadi penunjuk dan penyeru itu menari, ter- pukau dengan keindahan ukiran-Mu di alam.

    زِكَمَالِ صُن۟عِ تُو خُوش۟ خُوش۟ بِگَازٖى

    Irama merdu dan gema yang memikat muncul lantaran melihat kesempurnaan kreasi-Mu.

    زِشٖيرٖينٖى اٰوَازِ خُود۟ هَى۟ هَى۟ دِنَازٖى

    Kemerduan suaranya membuatnya semakin senang hingga menampilkan gerak memikat.

    اَز۟وَى۟ رَق۟صَه اٰمَد۟ جَذ۟بَه خَازٖى

    Karena itu, pepohonan melakukan tarian indah dalam suka cita.

    اَزٖين۟ اٰثَارِ رَح۟مَت۟ يَاف۟ت۟ هَر۟ حَى۟ دَر۟سِ تَس۟بٖيحُ نَمَازٖى

    Setiap makhluk mendapatkan pelajaran untuk melakukan salat dan tasbih masing-masing sebagai buah dari rahmat Ilahi.

    اٖيس۟تَادَس۟ت۟ هَر۟ يَكٖى بَر۟ سَن۟گِ بَالَا سَر۟فِرَازٖى

    Setelah mendapat pelajaran berharga, setiap pohon tegak berdiri di atas batu karang seraya membuka kedua tangannya menghadap ke arasy.

    دِرَاز۟ كَر۟دَس۟ت۟ دَس۟ت۟هَارَا بَدَر۟گَاهِ اِلٰهٖى هَم۟ چُو شَه۟بَازٖى

    Setiap pohon memakai busana ubudiah dan membentangkan seratus tangannya dalam kondisi tunduk di hadapan hadirat Ilahi lak- sana Syahbaz Qalandar.(*[6])

    Lalu ranting-rantingnya menari seperti Syahnaz Calkazi(*[7])sehingga membangkitkan rasa rindu dan suka.

    Seakan-akan keindahan tersebut menggetarkan sejumlah ting- katan cinta, bahkan menyentuh relung-relung jiwa dan perasaan.

    بَبَالَا مٖيزَنَن۟د۟ اَز۟ پَر۟دَه هَاىِ هَاىِ هُوىِ عِش۟ق۟ بَازٖى

    نسخة: بَبَالاَ مِي زَنَـنْدْ اَزْ پَرْدَه هَاىِ هَاىِ هُوىِ چَرْخِ بَازِى مُرْدَهَارَا نَغْمَ هَاىِ اَزَلِى اَزْ حُزْنْ اَنْگِيزِ نَوَازِى

    مٖيدِهَد۟ هُوشَه گِرٖين۟هَاىِ دَرٖين۟هَاىِ زَوَالٖى اَز۟ حُبِّ مَجَازٖى

    Di hadapan pentas yang terungkap tersebut muncul makna beri- kut ini ke dalam pikiran:Ia mengingatkannya lewat ratapan pilu dan tangisan sendu yang muncul dari dalam jiwa disertai luka akibat pedihnya kepergian yang menimpa para kekasih.

    بَر۟ سَرِ مَح۟مُود۟هَا نَغ۟مَهَاىِ حُز۟ن۟ اَن۟گٖيزِ اَيَازٖى

    Ia memperdengarkan nada perpisahan dan sakit yang lara kepada para pecinta yang berpisah dengan mereka yang dicintai, sebagaimana Sultan Mahmud berpisah dengan kekasihnya.

    مُر۟دَهَارَا نَغ۟مَهَاىِ اَزَلٖى اَز۟ حُز۟ن۟ اَن۟گٖيزِ نَوَازٖى

    Dengan irama lembutnya yang lara, seolah-olah pepohonan itu menunaikan tugas memperdengarkan gema keabadian kepada mereka yang mati yang terputus dari suara dunia.

    رُوحَه مٖى اٰيَد۟ اَزُو زَم۟زَمَۀِ نَازُ نِيَازٖى

    Sementara dari pentas itu, jiwa ini belajar bahwa segala sesuatu mengarah pada manifestasi nama Pencipta Yang Mahamulia lewat tas- bih dan tahlil. Ia merupakan suara dan gema munajat dan doanya.

    قَل۟ب۟ مٖيخٰوانَد۟ اَزٖين۟ اٰيَات۟هَا سِرِّ تَو۟حٖيد۟ زِعُلُوِّ نَظ۟مِ اِع۟جَازٖى

    Adapun kalbu, dari untaian mukjizat yang indah itu ia membaca rahasia tauhid yang terdapat pada pepohonan di atas seakan-akan ia merupakan tanda kekuasaan nyata. Dengan kata lain, dalam pencip- taan masing-masingnya terdapat tatanan luar biasa, kreasi indah, dan hikmah menakjubkan di mana andai seluruh sebab alam tersebut ber- satu dan berkehendak sendiri, tentu ia tidak akan mampu menirunya.

