KALIMAT KEDUA PULUH SATU

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    23.19, 8 Kasım 2024 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 179863 numaralı sürüm ("------ <center> KALIMAT KEDUA PULUH ⇐ | Al-Kalimât | ⇒ KALIMAT KEDUA PULUH DUA </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    (fark) ← Önceki sürüm | Güncel sürüm (fark) | Sonraki sürüm → (fark)

    (Dua Kedudukan)

    KEDUDUKAN PERTAMA

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

    (Nasihat bagi Orang yang Malas Salat)“Sesungguhnya salat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”(QS. an-Nisâ [4]:103).

    Suatu hari salah seorang yang telah berusia lanjut, berbadan besar, dan berpangkat tinggi berkata kepadaku, “Melaksanakan salat adalah perbuatan yang baik. Namun ketika diulang-ulang setiap hari lima kali terasa banyak dan membosankan.”

    Lama setelah perkataan itu diucapkan, aku mengamati diri ini. Ternyata ia juga mengucapkan hal yang sama. Akupun memikirkan- nya dalam-dalam. Ternyata diriku juga telah mengambil pelajaran yang sama dari setan. Ketika itulah aku sadar bahwa orang tersebut tampaknya menuturkan kalimat di atas dengan lisan nafsu ammârah. Aku pun berbisik dalam hati, “Selama diri dan nafsu ini memerintah- kan kepada keburukan, maka ia harus lebih dahulu diperbaiki. Sebab, orang yang tidak dapat memperbaiki dirinya, tidak mampu memper- baiki orang lain.” Aku pun berkata kepadanya:

    Wahai diri, dengarkan ‘lima peringatan’ dariku sebagai jawaban atas ucapanmu yang kau lontarkan dengan penuh kebodohan, dalam tidur kelalaian, di atas kasur kemalasan.

    Peringatan Pertama

    Wahai diri yang malang! Apakah usiamu abadi? Apakah engkau memiliki jaminan yang pasti bahwa engkau bisa tetap hidup sampai tahun depan, bahkan sampai esok hari? Yang membuatmu merasa bosan dalam melaksanakan salat secara berulang-ulang adalah ilusi dan prasangkamu bahwa dirimu akan hidup selamanya. Lalu engkau memperlihatkan sebuah dalil seakan-akan dengan kemewahanmu engkau akan kekal di dunia. Apabila engkau menyadari bahwa usiamu sangat singkat dan ia akan lenyap, sudah barang tentu mempergu- nakan satu bagian dari dua puluh empat bagiannya untuk melakukan satu pengabdian indah dan tugas yang menyenangkan—di mana ia merupakan sarana untuk menggapai kebahagiaan abadi—tidak akan membosankan. Sebaliknya, ia menjadi sarana pembangkit rasa rindu yang tulus dan cita rasa yang mulia.

    Peringatan Kedua

    Wahai diri yang rakus! Setiap hari engkau makan nasi, minum air, dan menghirup udara. Apakah perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang itu membuatmu bosan? Tentu saja tidak. Sebab, me- ngulang apa yang dibutuhkan tidak membuat bosan. Justru ia mem- buatmu bisa terus merasa nikmat. Karena itu, salat yang mendatang- kan nutrisi bagi kalbu, air kehidupan bagi ruh, serta hembusan udara bagi perangkat rabbani yang tersimpan di tubuh, pasti membuatmu tidak bosan dan tidak jenuh.

    Ya, kalbu yang rentan dengan berbagai duka dan derita tak ter- hingga, serta yang menyenangi banyak impian dan kesenangan tak terkira tidak mungkin meraih kekuatan dan nutrisi kecuali dengan mengetuk pintu Tuhan Yang Maha Penyayang dan Maha Pemurah, Yang Mahakuasa atas segala sesuatu dengan penuh pinta.

    Ruh yang terpaut dengan sebagian besar entitas yang datang dan pergi dengan cepat di dunia yang fana ini tidak bisa mereguk air kehidupan kecuali dengan menghadap kepada sumber kasih sayang Tu- han, Sembahan yang kekal dan Kekasih yang abadi, lewat salat.

    Jiwa manusia yang memiliki daya rasa yang halus di mana ia merupakan perangkat Ilahi yang bercahaya, yang dicipta untuk aba- di, yang secara fitrah merindukan keabadian, sekaligus cermin yang memantulkan berbagai manifestasi Dzat yang Mahaagung, tentu ia sa- ngat butuh bernapas di tengah desakan dan tekanan berbagai kondisi dunia yang mengimpit dan gelap. Hal itu hanya bisa dilakukan dengan menghirup dari jendela salat.

    Peringatan Ketiga

    Wahai diri yang tidak sabar! Saat ini engkau gusar mengingat penatnya ibadah yang telah engkau lakukan pada hari-hari yang te- lah berlalu, serta sulitnya ibadah dan hantaman musibah sebelumnya. Lalu engkau memikirkan penunaian berbagai kewajiban, pelaksanaan salat, dan derita berbagai musibah pada masa yang akan datang. Kare- nanya engkau menjadi gelisah dan tidak sabar. Mungkinkah ini ber- sumber dari orang yang memiliki akal?

