CAHAYA KETIGA PULUH

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    15.46, 31 Aralık 2024 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 198900 numaralı sürüm ("Contohnya adalah sebagai berikut: hasrat ingin kekal sangat kuat mengakar pada diri manusia. Hasrat tersebut bisa diwujudkan dan dapat dipenuhi oleh Dzat yang menguasai kunci-kunci perben- daharaan alam dan yang berkuasa membuka pintu keabadian di depan manusia menuju akhirat. Hal itu tentunya setelah Dia mengakhi- ri dunia yang fana ini sekaligus menutup pintu-pintunya semudah menutup sebuah kamar dan membuka yang lain. Ada banyak hasrat manusia lainnya..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)

    Cahaya ini terambil dari “Surat Ketiga Puluh Satu” sebagai salah satu buah dari penjara Eskisyehir.

    Ia berisi penjelasan mengenai enam nuktah.

    Sebagaimana risalah ats-Tsamarah (Buah-buah Keimanan) sebagai pelajaran besar di penjara Denizli, serta risalah at-Hujjah az-Zahra sebagai pelajaran sempurna di penjara Afyon, demikian pula “Cahaya ketiga puluh” yang berisi berbagai persoalan seputar enam nama Tuhan yang disebut al-Ismu A’zham (nama-Nya yang paling agung) merupakan pelajaran agung di Madrasah Yusufiyah (penjara) Eskisyehir.

    Dalam bagian yang secara khusus berbicara mengenai nama Allah al-Hayy (Yang Maha Hidup) dan al-Qayyûm (Yang Maha Berdiri sendiri) ada beberapa persoalan yang sangat mendalam dan luas. Bisa jadi tidak semua orang bisa menyerap dan merasakan keseluru- hannya. Namun demikian setiap orang tetap bisa mendapat bagian dan manfaat darinya.

    NUKTAH PERTAMA

    Terkait dengan Salah Satu Aspek dari Nama Allah;

    ٱل ْـقُــــ ُد ْو ُس (Yang Ma)hasuci

    “Bumi telah kami hamparkan. Maka, (Kami) adalah sebaik-baik yang menghamparkan.” (QS. adz-Dzâriyat [51]: 48). Salah satu pelajaran dari ayat al-Qur’an di atas dan salah satu manifestasi dari nama Allah al-Quddûs yang merupakan al-lsmul A’zham atau salah satu dari enam cahayanya, tampak dengan jelas ketika aku sedang berada di penjara Eskisyehir pada akhir-akhir bulan Sya’ban. Ia menjelaskan kepadaku perihal wujud ilahi secara san- gat jelas sekaligus menyingkap rahasia keesaan Tuhan secara sangat terang, yaitu sebagai berikut:

    Alam dan bola bumi ini tampak dalam pandanganku seperti sebuah pabrik yang besar, ibarat hotel yang luas, atau tempat jamuan yang terus-menerus didatangi dan ditinggalkan. Perlu diketahui bahwa tempat jamuan yang luas dan diisi oleh mereka yang datang dan pergi ini penuh dengan sampah dan sisa kotoran, setiap sudut- nya telah terkena polusi, serta ia telah sesak oleh berbagai unsur ke- hidupan. Jika tidak ada tangan yang mau membersihkan dan meng- koordinasikan sebuah amal yang berkesinambungan di dalamnya, pastilah sampah dan kotoran itu menyulitkan kehidupan manusia. Namun, di pabrik alam yang besar dan di negeri jamuan berupa bola bumi ini, kita nyaris tidak melihat bekas kotoran, sebagaimana di se- tiap sudutnya tidak ditemukan adanya materi yang tidak bermanfaat, yang tidak penting, atau terbilang percuma. Bahkan kalaupun ada materi yang semacam itu, ia akan segera terlempar ke dalam mesin cuci dan dibersihkan. Semua itu menjadi bukti bahwa Dzat yang mengawasi pabrik tersebut melakukan pekerjaan dengan sangat cermat dan rapi serta

    Pemiliknya telah menyuruh membersihkan dan memperindahnya secara terus-menerus sehingga meskipun besar, namun tidak ada bekas kotoran dan sampah yang layak dengan tempat sebesar itu. Berarti, perhatian untuk membersihkannya bersifat permanen serta sesuai dengan besar dan luas tempat itu. Sebab, seorang manusia jika tidak mandi dan tidak membersihkan kamarnya selama sebulan, pasti hidupnya tidak nyaman. Dengan demikian, kebersihan, kesucian, dan keindahan yang terlihat pada istana alam yang indah ini bersum- ber dari proses pembersihan yang bijaksana, permanen, cermat, dan kontinu. Kalau seandainya pembersihan itu tidak dilakukan secara permanen dan cermat, pastilah ratusan ribu makhluk yang terdapat di bumi dalam setahunnya akan mengalami penderitaan dan kemus- nahan.

    Kalaulah tidak ada pengawasan yang cermat dan perhatian yang mendalam di seluruh pelosok angkasa yang berhias bintang-ge- mintang dan berbagai benda lainnya yang rentan mati dan rusak, pastilah puing-puing yang beterbangan di angkasa tersebut akan menghancurkan kita dan makhluk lainnya, bahkan akan menghan- curkan dunia. Selain itu, pastilah ia menghujani kita dengan benda besar seukuran gunung dan membuat kita lari dari negeri dunia ini. Namun ternyata sejak dulu tidak ada yang jatuh dari angkasa luar— akibat keruntuhan—kecuali beberapa meteor. Itu pun tidak menimpa kita, tetapi hanya sebagai pelajaran bagi mereka yang mau mengambil pelajaran.

    Kalau sekiranya tidak ada yang secara terus menerus membersihkan permukaan bumi, pastilah puing reruntuhan, sampah, dan bangkai yang berasal dari proses pergiliran kematian dan kehidupan yang terjadi pada ratusan ribu makhluk akan memenuhi darat dan laut. Juga, pastilah kotoran-kotoran itu membuat semua makhluk yang memiliki perasaan enggan melihat permukaan bumi yang menjijikkan. Bahkan hal itu akan mendorong mereka untuk meninggalkan dunia dan memilih mati. Ya, sebagaimana burung membersihkan sayapnya dengan mudah atau seorang penulis membersihkan lembaran kitabnya secara sangat gampang, maka sayap-sayap bumi yang terbang bersama bu- rung-burung langit di angkasa serta lembaran buku besar bernama alam ini juga bisa dibersihkan, diperindah, dan dihias dengan sama mudahnya. Lebih dari itu, proses pembersihan dan dekorasinya berlangsung secara sangat rapi sehingga mereka yang tidak beriman pada keindahan alam akhirat sangat mencintai keindahan dan kebersihan alam dunia ini. Bahkan, mereka sampai pada tingkat menyembahnya.

    Jadi, istana alam yang megah dan pabrik dunia yang besar ini telah menampilkan salah satu manifestasi nama Allah, al-Quddûs (Yang Mahasuci). Sehingga ketika berbagai perintah Ilahi yang suci yang terkait dengan masalah kebersihan itu terlontar, ia tidak hanya tertuju kepada binatang laut besar yang mengerjakan tugas kebersi- han dan burung elang darat semata, tetapi juga berbagai jenis cacing dan semut yang mengumpulkan berbagai bangkai dan berposisi sebagai petugas kebersihan umum bagi alam ini. Bahkan perintah itu juga diperhatikan betul oleh sel-sel darah merah dan putih sehingga ia berposisi sebagai pembersih rongga-rongga badan sebagaimana proses bernafas juga membersihkan darah.

    Lebih dari itu, pelupuk mata yang halus ini pun memperhatikan perintah tadi sehingga ia terus membersihkan mata. Juga lalat yang ada, ia ikut memperhatikan sehingga terus membersihkan sayap-sayapnya.Ya, sebagaimana semua makhluk yang kami sebutkan tadi mem- perhatikan perintah suci Tuhan di atas, angin puyuh dan awan yang tebal juga ikut memperhatikannya. Yang satu membersihkan permu- kaan bumi dari segala macam kotoran dan yang satunya lagi menebarkan air yang bening sehingga menenangkan debu dan tanah, lalu dengan cepat dan teratur seraya membawa segala perangkatnya, ia menghilang agar keindahan yang ada di permukaan langit kembali tampak dalam kondisi bersih dan cemerlang.

    Bintang-gemintang, berbagai materi aneka macam tambang, serta beragam jenis tumbu- han juga memperhatikan perintah tersebut. Demikian pula dengan seluruh atom sehingga ia memelihara kebersihan dalam seluruh perjalanannya yang mencengangkan akal. Ia tidak pernah berkumpul dalam satu sudut secara percuma. Ia tidak pernah berkerumun dalam satu sisi secara sia-sia. Bahkan seandainya terkotori ia akan segera dibersihkan dan akan digerakkan oleh kekuasaan Tuhan yang bijaksana untuk mengambil posisi yang paling bersih, paling bersinar, dan paling cemerlang serta mengambil bentuk yang paling bersih dan indah.

    Demikianlah, proses pembersihan ini merupakan aktivitas yang tunggal dan menggambarkan hakikat yang tunggal. Yaitu manifestasi agung dari nama al-Quddûs. Manifestasi agung itu tampak di wilayah alam yang paling agung dan paling luas sekalipun. Ia menjelaskan wujud Tuhan serta memperlihatkan keesaan Tuhan berikut nama-nama-Nya yang lain secara sangat terang ibarat matahari yang bersinar. Mata yang tajam tentu akan mampu melihatnya.

    Dalam sebagian besar Risalah Nur telah dijelaskan dengan berbagai bukti yang kuat bahwa pengaturan dan keteraturan yang merupakan salah satu manifestasi nama al-Hakam dan al-Hakîm, penyeimbangan dan keseimbangan yang merupakan salah satu manifestasi nama al-Adl dan al-‘Âdil, penghiasan dan kebaikan yang merupakan salah satu manifestasi nama al-Jamil dan al-Karîm, pendidikan dan pemberian nikmat yang merupakan salah satu manifestasi nama ar- Rabb dan ar-Rahîm, semua itu merupakan satu perbuatan dan satu hakikat yang terlihat secara jelas pada seluruh cakrawala alam. Semua itu menunjukkan keharusan adanya Wujud Yang Satu dan Esa seka- ligus menunjukkan keesaan-Nya secara sangat jelas. Demikian pula dengan pembersihan dan pensucian yang merupakan salah satu ma- nifestasi nama al-Quddûs. Ia menunjukkan adanya Dzat yang wajib ada ibarat matahari sekaligus menjelaskan keesaan-Nya seperti siang.Pengaturan, penetapan, penyeimbangan, pembersihan, dan perbuatan bijak sejenisnya seperti yang disebutkan di atas menjelas- kan keberadaan Sang Pencipta Yang Satu dan Esa, dengan keesaan- Nya dan dengan penampakannya pada alam semesta. Hal yang sama berlaku pada nama-nama Tuhan lainnya. Bahkan setiap nama Tuhan yang berjumlah sangat banyak itu memiliki manifestasi agung di jagad raya yang paling luas. Perbuatan yang dihasilkan dari manifestasi tersebut sesuai dengan kebesarannya menunjukkan Dzat Yang Maha Esa secara jelas dan pasti.

    Ya, kebijaksanaan Tuhan yang komprehensif yang membuat segala sesuatu tunduk pada aturan-Nya, perhatian Tuhan yang menyeluruh yang memperindah dan menghias segala sesuatu. Kasih sayang Tuhan yang luas yang memasukkan rasa gembira dan la- pang pada segala sesuatu sekaligus membuatnya selalu bersyukur, rezeki Tuhan yang bersifat komprehensif yang dibutuhkan dan dinikmati oleh semua makhluk, kehidupan dan proses pemberian roh yang mengikat segala sesuatu dengan lainnya serta menjadikan sesuatu itu bisa mengambil manfaat dari yang lain seolah-olah dia menguasainya, semua itu merupakan hakikat yang tampak dengan jelas, menyiratkan keesaan, menjadikan permukaan bumi bersinar terang, menguak kegembiraan dan suka cita, serta menjadi bukti atas keberadaan Dzat Yang Mahabijaksana, Mahamulia, Maha Penyayang, Maha Pemberi rezeki, Mahahidup, dan Maha Menghidupkan.

    Ia sama seperti cahaya yang menunjukkan keberadaan matahari. Allah memiliki perumpamaan yang agung. Setiap perbuatan Tuhan yang luas yang lebih dari ratusan de- ngan jelas membuktikan keesaan-Nya. Namun andaikan ia tidak dinisbatkan kepada Dzat Yang Maha Esa niscaya akan memunculkan ratusan kemustahilan dari ratusan sisi.Sebagai contoh: kebijaksanaan, perhatian, kasih sayang, pencahayaan, penciptaan, serta proses menghidupkan dan mematikan yang dilakukan Tuhan semuanya merupakan hakikat yang jelas dan petunjuk tauhid. Bahkan sebuah pekerjaan seperti membersihkan dan mensucikan, kalau ia tidak dinisbatkan kepada Tuhan semesta alam, berarti segala sesuatu mempunyai kaitan dengan pekerjaan tersebut. Yaitu mulai dari atom, serangga, berbagai unsur, sampai kepada bin- tang di mana semuanya harus mempunyai pengetahuan, bisa mem- bersihkan, memperindah, menghiasi, dan menyeimbangkan alam yang besar ini. Selain itu, semuanya harus mampu memperhatikan segala persoalan secara tepat dan bisa bergerak.Atau semuanya harus mempunyai sifat-sifat suci dan agung milik Tuhan semesta alam. Atau harus ada majelis permusyawaratan yang luas seluas alam untuk mengatur semua proses penghiasan, pembersihan, penentuan, dan penyeimbangan atas apa yang masuk dan yang keluar dari alam. Serta, majelis tersebut harus mampu membentuk atom, serangga, dan bintang dalam jumlah yang tak terhingga. Begitulah, mereka yang meniti jalan kekufuran akan sampai pada ratusan khurafat rendahan dan beragam kemustahilan dalam melihat penyeimbangan dan pembersihan menyeluruh yang tampak pada seluruh sisi. Artinya, yang ada bukan hanya satu kemustahilan, tetapi ratusan ribu kemustahilan.

    Ya, jika cahaya dan sinar matahari yang tampak pada segala sesuatu di permukaan bumi ini tidak dikembalikan kepada sebuah matahari serta tidak ditafsirkan sebagai pantulan wujud matahari yang satu, berarti harus ada wujud matahari hakiki pada setiap tetesan air yang bersinar, pada setiap potongan kaca yang bening, pada setiap tumpukan salju yang berkilau, bahkan pada setiap atom udara sehingga cahaya yang meliputi semua wujud menjadi tampak.

    Begitulah. Kebijaksanaan tersebut adalah cahaya, kasih sayang Tuhan yang luas adalah cahaya, penyeimbangan, penataan, pengaturan, dan pembersihan Tuhan juga merupakan cahaya menyeluruh dan salah satu pancaran sinar-Nya.

    Karena itu, sekarang lihatlah dengan cahaya iman untuk menyaksikan bagaimana kaum kafir dan sesat jatuh dalam kubangan air keruh tanpa bisa keluar darinya. Perhatikan sejauh mana kedunguan dan kebodohan mereka. Lalu bersyukurlah kepada Allah dengan mengucap, “Alhamdulillah atas nikmat Islam dan kesempurnaan iman”.

    Proses pembersihan yang mulia, menyeluruh, dan sangat jelas itu di mana ia membuat istana alam menjadi bersih dan suci merupakan salah satu manifestasi dan konsekuensi nama al-Quddûs. Sebagaimana tasbih seluruh makhluk tertuju kepada nama al-Quddûs, nama tersebat juga mengkonsekuensikan kebersihan dan kesucian makhluk(*[1])sehingga sebuah hadis yang berbunyi, “Kebersihan sebagian dari iman” memasukkan kebersihan sebagai salah satu cahaya-Nya(*[2])karena korelasi suci-Nya.

    Ayat al-Qur’an juga menjelaskan bahwa kebersihan dan kesucian merupakan faktor penyebab datangnya cinta Ilahi. Ayat tersebut berbunyi:“Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang bersuci.” (QS. al-Baqarah [2]: 222).

    NUKTAH KEDUA

    (Yang Maha Adil dan Seimbang)

    “Perbendaharaan segala sesuatu ada pada Kami. Kami tidak menurunkannya kecuali dengan ukuran tertentu.” (QS. al-Hijr [15]: 21).Tampak padaku salah satu dari sekian nuktah (persoalan penting) yang dikandung oleh ayat al-Qur’an di atas dan salah satu cahaya manifestasi nama Allah al-Adl, yang merupakan al-lsmul A’zham atau salah satu dari enam cahaya-Nya. Sama seperti pada bagian pertama, cahaya tersebut tampak bagiku dari kejauhan saat aku sedang berada di penjara Eskisyehir. Agar lebih mudah dipahami, kami juga akan memberikan beberapa perumpamaan, yaitu sebagai berikut:

    Alam ini ibarat istana indah berisi sebuah kota yang luas yang diisi secara bergiliran oleh unsur-unsur perusak dan pembangun. Di kota tersebut ada sebuah kerajaan luas yang terus bergolak karena he- batnya peperangan dan permusuhan yang ada. Lalu di sisi-sisi kerajaan itu ada sebuah dunia besar yang “berenang” dalam lautan kematian dan kehidupan. Namun meskipun berbagai bentuk kekacauan dan kesemrawutan ada di dalamnya, keseimbangan umum, neraca yang akurat, dan proses pengukuran yang cermat yang melingkupi semua sisi istana dan seluruh sudut kota tetap mendominasi segala pelosok kerajaan dan sisi-sisinya. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa berbagai perubahan yang terjadi dalam semua entitas yang tak terbilang ini, serta apa yang masuk dan yang keluar darinya tidak mungkin terjadi kecuali dengan sebuah proses pengukuran dan penimbangan yang dilakukan oleh Dzat yang bisa melihat seluruh pelosok alam dalam waktu yang bersamaan, dan Dzat yang seluruh entitas senantiasa berjalan dalam pengawasan-Nya. Jika tidak, yaitu apabila berbagai sebab yang mendorong pada adanya ketidakseimbangan diserahkan pada sebuah kebetulan, kekuatan yang buta, dan alam yang gelap gulita, pastilah telur ikan yang jumlahnya lebih dari ribuan akan merusak keseimbangan yang ada. Bahkan benih sebuah bunga yang jumlahnya lebih dari dua puluh ribu akan merusak keseimbangan. Belum lagi aliran berbagai unsur yang mengalir seperti bah dan berbagai perubahan besar yang terja- di di seluruh alam. Jika semuanya terjadi begitu saja niscaya ia akan merusak keseimbangan di antara entitas serta akan menghancurkan tatanan yang sempurna di antara bagian-bagian alam hanya dalam masa satu tahun atau bahkan dalam satu hari. Engkau pun akan melihat alam ini berada dalam kekacauan dan kehancuran. Lautan akan penuh dengan kotoran dan bangkai sehingga berbau busuk. Udara akan terisi oleh gas-gas berbahaya yang menyesakkan sehingga merusak. Bumi akan menjadi seperti tempat sampah dan genangan air keruh yang tak bisa menjadi tempat hidup.

    Perhatikanlah semua entitas yang ada, mulai dari rongga badan hingga sel-sel darah merah dan putih, mulai dari pergerakan atom hingga keharmonisan antara organ-organ tubuh, mulai dari air laut dan perubahannya hingga sumber mata air dan pergerakannya, dari kelahiran hewan dan tumbuhan hingga pemusnahan musim gugur dan pemakmuran musim semi, dari tugas berbagai unsur dan gerak- an bintang hingga pergantian hidup dan mati, dari benturan cahaya dan kegelapan hingga pertentangan antara panas dan dingin, demiki- an seterusnya. Dengan begitu engkau akan melihat bahwa semuanya ditimbang dan diukur dengan neraca yang luar biasa akurat. Seluruh- nya ditimbang dengan timbangan yang sangat cermat sehingga akal manusia tidak melihat adanya sesuatu yang berlebihan dan sia-sia. Bahkan hikmah manusia bisa menangkap dan menyaksikan tatanan paling sempurna dan rapi dalam segala sesuatu dan juga bisa melihat keseimbangan yang mengagumkan. Hikmah manusia merupakan interpretasi dan ekspresi dari tatanan sekaligus keseimbangan tersebut.

    Perhatikanlah keseimbangan menakjubkan antara matahari dan dua belas planet yang berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya. Bukankah keseimbangan tersebut secara jelas menunjukkan keberadaan Allah di mana Dia merupakan Dzat Yang Maha Adil dan Maha Berkuasa? Kemudian perhatikanlah bumi sebagai salah satu planet. Pera- hu yang berenang di angkasa yang dalam setahun diperkirakan me- ngarungi perjalanan sepanjang 24 ribu tahun ini, dengan kecepatan yang dahsyat, tetap tidak meruntuhkan seluruh materi yang tertata rapi di atasnya serta tidak melemparkannya ke angkasa. Seandainya kecepatannya bertambah atau berkurang sedikit saja, niscaya ia akan melemparkan penghuninya ke angkasa. Andaikata ia hilang keseimbangan dalam satu menit saja atau satu detik saja, pasti perjalanannya akan berantakan dan oleng. Barangkali ia membentur planet lain dan kiamat pun tiba.

    Lalu perhatikan kelahiran tumbuhan dan hewan berikut kehidupan mereka di atas bumi yang jumlahnya lebih dari empat ratus ribu spesies. Engkau akan menyaksikan sebuah keseimbangan menakjubkan yang penuh rahmat. Hal itu dengan jelas menjadi bukti keberadaan Sang Pencipta Yang Maha Adil dan Maha Penyayang, se- bagaimana sinar menjadi bukti akan keberadaan matahari.

    Selanjutnya, perhatikan organ-organ makhluk hidup yang tak terhitung jumlahnya. Cermatilah bagian-bagian tubuh dan indra yang dimilikinya. Di dalamnya engkau akan melihat sebuah kesesua- ian, keselarasan, dan keseimbangan yang sempurna yang menjadi bukti keberadaan Sang Pencipta sebagai Dzat Yang Maha Adil dan Mahabijaksana.

    Lalu perhatikanlah rongga-rongga tubuh makhluk, saluran darah, sel-sel darah, serta atom-atom yang ada di dalam sel tersebut. Engkau akan menyaksikan sebuah keseimbangan mengagumkan yang dengan jelas menunjukkan bahwa keseimbangan yang mengagumkan, pengaturan yang menyeluruh, serta pemeliharaannya yang penuh hikmah itu tidak akan terwujud kecuali dengan timbangan yang akurat, hukum yang berlaku, serta aturan tegas milik Pencipta Yang Maha Esa, Yang Maha Adil, dan Mahabijak.

    Di tangan-Nyalah tergenggam kekuasaan segala sesuatu. Pada-Nya ada kunci perbendaharaan segala sesuatu. Tidak ada yang tersembunyi dari-Nya. Dia mengelola segalanya dengan sangat mudah dalam satu pengelolaan. Seandainya mereka yang tidak yakin dan tidak percaya bahwa semua perbuatan jin dan manusia pada hari kiamat nanti akan ditimbang dengan timbangan keadilan Ilahi bisa memperhatikan keseim- bangan agung yang tampak di hadapan mereka di dunia ini, pastilah ketidakyakinan mereka itu akan hilang.

    Wahai manusia yang boros, zalim, dan tidak adil! Ketahuilah bahwa karena engkau tidak hemat, tidak bersih dan tidak adil yang merupakan prinsip gerakan seluruh alam dan entitas, maka engkau bertentangan dengan mereka, sehingga mendapatkan kemarahan dan murka alam. Apa sandaranmu sehingga engkau membuat murka seluruh entitas alam dengan berbuat zalim dan melampaui batas tanpa memedulikan keseimbangan dan kebersihan yang ada?

    Ya, kebijaksannan Tuhan yang bersifat umum yang mendominasi alam dan merupakan salah satu manifestasi nama al-Hakîm berjalan dalam sumbu sifat hemat dan tidak berlebihan. Bahkan Dia memerintahkan sikap hemat tersebut.

    Keadilan komprehensif yang berlangsung di alam ini yang berasal dari wujud manifestasi nama al-Adl mengatur keseimbangan segala sesuatu sekaligus menyuruh manusia untuk bersikap adil dan seimbang.Penyebutan kata mîzân (neraca keseimbangan) dalam surah ar-Rahman sebanyak empat kali menjadi isyarat terhadap adanya empat macam neraca dalam empat tingkatan, di samping merupakan penjelasan mengenai urgensi dan nilai neraca keseimbangan tersebut di alam ini. Hal itu terdapat dalam ayat yang berbunyi:“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan neraca keseimbangan agar kamu jangan merusak neraca keseimbangan itu; dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca keseimbangan itu.” (QS. ar-Rahman [55]: 7-9).Sebagaimana tidak ada pemborosan dalam segala sesuatu, kezaliman dan ketidakseimbangan pun tidak ada pada segala sesuatu.

