SURAT KEENAM BELAS

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    12.53, 6 Ocak 2025 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 201288 numaralı sürüm ("------ <center> SURAT KELIMA BELAS ⇐ | Al-Maktûbât | ⇒ SURAT KETUJUH BELAS </center> ------" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
    (fark) ← Önceki sürüm | Güncel sürüm (fark) | Sonraki sürüm → (fark)
    Diğer diller:

    (Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kalian. Karena itu, takutlah kepada mereka!” Perkataan itu justru menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi penolong Kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung.”(QS. Ali Imran [3]: 173).Surat ini mendapatkan rahasia ayat yang berbunyi:

    “Maka berbicaralah kalian berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut!” (QS. Thâhâ 20: 44), sehingga tidak ditulis dengan redaksi yang keras.

    Ia adalah jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh banyak orang secara tersurat maupun tersirat.

    Aku sama sekali tidak ingin menuliskan jawaban ini. Aku telah menyerahkan urusanku kepada Allah. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal. Akan tetapi, aku tidak dibiarkan merasa nyaman sendiri. Mereka mengalihkan perhatianku kepada dunia ini. Karena itu, aku terpaksa berkata lewat lisan “Said Lama”, bukan lewat lisan “Said Baru.” Hal itu bukan untuk menyelamatkan diriku pribadi, tetapi untuk menyelamatkan teman-temanku dan al-Kalimât dari berbagai syubhat yang dilontarkan oleh para penguasa dunia dan orang-orang yang menyakiti mereka. Akan kuceritakan kondisiku yang sebenarnya kepada teman-teman, para penguasa, dan para pejabat pemerin- tahan. Hal itu terangkum dalam lima poin:

    Poin Pertama

    Pertanyaan:Mengapa Anda meninggalkan pentas politik dan sama sekali tidak mau mendekatinya?

    Jawaban:“Said Lama” sudah pernah terjun dalam pentas politik sekitar sepuluh tahun yang lalu dengan harapan bisa berkhidmah pada agama dan ilmu lewat jalur politik. Sayangnya, usaha tersebut hanya sia-sia. Pasalnya, jalur tersebut tampak memiliki banyak prob- lem dan masih diragukan. Bagiku, terjun di dalamnya ibarat melakukan sesuatu yang kurang berguna. Ia membuatku tak bisa menunaikan tugas yang lebih penting dan lebih wajib. Ia juga berbahaya. Sebagian besarnya menipu dan dusta. Sangat mungkin seseorang menjadi alat di tangan orang asing tanpa ia sadari.

    Orang yang terjun dalam dunia politik bisa menjadi pendukung atau bisa pula menjadi oposisi. Jika aku termasuk pendukung, maka terjun di dalamnya bagiku hanya menghabiskan waktu dan tidak berguna. Sebab, aku bukan aparat pemerintah dan bukan pula wakil di parlemen. Dalam kondisi demikian, tidak ada artinya bagiku aktif dalam persoalan politik. Mereka tidak membutuhkan campur tanganku. Sementara jika aku termasuk dalam barisan oposisi yang menentang pemerintah, berarti aku harus terlibat lewat pemikiran atau lewat kekuatan. Jika lewat pemikiran, akupun tidak dibutuhkan karena persoalannya sangat jelas. Semua orang sudah mengetahui. Jadi, tidak perlu melakukan sesuatu yang sia-sia. Sementara jika dengan kekuatan, yaitu sikap opisisinya ditunjukkan dengan memun- culkan sejumlah problem guna mencapai tujuan yang masih diragu- kan. Hal itu membuka peluang untuk melakukan ribuan dosa. Sebab, banyak orang mendapat bencana lantaran kesalahan satu orang. Hati nuraniku tidak rela melakukan dosa dan menggiring orang-orang tak bersalah ke dalamnya hanya karena satu atau dua kemungkinan dari sepuluh kemungkinan yang ada. Karena itu, “Said Lama” meninggalkan pentas politik dan berbagai pertemuannya, serta tidak lagi mem- baca koran dan merokok.

    Bukti jujur atas semua ini adalah bahwa sejak delapan tahun aku tidak pernah membaca satu koran pun dan tidak pernah menyimaknya dari siapapun. Silahkan tunjukkan kalau memang ada bukti bahwa aku pernah membaca atau menyimak koran dari siapapun. Padahal, delapan tahun yang lalu “Said Lama” telah membaca sekitar delapan koran setiap hari.