    Orang yang tidak sabar sepertimu tak ubahnya seperti pemim- pin bodoh yang mengarahkan kekuatan pasukannya yang besar menu- ju sisi kanan musuh, padahal pada waktu yang sama sisi kanan musuh telah bergerak masuk ke dalam barisan sehingga berhasil mengalah- kannya. Kemudian sang pemimpin tadi mengarahkan sisa kekuatan- nya ke sisi kiri musuh di mana pada waktu itu tidak ada satu pun musuh di sana. Maka, musuh mengetahui titik kelemahannya hingga mengarahkan serangannya ke jantung pertahanan hingga menghan- curkan sang pemimpin dan pasukannya secara total.

    Ya, engkau seperti sang pemimpin yang sembrono itu. Pasalnya, berbagai kesulitan dan kepenatan di masa lalu telah berubah menja- di rahmat. Kepedihannya telah hilang dengan menyisakan kenik- matan. Kesulitannya juga telah berubah menjadi pahala. Karena itu, semestinya ia tidak melahirkan rasa bosan. Sebaliknya, seharusnya ia melahirkan rasa rindu yang baru, perasaan yang segar, upaya yang sungguh-sungguh untuk terus-menerus mengerjakannya. Adapun hari-hari yang akan datang, ia masih belum tiba. Jika sudah dipikir- kan dari sekarang, maka sangat bodoh dan dungu. Sebab, hal itu sama seperti meratap dari sekarang karena mengkhawatirkan rasa haus dan lapar yang kemungkinan akan dirasakan di masa yang akan datang.

    Jika kondisinya demikian, apabila engkau memiliki akal, maka renungkan ibadah pada hari ini saja. Ucapkan dalam hati, “Aku akan menyisihkan waktu satu jam untuk menunaikan kewajiban yang sa- ngat penting, nikmat, dan indah, serta mengerjakan satu pengabdian mulia yang mendatangkan pahala besar hanya dengan beban yang ri- ngan.” Ketika itulah, kemalasan dan ketiadaan semangatmu akan be- rubah menjadi satu tekad yang menyenangkan.

    Wahai diri yang tidak sabar! Engkau harus memiliki tiga jenis kesabaran:

    Pertama, sabar dalam melaksanakan perintah.

    Kedua, sabar dalam meninggalkan maksiat.

    Ketiga, sabar dalam menghadapi musibah.

    Jika engkau cerdas, jadikan hakikat yang tampak dalam perum- paan di atas sebagai pelajaran dan petunjuk. Ucapkan dengan penuh semangat dan kesatria, “Wahai Yang Mahasabar!” Lalu pikullah keti- ga jenis sabar tersebut. Bersandarlah pada kekuatan sabar yang Allah tanamkan dalam dirimu dan berhiaslah dengannya. Sebab, ia sudah cukup untuk menghadapi berbagai kesulitan dan seluruh musibah se- lama ia tidak digunakan di jalan yang salah.

    Peringatan Keempat

    Wahai diri yang bingung! Apakah menurutmu penunaian ubudi- yah ini tidak ada hasilnya? Apakah balasannya sedikit sehingga engkau merasa bosan? Padahal, ada di antara kita yang bekerja hingga sore tanpa kenal lelah manakala dijanjikan harta atau mendapat ancaman.

    Nah, apakah salat yang merupakan makanan dan penenang kalbumu yang lemah dan fakir dalam jamuan sementara bernama dunia; nutrisi dan cahaya bagi rumah yang pasti menjadi tempatmu, yaitu kubur; penolong dan pembela di Mahkamah yang pasti menja- di tempat di mana engkau akan diadili; serta cahaya dan burak saat melintasi Sirât al-Mustaqîm yang pasti kau lewati, tidak berbuah atau imbalannya sangat kecil?Ketika ada orang yang berjanji akan memberikan hadiah ke- padamu seharga sepuluh juta, dengan syarat engkau bekerja selama seratus hari, engkau tentu bekerja tanpa pernah bosan dan malas lantaran mengharap janjinya. Padahal bisa jadi ia ingkar janji. Lalu bagaimana dengan Dzat yang telah berjanji kepadamu, sementara Dia tidak pernah ingkar janji? Hal itu mustahil bagi-Nya!

    Dia berjanji akan memberimu ganjaran besar berupa surga, dan hadiah agung berupa kebahagiaan abadi, agar engkau menunaikan kewajiban dan tugas yang sangat menyenangkan hanya dalam beberapa saat. Apakah eng- kau tidak berpikir bahwa jika engkau tidak menunaikan tugas ringan tersebut atau menunaikannya tanpa semangat dan setengah hati, eng- kau berarti telah meremehkan hadiah-Nya dan tidak percaya kepada janji-Nya?! Tidakkah engkau layak mendapatkan hukuman yang keras dan siksa yang pedih?! Tidakkah engkau tergerak untuk menunaikan tugas yang sangat mudah dan ringan ini karena takut kepada penjara abadi, yaitu neraka?! Padahal engkau telah menunaikan berbagai tugas berat dan sulit tanpa kenal lelah karena takut kepada penjara dunia. Sementara penjara dunia tidak ada apa-apanya dibanding neraka yang abadi!