    Pembersihan dan kebersihan yang bersumber dari manifestasi agung nama al-Quddûs membersihkan segala entitas dan memperindahnya. Karena itu, engkau tidak akan dapat menemukan kekoto- ran dan keburukan di dalamnya selama tangan kotor manusia tidak menyentuhnya.

    Dari sini ketahuilah bahwa keadilan, sikap hemat, dan kebersihan yang merupakan hakikat al-Qur’an dan prinsip Islam begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat. Dari sini engkau bisa meng- etahui betapa kuat hubungan antara hukum-hukum al-Qur’an dan alam. Kuatnya hubungan tersebut mengakar di relung-relung alam sehingga melingkupinya dengan tali yang kuat yang tak pernah lepas. Lalu ketahuilah bahwa perusakan terhadap hakikat tersebut merupakan hal terlarang, sama seperti larangan untuk merusak tatanan alam dan mengotori bentuknya. Berbagai hakikat yang meliputi alam serta tiga cahaya agung tersebut (keadilan, keseimbangan, dan kebersihan) mengharuskan adanya kebangkitan dan akhirat. Bersamanya juga ada beragam hakikat yang bersifat komprehensif, seperti kasih sayang, perhatian, pengawasan, dan ratusan hakikat serta cahaya sejenisnya yang meng- haruskan adanya kebangkitan dan hari akhirat. Sebab, tidak mungkin hakikat yang mendominasi berbagai entitas berbalik menjadi lawannya sebagai akibat dari tidak adanya kebangkitan dan hari akhirat. Artinya, kasih sayang Tuhan tidak mungkin berbalik menjadi kezali- man; kebijaksanaan dan keseimbangan-Nya tidak mungkin berbalik menjadi kesia-siaan dan sikap berlebihan; kebersihan-Nya juga tidak mungkin berbalik menjadi kerusakan.

    Kasih sayang dan kebijaksanaan Tuhan yang telah melindungi hak hidup nyamuk kecil dengan nuansa kasih sayang yang luas tidak mungkin menelantarkan seluruh makhluk dan hak-haknya dengan ketiadaan hari kebangkitan.Keagungan rububiyah Tuhan telah memperlihatkan sebuah kecermatan luar biasa dalam hal kasih sayang, keadilan, dan kebi- jaksanaan. Serta uluhiyah-Nya telah menguasai seluruh entitas yang kesempurnaannya ingin diperlihatkan, diperkenalkan, dan dicintai lewat cara memperindah alam dengan berbagai ciptaan menakjubkan dan karunia yang melimpah. Jika demikian, mungkinkah rububiyah dan uluhiyah-Nya yang agung itu membiarkan ketiadaan hari kebangkitan yang justru akan menjatuhkan nilai kesempurnaan-Nya dan nilai seluruh makhluk-Nya. Allah Maha Mulia dari hal itu semua. Keindahan Mutlak jelas tidak akan rela dengan keburukan mutlak semacam ini.

    Orang yang hendak mengingkari akhirat pertama-tama harus mengingkari keberadaan alam berikut segala hakikat yang ada di dalamnya. Jika tidak, maka alam berikut segala hakikatnya itu yang akan mendustakannya lewat ribuan lisan yang ada. Alam tersebut akan menetapkan orang tadi sebagai pendusta yang amat jahat. De- ngan berbagai bukti meyakinkan, Risalah al-Hasyr (Risalah Kebang- kitan) telah menegaskan bahwa keberadaan akhirat merupakan hal yang pasti dan tak diragukan lagi, sama seperti keberadaan dunia ini.


    ٱل ْـحـكـمُ (Yang Mahabijak)

    NUKTAH KETIGA

    “Serulah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan.” (QS. an-Nahl [16]: 125).Aku telah mendapatkan salah satu nuktah penting dari ayat di atas dan salah satu cahaya manifestasi nama Allah al-Hakam, yang merupakan al-lsmul A’zham atau salah satu cahayanya. Hal itu tepat- nya terjadi pada bulan Ramadhan yang penuh berkah. Maka segera saja nuktah yang mengandung lima poin itu kutulis dan kubiarkan ia tanpa ada penyuntingan dan perubahan.

    Poin Pertama

    Seperti yang kami sebutkan dalam “Kalimat Kesepuluh”, manifestasi agung dari nama al-Hakam memosisikan alam ini sebagai kitab besar, di mana ratusan buku dituliskan pada setiap lembarnya, ratusan lembar dituliskan pada setiap barisnya, ratusan baris dituliskan pada setiap katanya, ratusan kata dituliskan pada setiap hurufnya, serta pada setiap titiknya ada daftar isi yang merangkum isi keseluruhan kitab. Kitab tersebut berikut semua lembaran, semua baris, bahkan semua titiknya secara jelas menunjukkan keberadaan Sang Pengarang dan Penulisnya. Menyaksikan kitab alam yang agung ini saja sudah cukup menunjukkan keberadaan Penulisnya. Lebih dari itu, ia mendorong kita untuk mengetahui keberadaan dan keesaan- Nya, jauh melebihi petunjuk kitab tersebut atas dirinya sendiri. Sebab, ketika sebuah huruf menunjukkan dan menjelaskan keberadaannya dengan seukuran satu huruf, pada saat yang sama ia ungkapkan sifat-sifat Penulisnya seukuran satu baris.

    Ya, permukaan bumi tak ubahnya seperti lembaran kitab besar itu. Lembaran tersebut berisi buku-buku sebanyak jumlah jenis tumbuhan dan hewan. Ia dituliskan di hadapan kita pada musim semi dengan sangat sempurna dan rapi tanpa ada satu kesalahan pun dalam tulisan yang saling berbaur antara yang satu dengan yang lain pada waktu yang bersamaan. Adapun taman atau kebun tak ubahnya seperti baris yang terdapat di lembaran tersebut. Di dalamnya, kita bisa menyaksikan kumpulan gubahan syair yang ditulis di hadapan kita sebanyak jumlah bunga, pohon, dan tumbuhan dengan tulisan yang saling bersambung antara yang satu dengan yang lainnya tanpa ada kesalahan sedikit pun.Pohon yang tumbuh dengan daun-daunnya yang kemilau, bunga-bunganya yang mekar, serta buah-buahnya hampir bermunculan, tak ubahnya seperti untaian kata dari baris tersebut. Untaian kata itu menggambarkan sebuah alinea sempurna penuh makna yang mengekspresikan pujian dan rasa syukurnya sekaligus menjadi bukti atas keberadaan Dzat Yang Mahabijak, Pemilik keindahan sebanyak jumlah daunnya yang teratur, bunganya yang memesona, buahnya yang seimbang. Seolah-olah pohon yang berbunga mekar tersebut adalah untaian bait indah yang sedang melantunkan pujian dan terima kasihnya atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Membentuk dan Mahamulia.

    Seolah-olah Dzat Yang Maha Bijak dan Agung itu ingin memperlihatkan keindahan ciptaan dan keajaiban makhluk yang Dia hamparkan di bumi lewat ribuan mata.

    Juga seolah-olah karunia ber- harga dan persembahan bernilai yang Allah berikan kepada pohon itu telah memberikan bentuk yang indah, format yang seimbang, serta konstruksi yang penuh hikmah sehingga siap diperlihatkan kepada Sang Raja Yang Agung pada hari rayanya yang bahagia dan di saat pertunjukan umum, pada semua makhluk. Yaitu di musim semi.

    Dengan demikian, berbagai lisan dan beragam wajah yang saling berbaur, entah setiap bunga atau setiap buah dari pohon tersebut menjadi saksi atas keberadaan Tuhan Sang Maha Pencipta serta menjadi bukti atas nama-nama-Nya yang mulia.Sebagai contoh, pada setiap bunga atau buah terdapat sebuah timbangan. Timbangan tersebut berada dalam sebuah keteraturan. Keteraturan tersebut berada dalam pengaturan dan penyeimbangan yang selalu terbaharui. Pengaturan dan penyeimbangan itu mengalir dalam seluruh sisi hiasan yang indah dan ciptaan yang tertata rapi. Karena hiasan dan ciptaan berada dalam aroma wangi yang bermak- na dan aneka rasa yang penuh hikmah, maka setiap bunga menjadi isyarat atas keberadaan Dzat Yang Maha Bijaksana dan Agung seba- nyak jumlah bunga yang terdapat di pohon tersebut.

    Pohon yang berposisi sebagai kata, buahnya yang berposisi sebagai huruf-hurufnya, benih buah yang berposisi sebagai titik-titik huruf yang berisikan daftar isi pohon secara lengkap sekaligus memuat rancangan kerjanya,

    kalau pohon ini kita ambil sebagai contoh dan kita misalkan sebagai kitab jagad raya, kita akan melihat baris demi baris serta lembarannya lewat manifestasi berbagai cahaya nama al-Hakim al-Hakam (Dzat Yang Mahabijaksana), ia menjadi mukjizat yang mengagumkan. Bahkan setiap lembar, setiap baris, setiap huruf, dan setiap titik berkumpul untuk membuat titik semacam itu atau yang semisalnya, pasti mereka tidak akan mampu membuatnya. Lebih dari itu, semua sebab tersebut tidak akan mampu sama sekali untuk menentangnya.

    Ya, setiap tanda kekuasaan yang terdapat di alam ini, termasuk ayat Qur’annya, jagad raya tampak sebagai mukjizat yang cemerlang sebanyak jumlah titik dan huruf yang ada di dalamnya. Karena itu,tidak aneh kalau hukum kebetulan dan alam buta yang tidak mem- punyai tujuan dan timbangan ini tidak mungkin bisa ikut campur dalam neraca keseimbangan yang rapi dan istimewa tersebut serta dalam keteraturannya yang akurat dan memesona. Seandainya ia ikut campur di dalamnya pasti bekas dan pengaruhnya akan tampak. Padahal tak terlihat sama sekali adanya cacat atau kekurangan di tempat manapun juga.

    Poin Kedua

    Ia berisi dua persoalan:

    Persoalan pertama:

    Seperti yang telah dijelaskan dalam “Kalimat Kesepuluh”, ada beberapa prinsip dasar yang isinya sebagai berikut:Salah satu kaidah dasar adalah keindahan yang sangat sempurna dan kesempurnaan yang indah itu pastilah bersaksi sekaligus mempersaksikan keindahan dan kesempurnaan-Nya.Atas dasar itu, Tuhan Sang Pencipta yang telah menulis kitab jagad raya ini memperkenalkan dan mendekatkan keindahan kesempurnaannya lewat lisan para makhluk-Nya, mulai dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Allah memperkenalkan Dzat-Nya yang suci, menjelaskan kesempurnaan-Nya yang mulia, dan mem- perlihatkan keindahan-Nya yang memesona lewat alam ini, berikut tiap lembar, tiap kata, bahkan tiap huruf dan tiap titik yang ada di dalamnya.

    Maka dari itu, wahai orang yang berakal! Dzat Yang Maha Bijaksana, Mahaagung, dan Mahaindah telah memperkenalkan diri-Nya kepadamu lewat setiap makhluk yang ada dengan bentuk yang menakjubkan dan dengan sarana keindahan yang amat beragam. Jika engkau tidak meresponnya dengan keimanan kepada-Nya, jika eng- kau tidak membalas kedekatan-Nya itu dengan ibadah dan cintamu, maka betapa bodoh dan meruginya dirimu. Waspadalah! Sadarlah! Dan bangunlah dari kelalaianmu!

    Persoalan kedua:

    Sama sekali tidak ada tempat bagi syirik di alam luas ini yang diciptakan oleh Sang Pencipta Yang Mahakuasa dan Mahabijaksana. Sebab, wujud yang sangat rapi dalam segalanya sama sekali tidak menerima adanya syirik. Seandainya ada banyak tangan yang ikut campur dalam penciptaan sesuatu, pastilah muncul kekurangan dan cacat di dalamnya sebagaimana munculnya keka- cauan komando di saat ada dua orang penguasa dalam sebuah negeri, dua orang pemimpin dalam sebuah kota, dan dua orang gubernur dalam sebuah provinsi. Pegawai rendahan saja akan menolak kalau ada campur tangan dan intervensi orang lain dalam urusan yang menjadi tugasnya. Semua itu secara jelas menunjukkan bahwa prinsip dasar bagi suatu kekuasaan adalah adanya independensi dan kemandirian. Sebagaimana keteraturan membutuhkan adanya kesatuan, kekuasaan juga membutuhkan kemandirian.

    Kalau bayangan fana dari kekuasaan yang ada pada manusia yang lemah ini saja tidak menerima adanya intervensi luar, bagaimana dengan kekuasaan hakiki milik Dzat Yang Mahakuasa yang bersifat mutlak? Tentu saja, Kekuasaan Mutlak pasti sangat menolak adanya campur tangan dan intervensi pihak lain. Seandainya intervensi itu terjadi—meskipun dalam skala yang sangat kecil—pasti akan terjadi kesemrawutan dan ketimpangan di sanasini.

    Padahal alam yang luas ini telah diciptakan dengan sedemikian menakjubkan. Sehingga untuk penciptaan sebuah atom saja harus ada kekuasaan yang mampu menciptakan sebuah pohon. Selanjutnya, untuk penciptaan sebuah pohon harus ada kekuasaan yang mampu menciptakan seluruh alam. Jika seandainya ada sekutu di alam, berarti ia juga terlibat di dalam penciptaan benih terkecil sekalipun. Dengan demikian, berarti ada dua kekuasaan dalam benih kecil itu. Bahkan dalam atom. Ini tentu saja mustahil, serta termasuk khayalan batil yang sangat tidak rasional.Ketahuilah, wahai manusia! Syirik dan kekufuran merupakan khurafat yang sangat bodoh. Ia merupakan kata yang paling dusta dan kebohongan yang paling nyata. Sebab, keduanya mengkonse- kuensikan ketidakberdayaan Dzat Yang Maha Berkuasa mutlak yang menggenggam langit dan bumi agar tidak bergeser, Dzat yang di tangan-Nya ada kunci langit dan bumi di mana Dia mengelola kedua- nya dengan timbangan keadilan, keteraturan, dan kebijaksanaan-Nya. Syirik dan kekufuran tersebut mengimplikasikan ketidakberdayaan Allah dalam mengelola benih yang kecil. Ketahuilah, betapa tauhid merupakan hakikat yang paling benar! Betapa ia merupakan sesuatu yang paling lurus! Sadarilah hal tersebut lalu ucapkan, “Segala puji bagi Allah atas karunia iman.”

    Poin Ketiga

    Dengan nama-Nya, al-Hakam dan al-Hakîm, Sang Pencipta Yang Mahakuasa telah memasukkan ke dalam jagad raya ini ribuan alam yang teratur dan menakjubkan. Dia telah menciptakan manu- sia di tempat sentral sebagai makhluk yang paling mencerminkan berbagai hikmah yang dituju-Nya di alam ini. Dia jadikan manusia sebagai pusat dan sumbu alam. Semua hikmah dan kemaslahatan menuju kepada manusia. Dia juga menjadikan rezeki sebagai titik pusat dalam wilayah kehidupan manusia. Sehingga engkau bisa menyaksikan bagaimana sebagian besar hikmah, tujuan, maslahat, dan manfaat—di alam manusia—mengarah pada rezeki tersebut. Karena itu, manifestasi nama al-Hakim dalam bentuk yang paling cemerlang dan bersinar tampak secara jelas dari perasaan manusia dan dari pengecapan rezeki. Sehingga semua ilmu—dari ratusan ilmu yang mengantarkan manusia untuk menyingkapnya lewat perasaan yang ia miliki—bisa memperkenalkannya pada salah satu manifestasi nama al-Hakam.

    Sebagai contoh: Jika ilmu kedokteran ditanya, “Apakah sesungguhnya semua alam ini?” Ia akan menjawab bahwa alam ini merupakan apotek besar yang semua obat disediakan dan disimpan di dalamnya dengan sangat rapi.

    Jika ilmu kimia ditanya, “Apakah sesungguhnya bola bumi ini?” ia akan menjawab bahwa bola bumi ini merupakan laboratorium kimia yang sangat teratur, indah, dan sempurna.

    Sementara itu, ilmu permesinan akan menjawab bahwa ia merupakan pabrik yang ditata secara sempurna tanpa ada yang kurang.

    Ilmu pertanian pun akan menjawab bahwa ia merupakan kebun rimbun dan sawah yang sangat subur di mana berbagai jenis tanaman bisa tumbuh di dalamnya.

    Ilmu perdagangan akan mengatakan bahwa ia merupakan bazar besar, pasar yang sangat menakjubkan dan rapi, serta pusat bisnis yang berisi berbagai macam dagangan yang paling berkualitas.

    Ilmu ekonomi akan menjawab bahwa ia merupakan simpanan besar yang berisi banyak rezeki dengan beraneka ragam jenisnya.

    Ilmu gizi akan menjawab bahwa ia merupakan dapur Tuhan yang di dalamnya ratusan ribu makanan lezat dimasak dengan sangat rapi dan sempurna.
    

    Lalu seandainya ilmu militer ditanya tentang bumi, ia akan menjawab bahwa bumi merupakan barak besar tempat dikumpulkannya para prajurit bersenjata yang baru di setiap musim semi. Para prajurit tersebut terdiri dari berbagai jenis tumbuhan dan hewan yang jumlahnya lebih dari empat ratus ribu spesies. Kemah-kemah mere- ka didirikan di seluruh sisi permukaan bumi. Meskipun rezeki, baju, senjata, pengajaran, dan pembebasan yang didapat setiap makhluk berbeda-beda, namun urusan semuanya berlangsung secara sangat rapi. Kebutuhan setiap makhluk telah tersedia tanpa ada yang terlupa atau tersalurkan secara salah. Hal itu tentu saja berkat perintah Allah serta berkat rahmat-Nya yang luas yang bersumber dari simpanan kekayaan-Nya yang banyak.

    Kalau ilmu listrik ditanya, ia akan menjawab bahwa atap istana alam yang indah ini telah dihiasi oleh berbagai lampu berkilau yang jumlahnya tak terhingga dan dengan penataan yang sangat menakjubkan. Sehingga penataan dan pengaturan yang menakjubkan itu membuat lampu-lampu langit—yang besarnya seribu kali bumi itu, terutama matahari—terus bersinar tanpa pernah meledak, berkurang keseimbangan, atau terbakar.Dari mana gerangan lampu-lampu yang tak terhitung banyaknya dan tak pernah redup itu berasal? Mengapa keseimbangannya tak pernah timpang? Padahal, lentera kecil saja, kalau tidak terus diawasi dan diperhatikan cahayanya akan padam. Mahasuci Allah Dzat yang Mahakuasa, Bijak, dan Agung. Dia telah menyalakan matahari—yang sejuta kali lebih besar dari bumi dan telah berumur lebih dari sejuta tahun (seperti yang dikatakan oleh astronomi) tanpa pernah padam, tanpa bahan bakar atau minyak.(*[3])Perhatikan semua itu, lalu sucikanlah nama Tuhan-Mu yang Agung. Ucapkan masya Allah, tabarakallah, la ilaha illallah, sebanyak jumlah detik dari usia matahari yang telah berlalu.

    Tak diragukan lagi bahwa ada keteraturan yang mengagum- kan pada seluruh lampu langit yang bersinar. Mereka diawasi secara sangat cermat. Sehingga seolah-olah sumber panas dari benda api yang sangat besar dan banyak itu berasal dari neraka jahannam yang panasnya tak pernah padam di mana ia mengirimkan hawa panas yang tanpa cahaya. Juga seolah-olah mesin dari lampu dan lentera bersinar yang jumlahnya tak terhingga itu adalah surga abadi yang mengirimkan cahaya dan sinar sehingga terus menyala lewat manifestasi nama al-Hakam dan al-Hakîm.

    Berdasarkan contoh di atas, setiap ilmu dari ratusan ilmu yang ada secara tegas mengakui bahwa alam ini telah dihiasi dengan berbagai hikmah dan kemaslahatan dalam sebuah keteraturan yang sempurna. Setiap tatanan dan hikmah mulia yang bersumber dari kebijaksanaan-Nya yang meliputi bumi telah dimasukkan dalam ukuran yang lebih kecil, bahkan pada makhluk hidup dan benih yang paling kecil.

    Dengan jelas dapat diketahui bahwa penempatan berbagai tujuan dan hikmah secara rapi tak mungkin bisa terwujud kecuali de- ngan adanya kehendak, usaha, tekad, dan kemauan. Jika tidak, maka ia tak akan bisa tercapai. Karena itu, sebagaimana karya indah itu bukan merupakan hasil kreasi sebab-sebab materi dan alam yang tidak mempunyai kehendak, usaha, tekad, dan perasaan. Sebab dan alam tersebut juga tidak mungkin bisa ikut campur di dalamnya. Jadi, sungguh bodoh orang yang tidak mengenal atau tidak beriman ke- pada Pelaku dan Pencipta Yang Mahabijak, di mana seluruh tatanan menakjubkan dan berbagai hikmah mulia yang tak terhitung jumlahnya yang bertebaran di seluruh entitas alam menjadi bukti atas-Nya.

    Ya, jika ada sesuatu yang aneh dan mengherankan di dunia ini, maka hal itu adalah sikap manusia yang menolak keberadaan Allah. Sebab, keteraturan berikut segala macamnya yang tak terhingga serta berbagai hikmah dengan beragam bentuknya yang istimewa yang terdapat di setiap entitas alam menjadi saksi yang jujur bahwa eksistensi dan keesaan Allah wajib adanya. Jadi, tidak ada yang lebih buta dan tidak ada yang lebih bodoh dari mereka yang tidak melihat keberadaan Tuhan yang Mahabijaksana. Bahkan aku bisa mengatakan bahwa kaum sofis yang dianggap dungu di antara orang- orang kafir karena mengingkari eksistensi alam merupakan orang kafir yang paling pintar. Sebab, keyakinan terhadap eksistensi alam yang disertai dengan ketidakpercayaan pada Sang Penciptanya—yaitu Allah —adalah sesuatu yang sangat mustahil dan tidak dapat diterima. Karena itu, mereka memulai dengan mengingkari alam sekaligus mengingkari keberadaan mereka sendiri. Menurut mereka, tidak ada yang eksis sama sekali. Mereka meniadakan akal mereka sendiri sekaligus menyelamatkan diri dengan sedikit mendekat kepada akal dibandingkan dengan kaum kafir dungu yang bersembunyi di balik akal.

    Poin Keempat

    Seperti yang telah dijelaskan dalam “Kalimat Kesepuluh” bahwa ketika Sang Arsitektur yang Pandai dan Bijak membuat sebuah istana yang kokoh, lalu setiap kamar dan ruangannya Dia isi dengan ratusan hikmah dan manfaat, tidak mungkin rasanya Dia tidak membuat atap yang bisa melindunginya dari kerusakan. Sebab, hal itu berarti membiarkan bangunan itu mengalami kehancuran serta membiarkan segala hikmah dan manfaat yang ada tersia-siakan. Tentu saja mereka yang mempunyai perasaan tidak akan menerima hal ini. Dzat Yang Mahabijak, yang menumbuhkan dari segenggam biji ratusan manfaat dan hikmah lalu dipelihara dan dikelola-Nya, tidak mung- kin akan melakukan sesuatu yang sia-sia dan berlebihan—dua hal yang bertentangan dengan kebijaksanaan mutlak Dzat Yang Mahabi- jakkemudian pohon besar itu Dia berikan manfaat yang tak berarti, tujuan yang kecil, serta buah yang sedikit. Padahal kita mengetahui bahwa Dia telah mengorbankan banyak hal untuk menumbuhkan dan membuahkannya.Ya, sebagaimana orang yang berakal tak mungkin mempunyai anggapan semacam itu, ia juga tidak mungkin percaya kalau Sang Pencipta Yang Mahabijaksana akan bertindak sia-sia dengan tidak mendatangkan alam akhirat serta tidak menghadirkan hari kebangkitan dan kiamat, padahal sebelumnya Dia menghiasi seluruh entitas yang terdapat di istana alam ini dengan ratusan hikmah dan maslahat sekaligus melengkapinya dengan ratusan tugas. Jadi, tidak mungkin terlintas dalam benak orang yang berakal bahwa Sang Bijak Yang Mahaagung akan menyia-nyiakan seluruh hikmah, tujuan, dan tugas yang ada dengan meniadakan kiamat dan akhirat.Sebab, hal itu berarti menempelkan sifat ketidakberdayaan pada kekuasaan Dzat Yang Maha Berkuasa mutlak, menyandarkan kesia-siaan pada kebijaksanaan Dzat Yang Mahabijak, melekatkan keburukan pada keindahan rahmat Dzat Yang Maha Penyayang, serta menisbatkan kezaliman kepada keadilan Dzat Yang Maha Adil. Dengan kata lain, mengingkari semua kebijaksanaan, rahmat, dan keadilan-Nya yang tampak secara jelas sama saja dengan mengingkari seluruh wujud yang ada. Tentu saja ini sangat mustahil dan sangat tidak benar.