    Selain itu, sejak lima tahun, kondisiku terus diawasi dengan ketat. Silahkan buktikan kalau memang ada orang yang melihat keterlibatanku dengan politik. Padahal, orang yang sensitif sepertiku, yang tidak memiliki relasi dengan siapapun, dan yang melihat tipu muslihat terbaik adalah dengan meninggalkan semua tipu daya se- suai dengan ungkapan:Meninggalkan semua siasat adalah siasat.Maka orang yang semacamku ini tidak mungkin bisa menyembunyikan pemikirannya meski hanya selama delapan hari; bukan delapan tahun. Andaikan ia memiliki kecenderungan pada politik, tentu hal tersebut akan segera diketahui sehingga tidak perlu melakukan investigasi.

    Poin Kedua

    Pertanyaan:Mengapa “Said Baru” sangat menghindari politik?

    Jawaban:Agar upayanya untuk meraih kehidupan abadi yang lebih dari milyaran tahun tidak dikorbankan demi keterlibatan sia- sia yang hanya memakan waktu sekitar satu atau dua tahun kehidupan dunia yang masih diragukan. Selain itu, “Said Baru” menjauhi politik guna berkhidmah untuk iman dan al-Qur’an yang merupakan pengabdian paling agung, paling wajib, paling tulus, dan paling benar. Pasalnya ia berkata:

    Aku sudah mulai tua. Aku tidak tahu berapa lama lagi akan bertahan hidup sesudah ini. Karena itu, lebih baik bagiku beramal untuk kehidupan abadi. Inilah yang semestinya dijadikan prioritas. Karena iman merupakan sarana untuk bisa sukses meraih kehidupan abadi dan kunci kebahagiaan yang kekal, maka ia harus diusahakan secara optimal.

    Aku adalah seorang ulama. Secara agama, aku berke- wajiban untuk memberi manfaat kepada manusia. Karena itu, aku juga ingin melayani mereka dari sisi ini. Hanya saja, pengabdian ini manfaatnya untuk kehidupan sosial dan dunia. Inilah yang berada di luar kemampuanku. Apalagi sulit melakukan pengabdian yang lurus dan baik di masa yang sulit ini. Oleh sebab itu, aku meninggalkan as- pek ini. Aku lebih memilih jalan pengabdian iman yang paling penting, paling wajib, dan paling selamat. Kubiarkan pintu tersebut terbuka agar berbagai hakikat iman dan sejumlah obat maknawi yang sangat ampuh bagiku bisa dirasakan oleh orang lain. Semoga Allah menerima pengabdian ini sekaligus menjadikannya sebagai penebus dosa-dosaku di masa lalu.

    Tidak ada yang berhak menolak pengabdian ini entah ia mukmin, kafir, teman, atau zindik kecuali setan yang terkutuk. Pasalnya, ketiadaan iman merupakan kondisi yang tidak bisa dibandingkan dengan apapun. Bisa jadi kenikmatan setani masih bisa dirasakan saat melakukan kezaliman, kefasikan, dan dosa besar. Namun saat iman tidak ada, kenikmatan menjadi lenyap sama sekali. Bahkan, ia adalah derita dalam derita, siksa dalam siksa, dan kegelapan dalam kegelapan.

    Demikianlah, tidak berusaha menggapai kehidupan abadi, berhenti meraih cahaya iman yang suci, serta masuk ke dalam permainan politik yang berbahaya dan tidak penting di masa tua seperti ini, sangat tidak rasional dan tidak arif bagi orang sepertiku yang tidak punya siapa-siapa lagi, yang hidup sendiri, dan yang sedang berusaha mencari penebus dosa-dosa masa lalu. Bahkan hal itu terbilang gila dan bodoh. Orang gila sekalipun dapat memahaminya.

    Mungkin engkau bertanya, “Mengapa pengabdian terhadap al- Qur’an dan iman menghalangimu dari dunia politik?” Jawabannya: Berbagai hakikat iman dan al-Qur’an sangat berharga dan mahal laksana intan permata. Kalau aku sibuk dengan poli- tik, tentu akan terlintas dalam pandangan orang awam yang lengah “Mungkin orang ini ingin menjadikan kita bergabung dalam sayap politik tertentu. Bukankah orang yang mengajak dengan propagan- da politik tidak lain untuk mendapat pengikut?” Dengan kata lain, mereka melihat intan yang mahal itu laksana serpihan kaca murahan. Dengan begitu berarti aku telah berbuat zalim kepada hakikat berharga tersebut dan telah menjatuhkan nilainya lewat keterlibatanku dalam dunia politik.

    Wahai ahli dunia! Mengapa kalian tidak membiarkan diriku dan masih terus mengusikku dengan berbagai macam cara?

    Barangkali kalian berkata, “Para syekh sufi kadangkala masih ikut terlibat dalam urusan kita. Sementara orang-orang kadang menyebutmu dengan panggilan syekh.”