    Peringatan Kelima

    Wahai diri yang berkutat dengan dunia! Apakah sikap malasmu dalam beribadah dan kelalaianmu dalam mengerjakan salat karena terlalu sibuk dengan urusan dunia? Atau, engkau sudah tidak sempat karena sibuk mencari nafkah?

    Apakah menurutmu engkau diciptakan hanya untuk hidup di dunia sehingga engkau menghabiskan waktumu untuknya? Renung- kanlah! Engkau tidak bisa menyamai kekuatan burung pipit yang pa- ling kecil dalam memperoleh kebutuhan hidup di dunia meski secara fitrah engkau lebih mulia dari seluruh hewan.

    Mengapa dari sini eng- kau tidak dapat memahami bahwa tugas utamamu bukan tenggelam dalam kehidupan dunia dan sibuk dengannya seperti hewan. Mesti- nya usaha dan ketekunanmu ditujukan untuk kehidupan yang kekal sebagai manusia hakiki. Terlebih lagi, kesibukan duniawi yang eng- kau sebutkan adalah persoalan yang tidak berguna bagimu. Akhirnya waktumu yang sangat berharga habis dalam urusan yang tidak penting dan tidak berguna. Misalnya, mempelajari jumlah ayam di Amerika atau jenis lingkaran di seputar Saturnus. Seolah-olah dengan itu eng- kau mendapat sesuatu dari ilmu falak dan statistika sehingga engkau mengabaikan urusan yang lebih penting dan lebih urgen seolah-olah engkau akan hidup ribuan tahun.

    Barangkali engkau berkata, “Yang membuatku enggan dan malas menunaikan salat dan ibadah bukan hal-hal sepele seperti di atas. Akan tetapi, persoalan penting yang terkait dengan mencari nafkah.”

    Jika demikian, perhatikan perumpamaan berikut: Jika upah harian seseorang sekitar seratus ribu lalu ada yang ber- kata, “Galilah tempat ini selama sepuluh menit, niscaya engkau akan mendapatkan batu mulia seperti zamrud yang bernilai seratus juta.” Bukankah alasannya sangat sepele, bahkan tidak waras, jika ia meno- lak dengan berkata, “Tidak, aku tidak akan melakukannya. Sebab, hal itu akan mengurangi upah harianku.”

    Demikianlah kondisimu. Jika engkau meninggalkan salat wajib, maka seluruh hasil usaha dan pekerjaanmu di kebun ini hanya terbatas pada nafkah duniawi yang sangat murah tanpa memetik keuntungan dan keberkahannya. Sementara jika engkau sisihkan waktu istirahatmu di antara waktu kerja untuk menunaikan salat yang merupakan sara- na penenteram jiwa dan penenang kalbu, maka di samping mendapat hasil ukhrawi, bekal akhirat, dan upah duniawi yang penuh berkah, engkau juga mendapatkan dua sumber kekayaan maknawi yang besar dan abadi, yaitu:

    Pertama, engkau akan mendapatkan bagian dan jatahmu dari ‘tasbih’ setiap bunga, buah, dan tumbuhan yang kau tanam dengan niat tulus di kebunmu.(*[1])

    Kedua, hasil kebunmu yang dimakan, baik oleh hewan, manu- sia, ataupun pencuri, akan menjadi ‘sedekah jariah’ untukmu dengan syarat engkau memosisikan dirimu sebagai wakil dan pegawai yang mendistribusikan harta Allah kepada makhluk-Nya. Artinya, engkau bertindak atas nama Dzat Pemberi rezeki hakiki dan dalam lingkup rida-Nya.

    Sekarang perhatikan orang yang meninggalkan salat. Betapa ia sangat merugi! Betapa ia kehilangan kekayaan yang demikian be- sar! Ia akan terus dalam kondisi terhalang dan tidak mendapatkan dua harta kekayaan abadi yang memberi kekuatan maknawi kepada ma- nusia untuk bekerja sekaligus menyegarkan semangatnya. Lalu ketika mencapai usia senja ia akan merasa bosan dan gusar dengan peker- jaannya seraya berbisik kepada dirinya, “Dalam waktu yang dekat aku akan meninggalkan dunia. Mengapa aku memenatkan diri? Untuk apa aku bekerja?” Ia terjerumus ke dalam pangkuan kemalasan. Sebalik- nya, orang pertama berkata, “Aku akan bekerja keras untuk usaha yang halal di samping terus melaksanakan ibadah agar kuburku lebih terang dan tabungan akhiratku makin banyak.”