    Hampirilah kaum yang sesat itu dan perhatikan kesesatan mereka. Kesesatan tersebut ibarat kegelapan yang penuh dengan kalajengking dan ular, sama seperti kuburan yang akan mereka tempati. Ketahuilah bahwa jalan iman kepada akhirat bersinar indah sama seperti surga. Karena itu, tinggallah di sana dan nikmatilah keimanan yang ada.

    Poin Kelima

    Ia terdiri dari dua persoalan:

    Persoalan pertama

    sebagai konsekuensi nama al-Hakîm, jejak yang ditinggalkan oleh Sang Pencipta Yang Agung pada segala sesuatu dalam bentuk yang paling indah, jalan yang paling singkat, gambar yang paling mudah, dan format yang paling bermanfaat menjadi bukti yang paling jelas bahwa tidak ada berlebihan, kesia-siaan dan ketidakmaslahatan dalam fitrah. Sikap berlebihan berlawanan dengan nama al-Hakîm, maka kesederhanaan dan sikap hemat merupakan sebuah kemestian, konsekuensi, dan kaidah dasar-Nya.

    Karena itu, wahai manusia yang berlebihan dan boros, ketahuilah bahwa engkau telah jauh dari kebenaran dengan tidak sederhana dan hemat yang merupakan prinsip yang mendasar pada alam semesta. Camkanlah firman Allah yang berbunyi:

    “Makanlah dan minumlah, tetapi jangan berlebihan.” (QS. al- A’raf [7] : 31) agar engkau mengetahui betapa kuat kaidah umum dan komprehensif yang dikandungnya.

    Persoalan kedua

    dapat dikatakan bahwa nama al-Hakam dan al-Hakîm secara jelas mengharuskan dan mengkonsekuensikan ke- nabian dan kerasulan Muhammad.Ya, karena sebuah kitab yang bermakna mengharuskan keberadaan seorang pengajar yang jenius untuk mengajarkannya, karena keindahan yang menakjubkan mengharuskan keberadaan sebuah cermin agar menjadi tampak sekaligus menampakkan keindahannya, serta karena ciptaan yang sempurna mengharuskan keberadaan orang yang menyerukannya, maka harus ada di antara umat manusiayang menjadi sasaran kitab jagad raya ini yang berisi ratusan makna dan hikmah mendalam pada setiap hurufnya—seorang pemimpin yang paling sempurna dan pengajar yang paling agung (1) untuk membimbing manusia kepada berbagai hikmah suci dan hakiki yang terdapat dalam kitab besar itu; (2) untuk mengajarkan berbagai hikmah yang tersebar dalam seluruh sisinya; (3) untuk menjadi tempat munculnya seluruh tujuan Tuhan dalam menciptakan alam, bahkan menjadi sebab kemunculannya; (4) untuk menunjukkan kesempurnaan ciptaan dan keindahan nama-nama-Nya yang mulia seperti yang ingin ditampakkan Tuhan sehingga ia menjadi cermin bening yang menampilkan kesempurnaan dan keindahan-Nya yang luar biasa itu; (5) untuk memberikan pengabdian menyeluruh atas nama seluruh makhluk terhadap seluruh bentuk kekuasaan Tuhan yang luas seraya membangkitkan rasa rindu dan cinta di seluruh alam, baik di darat maupun di laut, dengan memalingkan perhatian seluruh makhluk kepada Sang Pencipta Yang Maha Agung lewat dak- wah, doa, tahlil, tasbih, dan taqdis di mana seluruh sisi langit dan bumi mendendangkan; (6) untuk menunjukkan berbagai pelajaran suci dan petunjuk penuh hikmah yang berasal dari al-Qur’an ke telinga semua orang yang berakal; (7) untuk menjelaskan berbagai maksud suci Sang Pencipta Yang Maha Bijak dalam bentuk yang paling indah dan paling agung lewat al-Qur’an yang agung; (8) untuk menyambut seluruh wujud hikmah mendalam disamping keindahan dan keagungan-Nya yang tampak di seluruh cakrawala dengan sambutan yang paling sempurna. Itulah misi dan tugas yang dibawa oleh manusia yang satu ini. Manusia yang keberadaannya dibutuhkan. Bahkan alam ini mengharuskan keberadaannya seperti kebutuhan dan keharusan akan adanya matahari. Orang yang bisa melakukan berbagai peran dan melaksanakan sejumlah tugas di atas dalam bentuk yang paling sempurna hanyalah Rasul sebagaimana hal itu tampak secara jelas. Karena itu, sebagaimana matahari mengharuskan adanya sinar, dan sinar tersebut mengharuskan adanya siang, maka berbagai hikmah yang tersebar di seluruh alam mengharuskan kehadiran Muhammad sebagai seorang nabi dan rasul.

    Ya, sebagaimana manifestasi agung dari nama al-Hakam dan al- Hakîm dalam wilayahnya yang paling luas mengharuskan kehadiran risalah Muhammad, maka sebagian besar nama-nama Tuhan seperti Allah, ar-Rahman, ar-Rahim, al-Wadud, al-Mun’im, al-Karim, al-Jamil, dan ar-Rabb, juga betul-betul mengharuskan keberadaan risalah Muhammad dalam sebagian besar manifestasinya di seluruh bumi.

    Contohnya, rahmat Allah yang luas yang merupakan manifestasi nama ar-Rahim secara jelas tampak dengan adanya sosok yang menjadi rahmat bagi alam semesta (Muhammad). Kecintaan dan perkenalan Ilahi yang merupakan manifestasi dari nama al-Wadud mencapai hasil dari keduanya dan mendapatkan pertemuannya dengan sang kekasih Tuhan. Seluruh jenis keindahan dari keindahan Dzat hingga keindahan nama-nama-Nya, keindahan penciptaan, keindahan makhluk, serta semua jenis keindahan yang merupakan manifestasi dari nama al-Jamil tampak dengan jelas pada cermin Muhammad sekaligus cermin itu menjadi saksi atasnya, bahkan manifestasi keagungan Rububiyah dan dominasi kekuasaan Tuhan dapat diketahui, dikenali, dipahami, diambil, dan dapat diyakini lewat risalah sang dai agung ini yang menyerukan Penguasa alam semesta. Demikianlah sebagian besar nama Tuhan menjadi petunjuk yang nyata terhadap risalah Muhammad sebagaimana telah dijelaskan.

    Kesimpulan Alam ini benar-benar ada dan tak mungkin diingkari. Tentu saja beragam hakikat seperti kebijaksanaan, perhatian, kasih sayang, keindahan, keteraturan, keseimbangan, dan perhiasan yang merupakan warna, perhiasan, sinar, aneka macam kehidupan, dan berbagai bentuk ikatan bagi alam semesta tak dapat diingkari. Karena semua sifat dan perbuatan tersebut tak mungkin diingkari, maka Dzat yang disifati dengan sifat-sifat itu, Pelaku dari semua perbuatan itu, dan Cahaya mentari dari semua sinar itu juga tak bisa diingkari. Dia adalah Allah Yang Mahasuci, Mahaagung, dan Wajibul Wujud di mana Dia Mahabijaksana, Maha Penyayang, Mahaindah, dan Mahaadil.Selain itu, kita juga tidak mungkin mengingkari kerasulan pribadi yang menjadi pusat munculnya semua sifat dan perbuatan tersebut, bahkan pusat munculnya hamparan kesempurnaannya. Dia adalah Rasul yang mulia, Muhammad, sang pemimpin besar, maha guru, penyeru agung, penyingkap rahasia alam, cermin Tuhan, dan kekasih ar-Rahman. Risalahnya merupakan cahaya paling cemerlang di alam ini sama seperti cemerlangnya sinar alam hakikat dan cahaya hakikat alam.

    “Semoga Allah melimpahkan salawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad, sebanyak jumlah hitungan hari dan partikel wujud manusia.”

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    NUKTAH KEEMPAT

    (Yang Maha Tunggal) “Katakanlah, Dia Allah Yang Maha Esa.” (QS. Al-Ikhlas [112]: 1). Saat aku berada di penjara Eskisyehir pada bulan Syawwal, tampak olehku salah satu makna halus yang dikandung oleh ayat di atas. Aku menyaksikan secercah cahaya nama Allah Yang Agung, yaitu al- Fard, yang mencakup nama Tuhan lainnya, al-Wahid dan al-Ahad.Di sini dengan sangat ringkas kami akan menjelaskan tauhid hakiki yang diperlihatkan oleh manifestasi nama tersebut dalam tujuh petunjuk singkat:

    Petunjuk Pertama

    Dengan manifestasinya, nama al-Fard yang merupakan salah satu al-ismul A’zham di letakkan di atas seluruh bumi lewat tanda tauhid yang spesifik dan lewat stempel keesaan-Nya yang sangat jelas pada seluruh alam, seluruh spesies, serta pada seluruh bagian di dalamnya. Karena “Kalimat Kedua Puluh Dua” dan “Surat Ketiga Pu- luh Tiga” telah memuat penjelasan tentang manifestasi tersebut, di sini kita hanya akan membahas tiga tanda atau stempel darinya yang menjadi petunjuk tauhid.

    Stempel Pertama Manifestasi al-Fard telah membubuhkan stempel keesaan di seluruh permukaan alam ini, sehingga membuat alam ini sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dzat yang tidak mampu berkuasa di seluruh alam tidak mungkin menjadi penguasa kerajaan hakiki di bagian wilayah mana pun.Sekarang kami akan menjelaskan stempel tersebut. Seluruh en- titas alam yang beraneka ragam saling menolong antara yang satu dengan lainnya dan menyempurnakan tugas yang lain seperti gerigi pabrik. Hal ini membuat kesatuan wujud dengan adanya kerjasama, saling menopang antar bagian, respon yang satu atas permintaan lainnya, dukungan yang satu terhadap lainnya, bahkan keterkaitan dan peleburan antar bagian di dalamnya seperti bagian tubuh manusia di mana yang satu tidak bisa dipisahkan dari yang lainnya. Dari sini kita memahami bahwa Dzat yang menggenggam ken- dali sebuah unsur di alam ini pastilah juga memegang kendali semua unsurnya. Jika tidak, ia pun tidak mungkin bisa mengendalikan satu unsur tadi.

    Jadi, kerjasama, kekompakkan, dan tolong-menolong yang tampak jelas di alam ini merupakan stempel tauhid yang agung dan cemerlang.

    Stempel Kedua Cap keesaan dan stempel Wahdâniyah (Ketunggalan ilahi) yang cemerlang tampak pada muka bumi dan musim semi dengan manifestasi dari nama al-Fard, sehingga membuktikan bahwa Dzat yang tidak mengurus urusan semua makhluk di muka bumi ini dan Dzat yang tidak melihat, tidak mencipta, serta tidak mengetahui semuanya, tidak mungkin bisa ikut campur dalam proses penciptaannya. Stempelnya adalah sebagai berikut:

    Perhatikan hamparan yang terbentang di atas permukaan bumi yang atasnya diisi oleh ratusan ribu jenis hewan dan tumbuhan yang beraneka macam, yang tak terhitung jumlahnya. Semuanya menampilkan perhiasan dan menebarkan kelapangan hidup di atas permukaan bumi, terutama pada musim semi. Perhatikan dan camkanlah hal itu dengan baik. Dengan bentuknya yang beraneka macam, tugasnya yang beragam, rezeki dan organ tubuhnya yang berbeda-beda, serta keterkaitan antara yang satu dengan yang lain terlihat bahwa rezeki setiap makhluk datang dengan mudah dari se- tiap tempat dan dengan cara yang tak terduga tanpa pernah terlupa atau salah. Dia memberikan segala yang dibutuhkan setiap makhluk dengan timbangan yang sangat akurat dan cermat di waktu yang tepat tanpa ada kesulitan apa-apa dengan pembagian yang jelas. Pemberian rezeki tersebut berjalan dalam sebuah komposisi besar dan dalam kumpulan entitas yang saling berbaur. Belum lagi tanda-tanda tauhid yang menakjubkan dan cemerlang yang tersembunyi di dalam bumi. Yaitu berupa keberadaan tambang dan mineral yang tertata rapi di dalamnya.Karena itu, pengelolaan dan pengurusan Tuhan yang tampak secara nyata, baik di permukaan maupun di dalam bumi, tidak lain merupakan tanda dan stempel keesaan-Nya yang cemerlang.Sebab, Dzat yang tidak bisa menciptakan seluruh entitas dari tiada, yang tidak mengurus seluruh urusan mereka dalam waktu yang bersamaan, tidak akan mungkin bisa ikut campur sama sekali dalam proses penciptaan dan pengelolaan. Karena seandainya ikut campur, pastilah ia merusak pengelolaan yang sangat rapi dan seimbang tadi. Adapun tugas lahiriah yang dilakukan oleh manusia yang juga atas izin Tuhan, hal itu hanyalah untuk menyingkap hukum-hukum Tuhan dan keelokan perjalanannya.

    Stempel Ketiga Lambang dan stempel tauhid tampak dengan sangat jelas bagi mereka yang mau memperhatikan wajah manusia, siapapun adanya. Sebab, setiap manusia mempunyai tanda pengenal di wajahnya yang membedakannya dari yang lain. Dzat yang tidak bisa meletakkan tanda tersebut di setiap wajah serta Dzat yang tidak mengenali semua wajah yang terdahulu dan kemudian, sejak masa Nabi Adam hingga hari kiamat, tidak akan mungkin bisa membantu dalam meletakkan tanda-tanda pembeda tersebut di wajah seorang manusia yang kecil itu.

    Ya, Dzat Yang telah meletakkan tanda pengenal di wajah manusia lewat ciri pembeda tadi pastilah telah melihat, menyaksikan, dan mengenali seluruh umat manusia sehingga Ia bisa meletakkan stempel tadi sebagai perlambang tauhid. Meskipun ada kemiripan lahiriah antara organ tubuh utama, seperti mata, hidung, dan organ lainnya, ia tetap tidak akan sama persis karena ada tanda pembeda pada masing-masingnya. Sebagaimana kemiripan organ tubuh, entah itu mata atau hidung, pada semua wajah manusia menjadi bukti nyata bahwa Sang Pencipta manusia adalah esa dan wahid, maka tanda pembeda yang diletakkan di setiap wajah manusia—untuk melindungi hak-hak setiap orang dalam masyarakat untuk tidak membuat rancu, serta untuk berbagai hikmah lainnya—juga merupakan bukti lain yang menunjukkan adanya kehendak mutlak dan sempurna dari Sang Pencipta Yang Maha Esa, Allah , serta menjadi tanda keesaan-Nya yang menakjubkan dan nyata.Sebab, Dzat yang tidak mampu mencipta seluruh manusia, hewan, dan tumbuhan, bahkan seluruh alam, tidak mungkin bisa meletakkan ciri pembeda itu pada seseorang.

    Petunjuk Kedua

    Alam entitas yang beraneka macam, jenisnya yang berane- karagam, serta unsurnya yang berbeda-beda saling menyatu dan padu, sehingga sebab yang tidak berkuasa atas seluruh alam tidak mungkin memiliki kekuasaan hakiki atas satu unsurpun darinya. Seolah-olah manifestasi cahaya tauhid dari nama al-Fard telah meng- himpun seluruh alam dalam satu kesatuan sekaligus membuat setiap bagian darinya turut menyuarakan keesaan tersebut.

    Sebagai contoh: sebagaimana kesatuan matahari yang me- rupakan lampu bagi seluruh alam menjadi petunjuk bahwa seluruh alam milik Dzat yang Esa, maka udara pun yang berusaha melayani kepentingan semua makhluk, api juga yang dinyalakan untuk semua kebutuhan, awan yang menyirami bumi, serta hujan yang turun untuk membantu semua makhluk adalah satu dan memenuhi panggilan semua makhluk. Tersebarnya sebagian besar makhluk, entah itu hewan atau tumbuhan, ke seluruh pelosok bumi dengan jenis dan habitat yang sama, menjadi petunjuk yang tegas dan saksi yang ju- jur bahwa seluruh entitas dan habitatnya itu berada dalam kekuasaan Dzat Yang Maha Esa.

    Atas dasar itu, kita melihat bahwa adanya pembauran yang sangat kuat antara berbagai makhluk telah membuat keseluruhannya berada dalam satu kesatuan di mana proses penciptaannya tak mungkin terbagi dan terpisah. Dzat yang tidak bisa melaksanakan seluruh hukumnya pada seluruh alam tidak mungkin dapat membuat entitas manapun tunduk pada pemeliharaannya; meskipun ia berupa atom ataupun yang lebih kecil dari itu.

    Petunjuk Ketiga

    Lewat manifestasi agung nama al-Fard seluruh alam berubah menjadi semacam untaian surat shamadani. Setiap surat berisi tanda-tanda keesaan dan stempel tauhid. Selain itu, setiap surat juga memuat ciri keesaan sebanyak jumlah katanya. Bahkan setiap kata di dalamnya memiliki stempel keesaan dan menunjukkan Sang Penu- lisnya sebanyak stempel itu.

    Setiap bunga, buah, rumput, hewan dan setiap pohon masing-masing merupakan stempel keesaan-Nya dan cap Shamadaniyah-Nya. Seolah-olah semua itu merupakan stempel setiap topik yang berbentuk surat dan menjelaskan Penulisnya.

    Sebagai contoh, bunga kuning yang terdapat di sebuah taman. Bunga tersebut berposisi sebagai stempel perancang taman tersebut. Dzat yang menjadi Pemilik stempel tersebut (bunga tadi) juga merupakan Pemilik seluruh macam bunga itu dan yang sejenisnya yang tersebar di seluruh bumi. Selain itu, ia juga menjadi petunjuk bahwa taman tadi merupakan tulisan-Nya.

    Artinya, setiap sesuatu mengem- balikan semuanya pada Penciptanya sekaligus menunjukkan manifestasi cemerlang dan agung dari keesaan Allah.

    Petunjuk Keempat

    Manifestasi agung dari nama al-Fard sudah sangat terang seperti terangnya matahari, namun ia dapat diterima sesuai dengan akal dan logika sehingga menjadi sebuah aksioma. Sebaliknya, syirik yang bertentangan dengan manifestasi tadi, sangat rumit sehingga menjadi pelik dan sama sekali tidak logis. Ia sangat tidak rasional hingga sampai ke tingkat mustahil. Hal ini telah dijelaskan dalam berbagai bagian dari Risalah Nur. Di sini kami hanya akan menjelaskan tiga poin dari berbagai bukti tersebut. Penjelasan rincinya dapat dilihat pada risalah-risalah yang lain.

    Poin Pertama Secara singkat di penghujung “Kalimat Kesepeluh” dan “Kedua Puluh Sembilan” serta secara luas pada “Surat Kedua Puluh”, kami telah menjelaskan dengan berbagai bukti yang kuat bahwa:Sama mudahnya penciptaan benda yang paling besar dan paling kecil bagi Dzat Yang Maha Esa. Allah menciptakan musim semi yang luas secara sangat mudah sama mudahnya dengan menciptakan sekuntum bunga. Pada musim semi itu pun dengan amat mudah Dia hadirkan ribuan contoh kebangkitan makhluk sebagaimana yang bisa kita saksikan. Dia pelihara pohon yang sangat besar secara sangat mudah sama seperti mudahnya memelihara buah yang kecil. Tetapi seandainya ia disandarkan kepada sebab-sebab materi yang banyak jumlahnya, maka penciptaan setiap bunga di dalamnya pasti menjadi rumit sama rumitnya dengan penciptaan musim semi. Juga, penciptaan buah menjadi sesulit penciptaan pohon yang besar.

    Ya, jika penyiapan seluruh pasukan berikut berbagai perlengkapannya berasal dari satu pemimpin dan satu sumber, maka ia men- jadi sama mudahnya dengan menyiapkan seorang tentara. Namun ia akan menjadi rumit dan sulit bahkan mustahil jika setiap tentara dipersiapkan dari tempat yang berbeda-beda lalu menerima perintah dari kepemimpinan yang jumlahnya banyak. Dalam kondisi demikian setiap tentara membutuhkan tempat kerja sejumlah tentara yang ada.

    Sebagaimana sebuah urusan menjadi mudah dengan adanya keesaan dan menjadi rumit dengan adanya pluralitas, demikian pula dengan proses penciptaan. Apabila ia disandarkan kepada Dzat Yang Tunggal dan Esa, penciptaan entitas sebuah spesies yang jumlahnya tak terhingga menjadi gampang seperti penciptaan satu makhluk. Adapun kalau disandarkan kepada sebab-sebab materi, penciptaan satu makhluk saja menjadi rumit dan pelik sama seperti rumitnya penciptaan spesies yang banyak.Ya, keesaan membuat segala sesuatu mengacu dan bersandar kepada Dzat Tuhan Yang Esa. Penisbatan tersebut menjadi sebuah kekuatan yang tak terbatas sehingga memungkinkannya untuk melakukan amal-amal besar dan melahirkan hasil-hasil agung yang ribuan kali melebihi kekuatannya sendiri karena bersandar pada rahasia hubungan tadi. Adapun yang tidak bersandar dan tidak mempunyai hubungan dengan Sang Pemilik kekuatan agung itu, Dzat Yang Maha Esa, maka ia hanya bisa melakukan pekerjaan yang bisa dipikul oleh kekuatannya.

    Sebagai contoh, karena orang liar yang tidak menisbatkan diri kepada pasukan harus membawa sendiri semua perlengkapannya. Meski ia sangat kuat, ia hanya bisa mengahadapi sepuluh musuh dalam waktu yang singkat. Sementara orang yang menisbatkan dirinya dengan seorang pemimpin besar dengan kedudukannya sebagai prajurit akan menjadi sangat kuat. Ia tidak harus membawa perlengkapan militer itu bersamanya. Karenanya, ia barangkali menjadi berani untuk menawan pemimpin pasukan musuh yang kalah bersama ribuan orang yang bersamanya.

    Karena itulah, semut dapat membinasakan Fir’aun, nyamuk bisa mengalahkan Namrud, mikroba kecil bisa menghancurkan manusia lalim, dan benih kecil bisa memikul pohon yang besar. Ya, seorang pemimpin besar bisa menggerakkan dan memobilisasi semua pasukannya untuk menyelamatkan dan menolong seorang tentara. Dan tentara tadi merasa seolah-olah sebuah pasukan besar membantu dan memberikan kekuatan moril yang hebat sehingga ia bisa melakukan pekerjaan-pekerjaan besar atas nama sang pemimpin.Karena Dia tunggal dan esa, Allah sama sekali tidak membutuhkan pihak lain. Jika seandainya ia berniat atas sesuatu, cukup bagi-Nya menggerakkan seluruh entitas untuk membantu sesuatu tadi. Jadi, Allah mengumpulkan seluruh alam ini karenanya.

    Demikianlah, segala sesuatu bersandar pada kekuatan agung yang sangat besar yang menggenggam kunci perbendaharaan seluruh alam. Segala sesuatu mendapatkan kekuatan dari kekuatan ilahi yang sangat besar dan mutlak itu; dari Dzat Yang Maha Tunggal dan Esa. Kalau saja bukan karena Dzat-Nya Yang Esa, segala sesuatu pasti akan kehilangan kekuatan yang dahsyat, akan tiada dan sia-sia.Hasil-hasil besar yang berasal dari sesuatu yang kecil dan sederhana secara jelas menunjukkan keesaan Tuhan. Kalau bukan karenanya, maka hasil dan buah yang ada hanya terbatas pada kekuatan dan materinya yang sangat lemah. Bahkan hasil-hasil tadi akan lenyap.

    Tidakkah engkau melihat bahwa barang-barang berharga seperti buah, sayuran, dan lainnya terhampar banyak di hadapan kita. Semua itu terwujud berkat rahasia keesaan, hubungan dan mobilisasi segala kekuatan. Kalau bukan karena keesaan-Nya tak mungkin kita bisa menghasilkan ribuan semangka dan delima dari beberapa butir saja.

    Semua hal yang kita lihat mudah, gampang, dan banyak, sebenarnya merupakan hasil keesaan-Nya sekaligus menjadi saksi atas Dzat-Nya Yang Tunggal.

    Poin Kedua Seluruh entitas diciptakan dan dihadirkan dalam dua bentuk:Pertama, tercipta dari tiada yang disebut ibdâ’. Kedua, terbentuk dan tersusun dari berbagai unsur yang ada, yang disebut insyâ.Kalau entitas terjadi dari perspektif ketunggalan dan manifestasi keesaan Tuhan, maka proses penciptaannya berlangsung secara sangat mudah sehingga menjadi sesuatu yang wajib (niscaya). Adapun apabila urusan penciptaan itu tidak diserahkan kepada Dzat Yang Tunggal, masalahnya menjadi rumit dan pelik. Akan muncul hal-hal yang tidak rasional, tidak logis, sampai pada tingkat mustahil. Kita menyaksikan seluruh entitas muncul ke alam wujud ini tanpa kesulitan, dengan kemudahan serta dalam bentuk dan cara yang sangat sempurna.