    نَف۟س۟ مٖيخٰواهَد۟ دَر۟ اٖين۟ وَل۟وَلَهَا زَل۟زَلَهَا ذَو۟قِ بَاقٖى دَر۟ فَنَاىِ دُن۟يَا بَازٖى

    Selanjutnya jiwa, setiap kali ia menyaksikan kondisi pohon di atas seolah-olah seluruh alam ini bergulir menuju perpisahan dan ketiadaan. Maka ia mencari satu cita rasa abadi hingga mendapatkan satu makna, “Engkau akan menemukan keabadian dengan meninggal- kan penghambaan terhadap dunia.”

    عَق۟ل۟ مٖيبٖينَد۟ اَزٖين۟ زَم۟زَمَهَا دَم۟دَمَهَا نَظ۟مِ خِل۟قَت۟ نَق۟شِ حِك۟مَت۟ كَن۟زِ رَازٖى

    Lalu akal, ia telah menemukan keteraturan penciptaan, tulisan hikmah, dan khazanah rahasia yang agung dalam suara-suara lembut yang bersumber dari pepohonan dan hewan serta dari embun dan angin sepoi-sepoi. Ia akan memahami bahwa segala sesuatu bertasbih kepada Pencipta Yang Mahaagung lewat berbagai sisi.

    اٰر۟زُو مٖيدَارَد۟ هَوَا اَزٖين۟ هَم۟هَمَهَا هَو۟هَوَهَا مَر۟گِ خُود۟ دَر۟ تَر۟كِ اَذ۟وَاقِ مَجَازٖى

    Kemudian hawa nafsu menikmati desir pohon dan hembusan angin yang membuatnya lupa akan seluruh cita rasa majasi sehingga ingin mati dalam cita rasa hakiki tersebut dengan meninggalkan cita rasa majasi yang merupakan esensi kehidupannya.

    خَيَال۟ بٖينَد۟ اَزٖين۟ اَش۟جَار۟ مَلَائِك۟ رَا جَسَد۟ اٰمَد۟ سَمَاوٖى بَاهَزَارَان۟ نَى۟

    Terkait dengan khayalan, ia melihat seolah-olah malaikat yang bertugas mengurus pepohonan telah masuk ke batangnya dan me- makai ranting-ranting yang memiliki pipa seruling dengan banyak ragam. Seakan-akan Penguasa abadi telah memakaikan fisik tersebut kepada mereka dalam satu pagelaran besar bersama ribuan irama se- ruling agar pohon itu bisa menampilkan wujud syukur secara sempur- na; tidak hanya berupa fisik yang mati dan tak berperasaan.

    اَزٖين۟ نَي۟هَا شُنٖيدَت۟ هُوش۟ سِتَايِش۟هَاىِ ذَاتِ حَى۟

    Seruling-seruling tersebut demikian memikat karena mengelu- arkan sejumlah suara yang lembut. Seolah-olah ia keluar dari musik langit yang tinggi. Darinya tidak terdengar suara ratapan derita per- pisahan sebagaimana yang didengar oleh para pecinta, terutama Mau- lana Jalaluddin Rumi. Bahkan ia memperdengarkan beragam bentuk syukur kepada Sang Pemberi nikmat Yang Maha Pengasih serta bera- gam pujian kepada Dzat Mahahidup Yang Mahaabadi.

    وَرَق۟هَارَا زَبَان۟ دَارَن۟د۟ هَمَه هُو هُو ذِك۟ر۟ اٰرَن۟د۟ بَدَر۟ مَع۟نَاىِ حَىُّ حَى۟

    Ketika pepohonan menjadi tubuh, dedaunan pun menjadi lisan. Lewat ribuan lisan masing-masing mendendangkan zikir kepada Allah dengan mengucap, “Huwa (Dia), Huwa (Dia)...” saat dihem- bus angin. Ia menampilkan salam penghormatan kepada Penciptanya Yang Mahahidup dan abadi.

    چُو لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُو بَرَابَر۟ مٖيزَنَد۟ هَر۟ شَى۟

    Segala sesuatu mengucap lâ ilâha illâ huwa serta bekerja di da- lam lingkaran zikir jagat raya.

    دَمَادَم۟ جُويَدَن۟د۟ يَا حَق۟ سَرَاسَر۟ گُويَدَن۟د۟ يَا حَى۟ بَرَابَر۟ مٖيزَنَن۟د۟ اَللّٰه۟

    Dari khazanah rahmat Ilahi serta lewat lisan potensi dan fitrahnya, mereka senantiasa meminta dan menuntut hak hidupnya dengan selalu mengucap, “Ya Haqq (Wahai Yang Ma- habenar).” Semua menyebut nama “Ya Hayyu” dengan lisan pengeta- huannya tentang fenomena hidup.

    Wahai Yang Mahahidup, sesuai dengan kebenaran nama Hayyun Qayyûm,

    berikan kehidupan kepada kalbuku yang kacau dan berikan istikamah pada akalku yang bingung.