    Kesimpulannya, ketahuilah wahai diri! Hari kemarin telah berla- lu, sementara hari esok masih belum tiba dan tidak ada jaminan eng- kau dapat menggapainya. Karena itu, berharaplah dari umurmu yang hakiki, yaitu hari ini (sekarang). Paling tidak engkau sisihkan sesaat darinya untuk simpanan akhirat, yaitu dengan berada di masjid atau di atas sajadah guna menjamin masa depan hakiki yang abadi.

    Ketahui pula bahwa setiap hari yang baru merupakan pintu bagi datangnya alam baru untukmu dan untuk yang lain. Jika engkau tidak menunaikan salat di dalamnya, maka alam harimu pergi menuju alam gaib dalam kondisi gelap, mengeluh dan sedih. Ia akan menjadi saksi yang memberatkanmu. Setiap kita memiliki alam sendiri dari alam tersebut. Kualitasnya sesuai dengan amal dan kondisi kalbu. Ia laksa- na cermin di mana gambarnya mengikuti warna dan kualitasnya. Jika gelap, maka gambarnya juga menjadi gelap. Jika bening, gambarnya juga menjadi jelas. Jika tidak, berarti terjadi distorsi di mana ia mem- buat besar sesuatu yang paling kecil. Demikian pula dengan dirimu. Dengan kalbu, akal, dan amalmu, engkau dapat mengubah gambaran alammu. Serta dengan usaha dan kehendakmu, engkau dapat menjadi- kan alam tersebut sebagai saksi yang menguntungkan atau memberat- kanmu.

    Demikianlah, jika engkau menunaikan salat dan menghadap kepada Tuhan Sang Pencipta alam Yang Mahaagung dengan salat- mu, maka seketika alam yang mengarah kepadamu itu akan bersinar terang. Seolah-olah dengan niat salat, engkau menekan sakelar sehing- ga lampu salatmu menyala dan menerangi alammu. Ketika itu, seluruh pergolakan dan kesedihan yang menyelimutimu di dunia akan beru- bah menjadi laksana tatanan penuh hikmah dan tulisan penuh makna yang ditulis dengan pena qudrah Ilahi. Maka, salah satu cahaya dari ayat:

    “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi” (QS. An-Nûr [24]: 35) masuk ke dalam kalbumu sehingga alam harimu itu menja- di terang. Cahayanya akan menjadi saksi untukmu di sisi Allah .

    Wahai saudaraku, jangan engkau berkata, “Salatku masih jauh dari hakikat tersebut.” Sebab, sebagaimana benih kurma membawa sifat-si- fat pohon kurma yang akan menjulang di mana yang membedakan hanya rincian dan garis besarnya. Demikian pula dengan salat orang awam seperti diriku dan dirimu. Ia mengandung bagian cahaya terse- but dan rahasia hakikat di atas sebagaimana yang terdapat pada salat wali Allah yang saleh meskipun perasaannya tidak terpaut dengan itu. Adapun terang cahayanya berbeda-beda sebagaimana perbedaan ting- katan yang terdapat antara benih kurma sampai pada pohonnya. Wa- laupun salat memiliki tingkatan yang lebih banyak, namun seluruhnya mengandung asas dari hakikat cahaya tersebut.

    Ya Allah, limpahkan salawat dan salam-Mu kepada sosok yang bersabda, “Salat adalah tiang agama,”(*[2])juga kepada keluarga dan seluruh sahabatnya.


    KEDUDUKAN KEDUA

    (Penyakit Waswas dan Obatnya)

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

    “Katakanlah: Ya Tuhanku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan setan. Dan aku juga berlindung kepada-Mu wahai Tuhan dari ke- datangan mereka kepadaku.” (QS. al-Mu’minûn [23]: 97-98).

    Wahai saudara yang sedang terserang penyakit waswas! Tahukah engkau waswas ini seperti apa? Ia seperti musibah. Awalnya ia kecil, namun sedikit demi sedikit membesar seiring dengan tingkat perha- tianmu padanya. Sebaliknya, sejauh mana engkau mengabaikannya, sejauh itu pula ia akan menghilang. Ia menjadi besar tatkala engkau anggap besar, dan menjadi kecil tatkala kau remehkan. Ketika engkau takut padanya, ia akan menginjak dan menyerangmu dengan berbagai penyakit. Namun jika engkau tidak takut, ia pun mengecil dan meng- hilang. Apabila engkau tidak mengetahui hakikatnya, ia akan terus ek- sis. Sebaliknya, apabila engkau mengetahui hakikat dan esensinya, ia akan pudar.Jika demikian, aku akan menjelaskan kepadamu lima aspek dari sekian banyak aspek yang sering terjadi. Semoga dengan izin Allah penjelasan tentangnya bisa menjadi obat bagi seluruh kalbu kita. Hal ini karena kebodohan dapat mendatangkan rasa waswas, sementara pengetahuan bisa menangkal keburukannya. Apabila engkau tidak mengetahuinya, ia akan datang dan mendekat. Namun jika engkau mengetahui dan mengenalinya, rasa waswas tadi akan lari dan pergi.