    Hal itu secara jelas membuktikan keesaan Tuhan se- kaligus menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam wujud ini berasal dari penciptaan Dzat Yang Mahatunggal dan Agung.Ya, ketika urusan penciptaan dinisbatkan kepada Dzat Yang Maha Esa, maka Dia bisa menciptakan sesuatu dari tiada dalam waktu seketika, secara sangat mudah, lewat kekuasaan-Nya yang mutlak yang diketahui keagungannya dengan jejak-jejaknya. Dia menetapkan segala sesuatu berdasarkan pengetahuan-Nya yang komprehensif menyerupai cetakan maknawi dan rancangan gaib. Segala sesuatu berada dalam ketentuan-Nya. Mereka semua diatur oleh kekuasaan Ilahi secara sangat mudah untuk menempati posisi masing-masing dan untuk memeliharanya sesuai dengan rancangan yang ada dalam cermin pengetahuan Tuhan yang bersifat azali.

    Bahkan seandainya semua atom yang berada di seluruh penjuru disuruh berkumpul, maka seluruh atom yang terikat dengan pengetahuan Ilahi dan terkait dengan hukum kekuasaan-Nya akan menja- di seperti prajurit-prajurit yang taat dari sebuah pasukan yang rapi. Dengan segera, mereka akan mengambil posisi masing-masing lewat perintah sang pimpinan serta sesuai dengan rancangan yang telah dibuat berdasarkan pengetahuannya. Demikian pula dengan semua atom yang taat kepada perintah Tuhan. Mereka pun segera datang untuk mengambil posisi masing-masing dalam cetakan pengetahuan dan ketentuan-Nya.Lebih dari itu, sebagaimana gambar hasil pemotretan (foto) yang tampil di layar kamera bisa tercetak sehingga menjadi gambar yang konkret, dan sebagaimana tulisan yang samar dan tersembunyi menjadi tampak dan terlihat ketika bahan kimia digoreskan padanya, demikian pula dengan bentuk dan substansi semua entitas yang terdapat pada “cermin” pengetahuan Tuhan Yang Maha Esa. Kekuasaan ilahi yang bersifat mutlak itu memberikan bentuk kongkret padanya secara sangat mudah sehingga semua entitas tadi bisa terlihat oleh mata setelah sebelumnya berada di alam gaib.

    Namun jika proses penciptaan yang ada tidak diserahkan kepada Dzat Yang Mahatunggal dan Esa, ketika itu untuk menciptakan seekor lalat saja harus dilakukan pencarian dan pemeriksaan ke seluruh permukaan bumi, serta penyaringan terhadap semua un- surnya. Lalu semua unsur tadi ditimbang dengan timbangan yang sangat akurat dan cermat agar setiap atom bisa ditempatkan di posisinya sesuai dengan cetakan yang ada sesuai dengan jumlah organ dan bentuknya yang rapi. Hal itu agar setiap unsur bisa mengambil posisi yang sesuai. Selain itu, berbagai perasaan yang bersifat rohani, halus, dan lembut yang berasal dari alam rohani harus dimasukkan ke dalamnya sesuai dengan ukuran kebutuhan lalat tadi.

    Dengan demikian, penciptaan seekor lalat saja menjadi sulit dan mustahil, sama seperti penciptaan seluruh alam. Di dalamnya terdapat berbagai macam kesulitan dan kemustahilan. Karena itu, semua kaum beriman dan semua ilmuwan sepakat bahwa zat yang bisa mencipta dari tiada hanyalah Sang Maha Pencipta Yang Maha Esa. Karena itu, seandainya urusan ini diserahkan kepada sebab-sebab materi dan alam, maka keberadaan sebuah entitas saja mengharuskan terkumpulnya banyak hal.

    Poin Ketiga Kami telah memberikan banyak contoh yang menegaskan bahwa menyandarkan proses penciptaan kepada Dzat Yang Maha Esa menjadikan penciptaan segala sesuatu menjadi mudah, sama dengan penciptaan sebuah entitas. Sebaliknya, apabila proses penciptaan tadi diserahkan kepada alam dan sebab materi, maka penciptaan sebuah entitas saja menjadi sulit dan tak mungkin, sama dengan penciptaan seluruh entitas.Di sini kami hanya akan memberikan tiga contoh:

    Pertama, jika tugas memimpin seribu orang tentara diserahkan kepada seorang panglima, sementara tugas memimpin seorang tentara diserahkan kepada sepuluh panglima, maka memimpin seorang tentara tadi akan menjadi sepuluh kali lebih sulit daripada memimpin sejumlah tentara di atas.

    Sebab, para panglima tersebut akan saling bertengkar antara yang satu dengan lainnya dan perintah-perintah mereka akan saling kontradiktif. Maka si tentara itu pun tidak akan merasa nyaman berada di antara permusuhan para panglimanya. Sebaliknya, seorang panglima yang memimpin sekian banyak tentara seolah-olah sedang memimpin seorang tentara. Ia bisa melaksanakan rencana dan ke- inginannya terhadap sekian tentara tadi dengan sangat mudah. Se- mentara hal itu menjadi sukar kalau urusannya diserahkan kepada mereka masing-masing.

    Kedua, apabila urusan pembangunan sebuah kubah masjid jami Hagia Sophia diserahkan kepada seorang arsitek yang mahir, ia akan bisa menunaikan tugasnya dengan mudah dan gampang. Akan tetapi, kalau pembangunannya diserahkan kepada batu-batu yang ada, maka setiap batu itu harus berkuasa mutlak atas semua batu yang lain, dan pada waktu yang sama ia juga harus tunduk pada batu yang lain agar kubah yang megah itu terbentuk.

    Kalau seorang arsitek tadi hanya membutuhkan energi yang sedikit karena mudah baginya, maka di sisi lain ratusan tukang bangunan (batu-batu) itu harus mengeluarkan energi yang berkali-kali lipat lebih banyak tanpa hasil nyata.

    Ketiga, bola bumi ini merupakan pesuruh dan pegawai Dzat Yang Maha Esa. Ia ibarat tentara yang taat kepada Allah. Ketika ia menerima sebuah perintah yang berasal dari pimpinannya Yang satu, ia akan segera melaksanakan tugas yang diberikan Pimpinannya tadi dengan sangat senang. Ia akan bergerak seperti sufi Maulawi yang sangat rindu kepada Tuhannya. Ia pun menjadi sarana bagi datang- nya empat musim, pergantian malam dan siang, munculnya gerakan yang mulia dan agung, tersingkapnya pemandangan indah di langit, serta bagi perubahannya yang berlangsung secara terus-menerus seperti perubahan tayangan yang ada di film. Ia menjadi penyebab munculnya berbagai karya agung sehingga seolah-olah bumi ini ibarat pemimpin dari latihan perang besar antarbintang.

    Namun apabila urusan tersebut tidak diserahkan kepada Dzat Maha Esa yang dengan kekuasaan uluhiyah dan rububiyah-Nya Dia menghimpun seluruh alam serta mampu melaksanakan kebijakan dan perintah-Nya, baik pada yang kecil maupun yang besar. Ketika itu jutaan bintang yang ribuan kali lebih besar daripada bumi ini harus beredar di sebuah poros yang jutaan kali lebih besar dari poros bumi agar latihan perang tadi tampak terlihat di mana ia berasal dari adanya revolusi dan evolusi bumi yang berlangsung secara sangat mudah.

    Terwujudnya hal-hal yang agung yang berasal dari pergerakan bumi di seputar porosnya memperlihatkan bahwa keesaan Tuhan merupakan sesuatu yang sangat mudah untuk diterima. Pada waktu yang sama, ia juga menegaskan bahwa syirik dan kekufuran penuh dengan kemustahilan dan hal-hal batil yang tidak rasional.Selanjutnya, dengan contoh berikut ini, perhatikanlah kebodohan kaum ateis dan para penghamba sebab, agar engkau mengetahui lumpur kedunguan tempat mereka berada dan padang sahara tempat mereka tersesat. Lalu renungkanlah betapa mereka sangat jauh dari logika dan akal sehat.

    Sebuah pabrik besar, sebuah kitab yang menakjubkan, sebuah istana yang kokoh, sebuah jam yang akurat, pastilah si pembuat benda-benda tersebut telah merancang dan menatanya secara rapi dan penuh perhatian. Ia tentu mengaturnya dengan sangat cermat sekaligus hendak memperlihatkan keindahan ciptaan dan kreasinya.Apabila ada yang berpendapat bahwa pengelolaan pabrik besar itu dilakukan oleh roda-roda yang ada di dalamnya, lalu pembangunan istana yang kokoh tadi dilakukan oleh batu-batu istana, apabila isi kandungan kitab yang indah tersebut dibuat oleh huruf-hurufnya, berarti seolah-olah ia menganggap setiap bagian pabrik itu mempu- nyai kekuasaan untuk mengatur dirinya sendiri. Ia juga menganggap setiap huruf yang ada di kitab itu, bahkan setiap kertas, dan pena yang dipakai merupakan barang luar biasa yang bisa mencipta kitab sendiri. Dengan kata lain, ia menisbatkan keteraturan pabrik yang mengagumkan itu kepada roda yang ada di dalamnya serta menisbatkan isi kandungan kitab yang indah kepada perpaduan huruf-hurufnya. Engkau dapat mengetahui anggapan seperti ini betapa jauh dari akal dan merupakan kobodohan.

    Mereka yang mengembalikan proses penciptaan di alam yang indah ini kepada sebab-sebab materi dan kepada alam berarti terperosok dalam kebodohan yang sangat jauh seperti orang tadi. Sebab, berbagai wujud penciptaan jelas-jelas terjadi pada sebab dan alam itu sendiri. Alam ini juga merupakan makhluk seperti makhluk lainnya. Dzat yang menciptakannya dengan sangat indah juga merupakan Dzat yang menciptakan jejak-jejak dan hasilnya. Dzat yang menciptakan benih itulah yang menumbuhkan pohon di atasnya, yang mengeluarkan buah dan bunga dari kelopaknya.Sementara apabila proses penciptaan sebab dan alam berikut jejaknya tidak dikembalikan kepada Dzat Yang Maha Esa, maka ke- beradaan berbagai sebab dan beraneka macam alam harus disertai oleh keberadaan berbagai macam sebab dan alam yang teratur dan terkoordinasi pula. Demikian seterusnya sehingga menjadi sebuah rangkaian khayalan yang mustahil dan tak pernah berakhir. Tentu saja ini termasuk kobodohan yang paling mengherankan sekaligus paling malang.

    Petunjuk Kelima

    Dalam beberapa bagian Risalah Nur, kami telah menegaskan dengan berbagai argumen yang kuat bahwa independensi dan kemandirian merupakan ciri utama sebuah kekuasaan. Bahkan manusia yang sangat lemah dan tidak memiliki kekuasaan hakiki kecuali hanya bayangannya saja, sangat menolak adanya campur tangan pihak lain. Dengan sangat tegas ia akan menolak bentuk intervensi apa pun terhadap urusannya. Hal itu untuk melindungi independensinya dalam urusan tersebut. Bahkan dalam sejarah tercatat banyak sekali penguasa yang telah rela menumpahkan darah milik anak dan saudara mereka sendiri karena dianggap ikut campur dalam urusan mereka.

    Jadi, independensi dan penolakan terhadap adanya intervensi pihak lain termasuk ciri utama kekuasaan yang hakiki. Bahkan semua itu mesti dan harus ada di dalamnya.

    Kekuasaan Ilahi yang ada pada tingkat rububiyah yang bersifat mutlak juga sangat menolak adanya sekutu apa pun bentuknya dan bentuk intervensi apa pun yang berasal dari pihak lain. Dari sini kita menyadari mengapa al-Qur’an al-Karim banyak berbicara tentang tauhid yang murni sekaligus menolak syirik dengan cara yang sangat keras dan dengan ancaman yang menakutkan.

    Demikianlah kekuasaan Tuhan yang terdapat pada rububi- yah-Nya yang mutlak mengharuskan adanya tauhid dan keesaan sekaligus menampakkan konsekuensinya. Demikian pula dengan tatanan yang rapi serta keharmonisan yang menakjubkan yang tam- pak di alam—mulai dari bintang, tumbuhan, hewan, bumi, tambang, hingga hal-hal yang kecil seperti atom—masing-masing menjadi saksi yang adil dan bukti yang cemerlang terhadap keesaan-Nya. Dengan demikian, sama sekali tidak ada keraguan. Sebab, seandainya ada intervensi dari selain Dzat Yang Maha Esa, pastilah tatanan yang indah dan kokoh ini akan rusak serta pastilah keseimbangan yang sempur- na yang terlihat di seluruh bagian alam ini menjadi timpang. Jadi, sungguh benar Allah yang telah berfirman:“Seandainya pada keduanya ada tuhan-tuhan lain selain Allah, pastilah ia mengalami kerusakan.” (QS. al-Anbiya [21]: 22).Ya, seandainya ada intervensi pihak lain pasti bekas-bekasnya akan tampak secara nyata. Namun ajakan tegas al-Qur’an dalam ayat: “Pandanglah kembali, apakah engkau menyaksikan ada yang cacat (tidak seimbang).” (QS. al-Mulk [67]: 3). Tatanan yang sangat menakjubkan ini dengan sangat jelas memperlihatkan dirinya kepadamu sehingga engkau pun tidak melihat celah cacat atau kekurangan pada bagian yang mana pun juga mulai dari atom hingga galaksi.

    Jadi, tatanan kokoh yang terdapat di alam ini, keteraturan yang menakjubkan yang terdapat pada seluruh makhluk, serta keseimbangan yang sempurna antara berbagai entitas memperlihatkan manifestasi agung dari nama al-Fard sekaligus menjadi saksi nyata atas keesaan-Nya.Selanjutnya, makhluk yang sangat kecil sekalipun sebenarnya merupakan miniatur dan daftar isi seluruh alam sesuai dengan manifestasi keesaan-Nya. Tidak ada yang menguasai makhluk hidup yang kecil itu kecuali Dzat yang mengendalikan seluruh alam. Benih yang sangat kecil tidak kalah menakjubkan dalam penciptaannya dibandingkan pohon yang besar. Proses penciptaan pohon yang menjulang tinggi sama dengan penciptaan seluruh alam. Makhluk hidup yang kecil ibarat miniatur alam. Dengan demikian, manifestasi keesaan tersebut memustahilkan keberadaan sekutu.

    Kemudian dengan rahasia keesaan di atas tidak ada sesuatu yang terpisah di alam ini. Bahkan tidak hanya itu, segala entitas tidak menerima adanya keterpisahan, persekutuan, keterbagian, dan cam- pur tangan pihak-pihak lain. Setiap bagian yang terdapat di dalamnya ibarat bagian darinya dan alam ini ibarat satu kesatuan. Jadi, sama sekali tidak ada tempat bagi sekutu.

    Ya, perpaduan dan kesatuan setiap bagian alam, serta orientasi tugas masing-masing yang mengarah kepada alam secara umum menjadikan alam ini sebagai satu kostum yang tak bisa dibagi-bagi dilihat dari segi penciptaan dan pengelolaannya. Juga, pekerjaan-pekerjaan komprehensif yang menjangkau seluruh alam di mana bekas dan pengaruhnya tampak secara umum membuat alam ini sebagai satu kesatuan dilihat dari keterpautan antara yang satu dan lainnya sehingga ia sama sekali menolak adanya keterpisahan. Agar menjadi lebih jelas kami akan memberikan contoh berikut:Tatkala sebuah makhluk diberi kehidupan, kita akan melihat dengan seketika bagaimana ia dihidupkan dan diberi rezeki. Pada proses menghidupkan makhluk tampak secara langsung adanya pengaturan terhadap tubuh makhluk tadi sekaligus pengkoordinasian organ tubuhnya dan penyiapan berbagai kebutuhannya. Lalu saat proses penciptaan, penghidupan, pengaturan, dan penyiapan itu terjadi, pada waktu yang sama proses pembentukan, pemeliharaan, dan pengelolaan terhadapnya juga sedang berlangsung. Demikian seterusnya.Keterpautan antara berbagai pekerjaan tersebut antara yang satu dan lainnya, tercampurnya yang seperti percampuran antara tujuh warna pada sinar mentari, bagaimana setiap pekerjaan tersebut menjangkau seluruh entitas dalam satu kesatuan, dan keberadaan se- tiap pekerjaan tadi yang merupakan pekerjaan yang bersifat tunggal, semuanya secara jelas menunjukkan bahwa pelakunya satu, esa, dan tunggal. Sebagaimana kekuasaan dan dominasi setiap pekerjaan tersebut terhadap semua alam berikut keterkaitannya dengan pekerjaan lainnya dalam bentuk kerja sama yang kuat menjadikan alam ini sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan, demikian pula dengan semua makhluk hidup yang berposisi sebagai benih, daftar isi, dan ikhtisar alam. Dari sisi rububiyah ia juga tidak menerima adanya keterpisahan dan keterbagian. Bahkan keterpisahan dan keterbagian itu merupakan sesuatu yang mustahil dan tidak mungkin. Artinya, alam adalah sebuah kesatuan yang tidak terpisah.

    Jadi, Tuhan yang memelihara bagian darinya juga merupakan Tuhan yang memelihara keseluruhannya. Sebaliknya, setiap bagian dari alam pada dasarnya satu. Tuhan yang memelihara sebuah makhluk tidak lain adalah Dzat yang memegang kendali seluruh alam.

    Petunjuk Keenam

    Sebagaimana keesaan Allah dalam hal rububiyah dan uluhiyah merupakan dasar utama semua kesempurnaan,(*[4])sumber tujuan mulia, serta sumber berbagai hikmah di balik penciptaan alam, ia juga merupakan sasaran paling luhur dan balsam penyembuh untuk memenuhi hasrat dan keinginan semua makhluk yang mempunyai perasaan dan akal, terutama manusia. Kalau keesaan-Nya tiada, maka semua hasrat tadi akan padam, seluruh hikmah penciptaan alam akan sirna, serta sebagian besar kesempurnaan yang ada akan lenyap.

    Contohnya adalah sebagai berikut: hasrat ingin kekal sangat kuat mengakar pada diri manusia. Hasrat tersebut bisa diwujudkan dan dapat dipenuhi oleh Dzat yang menguasai kunci-kunci perben- daharaan alam dan yang berkuasa membuka pintu keabadian di depan manusia menuju akhirat. Hal itu tentunya setelah Dia mengakhi- ri dunia yang fana ini sekaligus menutup pintu-pintunya semudah menutup sebuah kamar dan membuka yang lain. Ada banyak hasrat manusia lainnya yang terbentang hingga tiada batas dan menjalar pada seluruh makhluk tergantung dengan hakikat tauhid dan keesaan Tuhan. Jika tidak, semua hasrat tersebut tentu akan percuma dan tidak akan tercapai. Kalau Dzat Yang Maha Esa tidak berkuasa atas seluruh alam ini, semua hasrat itu tidak akan merasa tenang dan tidak akan terwujud. Kalaupun terwujud, tentu sangat kurang.

    İşte bu sırr-ı azîm içindir ki Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan, tevhid ve ferdiyeti pek çok tekrar ile kuvvetli bir hararetle, yüksek bir halâvetle ders verdiği gibi bütün enbiya ve asfiya ve evliya en büyük zevklerini ve saadetlerini, kelime-i tevhid olan لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُوَ da buluyorlar.

    Yedinci İşaret

    İşte bu tevhid-i hakikiyi bütün meratibiyle en mükemmel bir surette ders veren, ispat eden, ilan eden Muhammed aleyhissalâtü vesselâmın risaleti, elbette o tevhidin kat’iyeti derecesinde sabit olmak lâzım gelir. Çünkü madem daire-i vücudun en büyük hakikati olan tevhidi bütün hakaikiyle o zat ders veriyor. Elbette tevhidi ispat eden bütün bürhanlar, dolayısıyla onun risaletini ve vazifesinin hakkaniyetini ve davasının doğruluğunu dahi kat’î ispat eder, denilebilir. Evet, böyle binler hakaik-i âliyeyi cem’eden, ferdiyet ve vahdaniyeti hakkıyla keşfedip ders veren bir risalet; gayet kat’î bir surette o tevhid, o ferdiyetin muktezasıdır ve lâzımıdır. Onlar, onu herhalde isterler.

    İşte o vazifeyi tam tamına yerine getiren Zat-ı Ahmediye aleyhissalâtü vesselâmın şahsiyet-i maneviyesinin derece-i ehemmiyetine ve ulviyetine ve bu kâinatın bir güneşi olduğuna şehadet eden pek çok delillerden, sebeplerden üç tanesini numune olarak beyan ediyoruz.

    Birincisi: Umum ümmet, umum asırlarda işledikleri umum hasenatın bir misli اَلسَّبَبُ كَال۟فَاعِلِ sırrınca, Zat-ı Ahmediye aleyhissalâtü vesselâmın sahife-i hasenatına geçtiği gibi umum ümmet, her günde ettikleri salavat duasının kat’î makbuliyeti cihetiyle, o hadsiz duaların iktiza ettikleri makam ve mertebeyi düşünmekle, şahsiyet-i maneviye-i Muhammediye aleyhissalâtü vesselâmın bu kâinat içinde nasıl bir güneş olduğu anlaşılır.

    İkincisi: Âlem-i İslâm’ın şecere-i kübrasının menşei, çekirdeği, hayatı, medarı olan mahiyet-i Muhammediye aleyhissalâtü vesselâmın fevkalâde istidat ve cihazatıyla, âlem-i İslâmiyet’in maneviyatını teşkil eden kudsî kelimatı, tesbihatı, ibadatı en evvel bütün manalarıyla hissedip yapmaktan gelen terakkiyat-ı ruhiyesini düşün; habibiyet derecesine çıkan ubudiyet-i Muhammediyenin (asm) velayeti, sair velayetlerden ne kadar yüksek olduğunu anla!

    Bir zaman bir tek tesbihin, bir tek namazda, sahabelerin tarz-ı telakkisine yakın bir surette bana inkişafı, bir ay kadar ibadet derecesinde ehemmiyetli göründü. Sahabelerin yüksek kıymetini onunla anladım. Demek bidayet-i İslâmiyede kelimat-ı kudsiyenin verdiği feyiz ve nurun başka bir meziyeti var. Tazeliği haysiyetiyle başka bir letafeti, bir taraveti, bir lezzeti var ki gaflet perdesi altında mürur-u zamanla gizlenir, azalır, perdelenir. Zat-ı Muhammediye (asm) ise onları menba-ı hakikisinden (Zat-ı Akdes’ten) turfanda, taze olarak fevkalâde istidadıyla almış, emmiş, massetmiş. Bu sırra binaen o zat, bir tek tesbihten, başkasının bir sene ibadeti kadar feyiz alabilir.

    İşte bu nokta-i nazardan Zat-ı Muhammediye aleyhissalâtü vesselâmın, haddi ve nihayeti olmayan meratib-i kemalâtta ne derece terakki ettiğini kıyas et.

    Üçüncüsü: Bu kâinatın Hâlık’ı, bu kâinattaki bütün makasıdının en ehemmiyetli medarı nev-i insan olduğundan ve bütün hitabat-ı Süb­haniyenin en anlayışlı bir muhatabı nev-i beşer olduğundan; o nev-i beşer içinde en meşhur, en namdar ve âsârıyla ve icraatıyla en mükemmel, en muhteşem fert olan Zat-ı Muhammediye’yi (asm) o nevi namına, belki umum kâinat hesabına kendine muhatap eden Zat-ı Ferd-i Zülcelal, elbette onu hadsiz kemalâtta hadsiz feyzine mazhar etmiştir.

    İşte bu üç nokta gibi çok noktalar var, kat’î bir surette ispat ederler ki şahsiyet-i maneviye-i Muhammediye (asm), kâinatın manevî bir güneşi olduğu gibi, bu kâinat denilen Kur’an-ı Kebir’in âyet-i kübrası ve o Furkan-ı A’zam’ın ism-i a’zamı ve ism-i Ferd’in cilve-i a’zamının bir âyinesidir.

    Kâinatın umum zerratının umum zamanlarındaki umum dakikalarının bütün âşirelerine darbedilip, hasıl-ı darb adedince o Zat-ı Ahmediye’ye salât ü selâm, nihayetsiz hazine-i rahmetinden inmesini, Zat-ı Ferd-i Ehad-i Samed’den niyaz ediyoruz.