    Suatu hari aku berada di salah satu puncak Gunung Çam. Aku menatap langit di keheningan malam. Tiba-tiba sejumlah ungkapan berikut terlintas dalam benakku. Seakan-akan secara khayalan aku mendengar tuturan bintang lewat lisan hal. Kutuliskan lintasan pikiran tersebut sebagaimana adanya tanpa disesuaikan dengan kaidah sajak dan syair karena aku tidak memiliki pengetahuan tentangnya.

    Dikutip dari “Surat Keempat” dan dari penutup mauqif pertama pada “Kalimat Ketiga Puluh Dua”.

    RISALAH BINTANG

    Perhatikan pula bintang-gemintang!

    Perhatikan tuturannya yang manis dan nikmat agar engkau bisa mengetahui ketetapan stempel hikmah yang menyinari alam.

    Dengan lisan kebenaran, semuanya menyeru dan berkata:

    Kami adalah bukti bersinar yang menunjukkan keagungan Tuhan Yang Mahakuasa.

    Sang Pencipta Yang Mahamulia serta keesaan dan kekuasaan-Nya.

    Kami adalah saksi jujur atas eksistensi

    Kami berwisata, seperti malaikat,

    di atas berbagai mukjizat yang menghias wajah bumi.

    melihat dari langit ke bumi serta menatap surga.

    Kami ribuan mata yang(*[8])

    Kami ribuan buah indah dari pohon penciptaan yang

    digantung oleh tangan hikmah Dzat Yang Mahaindah di atas langit dan di atas ranting galaksi.

    Kami masjid yang berjalan, kediaman yang beredar,

    sangkar yang tinggi, lentera yang bersinar, serta perahu dan pesawat yang besar bagi penduduk langit.

    Kami adalah mukjizat qudrah Yang Mahakuasa dan Maha Sempurna, kreasi luar biasa Dzat Yang Mahabijak dan Mahaagung,

    hikmah yang menakjubkan, ciptaan yang sangat indah, serta alam yang bercahaya.

    Demikianlah, kami menjelaskan lewat seratus ribu bukti lewat seratus ribu lisan. Kami memperdengarkannya kepada mereka yang benar-benar manusia.

    Mata orang kafir buta, tak bisa melihat wajah kami yang bersinar, dan tidak bisa mendengar ucapan kami yang jelas. Kami adalah bukti (tanda kekuasaan) yang menuturkan kebenaran.

    Stempel kami sama, wajah kami sama. Kami semua bertasbih dan berzikir kepada Rabb kami, serta tunduk pada perintah-Nya.

    Kami berzikir kepada Allah sedang kami ditarik oleh cinta kepa- da-Nya.

    Kami terikat dengan halakah zikir galaksi bima sakti.



    KALIMAT KEENAM BELAS ⇐ | Al-Kalimât | ⇒ KALIMAT KEDELAPAN BELAS

    1. *Lihat HR. ad-Daylami, al-Musnad 1/85, al-Qurthubi, al-Jâmi li Ahkam al-Qur’ân 15/111, al-Sarkhasi, al-Mabsûth 12/10, al-Kasâni, Badâ’i ash-Shanâ’i’ 5/80, Ibnu Hajar, Talkhîsh al-Khabîr 4/138.
    2. *Teks asli yang terdapat pada Kedudukan Kedua ini berbentuk seperti syair, namun sebetulnya ia bukanlah syair dan tidak ada maksud merangkainya. Akan tetapi, tatanan hakikat yang sempurna menjadikannya berbentuk seperti untaian syair—Penulis.
    3. *Maksudnya tahun 1922 M.
    4. *Bagian dari Surat Kesebelas. Karena kesesuain konteks, ia dimasukkan di sini— Penulis.
    5. *Lihat: al-‘Iqd al-Jauhari fî Syarhi Dîwân al-Jazari, h.438.
    6. *Ia adalah pelayan Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Ia mendapat pembinaan darinya hingga mencapai tingkatan wali—Penulis.
    7. *Wanita cantik yang dikenal lewat kecantikan diri serta kecantikan rambutnya— Penulis.
    8. *Maknanya, bumi merupakan persemaian dan ladang bunga-bunga surga. Ia menampilkan berbagai mukjizat qudrah Ilahi yang tak terhingga. Sebagaimana malaikat berwisata di alam samawi dan menyaksikan berbagai mukjizatnya, demikian pula dengan bintang yang laksana mata benda langit yang melihat. Setiap kali melihat berbagai ciptaan yang indah yang memenuhi bumi, bintang juga melihat alam surga. Ia melihat berbagai hal luar biasa yang bersifat temporer dalam bentuknya yang kekal di sana. Yakni, ketika ia mengarahkan satu pandangan ke bumi, yang lain terarah ke surga. Artinya, ia memiliki sinar yang bisa melihat kedua alam itu secara bersamaan—Penulis.