    Aspek Pertama

    Pertama-tama setan melemparkan keragu-raguan ke dalam kalbu. Jika kalbu tidak menerimanya, maka keragu-raguan itu pun berubah menjadi makian dan cacian. Terbayang padanya sejumlah lintasan pikiran buruk dan bisikan yang bertentangan dengan adab. Hal ini membuat kalbu yang malang tadi merintih di bawah tekanan keputusasaan serta berteriak, “Oh, celaka!” Orang yang terkena was- was ini mengira kalbunya penuh dosa dan merasa telah berbuat buruk terhadap Tuhannya. Ia merasa gusar, resah, dan gelisah. Akibatnya, ia tidak tenang dan tidak tenteram serta berusaha tenggelam dalam ge- lombang kelalaian.

    Salep untuk luka ini sebagai berikut:

    Wahai orang yang terkena waswas dan malang! Jangan takut dan resah. Sebab, apa yang terlintas pada cermin pikiranmu bukanlah ca- cian ataupun makian. Ia hanyalah ilusi dan sekadar khayalan. Karena membayangkan kekufuran bukanlah kekufuran, maka membayang- kan makian juga bukan makian. Sebab, sebagaimana diketahui secara aksiomatis bahwa membayangkan bukanlah sebuah pernyataan, se- dangkan makian adalah pernyataan. Lebih dari itu, sejumlah ungkapan yang tidak layak itu bukan ke- luar dari dalam kalbumu. Kalbumu malah merasa sedih dan tersiksa. Barangkali ia bersumber dari bisikan setan yang dekat dengan kalbu.Karena itu, bahaya waswas terletak pada asumsi adanya bahaya. Dengan kata lain, yang berbahaya bagi kalbu adalah asumsi kita akan bahayanya. Sebab, awalnya seseorang mengkhayalkan sesuatu yang ti- dak berdasar yang seolah-olah kenyataan, lalu dinisbatkanlah padanya sejumlah perbuatan setan yang sebetulnya tidak ia lakukan. Maka, dari sana ia mengira bahwa bisikan setan tersebut adalah lintasan kalbunya. Ia juga membayangkan bahayanya sehingga terjatuh padanya. Inilah sebenarnya yang diinginkan oleh setan.

    Aspek Kedua

    Ketika sejumlah makna keluar dari kalbu, ia menuju khayalan dalam kondisi bersih dari semua gambaran. Di khayalan dan imajina- si ini ia baru mendapat bentuk. Khayalan inilah yang senantiasa, dan karena sebab tertentu, menyusun satu gambar seraya menghamparkan bentuk yang menjadi perhatiannya di jalan. Makna apa pun yang keluar akan dibungkus oleh khayalan dengan bentuk tadi, dikaitkan padanya, dihias, atau ditutup dengannya. Jika makna atau isinya bersih, semen- tara bentuk dan gambarnya kotor, ia tidak dapat dibungkus. Yang ada hanyalah sekadar menyentuh. Dari sini, orang yang terkena waswas rancu dalam memahami sentuhan di atas sehingga ia mengira sebagai bungkus yang dipakaikan. Akhirnya ia berkata, “Oh, celaka! Kalbuku telah terjerumus ke dalam jurang. Dengan ini, diriku termasuk orang yang jauh dari rahmat Allah.” Maka, setan pun memanfaatkan kondisi ini secara maksimal.

    Nah, salep yang dapat menyembuhkan luka parah ini adalah sebagai berikut:

    Sebagaimana najis yang terdapat di dalam perutmu tidak mem- pengaruhi dan tidak merusak kebersihan lahiriah yang merupakan perantara untuk mencapai kesucian salat, demikian pula dengan ke- beradaan berbagai gambaran kotor di dekat makna yang suci dan bersih. Ia tidak memberikan bahaya.Sebagai contoh: Bisa jadi engkau sedang merenungkan salah satu tanda kekuasaan Allah. Tiba-tiba penyakit atau sejumlah keburukan membayang-bayangi dirimu. Dalam kondisi demikian, tentu saja kha- yalanmu terdorong untuk mencari obat atau memenuhi kebutuhan dengan merangkai berbagai gambaran buruk yang diakibatkan oleh- nya. Maka, sejumlah makna yang bersumber dari perenungannya akan melewati berbagai bayangan buruk tadi. Biarkan ia berlalu. Ia sama sekali tidak berbahaya dan tidak menimbulkan dampak apa-apa. Yang berbahaya ialah jika ia terus dipikirkan dan dianggap mendatangkan bahaya.

    Aspek Ketiga

    Terdapat sejumlah korelasi samar antar-sejumlah hal. Dan bisa jadi terdapat sejumlah garis hubungan bahkan antara segala hal yang tidak kita prediksi. Garis ini dapat bersifat asli atau hakiki, dan dapat pula merupakan hasil imajinasi sesuai dengan aktivitas yang dige- luti. Inilah yang kadang kala menjadi penyebab datangnya berbagai khayalan dan imajinasi buruk ketika mencermati sejumlah persoalan suci.