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    Otuzuncu Lem’a’nın Beşinci Nüktesi

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    فَان۟ظُر۟ اِلٰٓى اٰثَارِ رَح۟مَتِ اللّٰهِ كَي۟فَ يُح۟يِى ال۟اَر۟ضَ بَع۟دَ مَو۟تِهَا اِنَّ ذٰلِكَ لَمُح۟يِى ال۟مَو۟تٰى وَهُوَ عَلٰى كُلِّ شَى۟ءٍ قَدٖيرٌ âyet-i azîmenin ve اَللّٰهُ لَٓا اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ال۟حَىُّ ال۟قَيُّومُ لَا تَا۟خُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَو۟مٌ âyet-i azîmin birer nüktesi ile ism-i a’zam veyahut ism-i a’zamın iki ziyasından bir ziyası veya altı nurundan bir nuru olan ism-i Hayy’ın bir cilvesi, şevval-i şerifte, Eskişehir Hapishanesinde uzaktan uzağa aklıma göründü. Vaktinde kaydedilmedi ve çabuk o kudsî kuşu avlayamadık. Tebâud ettikten sonra hiç olmazsa bazı remizlerle o hakikat-i ekberin ve nur-u a’zamın bazı şuâlarını muhtasaran göstereceğiz.

    Birinci Remiz

    İsm-i Hay ve ism-i Muhyî’nin bir cilve-i a’zamından olan “Hayat nedir? Ve mahiyeti ve vazifesi nedir?” sualine karşı fihristevari cevap şudur ki:

    Hayat, şu kâinatın en ehemmiyetli gayesi, hem en büyük neticesi, hem en parlak nuru, hem en latîf mâyesi, hem gayet süzülmüş bir hülâsası, hem en mükemmel meyvesi, hem en yüksek kemali, hem en güzel cemali, hem en güzel ziyneti, hem sırr-ı vahdeti, hem rabıta-i ittihadı, hem kemalâtının menşei, hem sanat ve mahiyetçe en hârika bir zîruhu, hem en küçük bir mahluku bir kâinat hükmüne getiren mu’cizekâr bir hakikati, hem güya kâinatın küçük bir zîhayatta yerleşmesine vesile oluyor gibi koca kâinatın bir nevi fihristesini o zîhayatta göstermekle beraber, o zîhayatı ekser mevcudatla münasebettar ve küçük bir kâinat hükmüne getiren en hârika bir mu’cize-i kudrettir.

    Hem en büyük bir küll kadar –hayat ile– küçük bir cüzü büyülten ve bir ferdi dahi küllî gibi bir âlem hükmüne getiren ve rububiyet cihetinde kâinatı tecezzi ve iştiraki ve inkısamı kabul etmez bir küll ve bir küllî hükmünde gösteren fevkalâde hârika bir sanat-ı İlahiyedir.

    Hem kâinatın mahiyetleri içinde Zat-ı Hayy-ı Kayyum’un vücub-u vücuduna ve vahdetine ve ehadiyetine şehadet eden bürhanların en parlağı, en kat’îsi ve en mükemmeli hem masnuat-ı İlahiye içinde en hafîsi ve en zâhiri, en kıymettarı ve en ucuzu, en nezihi ve en parlak ve en manidar bir nakş-ı sanat-ı Rabbaniyedir.

    Hem sair mevcudatı kendine hâdim ettiren nâzenin, nazdar, nazik bir cilve-i rahmet-i Rahmaniyedir. Hem şuunat-ı İlahiyenin gayet câmi’ bir âyinesidir. Hem Rahman, Rezzak, Rahîm, Kerîm, Hakîm gibi çok esma-i hüsnanın cilvelerini câmi’ ve rızık, hikmet, inayet, rahmet gibi çok hakikatleri kendine tabi eden ve görmek ve işitmek ve hissetmek gibi umum duyguların menşei, madeni bir acube-i hilkat-i Rabbaniyedir.

    Hem hayat, bu kâinatın tezgâh-ı a’zamında öyle bir istihale makinesidir ki mütemadiyen her tarafta tasfiye yapıyor, temizlendiriyor, terakki veriyor, nurlandırıyor. Ve zerrat kafilelerine, güya hayatın yuvası olan cesedi o zerrelere vazife görmek, nurlanmak, talimat yapmak için bir misafirhane, bir mektep, bir kışladır. Âdeta Zat-ı Hay ve Muhyî, bu makine-i hayat vasıtasıyla bu karanlıklı ve fâni ve süflî olan âlem-i dünyayı latîfleştiriyor, ışıklandırıyor, bir nevi beka veriyor, bâki bir âleme gitmeye hazırlattırıyor.

    Hem hayatın iki yüzü yani mülk, melekût vecihleri parlaktır, kirsizdir, noksansızdır, ulvidir. Onun için perdesiz, vasıtasız, doğrudan doğruya dest-i kudret-i Rabbaniyeden çıktığını aşikâre göstermek için sair eşya gibi zâhirî esbabı hayattaki tasarrufat-ı kudrete perde edilmemiş bir müstesna mahluktur.

    Hem hayatın hakikati, altı erkân-ı imaniyeye bakıp manen ve remzen ispat eder. Yani hem Vâcibü’l-vücud’un vücub-u vücudunu ve hayat-ı sermediyesini hem dâr-ı âhireti ve hayat-ı bâkiyesini hem vücud-u melâike hem sair erkân-ı imaniyeye pek kuvvetli bakıp iktiza eden bir hakikat-i nuraniyedir.

    Hem hayat, bütün kâinattan süzülmüş en safi bir hülâsası olduğu gibi, kâinattaki en mühim bir maksad-ı İlahî ve hilkat-i âlemin en mühim neticesi olan şükür ve ibadet ve hamd ve muhabbeti netice veren bir sırr-ı a’zamdır.

    İşte, hayatın bu mezkûr yirmi dokuz ehemmiyetli ve kıymettar hâssalarını ve ulvi ve umumî vazifelerini nazara al. Sonra bak, Muhyî isminin arkasında ism-i Hayy’ın azametini gör. Ve hayatın bu azametli hâssaları ve meyveleri noktasından, ism-i Hay nasıl bir ism-i a’zam olduğunu bil.

    Hem anla ki bu hayat, madem kâinatın en büyük neticesi ve en azametli gayesi ve en kıymettar meyvesidir; elbette bu hayatın dahi kâinat kadar büyük bir gayesi, azametli bir neticesi bulunmak gerektir. Çünkü ağacın neticesi meyve olduğu gibi meyvenin de çekirdeği vasıtasıyla neticesi, gelecek bir ağaçtır. Evet, bu hayatın gayesi ve neticesi hayat-ı ebediye olduğu gibi bir meyvesi de hayatı veren Zat-ı Hay ve Muhyî’ye karşı şükür ve ibadet ve hamd ve muhabbettir ki bu şükür ve muhabbet ve hamd ve ibadet ise hayatın meyvesi olduğu gibi kâinatın gayesidir.

    Ve bundan anla ki bu hayatın gayesini “rahatça yaşamak ve gafletli lezzetlenmek ve heveskârane nimetlenmektir” diyenler, gayet çirkin bir cehaletle; münkirane, belki de kâfirane, bu pek çok kıymettar olan hayat nimetini ve şuur hediyesini ve akıl ihsanını istihfaf ve tahkir edip dehşetli bir küfran-ı nimet ederler.

    İkinci Remiz

    İsm-i Hayy’ın bir cilve-i a’zamı ve ism-i Muhyî’nin bir tecelli-i eltafı olan bu hayatın Birinci Remiz’deki fihristesi zikredilen bütün mertebeleri ve vasıfları ve vazifeleri beyan etmek, o vasıflar adedince risaleler yazmak lâzım geldiğinden Risale-i Nur’un eczalarında o vasıfların, o mertebelerin, o vazifelerin bir kısmı izah edildiğinden kısmen tafsilatı Risale-i Nur’a havale edip burada birkaç tanesine muhtasaran işaret edeceğiz.

    İşte, hayatın yirmi dokuz hâssalarından yirmi üçüncü hâssasında şöyle denilmiştir ki: Hayatın iki yüzü de şeffaf, kirsiz olduğundan esbab-ı zâhiriye, ondaki tasarrufat-ı kudret-i Rabbaniyeye perde edilmemiştir. Evet bu hâssanın sırrı şudur ki:

    Kâinatta gerçi her şeyde bir güzellik ve iyilik ve hayır vardır ve şer ve çirkinlik gayet cüz’îdir ve vâhid-i kıyasîdirler ki güzellik ve iyilik mertebelerini ve hakikatlerinin tekessürünü ve taaddüdünü göstermek cihetiyle, o şer ise hayır ve o kubuh dahi hüsün olur. Fakat zîşuurların nazar-ı zâhirîsinde görünen zâhirî çirkinlik ve fenalık ve bela ve musibetten gelen küsmekler ve şekvalar, Zat-ı Hayy-ı Kayyum’a teveccüh etmemek için hem aklın zâhirî nazarında hasis, pis görünen şeylerde, kudsî münezzeh olan kudretin bizzat ve perdesiz onlar ile mübaşereti, kudretin izzetine münafî gelmemek için zâhirî esbablar o kudretin tasarrufatına perde edilmişler. O esbab ise icad edemiyorlar, belki haksız olan şekvalara ve itirazlara hedef olmak ve izzet ve kudsiyet ve münezzehiyet-i kudreti muhafaza içindirler.

    Yirmi İkinci Söz’ün İkinci Makamı’nın Mukaddime’sinde beyan edildiği gibi Hazret-i Azrail (as) kabz-ı ervah vazifesi hususunda Cenab-ı Hakk’a münâcat etmiş. Demiş: “Senin kulların benden küsecekler.” Cevaben ona denilmiş: “Senin vazifen ile vefat edenlerin ortasında hastalıklar ve musibetler perdesini bırakacağım; vefat edenler sana değil, belki itiraz ve şekva oklarını o perdelere atacaklar.” Bu münâcatın sırrına göre; ölümün ve vefatın ehl-i iman hakkında hakiki güzel yüzünü görmeyen ve ondaki rahmetin cilvesini bilmeyenlerin küsmeleri ve itirazları Zat-ı Hayy-ı Kayyum’a gitmemek için Hazret-i Azrail’in (as) vazifesi de bir perde olduğu gibi, sair esbablar dahi zâhirî perdedirler.

    Evet, izzet-i azamet ister ki esbab perdedar-ı dest-i kudret ola aklın nazarında fakat vahdet ve celal ister ki esbab, ellerini çeksinler tesir-i hakikiden.

    Fakat hayatın hem zâhirî hem bâtınî hem mülk hem melekût vecihleri; kirsiz, noksansız, kusursuz olduğundan şekvaları ve itirazları davet edecek maddeler onda bulunmadığı gibi, izzet ve kudsiyet-i kudrete münafî olacak pislik ve çirkinlik olmadığından doğrudan doğruya perdesiz olarak Zat-ı Hayy-ı Kayyum’un “ihya edici, hayat verici, diriltici” isminin eline teslim edilmişlerdir. Nur da öyledir, vücud ve icad da öyledir. Onun içindir ki icad ve halk doğrudan doğruya, perdesiz, Zat-ı Zülcelal’in kudretine bakar. Hattâ yağmur bir nevi hayat ve rahmet olduğundan vakt-i nüzulü bir muttarid kanuna tabi kılınmamış, tâ ki her vakt-i hâcette eller dergâh-ı İlahiyeye rahmet istemek için açılsın. Eğer yağmur, güneşin tulûu gibi bir kanuna tabi olsaydı o nimet-i hayatiye, her vakit rica ile istenilmeyecekti.

    Üçüncü Remiz

    Yirmi dokuzuncu hâssasında denilmiştir ki kâinatın neticesi hayat olduğu gibi, hayatın neticesi olan şükür ve ibadet dahi kâinatın sebeb-i hilkati ve ille-i gaiyesi ve maksud neticesidir. Evet, bu kâinatın Sâni’-i Hayy-ı Kayyum’u, bu kadar hadsiz enva-ı nimetiyle kendini zîhayatlara bildirip sevdirdiğine mukabil, elbette zîhayatlardan o nimetlere karşı teşekkür ve sevdirmesine mukabil sevmelerini ve kıymettar sanatlarına mukabil medh ü sena etmelerini ve evamir-i Rabbaniyesine karşı itaat ve ubudiyetle mukabele edilmelerini ister.

    İşte bu sırr-ı rububiyete göre teşekkür ve ubudiyet, bütün enva-ı hayatın ve dolayısıyla bütün kâinatın en ehemmiyetli gayesi olduğundandır ki Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan, pek çok hararetle ve şiddetle ve halâvetle şükür ve ibadete sevk ediyor. Ve ibadet Cenab-ı Hakk’a mahsus ve şükür ona lâyık ve hamd ona hastır, diye çok tekrar ile beyan ediyor. Demek bu şükür ve ibadet, doğrudan doğruya Mâlik-i Hakiki’sine gitmek lâzım olduğunu ifade için hayatı bütün şuunatıyla perdesiz kabza-i tasarrufunda tutmasına delâlet eden وَهُوَ الَّذٖى يُح۟يٖى وَ يُمٖيتُ وَلَهُ اخ۟تِلَافُ الَّي۟لِ وَالنَّهَارِ ۝ هُوَ الَّذٖى يُح۟يٖى وَ يُمٖيتُ فَاِذَا قَضٰٓى اَم۟رًا فَاِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن۟ فَيَكُونُ ۝ فَيُح۟يٖى بِهِ ال۟اَر۟ضَ بَع۟دَ مَو۟تِهَا gibi âyetler, pek sarîh bir surette vasıtaları nefyedip doğrudan doğruya hayatı Hayy-ı Kayyum’un dest-i kudretine münhasıran veriyor.

    Evet, minnettarlık ve teşekkürü davet eden ve muhabbet ve sena hissini tahrik eden, hayattan sonra rızık ve şifa ve yağmur gibi vesile-i şükran şeyler dahi doğrudan doğruya Zat-ı Rezzak-ı Şâfî’ye ait olduğunu, esbab ve vesait bir perde olduğunu هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو ال۟قُوَّةِ ال۟مَتٖينُ ۝ وَ اِذَا مَرِض۟تُ فَهُوَ يَش۟فٖينِ ۝ وَهُوَ الَّذٖى يُنَزِّلُ ال۟غَي۟ثَ مِن۟ بَع۟دِ مَا قَنَطُوا gibi âyetler ile “Rızık, şifa ve yağmur, münhasıran Zat-ı Hayy-ı Kayyum’un kudretine hastır.” Perdesiz, ondan geldiğini ifade için kaide-i nahviyece alâmet-i hasr ve tahsis olan هُوَ الَّذٖى ۝ هُوَ الرَّزَّاقُ ifade etmiştir. İlaçlara hâsiyetleri veren ve tesiri halk eden ancak o Şâfî-i Hakiki’dir.

    Dördüncü Remiz

    Hayatın yirmi sekizinci hâssasında beyan edilmiştir ki:

    Hayat, imanın altı erkânına bakıp ispat ediyor, onların tahakkukuna işaretler ediyor.

    Evet, madem bu kâinatın en mühim neticesi ve mâyesi ve hikmet-i hilkati hayattır; elbette o hakikat-i âliye bu fâni, kısacık, noksan, elemli hayat-ı dünyeviyeye münhasır değildir. Belki hayatın yirmi dokuz hâssasıyla mahiyetinin azameti anlaşılan şecere-i hayatın gayesi, neticesi ve o şecerenin azametine lâyık meyvesi, hayat-ı ebediyedir ve hayat-ı uhreviyedir; taşıyla ve ağacıyla, toprağıyla hayattar olan dâr-ı saadetteki hayattır. Yoksa bu hadsiz cihazat-ı mühimme ile teçhiz edilen hayat şeceresi; zîşuur hakkında, hususan insan hakkında meyvesiz, faydasız, hakikatsiz olmak lâzım gelecek. Ve sermayece ve cihazatça serçe kuşundan mesela, yirmi derece ziyade ve bu kâinatın ve zîhayatın en mühim, yüksek ve ehemmiyetli mahluku olan insan, serçe kuşundan saadet-i hayat cihetinde yirmi derece aşağı düşüp en bedbaht, en zelil bir bîçare olacak. Hem en kıymettar bir nimet olan akıl dahi geçmiş zamanın hüzünlerini ve gelecek zamanın korkularını düşünmekle kalb-i insanı mütemadiyen incitip bir lezzete dokuz elemleri karıştırdığından en musibetli bir bela olur. Bu ise yüz derece bâtıldır.

    Demek bu hayat-ı dünyeviye, âhirete iman rüknünü kat’î ispat ediyor ve her baharda haşrin üç yüz binden ziyade numunelerini gözümüze gösteriyor.

    Acaba senin cisminde, senin bahçende ve senin vatanında hayatına lâzım ve münasip bütün levazımatı ve cihazatı, hikmet ve inayet ve rahmetle ihzar eden ve vaktinde yetiştiren, hattâ senin midenin beka ve yaşamak arzusuyla ettiği hususi ve cüz’î olan rızık duasını bilen ve işiten ve hadsiz leziz taamlarla o duanın kabulünü gösteren ve mideyi memnun eden bir Mutasarrıf-ı Kadîr, hiç mümkün müdür ki seni bilmesin ve görmesin ve nev-i insanın en büyük gayesi olan hayat-ı ebediyeye lâzım esbabı ihzar etmesin ve nev-i insanın en büyük, en ehemmiyetli, en lâyık ve umumî olan beka duasını hayat-ı uhreviyenin inşasıyla ve cennetin icadıyla kabul etmesin ve kâinatın en mühim mahluku, belki zeminin sultanı ve neticesi olan nev-i insanın arş ve ferşi çınlatan umumî ve gayet kuvvetli duasını işitmeyip küçük bir mide kadar ehemmiyet vermesin, memnun etmesin, kemal-i hikmetini ve nihayet rahmetini inkâr ettirsin? Hâşâ yüz bin defa hâşâ!

    Hem hiç kabil midir ki hayatın en cüz’îsinin pek gizli sesini işitsin, derdini dinlesin ve derman versin ve nazını çeksin ve kemal-i itina ve ihtimam ile beslesin ve ona dikkatle hizmet ettirsin ve büyük mahlukatını ona hizmetkâr yapsın ve sonra en büyük ve kıymettar ve bâki ve nazdar bir hayatın gök sadâsı gibi yüksek sesini işitmesin ve onun çok ehemmiyetli beka duasını ve nazını ve niyazını nazara almasın? Âdeta bir neferin kemal-i itina ile teçhizat ve idaresini yapsın ve mutî ve muhteşem orduya hiç bakmasın ve zerreyi görsün, güneşi görmesin; sivrisineğin sesini işitsin, gök gürültüsünü işitmesin? Hâşâ yüz bin defa hâşâ!

    Hem hiçbir cihetle akıl kabul eder mi ki hadsiz rahmetli, muhabbetli ve nihayet derecede şefkatli ve kendi sanatını çok sever ve kendini çok sevdirir ve kendini sevenleri ziyade sever bir Zat-ı Kadîr-i Hakîm, en ziyade kendini seven ve sevimli ve sevilen ve Sâni’ini fıtraten perestiş eden hayatı ve hayatın zatı ve cevheri olan ruhu, mevt-i ebedî ile idam edip kendinden o sevgili muhibbini ve habibini ebedî bir surette küstürsün, darıltsın, dehşetli rencide ederek sırr-ı rahmetini ve nur-u muhabbetini inkâr etsin ve ettirsin? Yüz bin defa hâşâ ve kellâ!

    Bu kâinatı cilvesiyle süslendiren bir cemal-i mutlak ve umum mahlukatı sevindiren bir rahmet-i mutlaka, böyle hadsiz bir çirkinlikten ve kubh-u mutlaktan ve böyle bir zulm-ü mutlaktan, bir merhametsizlikten, elbette nihayetsiz derece münezzehtir ve mukaddestir.

    Netice: Madem dünyada hayat var, elbette insanlardan hayatın sırrını anlayanlar ve hayatını sû-i istimal etmeyenler, dâr-ı bekada ve cennet-i bâkiyede, hayat-ı bâkiyeye mazhar olacaklardır. Âmennâ.

    Ve hem nasıl ki yeryüzünde bulunan parlak şeylerin güneşin akisleriyle parlamaları ve denizlerin yüzlerinde kabarcıkları ziyanın lem’alarıyla parlayıp sönmeleri, arkalarından gelen kabarcıklar yine hayalî güneşçiklere âyinelik etmeleri bilbedahe gösteriyor ki o lem’alar, yüksek bir tek güneşin cilve-i in’ikasıdırlar ve güneşin vücudunu muhtelif diller ile yâd ediyorlar ve ışık parmaklarıyla ona işaret ediyorlar.

    Aynen öyle de Zat-ı Hayy-ı Kayyum’un Muhyî isminin cilve-i a’zamı ile berrin yüzünde ve bahrin içinde zîhayatların kudret-i İlahiye ile parlayıp arkalarından gelenlere yer vermek için “Yâ Hay!” deyip perde-i gaybda gizlenmeleri, bir hayat-ı sermediye sahibi olan Zat-ı Hayy-ı Kayyum’un hayatına ve vücub-u vücuduna şehadetler, işaretler ettikleri gibi, umum mevcudatın tanziminde eseri görünen ilm-i İlahîye şehadet eden bütün deliller ve kâinata tasarruf eden kudreti ispat eden bütün bürhanlar ve tanzim ve idare-i kâinatta hüküm-ferma olan irade ve meşieti ispat eden bütün hüccetler ve kelâm-ı Rabbanî ve vahy-i İlahînin medarı olan risaletleri ispat eden bütün alâmetler, mu’cizeler ve hâkeza yedi sıfât-ı İlahiyeye şehadet eden bütün delail; bi’l-ittifak Zat-ı Hayy-ı Kayyum’un hayatına delâlet, şehadet, işaret ediyorlar.

    Çünkü nasıl bir şeyde görmek varsa hayatı da var; işitmek varsa hayatın alâmetidir; söylemek varsa hayatın vücuduna işaret eder; ihtiyar, irade varsa hayatı gösterir. Aynen öyle de bu kâinatta âsârıyla vücudları muhakkak ve bedihî olan kudret-i mutlaka ve irade-i şâmile ve ilm-i muhit gibi sıfatlar, bütün delailleriyle Zat-ı Hayy-ı Kayyum’un hayatına ve vücub-u vücuduna şehadet ederler ve bütün kâinatı bir gölgesiyle ışıklandıran ve bir cilvesiyle bütün dâr-ı âhireti zerratıyla beraber hayatlandıran hayat-ı sermediyesine şehadet ederler.

    Hem hayat, melâikeye iman rüknüne dahi bakar, remzen ispat eder. Çünkü madem kâinatta en mühim netice hayattır ve en ziyade intişar eden ve kıymettarlığı için nüshaları teksir edilen ve zemin misafirhanesini gelip geçen kafilelerle şenlendiren zîhayatlardır. Ve madem küre-i arz bu kadar zîhayatın envaıyla dolmuş ve mütemadiyen zîhayat envalarını tecdid ve teksir etmek hikmetiyle her vakit dolar boşanır ve en hasis ve çürümüş maddelerinde dahi kesretle zîhayatlar halk edilerek bir mahşer-i huveynat oluyor. Ve madem hayatın süzülmüş en safi hülâsası olan şuur ve akıl ve en latîf ve sabit cevheri olan ruh, bu küre-i arzda gayet kesretli bir surette halk olunuyorlar. Âdeta küre-i arz, hayat ve akıl ve şuur ve ervah ile ihya olup öyle şenlendirilmiş. Elbette küre-i arzdan daha latîf daha nurani daha büyük daha ehemmiyetli olan ecram-ı semaviye; ölü, camid, hayatsız, şuursuz kalması imkân haricindedir. Demek gökleri, güneşleri, yıldızları şenlendirecek ve hayattar vaziyetini verecek ve netice-i hilkat-i semavatı gösterecek ve hitabat-ı Sübhaniyeye mazhar olacak olan zîşuur, zîhayat ve semavata münasip sekeneler, herhalde sırr-ı hayatla bulunuyorlar ki onlar da melâikelerdir.

    Hem hayatın sırr-ı mahiyeti peygamberlere iman rüknüne bakıp remzen ispat eder. Evet madem kâinat, hayat için yaratılmış ve hayat dahi Hayy-ı Kayyum-u Ezelî’nin bir cilve-i a’zamıdır, bir nakş-ı ekmelidir, bir sanat-ı ecmelidir. Madem hayat-ı sermediye, resullerin gönderilmesiyle ve kitapların indirilmesiyle kendini gösterir. Evet, eğer kitaplar ve peygamberler olmazsa o hayat-ı ezeliye bilinmez. Nasıl ki bir adamın söylemesiyle, diri ve hayattar olduğu anlaşılır; öyle de bu kâinatın perdesi altında olan âlem-i gaybın arkasında söyleyen, konuşan, emir ve nehyedip hitap eden bir zatın kelimatını, hitabatını gösterecek, peygamberler ve ellerinde nâzil olan kitaplardır. Elbette kâinattaki hayat, kat’î bir surette Hayy-ı Ezelî’nin vücub-u vücuduna kat’î şehadet ettiği gibi o hayat-ı ezeliyenin şuâatı, celevatı, münasebatı olan irsal-i rusül ve inzal-i kütüb rükünlerine bakar, remzen ispat eder. Ve bilhassa risalet-i Muhammediye (asm) ve vahy-i Kur’anî, hayatın ruhu ve aklı hükmünde olduğundan bu hayatın vücudu gibi hakkaniyetleri kat’îdir, denilebilir.