    Pasalnya, kontradiksi yang menjadi sebab jauhnya jarak di luar justru memicu kedekatan dalam bayangan dan khayalan. Ini seper- ti yang dipahami dalam ilmu bayan. Artinya, yang menggabungkan antara dua gambaran sesuatu kontradiktif tidak lain adalah khayalan. Lintasan pikiran yang bersumber darinya disebut “pertautan pikiran.”Sebagai contoh: Ketika engkau bermunajat kepada Tuhan dalam salatmu dengan sikap khusyuk, tunduk, dengan kalbu yang hadir dan menghadap kiblat, tiba-tiba pertautan pikiran ini menggiringmu ke- pada hal-hal memalukan yang tidak berguna.

    Wahai saudaraku, jika engkau diuji dengannya, jangan sampai resah dan gelisah. Namun kembalilah kepada kondisi fitrimu. Jangan kau sibukkan pikiranmu dengan berkata, “Aku telah banyak berbuat salah,” lalu mencari penyebabnya. Akan tetapi, abaikan ia agar ber- bagai bayangan yang lemah tersebut tidak menjadi kuat lantaran kau perhatikan. Sebab, ketika engkau memperlihatkan rasa putus asa, penyesalan, dan perhatian kepadanya, lintasan pikiran ini berubah menjadi kebiasaan yang secara berangsur-angsur mengakar dan beru- bah menjadi penyakit khayalan. Namun jangan pernah cemas. Ia bu- kan penyakit kalbu. Sebab, sebagian besar lintasan pikiran ini muncul di luar kehendak manusia. Biasanya ia terjadi pada orang-orang yang sensitif. Nah, setan berusaha sekuat tenaga memanfaatkan rasa was- was tersebut.

    Obat dari penyakit tersebut adalah sebagai berikut:

    Ketahuilah bahwa engkau tidak bertanggung jawab terhadap pertautan pikiran di atas. Sebab, biasanya ia terjadi bukan karena di- sengaja. Tidak ada percampuran dan sentuhan di dalamnya. Ia hanya sekadar mendekat dan setelah itu tidak ada. Karenanya, jangan taut- kan antara satu lintasan pikiran dan yang lainnya. Dengan demikian, ia tidak akan saling membahayakan. Se- bagaimana kedekatan malaikat pemberi ilham dengan setan di seputar kalbu tidak berpengaruh padanya serta kedekatan orang taat dengan orang jahat dalam satu rumah tidak menimbulkan bahaya, demikian pula ketika lintasan pikiran buruk yang tak disengaja masuk di antara sejumlah pikiran yang suci dan bersih. Ia tidak akan menimbulkan ba- haya. Terkecuali jika memang disengaja, atau engkau disibukkan de- ngannya, serta menganggapnya berbahaya. Kadang kala kalbu dalam kondisi lemah sehingga pikiran sibuk dengan sesuatu yang tak berguna. Dalam kondisi demikian, setan mengambil kesempatan, mem- persembahkan sejumlah gambaran buruk, seraya menyebarkannya ke mana-mana.

    Aspek Keempat

    Ini adalah jenis waswas yang bersumber dari sikap berlebihan saat berusaha melakukan amal yang paling sempurna. Semakin ber- lebihan dalam melakukan sesuatu atas nama takwa, kondisinya se- makin buruk dan runyam. Akibatnya, ia nyaris terjatuh ke dalam hal yang haram pada saat berusaha melakukan amal saleh yang paling utama dan sempurna. Bisa jadi yang wajib ditinggalkan karena beru- saha menjaga yang sunnah ketika ia terus bertanya-tanya sejauh mana amalnya sah dan diterima. Orang yang semacam ini senantiasa ber- kata, “Apakah amalku sah?” Ia terus memikirkannya hingga akhirnya putus asa. Nah, di sini setan masuk dengan melemparkan panahnya hingga melukai jiwa.

    Penyakit ini dapat diobati dengan dua hal:

    Pertama, ketahuilah bahwa bisikan semacam itu hanya layak dimiliki kalangan Muktazilah yang berpendapat bahwa, “Amal per- buatan manusia, sebagai mukallaf, dari sisi balasan ukhrawi pada dasarnya dapat berupa kebaikan atau keburukan. Lalu syariat datang menetapkan bahwa ini baik dan itu buruk. Dengan kata lain, baik dan buruk merupakan dua hal yang terdapat pada tabiat sesuatu—sesuai dengan balasan ukhrawi yang ada. Adapun perintah dan larangan hanya mengikuti dan menetapkan.” Karena itu, karakter mazhab ini membuat manusia selalu mempertanyakan amal perbuatannya, “Apa- kah amalku terwujud dalam bentuk paling sempurna atau tidak?”

    Sementara kalangan yang berpegang pada kebenaran, yaitu ka- langan Ahlu Sunnah, berpendapat bahwa, “Allah memerintahkan se- suatu sehingga ia merupakan sesuatu yang baik dan melarang sesuatu sehingga ia merupakan sesuatu yang buruk.” Dengan adanya perintah dan larangan, yang baik dan buruk terwujud. Artinya, baik dan buruk adalah dilihat dari sisi orang yang berbuat serta bergantung kepada kesudahan keduanya di akhirat; bukan akibat dan kesudahannya di dunia.

    Sebagai contoh: Apabila engkau berwudhu atau salat, ternyata ada sesuatu yang tersembunyi bagimu yang dapat merusak salat atau wudhumu namun engkau tidak menyadarinya. Dalam kondisi de- mikian, salat dan wudhumu tetap sah dan baik. Namun bagi kaum Muktazilah, “Pada hakikatnya keduanya buruk dan rusak. Akan tetapi, ia tetap diterima karena engkau tidak mengetahuinya. Sebab, ketidak- tahuan dimaafkan.” Demikian wahai saudaraku yang sedang diuji. Dengan ber- pegang pada mazhab Ahlu Sunnah, amal perbuatanmu sah dan tidak ternodai karena sejalan dengan bunyi lahiriah syariat. Jangan pernah merasa waswas terhadap keabsahan amalmu. Namun jangan pula merasa bangga dengannya, karena engkau tidak mengetahui dengan pasti “apakah ia diterima di sisi Allah atau tidak?”

    Kedua, ketahuilah bahwa Islam adalah agama Allah yang benar dan mudah. Tidak ada kesulitan di dalamnya. Keempat mazhab be- rada di atas jalan yang benar. Menyadari kekurangan yang mengan- tarkan seseorang untuk beristigfar akan lebih utama ketimbang sikap lupa diri yang bersumber dari bangga terhadap amal. Karena itu, jika orang yang terkena waswas melihat dirinya lalai dalam beramal lalu meminta ampunan kepada Tuhan, hal itu seribu kali lebih baik daripa- da sikap sombong dan bangga terhadap amal.

    Jika demikian, buanglah segala bisikan yang ada dan katakan se- cara lantang kepada setan, “Kondisi ini sangat sulit dan mengetahui hakikat sesuatu amatlah sukar. Bahkan ia bertentangan dengan kemu- dahan yang terdapat dalam Islam serta berlawanan dengan kaidah yang berbunyi, “Tidak boleh ada kesulitan dalam agama” dan “agama itu mudah”. Karena itu, amalku ini harus sesuai dengan mazhab Islam yang benar. Itu sudah cukup bagiku. Ia menjadi sarana bagiku untuk meng- hadap Tuhan seraya bersujud dan bersimpuh untuk meminta am- punan. Aku mengakui kelalaianku dalam beramal. Dia Maha Men- dengar dan Maha Mengabulkan.”

    Aspek Kelima

    Yaitu, bisikan dan waswas yang masuk dalam bentuk syubhat yang menyerang persoalan iman.Sering kali orang yang diserang waswas dihadapkan pada ber- bagai khayalan. Ia mengira hal ini berasal dari akal pikiran. Artinya, ia menyangka bahwa berbagai syubhat yang menyerang khayalannya seakan-akan dapat diterima oleh akal. Yakni, ia dianggap syubhat yang masuk ke dalam akal. Akhirnya, ia mengira bahwa keyakinannya te- lah rusak. Pada kali yang lain ia juga merasa bahwa syubhat tersebut merupakan bentuk keraguan yang membahayakan iman. Kadangkala ia juga menganggap seolah-olah syubhat yang terlintas dalam benak dibenarkan oleh akalnya. Bisa jadi ia mengira bahwa setiap pemikiran di seputar masalah kekufuran merupakan bentuk kekufuran. Artinya, ia mengasumsikan setiap upaya pencarian dan penelitian serta seti- ap proses berpikir dan penelaahan yang mengarah kepada sebab-se- bab kesesatan sebagai hal yang berlawanan dengan keimanan.

    Sebagai akibatnya, ia resah dan gelisah dengan berbagai instruksi setan yang menipu. Iapun berkata, “Oh celaka! Kalbuku hampa dan keyakinanku telah rusak.” Karena ia tidak dapat memperbaiki berbagai kondisi di atas—yang sebagian besarnya terjadi secara tanpa disengaja—dengan kehendak parsialnya, maka ia pun terjatuh ke dalam jurang keputusa- saan.