    Evet nasıl ki hayat, bu kâinattan süzülmüş bir hülâsadır. Ve şuur ve his dahi hayattan süzülmüş, hayatın bir hülâsasıdır. Akıl dahi şuurdan ve histen süzülmüş, şuurun bir hülâsasıdır. Ve ruh dahi hayatın hâlis ve safi bir cevheri ve sabit ve müstakil zatıdır; öyle de maddî ve manevî hayat-ı Muhammediye (asm) dahi hayat ve ruh-u kâinattan süzülmüş hülâsatü’l-hülâsadır. Ve risalet-i Muhammediye (asm) dahi kâinatın his ve şuur ve aklından süzülmüş en safi hülâsasıdır, belki maddî ve manevî hayat-ı Muhammediye (asm) âsârının şehadetiyle hayat-ı kâinatın hayatıdır. Ve risalet-i Muhammediye (asm) şuur-u kâinatın şuurudur ve nurudur. Ve vahy-i Kur’an dahi hayattar hakaikinin şehadetiyle hayat-ı kâinatın ruhudur ve şuur-u kâinatın aklıdır.

    Evet, evet, evet… Eğer kâinattan risalet-i Muhammediyenin (asm) nuru çıksa, gitse kâinat vefat edecek. Eğer Kur’an gitse kâinat divane olacak ve küre-i arz kafasını, aklını kaybedecek belki şuursuz kalmış olan başını bir seyyareye çarpacak, bir kıyameti koparacak.

    Hem hayat, iman-ı bi’l-kader rüknüne bakıyor, remzen ispat eder. Çünkü madem hayat, âlem-i şehadetin ziyasıdır ve istila ediyor ve vücudun neticesi ve gayesidir ve Hâlık-ı kâinat’ın en câmi’ âyinesidir ve faaliyet-i Rabbaniyenin en mükemmel enmuzeci ve fihristesidir, temsilde hata olmasın, bir nevi programı hükmündedir. Elbette âlem-i gayb yani mazi, müstakbel yani geçmiş ve gelecek mahlukatın hayat-ı maneviyeleri hükmünde olan intizam ve nizam ve malûmiyet ve meşhudiyet ve taayyün ve evamir-i tekviniyeyi imtisale müheyya bir vaziyette bulunmalarını sırr-ı hayat iktiza ediyor.

    Nasıl ki bir ağacın çekirdek-i aslîsi ve kökü ve müntehasında ve meyvelerindeki çekirdekleri dahi aynen ağaç gibi bir nevi hayata mazhardırlar. Belki ağacın kavanin-i hayatiyesinden daha ince kavanin-i hayatı taşıyorlar. Hem nasıl ki bu hazır bahardan evvel geçmiş güzün bıraktığı tohumlar ve kökler, bu bahar gittikten sonra, gelecek baharlara bırakacağı çekirdekler, kökler, bu bahar gibi cilve-i hayatı taşıyorlar ve kavanin-i hayatiyeye tabidirler.

    Aynen öyle de şecere-i kâinatın bütün dal ve budaklarıyla her birinin bir mazisi ve müstakbeli var. Geçmiş ve gelecek tavırlarından ve vaziyetlerinden müteşekkil bir silsilesi bulunur. Her nevi ve her cüzünün ilm-i İlahiyede muhtelif tavırlar ile müteaddid vücudları bir silsile-i vücud-u ilmî teşkil eder. Ve vücud-u haricî gibi o vücud-u ilmî dahi hayat-ı umumiyenin manevî bir cilvesine mazhardır ki mukadderat-ı hayatiye, o manidar ve canlı elvah-ı kaderiyeden alınır.

    Evet âlem-i gaybın bir nev’i olan âlem-i ervah, ayn-ı hayat ve madde-i hayat ve hayatın cevherleri ve zatları olan ervah ile dolu olması, elbette mazi ve müstakbel denilen âlem-i gaybın bir diğer nev’i de ve ikinci kısmı dahi cilve-i hayata mazhariyetini ister ve istilzam eder. Hem her bir şeyin vücud-u ilmîsindeki intizam-ı ekmeli ve manidar vaziyetleri ve canlı meyveleri, tavırları; bir nevi hayat-ı maneviyeye mazhariyetini gösterir.

    Evet hayat-ı ezeliye güneşinin ziyası olan bu cilve-i hayat, elbette yalnız bu âlem-i şehadete ve bu zaman-ı hazıra ve bu vücud-u haricîye münhasır olamaz; belki her bir âlem, kabiliyetine göre o ziyanın cilvesine mazhardır; ve kâinat bütün âlemleriyle o cilve ile hayattar ve ziyadardır. Yoksa nazar-ı dalaletin gördüğü gibi, muvakkat ve zâhirî bir hayat altında her bir âlem, büyük ve müthiş birer cenaze ve karanlıklı birer virane âlem olacaktı.

    İşte kadere ve kazaya iman rüknü dahi geniş bir vecihte sırr-ı hayatla anlaşılıyor ve sabit oluyor. Yani nasıl ki âlem-i şehadet ve mevcud hazır eşya, intizamlarıyla ve neticeleriyle hayattarlıkları görünüyor, öyle de âlem-i gaybdan sayılan geçmiş ve gelecek mahlukatın dahi manen hayattar bir vücud-u manevîleri ve ruhlu birer sübut-u ilmîleri vardır ki levh-i kaza ve kader vasıtasıyla o manevî hayatın eseri, mukadderat namıyla görünür, tezahür eder.

    Beşinci Remiz

    Hem hayatın on altıncı hâssasında denilmiş ki: Hayat bir şeye girdiği vakit, o cesedi bir âlem hükmüne getirir; cüz ise küll gibi, cüz’îye dahi küllî gibi bir câmiiyet verir. Evet, hayatın öyle bir câmiiyeti var, âdeta umum kâinata tecelli eden ekser esma-i hüsnayı kendinde gösteren bir câmi’ âyine-i ehadiyettir. Bir cisme hayat girdiği vakit, küçük bir âlem hükmüne getirir; âdeta kâinat şeceresinin bir nevi fihristesini taşıyan bir nevi çekirdeği hükmüne geçiyor. Nasıl ki bir çekirdek, onun ağacını yapabilen bir kudretin eseri olabilir; öyle de en küçük bir zîhayatı halk eden, elbette umum kâinatın Hâlık’ıdır.

    İşte bu hayat, bu câmiiyetiyle en gizli bir sırr-ı ehadiyeti kendinde gösterir. Yani nasıl ki azametli güneş, ziyasıyla ve yedi rengiyle ve aksiyle güneşe mukabil olan her bir katre suda ve her bir cam zerresinde bulunuyor; öyle de her bir zîhayatta kâinatı ihata eden esma ve sıfât-ı İlahiyenin cilveleri beraber onda tecelli ediyor. Bu nokta-i nazardan hayat; kâinatı, rububiyet ve icad cihetinde inkısam ve tecezzi kabul etmez bir küll hükmüne, belki iştiraki ve tecezzisi imkân haricinde bulunan bir küllî hükmüne getirir.

    Evet seni yaratan, bütün nev-i insanı yaratan zat olduğunu, bilbedahe senin yüzündeki sikkesi gösteriyor. Çünkü mahiyet-i insaniye birdir, inkısamı gayr-ı mümkündür. Hem hayat vasıtasıyla ecza-yı kâinat onun efradı hükmüne ve kâinat ise nev’i hükmüne geçer; sikke-i ehadiyeti mecmuunda gösterdiği gibi her bir cüzde dahi o sikke-i ehadiyeti ve hâtem-i samediyeti göstererek şirk ve iştiraki her cihetle tard eder.

    Hem hayatta sanat-ı Rabbaniyenin öyle fevkalâde hârika mu’cizeleri var ki bütün kâinatı halk edemeyen bir zat, bir kudret; en küçük bir zîhayatı halk edemez. Evet, bir nohut tanesinde bütün Kur’an’ı yazar gibi; çamın gayet küçük bir tohumunda koca çam ağacının fihristesini ve mukadderatını yazan kalem, elbette semavatı yıldızlarla yazan kalem olabilir. Evet, bir arının küçük kafasında kâinat bahçesindeki çiçekleri tanıyacak ve ekser envaıyla münasebettar olacak ve bal gibi bir hediye-i rahmeti getirecek ve dünyaya geldiği günde şerait-i hayatı bilecek derecede bir istidadı, bir kabiliyeti, bir cihazı derceden zat; elbette bütün kâinatın Hâlık’ı olabilir.

    Elhasıl: Hayat nasıl ki kâinatın yüzünde parlak bir sikke-i tevhiddir ve her bir zîruh dahi hayat noktasında bir sikke-i ehadiyettir ve hayatın her bir ferdinde bulunan nakş-ı sanat, bir mühr-ü samediyettir ve zîhayatların adedince bu kâinat mektubunu Zat-ı Hayy-ı Kayyum ve Vâhid-i Ehad namına hayatlarıyla imza ediyorlar ve o mektupta tevhid mühürleri ve ehadiyet hâtemleri ve samediyet sikkeleridirler. Öyle de hayat gibi, her bir zîhayat dahi bu kitab-ı kâinatta birer mühr-ü vahdaniyet olduğu gibi, her birinin yüzünde ve simasında birer hâtem-i ehadiyet konulmuştur.

    Hem nasıl ki hayat, cüz’iyatı adedince ve zîhayat efradı sayısınca Zat-ı Hayy-ı Kayyum’un vahdetine şehadet eden imzalar ve mühürlerdir; öyle de ihya ve diriltmek fiili dahi efradı adedince tevhide imza basıyor. Mesela ihyanın bir ferdi olan ihya-yı arz, güneş gibi parlak bir şahid-i tevhiddir. Çünkü baharda zeminin dirilmesinde ve ihyasında üç yüz bin envaın ve her nev’in hadsiz efradı beraber, birbiri içinde, noksansız, kusursuz, mükemmel, muntazam ihya edilir ve dirilirler. Evet, böyle bir tek fiil ile hadsiz muntazam fiilleri yapan, elbette bütün mahlukatın Hâlık’ıdır ve bütün zîhayatları ihya eden Hayy-ı Kayyum’dur ve rububiyetinde iştiraki mümkün olmayan bir Vâhid-i Ehad’dir.

    Şimdilik hayatın hâssalarından bu kadar az ve muhtasar yazıldı. Başka hâssaların beyanı ve tafsilatını Risale-i Nur’a ve başka zamana havale ediyoruz.

    Hâtime

    İsm-i a’zam herkes için bir olmaz, belki ayrı ayrı oluyor.

    Mesela, İmam-ı Ali radıyallahu anhın hakkında; “Ferd, Hay, Kayyum, Hakem, Adl, Kuddüs” altı isimdir. Ve İmam-ı A’zam’ın ism-i a’zamı “Hakem, Adl” iki isimdir. Ve Gavs-ı A’zam’ın ism-i a’zamı “Yâ Hay!”dır. Ve İmam-ı Rabbanî’nin ism-i a’zamı “Kayyum” ve hâkeza... Pek çok zatlar daha başka isimleri, ism-i a’zam görmüşlerdir.

    Bu Beşinci Nükte ism-i Hay hakkında olduğu münasebetiyle, hem teberrük hem şahit hem delil hem kudsî bir hüccet hem kendimize bir dua hem bu risaleye bir hüsn-ü hâtime olarak Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâm Cevşenü’l-Kebir namındaki münâcat-ı a’zamında marifetullahta gayet yüksek ve gayet câmi’ derecede marifetini göstererek böyle demiştir. Biz de hayalen o zamana gidip Resul-i Ekrem aleyhissalâtü vesselâmın dediğine “Âmin!” diyerek aynı münâcatı kendimiz de söylüyor gibi, sadâ-yı Muhammedî aleyhissalâtü vesselâm ile deriz:

    يَا حَىُّ قَب۟لَ كُلِّ حَىٍّ ۝ يَا حَىُّ بَع۟دَ كُلِّ حَىٍّ ۝

    يَا حَىُّ الَّذٖى لَي۟سَ كَمِث۟لِهٖ حَىٌّ ۝ يَا حَىُّ الَّذٖى لَا يُش۟بِهُهُ شَى۟ءٌ ۝

    يَا حَىُّ الَّذٖى لَا يَح۟تَاجُ اِلٰى حَىٍّ ۝ يَا حَىُّ الَّذٖى لَا يُشَارِكُهُ حَىٌّ ۝

    يَا حَىُّ الَّذٖى يُمٖيتُ كُلَّ حَىٍّ ۝ يَا حَىُّ الَّذٖى يَر۟زُقُ كُلَّ حَىٍّ ۝

    يَا حَىُّ الَّذٖى يُح۟يِى ال۟مَو۟تٰى ۝ يَا حَىُّ الَّذٖى لَا يَمُوتُ ۝

    سُب۟حَانَكَ يَا لَٓا اِلٰهَ اِلَّا اَن۟تَ ال۟اَمَانُ ال۟اَمَانُ نَجِّنَا مِنَ النَّارِ اٰمٖينَ

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ

    Otuzuncu Lem’a’nın Altıncı Nüktesi

    İsm-i Kayyum’a bakar.

    İsm-i Hayy’ın bir hülâsası, Nur Çeşmesi’nin bir zeyli olmuş; bu ism-i Kayyum dahi Otuzuncu Söz’ün zeyli olması münasip görüldü.

    İ’tizar: Bu çok ehemmiyetli meseleler ve çok derin ve geniş ism-i Kayyum’un cilve-i a’zamı, hem muntazaman değil belki ayrı ayrı lem’alar tarzında kalbe hutur ettiğinden hem gayet müşevveş ve acele ve tetkiksiz müsvedde halinde kaldığından elbette tabirat ve ifadelerde çok noksanlar, intizamsızlıklar bulunacaktır. Meselelerin güzelliklerine benim kusurlarımı bağışlamalısınız.

    İhtar: İsm-i a’zama ait nükteler, a’zamî bir surette geniş, hem gayet derin olduğundan hususan ism-i Kayyum’a ait meseleler ve bilhassa Birinci Şuâ’ı (Hâşiye[5]) maddiyyunlara baktığı için, daha ziyade derin gittiğinden elbette her adam her meseleyi her cihette anlamaz. Fakat herkes her meseleden bir derece hisse alabilir. “Bir şey bütün elde edilmezse bütün bütün elden kaçırılmaz.” kaidesiyle, “Bu manevî bahçenin bütün meyvelerini koparamıyorum.” diye vazgeçmek kâr-ı akıl değildir. İnsan ne kadar koparsa o kadar kârdır.

    İsm-i a’zama ait meselelerin ihata edilmeyecek derecede genişleri olduğu gibi akıl görmeyecek derecede inceleri de vardır. Hususan ism-i Hay ve Kayyum’a ve bilhassa hayatın iman erkânına karşı remizlerine ve bilhassa kaza ve kader rüknüne hayatın işaretine ve ism-i Kayyum’un Birinci Şuâ’ına herkesin fikri yetişmez fakat hissesiz de kalmaz; belki herhalde imanını kuvvetlendirir.

    Saadet-i ebediyenin anahtarı olan imanın kuvvetleşmesi ehemmiyeti çok azîmdir. İmanın bir zerre kadar kuvveti ziyade olması, bir hazinedir. İmam-ı Rabbanî Ahmed-i Farukî diyor ki: “Bir küçük mesele-i imaniyenin inkişafı, benim nazarımda yüzler ezvak ve kerametlere müreccahtır.”

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    بِيَدِهٖ مَلَكُوتُ كُلِّ شَى۟ءٍ ۝ لَهُ مَقَالٖيدُ السَّمٰوَاتِ وَ ال۟اَر۟ضِ ۝ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا عِن۟دَنَا خَزَٓائِنُهُ ۝ مَا مِن۟ دَٓابَّةٍ اِلَّا هُوَ اٰخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا gibi kayyumiyet-i İlahiyeye işaret eden âyetlerin bir nüktesi ve ism-i a’zam veyahut ism-i a’zamın iki ziyasından ikinci ziyası veyahut ism-i a’zamın altı nurundan altıncı nuru olan Kayyum isminin bir cilve-i a’zamı, zilkade ayında aklıma göründü. Eskişehir Hapishanesindeki müsaadesizliğim cihetiyle o nur-u a’zamı elbette tamamıyla beyan edemeyeceğim, fakat Hazret-i İmam-ı Ali (ra), Kaside-i Ercuze’sinde “Sekine” nam-ı âlîsiyle beyan ettiği ism-i a’zam ve Celcelutiye’sinde pek muhteşem isimlerle ism-i a’zam içinde bulunan o altı ismi en a’zam, en ehemmiyetli tuttuğu için ve onların bahsi içinde kerametkârane bize teselli verdiği için bu ism-i Kayyum’a dahi evvelki beş esma gibi hiç olmazsa muhtasar bir surette beş şuâ ile o nur-u a’zama işaret edeceğiz.

    Birinci Şuâ

    Bu kâinatın Hâlık-ı Zülcelal’i Kayyum’dur. Yani bizatihî kaimdir, daimdir, bâkidir. Bütün eşya onunla kaimdir, devam eder ve vücudda kalır, beka bulur. Eğer kâinattan bir dakikacık olsun o nisbet-i kayyumiyet kesilse kâinat mahvolur.

    Hem o Zat-ı Zülcelal’in kayyumiyetiyle beraber Kur’an-ı Azîmüşşan’da ferman ettiği gibi لَي۟سَ كَمِث۟لِهٖ شَى۟ءٌ dür. Yani ne zatında, ne sıfâtında, ne ef’alinde naziri yoktur, misli olmaz, şebihi yoktur, şeriki olmaz.

    Evet, bütün kâinatı bütün şuunatıyla ve keyfiyatıyla kabza-i rububiyetinde tutup bir hane ve bir saray hükmünde kemal-i intizam ile tedbir ve idare ve terbiye eden bir Zat-ı Akdes’e misil ve mesîl ve şerik ve şebih olmaz, muhaldir.

    Evet, bir zat ki ona yıldızların icadı zerreler kadar kolay gele

    ve en büyük şey en küçük şey gibi kudretine musahhar ola

    ve hiçbir şey hiçbir şeye, hiçbir fiil hiçbir fiile mani olmaya

    ve hadsiz efrad, bir fert gibi nazarında hazır ola

    ve bütün sesleri birden işite

    ve umumun hadsiz hâcatını birden yapabile

    ve kâinatın mevcudatındaki bütün intizamat ve mizanların şehadetiyle hiçbir şey, hiçbir hal, daire-i meşiet ve iradesinden hariç olmaya

    ve hiçbir mekânda olmadığı halde, her bir yerde ve her bir mekânda kudretiyle, ilmiyle hazır ola

    ve her şey ondan nihayet derecede uzak olduğu halde, o ise her şeye nihayet derecede yakın olabilen bir Zat-ı Hayy-ı Kayyum-u Zülcelal’in elbette hiçbir cihetle misli, naziri, şeriki, veziri, zıddı, niddi olmaz ve olması muhaldir. Yalnız mesel ve temsil suretinde şuunat-ı kudsiyesine bakılabilir. Risale-i Nur’daki bütün temsilat ve teşbihat, bu mesel ve temsil nevindendirler.

    İşte böyle misilsiz ve Vâcibü’l-vücud ve maddeden mücerred ve mekândan münezzeh ve tecezzisi ve inkısamı her cihetle muhal ve tagayyür ve tebeddülü mümteni ve ihtiyaç ve aczi imkân haricinde olan bir Zat-ı Akdes’in kâinat safahatında ve tabakat-ı mevcudatında tecelli eden bir kısım cilvelerini ayn-ı Zat-ı Akdes tevehhüm ederek bir kısım mahlukatına uluhiyetin ahkâmını veren ehl-i dalalet insanların bir kısmı, o Zat-ı Zülcelal’in bazı eserlerini tabiata isnad etmişler. Halbuki Risale-i Nur’un müteaddid yerlerinde kat’î bürhanlarla ispat edilmiş ki:

    Tabiat bir sanat-ı İlahiyedir, sâni’ olmaz. Bir kitabet-i Rabbaniyedir, kâtip olmaz. Bir nakıştır, nakkaş olamaz. Bir defterdir, defterdar olmaz. Bir kanundur, kudret olmaz. Bir mistardır, masdar olmaz. Bir kabildir, münfail olur; fâil olmaz. Bir nizamdır, nâzım olamaz. Bir şeriat-ı fıtriyedir, şâri’ olamaz.

    Farz-ı muhal olarak en küçük bir zîhayat mahluk tabiata havale edilse “Bunu yap.” denilse; Risale-i Nur’un çok yerlerinde kat’î bürhanlarla ispat edildiği gibi, o küçük zîhayatın azaları ve cihazatları adedince kalıplar, belki makineler bulundurmak gerektir; tâ ki tabiat o işi görebilsin.

    Hem maddiyyun denilen bir kısım ehl-i dalalet, zerrattaki tahavvülat-ı muntazama içinde hallakıyet-i İlahiyenin ve kudret-i Rabbaniyenin bir cilve-i a’zamını hissettiklerinden ve o cilvenin nereden geldiğini bilemediklerinden ve o kudret-i Samedaniyenin cilvesinden gelen umumî kuvvetin nereden idare edildiğini anlayamadıklarından madde ve kuvveti ezelî tevehhüm ederek zerrelere ve hareketlerine âsâr-ı İlahiyeyi isnad etmeye başlamışlar.

    Fesübhanallah! İnsanlarda bu derece hadsiz cehalet olabilir mi ki mekândan münezzeh olmakla beraber her bir yerde her bir şeyin icadında her şeyi görecek, bilecek, idare edecek bir tarzda bulunur bir vaziyetle yaptığı fiilleri ve eserleri; camid, kör, şuursuz, iradesiz, mizansız ve tesadüf fırtınaları içinde çalkanan zerrata ve harekâtına vermek, ne kadar cahilane ve hurafetkârane bir fikir olduğunu, zerre kadar aklı bulunanların bilmesi gerektir. Evet, bu herifler vahdet-i mutlakadan vazgeçtikleri için hadsiz ve nihayetsiz bir kesret-i mutlakaya düşmüşler, yani bir tek ilahı kabul etmedikleri için nihayetsiz ilahları kabul etmeye mecbur oluyorlar. Yani bir tek Zat-ı Akdes’in hâssası ve lâzım-ı zatîsi olan ezeliyeti ve hâlıkıyeti, bozulmuş akıllarına sığıştıramadıklarından o hadsiz, nihayetsiz camid zerrelerin ezeliyetlerini, belki uluhiyetlerini kabul etmeye mesleklerince mecbur oluyorlar.

    İşte sen gel, echeliyetin nihayetsiz derecesine bak! Evet, zerrelerdeki cilve ise zerreler taifesini Vâcibü’l-vücud’un havliyle, kudretiyle, emriyle muntazam ve muhteşem bir ordu hükmüne getirmiştir. Eğer bir saniye o Kumandan-ı A’zam’ın emri ve kuvveti geri alınsa o çok kesretli camid, şuursuz taife, başıbozuklar hükmüne gelecekler; belki bütün bütün mahvolacaklar.

    Hem insanların bir kısmı güya daha ileri görüyor gibi, daha ziyade cahilane bir dalaletle Sâni’-i Zülcelal’in gayet latîf, nâzenin, mutî, musahhar bir sahife-i icraatı ve emirlerinin bir vasıta-i nakliyatı ve zayıf bir perde-i tasarrufatı ve latîf bir midad-ı (mürekkep) kitabeti ve en nâzenin bir hulle-i icadatı ve bir mâye-i masnuatı ve bir mezraa-i hububatı olan “esîr” maddesini, cilve-i rububiyetine âyinedarlık ettiği için masdar ve fâil tevehhüm etmişler. Bu acib cehalet, hadsiz muhalleri istilzam ediyor. Çünkü esîr maddesi, maddiyyunları boğduran zerrat maddesinden daha latîf ve eski hükemanın saplandığı heyula fihristesinden daha kesif, ihtiyarsız, şuursuz, camid bir maddedir. Bu hadsiz bir surette tecezzi ve inkısam eden ve nâkillik ve infial hâssasıyla ve vazifesiyle teçhiz edilen bu maddeye, belki o maddenin zerreden çok derece daha küçük olan zerrelerine; her şeyde her şeyi görecek, bilecek, idare edecek bir ihtiyar ve bir iktidar ile vücud bulan fiilleri, eserleri isnad etmek, esîrin zerreleri adedince yanlıştır.

    Evet, mevcudatta görünen fiil-i icad öyle bir keyfiyettedir ki her şeyde, hususan zîhayat olsa ekser eşyayı ve belki umum kâinatı görecek, bilecek ve kâinata karşı o zîhayatın münasebatını tanıyacak, temin edecek bir iktidar ve ihtiyardan geldiğini gösteriyor ki maddî ve ihatasız olan esbabın hiçbir cihetle fiili olmaz. Evet –sırr-ı kayyumiyetle– en cüz’î bir fiil-i icadî, doğrudan doğruya bütün kâinat Hâlık’ının fiili olduğuna delâlet eden bir sırr-ı a’zamı taşıyor.