    Salep bagi luka tersebut adalah sebagai berikut:

    Mengkhayalkan kekufuran bukanlah kekufuran, sebagaimana membayangkan kekufuran juga bukan kekufuran. Mempersepsikan kesesatan bukanlah kesesatan, sebagaimana memikirkan kesesatan juga bukan kesesatan. Hal itu karena aktivitas menghayalkan, mem- bayangkan, mempersepsikan, dan memikirkan sangat berbeda dengan pembenaran akal dan ketetapan hati. Pasalnya, aktivitas menghayal- kan, membayangkan, mempersepsikan, dan memikirkan adalah suatu hal yang relatif bebas. Karenanya, ia tidak disertai kesengajaan yang berasal dari kehendak manusia serta tidak tunduk pada ukuran kea- gamaan.Sementara pembenaran dan ketetapan tidak demikian. Kedua- nya mengikuti sebuah timbangan. Di samping itu, khayalan, bayangan, persepsi, dan pikiran bukanlah pembenaran dan ketetapan sehingga tidak disebut sebagai sikap ragu dan bimbang. Hanya saja, jika kondisi ini terus berulang sehingga tertanam dalam jiwa, maka ia dapat mela- hirkan sikap ragu yang sebenarnya. Lalu, karena selalu berseberangan atas nama prosedur rasional yang netral dan objektivitas, orang yang mendapat bisikan tersebut secara tidak sadar tergelincir dalam kondisi sebagai oposisi. Pada saat itulah, ia tidak mau melakukan berbagai tugasnya terhadap Tuhan sehingga binasa.

    Sebab, dalam benaknya terta- nam kondisi yang menyerupai pihak yang mewakili musuh dan setan. Barangkali di antara bentuk waswas yang paling berbahaya ada- lah ketika orang yang terkena waswas itu tidak dapat membedakan an- tara “imkân zâti” (kemungkinan belaka) dan “imkân zihni” (kemung- kinan logis). Yakni, dengan benaknya ia mempersepsikan dan dengan akalnya ia meragukan hal yang bersifat mungkin. Padahal terdapat se- buah kaidah dalam ilmu kalam yang berbunyi, “Kemungkinan belaka tidak bertentangan dengan keyakinan yang bersifat ilmiah. Karena itu, tidak ada pertentangan dan kontradiksi antara sesuatu yang bersifat mungkin dan sesuatu yang bersifat aksiomatis.”Agar lebih jelas, kami berikan contoh sebagai berikut: Bisa saja laut hitam lenyap sekarang. Ini bisa saja terjadi berdasarkan kemung- kinan belaka (imkân zâti). Hanya saja, kita meyakini keberadaan laut ini di tempatnya sekarang. Kita sama sekali tidak meragukannya. Jadi, kemungkinan ini tidak melahirkan rasa ragu dan bimbang. Bahkan ia sama sekali tidak merusak keyakinan kita.

    Agar lebih jelas, kami berikan contoh sebagai berikut: Bisa saja laut hitam lenyap sekarang. Ini bisa saja terjadi berdasarkan kemung- kinan belaka (imkân zâti). Hanya saja, kita meyakini keberadaan laut ini di tempatnya sekarang. Kita sama sekali tidak meragukannya. Jadi, kemungkinan ini tidak melahirkan rasa ragu dan bimbang. Bahkan ia sama sekali tidak merusak keyakinan kita.Contoh lain: Bisa saja hari ini matahari tidak terbenam dan be- sok tidak terbit. Hanya saja, kemungkinan ini sama sekali tidak me- rusak keyakinan kita serta tidak memunculkan keraguan sedikit pun atasnya.Demikianlah, berdasarkan kedua contoh di atas, berbagai ilu- si dan bayangan yang bersumber dari kemungkinan lenyapnya ke- hidupan dunia dan terbitnya akhirat termasuk hakikat iman yang ti- dak merusak keyakinan kita sama sekali. Karena itu, terdapat sebuah kaidah terkenal dalam prinsip agama dan ushul fikih yang berbunyi, “Kemungkinan yang tidak beralasan, tidak dapat dijadikan pegangan.”

    Barangkali engkau bertanya, “Apa hikmah manusia diuji de- ngan bisikan yang mengganggu jiwa dan menyakitkan hati?”

    Jawabannya: Jika kita dapat bersikap proporsional tentu bisikan dan waswas tadi dapat menjadi pemicu untuk bangkit, sarana untuk terus mencari, media untuk bersungguh-sungguh, serta dapat me- lenyapkan sikap tidak peduli dan kurang hati-hati. Karena itu, Allah Yang Maha Mengetahui dan Mahabijak menjadikan waswas sebagai satu bentuk cambuk motivasi yang diberikan kepada setan agar dengannya, di negeri ujian dan arena kompetisi ini, manusia dapat me- ngetahui sejumlah hikmah yang telah disebutkan. Ketika terasa sangat sakit, kita menuju kepada Dzat Yang Maha Mengetahui dan Bijaksana seraya mengucap:“Aku berlindung kepada Allah dari godaan dan bisikan setan yang terkutuk.”


    KALIMAT KEDUA PULUH ⇐ | Al-Kalimât | ⇒ KALIMAT KEDUA PULUH DUA

    1. *Ini adalah pelajaran yang pernah disampaikan kepada salah seorang pekerja ke- bun—Penulis.
    2. *Lihat: al-Baihaqi dalam syu`ab al-Îmân 3/38; ad-Dailami dalam al-Musnad 2/404; at-Tirmidzi dalam bab Iman 8; dan Ahmad ibn Hambal dalam Musnad-nya 5/231 dan 237.