    Evet, mesela bir arının icadına teveccüh eden bir fiil, iki cihetle Hâlık-ı kâinat’a hususiyetini gösteriyor.

    Birincisi: O arının bütün emsalinin bütün zeminde, aynı zamanda aynı fiile mazhariyetleri gösteriyor ki bu cüz’î ve hususi fiil ise ihatalı rûy-i zemini kaplamış bir fiilin bir ucudur. Öyle ise o büyük fiilin fâili ve o fiilin sahibi kim ise o cüz’î fiil dahi onundur.

    İkinci cihet: Bu hazır arının hilkatine teveccüh eden fiilin fâili olmak için, o arının şerait-i hayatiyesini ve cihazatını ve kâinatla münasebatını temin edecek ve bilecek kadar pek büyük bir iktidar ve ihtiyar lâzım geldiğinden o cüz’î fiili yapan zatın, ekser kâinata hükmü geçmekle ancak o fiili öyle mükemmel yapabilir.

    Demek en cüz’î fiil, iki cihetle Hâlık-ı külli şey’e has olduğunu gösterir.

    En ziyade cây-ı dikkat ve cây-ı hayret şudur ki: Vücudun en kuvvetli mertebesi olan “vücub”un ve vücudun en sebatlı derecesi olan “maddeden tecerrüd”ün ve vücudun zevalden en uzak tavrı olan “mekândan münezzehiyet”in ve vücudun en sağlam ve tagayyürden ve ademden en mukaddes sıfatı olan “vahdet”in sahibi olan Zat-ı Vâcibü’l-vücud’un en has hâssası ve lâzım-ı zatîsi olan ezeliyeti ve sermediyeti; vücudun en zayıf mertebesi ve en incecik derecesi ve en mütegayyir, mütehavvil tavrı ve en ziyade mekâna yayılmış olan hadsiz kesretli bir maddî madde olan esîr ve zerrat gibi şeylere vermek ve onlara ezeliyet isnad etmek ve onları ezelî tasavvur etmek ve kısmen âsâr-ı İlahiyenin onlardan neş’et ettiğini tevehhüm etmek, ne kadar hilaf-ı hakikat ve vakıa muhalif ve akıldan uzak ve bâtıl bir fikir olduğu, Risale-i Nur’un müteaddid cüzlerinde kat’î bürhanlarla gösterilmiştir.

    İkinci Şuâ

    İki meseledir.

    Birinci Mesele: İsm-i Kayyum’un bir cilve-i a’zamına işaret eden لَا تَا۟خُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَو۟مٌ ۝ مَا مِن۟ دَٓابَّةٍ اِلَّا هُوَ اٰخِذٌ بِنَاصِيَتِهَا ۝ لَهُ مَقَالٖيدُ السَّمٰوَاتِ وَ ال۟اَر۟ضِ gibi âyetlerin işaret ettiği hakikat-i a’zamın bir vechi şudur ki:

    Şu kâinattaki ecram-ı semaviyenin kıyamları, devamları, bekaları sırr-ı kayyumiyetle bağlıdır. Eğer o cilve-i kayyumiyet bir dakikada yüzünü çevirse bir kısmı küre-i arzdan bin defa büyük milyonlarla küreler, feza-yı gayr-ı mütenahî boşluğunda dağılacak, birbirine çarpacak, ademe dökülecekler.

    Nasıl ki mesela, havada –tayyareler yerinde– binler muhteşem kasırları kemal-i intizamla durdurup seyahat ettiren bir zatın kayyumiyet iktidarı, o havadaki sarayların sebat ve nizam ve devamları ile ölçülür. Öyle de o Zat-ı Kayyum-u Zülcelal’in madde-i esîriye içinde hadsiz ecram-ı semaviyeye nihayet derecede intizam ve mizan içinde sırr-ı kayyumiyetle bir kıyam, bir beka, bir devam vererek, bazısı küre-i arzdan bin ve bir kısmı bir milyon defa büyük milyonlarla azîm küreleri direksiz, istinadsız, boşlukta durdurmakla beraber, her birini bir vazife ile tavzif edip gayet muhteşem bir ordu şeklinde “Emr-i kün feyekûn”den gelen fermanlara kemal-i inkıyadla itaat ettirmesi, ism-i Kayyum’un a’zamî cilvesine bir ölçü olduğu gibi, her bir mevcudun zerreleri dahi yıldızlar gibi sırr-ı kayyumiyetle kaim ve o sır ile beka ve devam ediyorlar.

    Evet, bir zîhayatın cesedindeki zerrelerin her bir azaya mahsus bir heyet ile küme küme toplanıp dağılmadıkları ve sel gibi akan unsurların fırtınaları içinde vaziyetlerini muhafaza edip dağılmamaları ve muntazaman durmaları, bilbedahe kendi kendilerinden olmayıp belki sırr-ı kayyumiyetle olduğundan; her bir ceset muntazam bir tabur, her bir nevi muntazam bir ordu hükmünde olarak bütün zîhayat ve mürekkebatın zemin yüzünde ve yıldızların feza âleminde durmaları ve gezmeleri gibi, bu zerreler dahi hadsiz dilleriyle sırr-ı kayyumiyeti ilan ederler.

    İkinci Mesele: Eşyanın sırr-ı kayyumiyetle münasebettar faydalarının ve hikmetlerinin bir kısmına işaret etmeyi, bu makam iktiza ediyor.

    Evet, her şeyin hikmet-i vücudu ve gaye-i fıtratı ve faide-i hilkati ve netice-i hayatı üçer nevidir:

    Birinci nevi, kendine ve insana ve insanın maslahatlarına bakar.

    İkinci nevi, daha mühimdir ki her şey, umum zîşuur mütalaa edebilecek ve Fâtır-ı Zülcelal’in cilve-i esmasını bildirecek birer âyet, birer mektup, birer kitap, birer kaside hükmünde olarak manalarını hadsiz okuyucularına ifade etmesidir.

    Üçüncü nevi ise Sâni’-i Zülcelal’e aittir, ona bakar. Her şeyin faydası ve neticesi kendine bakan bir ise Sâni’-i Zülcelal’e bakan yüzlerdir ki Sâni’-i Zülcelal kendi acayib-i sanatını kendisi temaşa eder; kendi cilve-i esmasına, kendi masnuatında bakar. Bu a’zamî üçüncü nevide, bir saniye kadar yaşamak kâfidir.

    Hem her şeyin vücudunu iktiza eden bir sırr-ı kayyumiyet var ki Üçüncü Şuâ’da izah edilecek.

    Bir zaman tılsım-ı kâinat ve muamma-yı hilkat cilvesiyle mevcudatın hikmetlerine ve faydalarına baktım, dedim: “Acaba bu eşya neden böyle kendini gösteriyorlar, çabuk kaybolup gidiyorlar?” Onların şahsına bakıyorum; muntazam, hikmetli giyinmiş, giydirilmiş, süslendirilmiş, sergiye temaşagâha gönderilmiş. Halbuki bir iki günde, belki bir kısmı birkaç dakikada kaybolup faydasız boşu boşuna gidiyorlar. Bu kısa zamanda bize görünmelerinden maksat nedir, diye çok merak ediyordum. O zaman mevcudatın, hususan zîhayatın dünya dershanesine gelmelerinin mühim bir hikmetini lütf-u İlahî ile buldum. O da şudur:

    Her şey, hususan zîhayat, gayet manidar bir kelime, bir mektup, bir kaside-i Rabbanîdir, bir ilanname-i İlahîdir. Umum zîşuurun mütalaasına mazhar olduktan ve hadsiz mütalaacılara manasını ifade ettikten sonra, lafzı ve hurufu hükmündeki suret-i cismaniyesi kaybolur.

    Bir sene kadar bu hikmet bana kâfi geldi. Bir sene sonra masnuatta ve bilhassa zîhayatlarda bulunan çok hârika ve pek ince sanatın mu’cizeleri inkişaf etti. Anladım ki bu çok ince ve çok hârika olan dekaik-ı sanat, yalnız zîşuurların nazarlarına ifade-i mana için değildir. Gerçi her bir mevcudu, hadsiz zîşuurlar mütalaa edebilir. Fakat hem onların mütalaası mahduddur hem de herkes o zîhayatın bütün dekaik-ı sanatına nüfuz edemezler. Demek zîhayatların en mühim netice-i hilkati ve en büyük gaye-i fıtratı, Zat-ı Kayyum-u Ezelî’nin kendi nazarına, kendi acayib-i sanatını ve verdiği rahîmane hediyelerini ve ihsanlarını arz etmektir.

    Bu gaye ise çok zaman bana kanaat verdi ve ondan anladım ki her mevcudda, hususan zîhayatlarda hadsiz dekaik-ı sanat bulunması, Zat-ı Kayyum-u Ezelî’nin nazarına arz etmek, yani Zat-ı Kayyum-u Ezelî kendi sanatını kendisi temaşa etmek olan hikmet-i hilkat, o büyük masarife kâfi geliyordu. Bir zaman sonra gördüm ki mevcudatın şahıslarında ve suretlerindeki dekaik-ı sanat devam etmiyor; gayet süratle tazeleniyor, tebeddül ediyor; nihayetsiz bir faaliyet ve bir hallakıyet içinde tahavvül ediyorlar. Bu hallakıyet ve bu faaliyetin hikmeti elbette o faaliyet derecesinde büyük olmak lâzım geliyor, diye tefekküre başladım. Bu defa mezkûr iki hikmet kâfi gelmemeye başladılar, noksan kaldılar. Gayet merak ile ayrı bir hikmeti aramaya ve taharriye başladım. Bir zaman sonra, lillahi’l-hamd Kur’an-ı Mu’cizü’l-Beyan’ın feyzi ile sırr-ı kayyumiyet noktasında azîm hadsiz bir hikmet, bir gaye göründü. Ve onun ile “tılsım-ı kâinat” ve “muamma-yı hilkat” tabir edilen bir sırr-ı İlahî anlaşıldı. (Yirmi Dördüncü Mektup’ta tafsilen beyan edildiğinden burada yalnız icmalen iki üç noktasını Üçüncü Şuâ’da zikredeceğiz.)

    Evet, sırr-ı kayyumiyetin cilvesine bu noktadan bakınız ki bütün mevcudatı ademden çıkarıp her birisini bu nihayetsiz fezada رَفَعَ السَّمَاءَ بِغَي۟رِ عَمَدٍ تَرَو۟نَهَا sırrıyla durdurup kıyam ve beka verip umumunu böyle sırr-ı kayyumiyetin tecellisine mazhar eyliyor. Eğer bu nokta-i istinad olmazsa hiçbir şey kendi başıyla durmaz. Hadsiz bir boşlukta yuvarlanıp ademe sukut edecek.

    Hem nasıl ki bütün mevcudat, vücudları ve kıyamları ve bekaları cihetinde Kayyum-u Zülcelal’e dayanıyorlar; kıyamları onunladır. Öyle de mevcudatın keyfiyat ve ahvalinde binler silsilelerin; (temsilde hata olmasın) telefon, telgraf silsilelerinin merkezi ve santral direği hükmünde olan sırr-ı kayyumiyette وَ اِلَي۟هِ يُر۟جَعُ ال۟اَم۟رُ كُلُّهُ sırrıyla uçları bağlıdır. Eğer o nurani nokta-i istinada dayanmazlarsa ehl-i akılca muhal ve bâtıl olan binler devirler ve teselsüller lâzım gelecek; belki mevcudat adedince bâtıl olan devirler ve teselsüller lâzım gelir. Mesela, bu şey (hıfz veya nur veya vücud veya rızık gibi) bir cihette buna dayanır, bu da ötekine, o da ona... Gitgide herhalde nihayetsiz olamaz, bir nihayeti bulunacak. İşte, bütün böyle silsilelerin müntehaları, elbette sırr-ı kayyumiyettir. Sırr-ı kayyumiyet anlaşıldıktan sonra o mevhum silsilelerde birbirine dayanmak rabıtası ve manası kalmaz, kalkar; her şey doğrudan doğruya sırr-ı kayyumiyete bakar.

    Üçüncü Şuâ

    كُلَّ يَو۟مٍ هُوَ فٖى شَا۟نٍ ۝ فَعَّالٌ لِمَا يُرٖيدُ ۝ يَخ۟لُقُ مَا يَشَٓاءُ ۝ بِيَدِهٖ مَلَكُوتُ كُلِّ شَى۟ءٍ ۝ فَان۟ظُر۟ اِلٰٓى اٰثَارِ رَح۟مَتِ اللّٰهِ كَي۟فَ يُح۟يِى ال۟اَر۟ضَ بَع۟دَ مَو۟تِهَا gibi âyetlerin işaret ettikleri hallakıyet-i İlahiye ve faaliyet-i Rabbaniye içindeki sırr-ı kayyumiyetin bir derece inkişafına, bir iki mukaddime ile işaret edeceğiz.

    Birincisi: Şu kâinata baktığımız vakit görüyoruz ki zaman seylinde mütemadiyen çalkanan ve kafile kafile arkasından gelip geçen mahlukatın bir kısmı, bir saniyede gelir, der-akab kaybolur. Bir taifesi, bir dakikada gelir, geçer. Bir nev’i, bir saat âlem-i şehadete uğrar, âlem-i gayba girer. Bir kısmı bir günde, bir kısmı bir senede, bir kısmı bir asırda, bir kısmı da asırlarda bu âlem-i şehadete gelip konup vazife görüp gidiyorlar. Bu hayret verici seyahat ve seyeran-ı mevcudat ve sefer ve seyelan-ı mahlukat öyle bir intizam ve mizan ve hikmetle sevk ve idare edilir ve onlara ve o kafilelere kumandanlık eden öyle basîrane, hakîmane, müdebbirane kumandanlık ediyor ki bütün akıllar faraza ittihat edip bir tek akıl olsa o hakîmane idarenin künhüne yetişemez ve kusur bulup tenkit edemez.

    İşte bu hallakıyet-i Rabbaniyenin içinde o sevimli ve sevdiği masnuatın hususan zîhayatların hiçbirine göz açtırmayarak âlem-i gayba gönderiyor, hiçbirine nefes aldırmayarak dünyadaki hayattan terhis ediyor, mütemadiyen bu misafirhane-i âlemi doldurup misafirlerin rızası olmayarak boşaltıyor; kalem-i kaza ve kader, küre-i arzı yazar bozar tahtası gibi yaparak يُح۟يٖى وَ يُمٖيتُ cilveleriyle mütemadiyen küre-i arzda yazılarını yazar ve o yazıları tazelendirir, tebdil eder.

    İşte bu faaliyet-i Rabbaniyenin ve bu hallakıyet-i İlahiyenin bir sırr-ı hikmeti ve esaslı bir muktezîsi ve bir sebeb-i dâîsi, üç mühim şubeye ayrılan hadsiz, nihayetsiz bir hikmettir.

    O hikmetin birinci şubesi şudur ki: Faaliyetin her nev’i cüz’î olsun, küllî olsun bir lezzet verir. Belki her faaliyette bir lezzet var. Belki faaliyet ayn-ı lezzettir. Belki faaliyet, ayn-ı lezzet olan vücudun tezahürüdür ve ayn-ı elem olan ademden tebâud ile silkinmesidir.

    Evet, her kabiliyet sahibi, bir faaliyetle kabiliyetinin inkişafını lezzetle takip eder. Her bir istidadın faaliyetle tezahür etmesi, bir lezzetten gelir ve bir lezzeti netice verir. Her bir kemal sahibi, faaliyetle kemalâtının tezahürünü lezzetle takip eder. Madem her bir faaliyette böyle sevilir, istenilir bir kemal, bir lezzet vardır ve faaliyet dahi bir kemaldir ve madem zîhayat âleminde daimî ve ezelî bir hayattan neş’et eden hadsiz bir muhabbetin, nihayetsiz bir merhametin cilveleri görünüyor ve o cilveler gösteriyor ki kendini böyle sevdiren ve seven ve şefkat edip lütuflarda bulunan zatın kudsiyetine lâyık ve vücub-u vücuduna münasip o hayat-ı sermediyenin muktezası olarak hadsiz derecede (tabirde hata olmasın) bir aşk-ı lahutî, bir muhabbet-i kudsiye, bir lezzet-i mukaddese gibi şuunat-ı kudsiye o Hayat-ı Akdes’te var ki o şuunat böyle hadsiz faaliyetle ve nihayetsiz bir hallakıyetle kâinatı daima tazelendiriyor, çalkalandırıyor, değiştiriyor.

    Sırr-ı kayyumiyete bakan hadsiz faaliyet-i İlahiyedeki hikmetin ikinci şubesi: Esma-i İlahiyeye bakar. Malûmdur ki her bir cemal sahibi, kendi cemalini görmek ve göstermek ister; her bir hüner sahibi, kendi hünerini teşhir ve ilan etmekle nazar-ı dikkati celbetmek ister ve sever. Ve hüneri gizli kalmış bir güzel hakikat ve güzel bir mana, meydana çıkmak ve müşterileri bulmak ister ve sever. Madem bu esaslı kaideler, her şeyde derecesine göre cereyan ediyor; elbette Cemil-i Mutlak olan Zat-ı Kayyum-u Zülcelal’in bin bir esma-i hüsnasından her bir ismin, kâinatın şehadetiyle ve cilvelerinin delâletiyle ve nakışlarının işaretiyle, her birisinin her bir mertebesinde hakiki bir hüsün, hakiki bir kemal, hakiki bir cemal ve gayet güzel bir hakikat, belki her bir ismin her bir mertebesinde hadsiz enva-ı hüsünle hadsiz hakaik-i cemile vardır.

    Madem bu esmanın kudsî cemallerini irae eden âyineleri ve güzel nakışlarını gösteren levhaları ve güzel hakikatlerini ifade eden sahifeleri, bu mevcudattır ve bu kâinattır. Elbette o daimî ve bâki esma, hadsiz cilvelerini ve nihayetsiz manidar nakışlarını ve kitaplarını; hem müsemmaları olan Zat-ı Kayyum-u Zülcelal’in nazar-ı müşahedesine, hem hadd ü hesaba gelmeyen zîruh ve zîşuur mahlukatın nazar-ı mütalaasına göstermek ve nihayetli mahdud bir şeyden nihayetsiz levhaları ve bir tek şahıstan pek çok şahısları ve bir hakikatten pek kesretli hakikatleri göstermek için o aşk-ı mukaddes-i İlahîye istinaden ve o sırr-ı kayyumiyete binaen, kâinatı umumen ve mütemadiyen cilveleriyle tazelendiriyorlar, değiştiriyorlar.

    Dördüncü Şuâ

    Kâinattaki hayret-nüma faaliyet-i daimenin hikmetinin üçüncü şubesi şudur ki: Her bir merhamet sahibi, başkasını memnun etmekten mesrur olur. Her bir şefkat sahibi, başkasını mesrur etmekten memnun olur. Her bir muhabbet sahibi, sevindirmeye lâyık mahlukları sevindirmekle sevinir. Her bir âlîcenab zat, başkasını mesud etmekle lezzet alır. Her bir âdil zat, ihkak-ı hak etmek ve müstahaklara ceza vermekte hukuk sahiplerini minnettar etmekle keyiflenir. Hüner sahibi her bir sanatkâr, sanatını teşhir etmekle ve sanatının tasavvur ettiği tarzda işlemesiyle ve istediği neticeleri vermesiyle iftihar eder.

    İşte bu mezkûr düsturların her biri birer kaide-i esasiyedir ki kâinatta ve âlem-i insaniyette cereyan ediyorlar. Bu kaidelerin esma-i İlahiyede cereyan ettiklerini gösteren üç misal, Otuz İkinci Söz’ün İkinci Mevkıfı’nda izah edilmiştir. Bir hülâsası bu makamda yazılması münasip olduğundan deriz:

    Nasıl ki mesela, gayet merhametli, sehavetli, gayet kerîm âlîcenab bir zat, fıtratındaki âlî seciyelerin muktezasıyla büyük bir seyahat gemisine, çok muhtaç ve fakir insanları bindirip gayet mükemmel ziyafetlerle, ikramlarla o muhtaç fakirleri memnun ederek denizlerde arzın etrafında gezdirir ve kendisi de onların üstünde, onları mesrurane temaşa ederek o muhtaçların minnettarlıklarından lezzet alır ve onların telezzüzlerinden mesrur olur ve onların keyiflerinden sevinir, iftihar eder.

    Madem böyle bir tevziat memuru hükmünde olan bir insan, böyle cüz’î bir ziyafet vermekten bu derece memnun ve mesrur olursa elbette bütün hayvanları ve insanları ve hadsiz melekleri ve cinleri ve ruhları, bir sefine-i Rahmanî olan küre-i arz gemisine bindirerek rûy-i zemini, enva-ı mat’umatla ve bütün duyguların ezvak ve erzakıyla doldurulmuş bir sofra-i Rabbaniye şeklinde onlara açmak ve o muhtaç ve müteşekkir ve minnettar ve mesrur mahlukatını aktar-ı kâinatta seyahat ettirmekle ve bu dünyada bu kadar ikramlarla onları mesrur etmekle beraber, dâr-ı bekada cennetlerinden her birini ziyafet-i daime için birer sofra yapan Zat-ı Hayy-ı Kayyum’a ait olarak o mahlukatın teşekkürlerinden ve minnettarlıklarından ve mesruriyetlerinden ve sevinçlerinden gelen ve tabirinde âciz olduğumuz ve mezun olmadığımız şuunat-ı İlahiyeyi “memnuniyet-i mukaddese” “iftihar-ı kudsî” ve “lezzet-i mukaddese” gibi isimlerle işaret edilen maânî-i rububiyettir ki bu daimî faaliyeti ve mütemadî hallakıyeti iktiza eder.

    Hem mesela, bir mahir sanatkâr, plaksız bir fonoğraf yapsa o fonoğraf istediği gibi konuşsa, işlese sanatkârı ne kadar müftehir olur, mütelezziz olur; kendi kendine “Mâşâallah” der. Madem icadsız ve surî bir küçük sanat, sanatkârının ruhunda bu derece bir iftihar, bir memnuniyet hissi uyandırırsa elbette bu mevcudatın Sâni’-i Hakîm’i, kâinatın mecmuunu, hadsiz nağmelerin envaıyla sadâ veren ve ses verip tesbih eden ve zikredip konuşan bir musikî-i İlahiye ve bir fabrika-i acibe yapmakla beraber, kâinatın her bir nevini, her bir âlemini ayrı bir sanatla ve ayrı sanat mu’cizeleriyle göstererek zîhayatların kafalarında birer fonoğraf, birer fotoğraf, birer telgraf gibi çok makineleri, hattâ en küçük bir kafada dahi yapmakla beraber her bir insan kafasına, değil yalnız plaksız fonoğraf, birer âyinesiz fotoğraf, bir telsiz telgraf, belki bunlardan yirmi defa daha hârika, her insanın kafasında öyle bir makineyi yapmaktan ve istediği tarzda işleyip neticeleri vermekten gelen iftihar-ı kudsî ve memnuniyet-i mukaddese gibi manaları ve rububiyetin bu nevinden olan ulvi şuunatı, elbette ve herhalde bu faaliyet-i daimeyi istilzam eder.

    Hem mesela, bir hükümdar-ı âdil, ihkak-ı hak için mazlumların hakkını zalimlerden almakla ve fakirleri kavîlerin şerrinden muhafaza etmekle ve herkese müstahak olduğu hakkı vermekle lezzet alması, iftihar etmesi, memnun olması hükümdarlığın ve adaletin bir kaide-i esasiyesi olduğundan elbette Hâkim-i Hakîm, Adl-i Âdil olan Zat-ı Hayy-ı Kayyum’un bütün mahlukatına, hususan zîhayatlara “hukuk-u hayat” tabir edilen şerait-i hayatiyeyi vermekle ve hayatlarını muhafaza için onlara cihazat ihsan etmekle ve zayıfları kavîlerin şerrinden rahîmane himaye etmekle ve umum zîhayatlarda bu dünyada ihkak-ı hak etmek nev’i tamamen ve haksızlara ceza vermek nev’i ise kısmen sırr-ı adaletin icrasından olmakla ve bilhassa mahkeme-i kübra-yı haşirde adalet-i ekberin tecellisinden hasıl olan ve tabirinde âciz olduğumuz şuunat-ı Rabbaniye ve maânî-i kudsiyedir ki kâinatta bu faaliyet-i daimeyi iktiza ediyor.

    İşte bu üç misal gibi esma-i hüsnanın umumunda, her birisi bu faaliyet-i daimede böyle kudsî bazı şuunat-ı İlahiyeye medar olduklarından hallakıyet-i daimeyi iktiza ederler.

    Hem madem her kabiliyet, her bir istidat, inbisat ve inkişaf edip semere vermekle bir ferahlık, bir genişlik, bir lezzet verir. Hem madem her vazifedar, vazifesini yapmak ve bitirmekle, vazifesinden terhisinde büyük bir rahatlık, bir memnuniyet hisseder. Ve madem bir tek tohumdan birçok meyveleri almak ve bir dirhemden yüz dirhem kâr kazanmak, sahiplerine çok sevinçli bir halettir, bir ticarettir. Elbette bütün mahlukattaki hadsiz istidatları inkişaf ettiren ve bütün mahlukatını kıymettar vazifelerde istihdam ettikten sonra terakkivari terhis ettiren, yani unsurları, madenler mertebesine; madenleri, nebatlar hayatına; nebatları, rızık vasıtasıyla hayvanların derece-i hayatına; ve hayvanları insanların şuurkârane olan yüksek hayatına çıkarıyor.

    İşte her bir zîhayatın zâhirî bir vücudunun zevaliyle (Yirmi Dördüncü Mektup’ta izah edildiği gibi) ruhu, mahiyeti, hüviyeti, sureti gibi pek çok vücudlarını arkasında bıraktıran ve yerinde vazife başına geçiren faaliyet-i daime ve hallakıyet-i Rabbaniyeden neş’et eden maânî-i kudsiyenin ve rububiyet-i İlahiyenin ne kadar ehemmiyetli oldukları anlaşılır.

    Mühim bir suale kat’î bir cevap

    Ehl-i dalaletten bir kısmı diyorlar ki: “Kâinatı bir faaliyet-i daime ile tağyir ve tebdil eden zatın, elbette kendisinin de mütegayyir ve mütehavvil olması lâzım gelir.”

    Elcevap: Hâşâ yüz bin defa hâşâ! Yerdeki âyinelerin tagayyürü, gökteki güneşin tagayyürünü değil, bilakis cilvelerinin tazelendiğini gösterir. Hem ezelî, ebedî, sermedî, her cihetçe kemal-i mutlakta ve istiğna-yı mutlakta, maddeden mücerred, mekândan, kayıttan, imkândan münezzeh, müberra, muallâ olan bir Zat-ı Akdes’in tagayyürü ve tebeddülü muhaldir. Kâinatın tagayyürü, onun tagayyürüne değil, belki adem-i tagayyürüne ve gayr-ı mütehavvil olduğuna delildir. Çünkü müteaddid şeyleri intizamla daimî tağyir ve tahrik eden bir zat, mütegayyir olmamak ve hareket etmemek lâzım gelir. Mesela, sen çok iplerle bağlı çok gülleleri ve topları çevirdiğin ve daimî intizamla tahrik edip vaziyetler verdiğin vakit, senin yerinde durup tagayyür ve hareket etmemekliğin gerektir. Yoksa o intizamı bozacaksın.

    Meşhurdur ki intizamla tahrik eden, hareket etmemek ve devam ile tağyir eden, mütegayyir olmamak gerektir; tâ ki o iş intizamla devam etsin.

    Sâniyen: Tagayyür ve tebeddül, hudûstan ve tekemmül etmek için tazelenmekten ve ihtiyaçtan ve maddîlikten ve imkândan ileri geliyor. Zat-ı Akdes ise hem kadîm hem her cihetçe kemal-i mutlakta hem istiğna-yı mutlakta hem maddeden mücerred hem Vâcibü’l-vücud olduğundan elbette tagayyür ve tebeddülü muhaldir, mümkün değildir.

    Beşinci Şuâ

    İki meseledir:

    Birinci Meselesi: İsm-i Kayyum’un cilve-i a’zamını görmek istersek hayalimizi bütün kâinatı temaşa edecek; biri, en uzak şeyleri; diğeri, en küçük zerreleri gösterecek iki dürbün yapıp birinci dürbünle bakıyoruz, görüyoruz ki ism-i Kayyum’un cilvesiyle küre-i arzdan bin defa büyük milyonlar küreler, yıldızlar, direksiz olarak havadan daha latîf olan madde-i esîriye içinde kısmen durdurulmuş, kısmen vazife için seyahat ettiriliyor.

    Sonra o hayalin hurdebîni olan ikinci dürbünüyle küçük zerratı görecek bir suretle bakıyoruz. O sırr-ı kayyumiyetle zîhayat mahlukat-ı arziyenin her birinin zerrat-ı vücudiyeleri, yıldızlar gibi muntazam bir vaziyet alıp hareket ediyorlar ve vazifeler görüyorlar. Hususan zîhayatın kanındaki “küreyvat-ı hamra ve beyza” tabir ettikleri zerrelerden teşekkül eden küçücük kütleleri, seyyar yıldızlar gibi mevlevîvari iki hareket-i muntazama ile hareket ediyorlar görüyoruz.

    Bir hülâsatü’l-hülâsa: (Hâşiye[6])

    İsm-i a’zamın altı ismi, ziyadaki yedi renk gibi imtizaç ederek teşkil ettikleri ziya-yı kudsiyeye bakmak için bir hülâsanın zikri münasiptir. Şöyle ki:

    Bütün kâinatın mevcudatını böyle durduran, beka ve kıyam veren ism-i Kayyum’un bu cilve-i a’zamının arkasından bak: İsm-i Hayy’ın cilve-i a’zamı, o bütün mevcudat-ı zîhayatı cilvesiyle şulelendirmiş, kâinatı nurlandırmış, bütün zîhayat mevcudatı cilvesiyle yaldızlıyor.

    Şimdi bak: İsm-i Hayy’ın arkasında ism-i Ferd’in cilve-i a’zamı, bütün kâinatı envaıyla, eczasıyla bir vahdet içine alıyor; her şeyin alnına bir sikke-i vahdet koyuyor; her şeyin yüzüne bir hâtem-i ehadiyet basıyor; nihayetsiz ve hadsiz dillerle cilvesini ilan ettiriyor.

    Şimdi ism-i Ferd’in arkasından ism-i Hakem’in cilve-i a’zamına bak ki yıldızlardan zerrelere kadar, hayalin iki dürbünüyle temaşa ettiğimiz mevcudatın her birisini, cüz’î olsun, küllî olsun, en büyük daireden en küçük daireye kadar, her birine lâyık ve münasip olarak meyvedar bir nizam ve hikmetli bir intizam ve semeredar bir insicam içine almış, bütün mevcudatı süslendirmiş, yaldızlandırmış.

    Sonra ism-i Hakem’in cilve-i a’zamı arkasından bak ki ism-i Adl’in cilve-i a’zamıyla (İkinci Nükte’de izah edildiği vechile) bütün kâinatı mevcudatıyla, faaliyet-i daime içinde öyle hayret-engiz mizanlarla, ölçülerle, tartılarla idare eder ki ecram-ı semaviyeden biri, bir saniye de muvazenesini kaybetse yani ism-i Adl’in cilvesi altından çıksa yıldızlar içinde bir herc ü merce, bir kıyamet kopmasına sebebiyet verecek. İşte bütün mevcudatın daire-i a’zamı, Kehkeşan’dan yani Samanyolu tabir edilen mıntıka-i kübradan tut tâ kan içindeki küreyvat-ı hamra ve beyzanın daire-i hareketlerine kadar her bir dairesini, her bir mevcudunu hassas bir mizan, bir ölçü ile biçilmiş bir şekil ve bir vaziyetle baştan başa yıldızlar ordusundan tâ zerreler ordusuna kadar bütün mevcudatın “Emr-i kün feyekûn”den gelen emirlere kemal-i musahhariyetle itaat ettiklerini gösteriyor.

    Şimdi ism-i Adl’in cilve-i a’zamı arkasından (Birinci Nükte’de izah edildiği gibi) ism-i Kuddüs’ün cilve-i a’zamına bak ki kâinatın bütün mevcudatını öyle temiz, pâk, safi, güzel, süslü, berrak yapar gösterir ki bütün kâinata ve bütün mevcudata Cemil-i Mutlak’ın hadsiz derecede cemal-i zatîsine lâyık ve nihayetsiz güzel olan esma-i hüsnasına münasip olacak güzel âyineler şeklini vermiştir.

    Elhasıl: İsm-i a’zamın bu altı ismi ve altı nuru, kâinatı ve mevcudatı ayrı ayrı güzel renklerde, çeşit çeşit nakışlarda, başka başka ziynetlerde bulunan yaldızlı perdeler içinde mevcudatı sarmıştır.

    Beşinci Şuâ’nın İkinci Meselesi: Kâinata tecelli eden kayyumiyetin cilvesi, vâhidiyet ve celal noktasında olduğu gibi, kâinatın merkezi ve medarı ve zîşuur meyvesi olan insanda dahi kayyumiyetin cilvesi ehadiyet ve cemal noktasında tezahürü var. Yani nasıl ki kâinat sırr-ı kayyumiyetle kaimdir öyle de ism-i Kayyum’un mazhar-ı ekmeli olan insan ile bir cihette kâinat kıyam bulur; yani kâinatın ekser hikmetleri, maslahatları, gayeleri insana baktığı için güya insandaki cilve-i kayyumiyet, kâinata bir direktir. Evet Zat-ı Hayy-ı Kayyum, bu kâinatta insanı irade etmiş ve kâinatı onun için yaratmış, denilebilir. Çünkü insan, câmiiyet-i tamme ile bütün esma-i İlahiyeyi anlar, zevk eder. Hususan rızıktaki zevk cihetiyle pek çok esma-i hüsnayı anlar. Halbuki melâikeler, onları o zevk ile bilemezler.

    İşte insanın bu ehemmiyetli câmiiyetidir ki: Zat-ı Hayy-ı Kayyum, insana bütün esmasını ihsas etmek ve bütün enva-ı ihsanatını tattırmak için öyle iştihalı bir mide vermiş ki o midenin geniş sofrasını hadsiz enva-ı mat’umatıyla kerîmane doldurmuş.

    Hem bu maddî mide gibi hayatı da bir mide yapmış. O hayat midesine duygular, eller hükmünde gayet geniş bir sofra-i nimet açmış. O hayat ise duyguları vasıtasıyla o sofra-i nimetten her çeşit istifadeler ile teşekküratın her nevini yapar.

    Ve bu hayat midesinden sonra bir insaniyet midesini vermiş ki o mide, hayattan daha geniş bir dairede rızık ve nimet ister. Akıl ve fikir ve hayal, o midenin elleri hükmünde, semavat ve zemin genişliğinde, o sofra-i rahmetten istifade edip şükreder.

    Ve insaniyet midesinden sonra hadsiz geniş diğer bir sofra-i nimet açmak için İslâmiyet ve iman akidelerini, çok rızık ister bir manevî mide hükmüne getirip onun rızık sofrasının dairesini mümkinat dairesinin haricinde genişletip esma-i İlahiyeyi de içine alır kılmıştır ki o mide ile ism-i Rahman’ı ve ism-i Hakîm’i en büyük bir zevk-i rızkî ile hisseder.

    اَل۟حَم۟دُ لِلّٰهِ عَلٰى رَح۟مَانِيَّتِهٖ وَ عَلٰى حَكٖيمِيَّتِهٖ der ve hâkeza bu manevî mide-i kübra ile hadsiz nimet-i İlahiyeden istifade edebilir ve bilhassa o midedeki muhabbet-i İlahiye zevkinin daha başka bir dairesi var.

    İşte Zat-ı Hayy-ı Kayyum, insanı bütün kâinata bir merkez, bir medar yaparak kâinat kadar geniş bir sofra-i nimet insana açtığının ve kâinatı insana musahhar ettiğinin ve kâinatın insan ile mazhar olduğu sırr-ı kayyumiyetle bir cihette kaim olduğunun hikmeti ise insanın mühim üç vazifesidir:

    Birincisi: Kâinatta münteşir bütün enva-ı nimeti insanla tanzim etmek… Ve insanın menfaati ipiyle tesbih taneleri gibi tanzim eder, nimetlerin iplerinin uçlarını insanın başına bağlar, rahmet hazinelerinin umum çeşitlerine insanı bir liste hükmüne getirir.

    İkinci Vazifesi: Zat-ı Hayy-ı Kayyum’un hitabatına, insan câmiiyeti haysiyetiyle en mükemmel muhatap olmak ve hayretkârane sanatlarını takdir ve tahsin etmekle en yüksek sesli bir dellâl olmak ve şuurdarane teşekküratın bütün envaıyla bütün enva-ı nimetine ve çeşit çeşit hadsiz ihsanatına şükür ve hamd ü sena etmektir.

    Üçüncü Vazifesi: Hayatı ile üç cihetle Zat-ı Hayy-ı Kayyum’a ve şuunatına ve sıfât-ı muhitasına âyinedarlık etmektir.

    Birinci Vecih: İnsan, kendi acz-i mutlakıyla Hâlık’ının kudret-i mutlakasını ve derecatını; ve aczin dereceleriyle kudretin mertebelerini hissetmektir. Ve fakr-ı mutlakıyla rahmetini ve rahmetinin derecelerini idrak etmek ve zaafıyla onun kuvvetini anlamaktır. Ve hâkeza noksan sıfatlarıyla Hâlık’ının evsaf-ı kemaline mikyasvari âyine olmak. Gecede nurun daha ziyade parlamasına nazaran, gece zulmetinin elektrik lambalarını göstermeye mükemmel bir âyine olduğu gibi insan dahi böyle nâkıs sıfatlarıyla kemalât-ı İlahiyeye âyinedarlık eder.

    İkinci Vecih: İnsan, cüz’î iradesiyle ve azıcık ilmiyle ve küçücük kudretiyle ve zâhirî mâlikiyetiyle ve hanesini bina etmesiyle, bu kâinat ustasının mâlikiyetini ve sanatını ve iradesini ve kudretini ve ilmini, kâinatın büyüklüğü nisbetinde anlar, âyinedarlık eder.

    Üçüncü Vecih’teki âyinedarlığın iki yüzü var:

    Birisi, esma-i İlahiyenin ayrı ayrı nakışlarını kendinde göstermektir. Âdeta insan, câmiiyetiyle kâinatın küçük bir fihristesi ve bir misal-i musağğarası hükmünde olup umum esmanın nakışlarını gösteriyor.

    İkinci yüzü, şuunat-ı İlahiyeye âyinedarlık eder. Yani kendi hayatıyla Zat-ı Hayy-ı Kayyum’un hayatına işaret ettiği gibi kendi hayatında inkişaf eden sem’ ve basar gibi duyguların vasıtasıyla, Zat-ı Hayy-ı Kayyum’un sem’ ve basar gibi sıfatlarına âyinedarlık eder, bildirir. Hem insan, hayatında bulunan ve inkişaf etmeyen ve his ve hassasiyet suretinde galeyan eden ve kesretli bir surette olan çok ince hayatî duygular, manalar ve hisler vasıtasıyla, Zat-ı Hayy-ı Kayyum’un şuunat-ı kudsiyesine âyinedarlık eder. Mesela, o hassasiyet içinde sevmek, iftihar etmek, memnun olmak, mesrur olmak, müferrah olmak gibi manalar ile Zat-ı Akdes’in kudsiyetine ve gına-yı mutlakına münasip ve lâyık olmak şartıyla, o neviden olan şuunatına âyinedarlık eder.

    Hem insan, nasıl ki hayat-ı câmiasıyla Zat-ı Zülcelal’in sıfât ve şuunatına bir mikyas-ı marifettir ve cilve-i esmasına bir fihristedir ve şuurlu bir âyinedir ve hâkeza çok cihetlerle Zat-ı Hayy-ı Kayyum’a âyinedarlık eder. Öyle de insan, şu kâinatın hakaiklerine bir vâhid-i kıyasîdir, bir fihristedir, bir mikyastır ve bir mizandır.

    Mesela, kâinatta Levh-i Mahfuz’un gayet kat’î bir delil-i vücudu ve bir numunesi, insandaki kuvve-i hâfızadır ve âlem-i misalin vücuduna kat’î delil ve numune, kuvve-i hayaliyedir (Hâşiye[7]) ve kâinattaki ruhanîlerin bir delil-i vücudu ve numunesi, insandaki kuvvelerdir ve latîfelerdir ve hâkeza… İnsan, küçük bir mikyasta, kâinattaki hakaik-i imaniyeyi şuhud derecesinde gösterebilir.

    İşte insanın mezkûr vazifeler gibi çok mühim hizmetleri var. Cemal-i bâkiye âyinedir, kemal-i sermedîye dellâl-ı mazhardır ve rahmet-i ebediyeye muhtac-ı müteşekkirdir. Madem cemal, kemal, rahmet bâkidirler ve sermedîdirler; elbette o cemal-i bâkinin âyine-i müştakı ve o kemal-i sermedînin dellâl-ı âşığı ve o rahmet-i ebediyenin muhtac-ı müteşekkiri olan insan, bâki kalmak için bir dâr-ı bekaya girecek ve o bâkilere refakat için ebede gidecek ve o ebedî cemal ve o sermedî kemal ve daimî rahmete, ebedü’l-âbâdda refakat etmek gerektir, lâzımdır.

    Çünkü ebedî bir cemal, fâni bir müştaka ve zâil bir dosta razı olmaz. Çünkü cemal, kendini sevdiği için sevmesine mukabil muhabbet ister. Zeval ve fena ise o muhabbeti adâvete kalbeder, çevirir.

    Eğer insan ebede gidip bâki kalmazsa fıtratındaki cemal-i sermedîye karşı olan esaslı muhabbet yerine adâvet bulunacaktır. Onuncu Söz’ün hâşiyesinde beyan edildiği gibi bir zaman bir dünya güzeli, bir âşığını huzurundan çıkarıyor. O adamdaki aşk, birden adâvete dönüyor ve diyor ki: “Tuh! Ne kadar çirkindir.” diyerek kendine teselli vermek için cemalinden küsüyor, cemalini inkâr ediyor. Evet, insan bilmediği şeye düşman olduğu gibi, eli yetişmediği veyahut tutamadığı şeylerin adâvetkârane kusurlarını arar, âdeta düşmanlık etmek ister.

    Madem bütün kâinatın şehadetiyle Mahbub-u Hakiki ve Cemil-i Mutlak, bütün güzel esma-i hüsnasıyla kendini insana sevdiriyor ve insanların kendini sevmelerini istiyor; elbette ve herhalde, kendisinin hem mahbubu, hem habibi olan insana fıtrî bir adâveti verip derinden derine kendinden küstürmeyecek ve fıtraten en ziyade sevimli ve muhabbetli ve perestiş için yarattığı en müstesna mahluku olan insanın fıtratına bütün bütün zıt olarak bir gizli adâveti, insanın ruhuna vermeyecek.

    Çünkü insan, sevdiği ve kıymetini takdir ettiği bir Cemal-i Mutlak’tan ebedî ayrılmaktan gelen derin yarasını; ancak ona adâvetle, ondan küsmekle ve onu inkâr etmekle tedavi edebilir. İşte kâfirlerin Allah’ın düşmanı olması, bu noktadan ileri geliyor. Öyle ise herhalde o Cemal-i Ezelî, kendisinin âyine-i müştakı olan insan ile ebedü’l-âbâd yolunda seyahatinde beraber bulunmak için alâküllihal bir dâr-ı bekada bir hayat-ı bâkiyeye insanı mazhar edecek.

    Evet, madem insan fıtraten bir Cemal-i Bâki’ye müştak ve muhib bir surette halk edilmiştir. Ve madem bâki bir cemal, zâil bir müştaka razı olamaz. Ve madem insan bilmediği veya yetişemediği veya tutamadığı bir maksuddan gelen hüzün ve elemden teselli bulmak için, o maksudun kusurunu bulmakla, belki gizli adâvet etmekle kendini teskin eder. Ve madem bu kâinat, insan için halk edilmiş ve insan ise marifet ve muhabbet-i İlahiye için yaratılmış. Ve madem bu kâinatın Hâlık’ı, esmasıyla sermedîdir. Ve madem esmalarının cilveleri daim ve bâki ve ebedî olacaktır; elbette ve herhalde insan, bir dâr-ı bekaya gidecek ve bir hayat-ı bâkiyeye mazhar olacaktır.

    Ve insanın kıymetini ve vazifelerini ve kemalâtını bildiren rehber-i a’zam ve insan-ı ekmel olan Muhammed-i Arabî aleyhissalâtü vesselâm, insana dair beyan ettiğimiz bütün kemalâtı ve vazifeleri en ekmel bir surette kendinde ve dininde göstermesiyle gösteriyor ki nasıl kâinat, insan için yaratılmış ve kâinattan maksud ve müntehab insandır; öyle de insandan dahi en büyük maksud ve en kıymettar müntehab ve en parlak âyine-i Ehad ve Samed, elbette Ahmed-i Muhammed’dir.

    عَلَي۟هِ وَ عَلٰى اٰلِهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ بِعَدَدِ حَسَنَاتِ اُمَّتِهٖ

    يَا اَللّٰهُ يَا رَح۟مٰنُ يَا رَحٖيمُ يَا فَر۟دُ يَا حَىُّ يَا قَيُّومُ يَا حَكَمُ يَا عَد۟لُ يَا قُدُّوسُ

    نَس۟ئَلُكَ بِحَقِّ فُر۟قَانِكَ ال۟حَكٖيمِ وَ بِحُر۟مَةِ حَبٖيبِكَ ال۟اَك۟رَمِ وَ بِحَقِّ اَس۟مَائِكَ ال۟حُس۟نٰى وَ بِحُر۟مَةِ اِس۟مِكَ ال۟اَع۟ظَمِ اِح۟فَظ۟نَا مِن۟ شَرِّ النَّف۟سِ وَ الشَّي۟طَانِ وَ مِن۟ شَرِّ ال۟جِنِّ وَ ال۟اِن۟سَانِ اٰمٖينَ

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ


    1. *Harus dicantumkan bahwa moral yang buruk, keyakinan yang batil, dosa dan kesalahan, serta bid’ah merupakan kotoran-kotoran maknawi—Penulis.
    2. *Ada banyak hadis yang terkait dengan hal ini. Lihat: Muslim, ath-Thaharah, 1; at-Tirmidzi, ad-Da’awât, 87; ad-Dârimi, al-Wudhû, 2; Ibnu Hibbân, ash-Shahîh, 12/294; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 5/342, 344; ath-Thabrâni, al-Mu’jam al-Kabîr, 3/284; dan al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, 1/45.
    3. *Kalau dihitung berapa jumlah bahan bakan dan minyak yang dibutuhkan oleh matahari agar bersinar, maka menurut para ahli astronomi ia membutuhkan bahan bakar sebanyak satu juta kali besar bola bumi, serta membutuhkan minyak sebanyak ribuan kali lautan. Dari sini perhatikanlah keagungan Sang Pencipta Yang Mahaagung yang telah menyalakan lentera alam ini tanpa bahan bakar dan minyak. Dia terus me- nyalakannya tanpa pernah berhenti. Renungkanlah kebijaksanaan dan kekuasaan Allah yang luas dan ucapkan subhanallah, masya Allah, dan barakallah sebanyak jumlah atom matahari—Penulis.
    4. *Bahkan tauhid itu sendiri merupakan bukti yang jelas dan dalil paling ce- merlang yang menunjukkan kesempurnaan dan keindahan ilahi. Sebab, jika pencipta alam ini diketahui hanya satu, maka seluruh kesempurnaan dan keindahan yang tampak di alam wujud ini akan disadari sebagai bayangan manifestasi dan perlambang berbagai keindahan milik Dzat Yang telah menciptakan kesempurnaan dan keindahan tadi. Jika tidak, kesempurnaan dan berbagai macam keindahan yang ada dikembalikan kepada sebab-sebab yang sebetulnya tidak memiliki perasaan dan kepada makhluk yang lemah. Saat itulah manusia akan bingung melihat segala kesempurnaan dan keindahan yang ada. Sebab, ia telah kehilangan kunci perbendaharaan yang kekal itu—Penulis.
    5. Hâşiye: Bu risaleyi okuyan eğer mütefennin değilse, Birinci Şuâ’yı okumasın veya âhirde okusun; İkinci’den başlasın.
    6. Hâşiye: Otuzuncu Lem’a’nın altı risaleciğinin esası ve mevzuu ve ism-i a’zamın sırrını taşıyan altı mukaddes isimlerin gayet kısa bir hülâsalarıdır.
    7. Hâşiye: Evet, nasıl ki insanın anâsırları, kâinatın unsurlarından; ve kemikleri, taş ve kayalarından; ve saçları, nebat ve eşcarından; ve bedeninde cereyan eden kan ve gözünden, kulağından, burnundan ve ağzından akan ayrı ayrı suları, Arzın çeşmelerinden ve madenî sularından haber veriyorlar, delâlet edip onlara işaret ediyorlar. Aynen öyle de insanın ruhu, âlem-i ervahtan ve hâfızaları, Levh-i Mahfuz’dan ve kuvve-i hayaliyeleri, âlem-i misalden ve hâkeza her bir cihazı bir âlemden haber veriyorlar ve onların vücudlarına kat’î şehadet ederler.