    Jawaban: Wahai para pemimpin, aku bukan syekh sufi. Aku hanya seorang ulama agama. Andaikan aku mengajari mereka tarekat sufi selama empat tahun ini yang kuhabiskan di sini, kalian boleh curiga. Namun, aku selalu berkata kepada setiap orang yang datang kepadaku bahwa saat ini bukan zaman tarekat. Yang penting dan mendesak sekarang ini adalah iman dan Islam.

    Barangkali kalian bertanya, “Engkau disebut “Said Kurdi” karena mungkin membawa isu rasial dan ajakan kepadanya. Ini tidak tepat bagi kami.”

    Jawaban: Wahai para pemimpin, tulisan “Said Lama” dan “Said Baru” bisa kalian baca. Aku menjelaskannya sebagai saksi. Sejak lama aku memandang fanatisme kelompok dan rasisme sebagai racun mematikan. Sebab, ia merupakan penyakit bawaan dari Eropa yang sangat kotor. Nabi dengan tegas menyatakan bahwa Islam menghapus fanatisme jahiliyah.(*[1])Eropa telah melemparkan penyakit tersebut ke tengah-tengah umat Islam guna mencerai-beraikan mereka sehingga mudah untuk dilahap. Nah, aku berusaha sekuat tenaga mengobati penyakit ini. Para murid dan relasiku menjadi saksi atas hal tersebut.

    Jika demikian wahai para pembesar, apa perlunya berusaha mengganggu dan menyakitiku di balik setiap peristiwa yang terjadi? Ini seperti menghukum prajurit di Barat lantaran kesalahan yang dilakukan oleh prajurit di Timur karena keduanya sama-sama prajurit. Atau, seperti menghukum pedagang di Bagdad karena kesalahan yang dilakukan oleh pedagang di Istanbul. Inilah yang kalian lakukan pada setiap peristiwa di mana hal itu dijadikan sebagai alasan untuk mengusikku. Perasaan seperti apa gerangan sehingga melahirkan sikap demikian? Hati nurani mana yang rela memberi keputusan seperti ini? Maslahat seperti apa yang didapat darinya?

    Poin Ketiga

    Para sahabat dan kolegaku memperhatikan kondisiku yang tenang dan lapang, merasa aneh dengan sikapku yang memilih diam dan sabar dalam menghadapi setiap musibah yang menimpa. Mereka bertanya-tanya, “Bagaimana engkau bisa menanggung tekanan dan kesulitan yang ada? Dulu, engkau sangat pemarah; tidak rela kalau ada yang menyentuh kehormatanmu. Engkau juga tidak pernah membiarkan penghinaan sekecil apapun.”

    Jawaban: Perhatikan dua peristiwa dan kisah berikut. Kalian bisa mendapatkan jawaban dari keduanya.

    Kisah Pertama: Dua tahun yang lalu, seorang direktur, tanpa sebab dan alasan yang jelas melontarkan kata-kata yang berisi penghinaan kepadaku di saat aku tidak ada di tempat. Ucapannya sampai kepadaku. Dengan perasaan “Said Lama” selama satu jam aku merasa sangat terpukul. Namun berkat rahmat Allah, sebuah hakikat yang melenyapkan kerisauan tersebut datang ke dalam kalbu. Ia mendorongku untuk memaafkan orang tadi. Hakikat yang dimaksud adalah sebagai berikut:

    Aku berkata kepada diriku, “Jika penghinaan yang ia lakukan serta berbagai aib yang ia ungkap terkait dengan diriku pribadi, semoga Allah meridainya. Pasalnya, ia telah memperlihatkan aib diriku. Jika ia benar, kritik yang ia berikan akan membimbing nafsu ammarahku dan meyelamatkanku dari sikap sombong. Namun jika ia berdusta, ia tetap membantuku agar selamat dari penyakit riya dan popularitas palsu yang menjadi sebab munculnya riya.” Ya, aku belum pernah berdamai dengan nafsu ammarahku karena belum pernah mendidiknya. Kalau ada seseorang yang mengingatkanku akan adanya kalajengking yang terdapat di pundak atau tubuhku, sudah selayaknya aku berterima kasih, bukan malah marah.

    Adapun kalau penghinaan yang ia berikan tertuju pada statusku sebagai pelayan Iman dan al-Qur’an, berarti penghinaan tersebut tidak mengarah kepadaku. Kuserahkan orang itu kepada Sang Pemilik al-Qur’an yang telah mempekerjakanku dalam tugas tersebut. Dia adalah al-‘Azîz (Yang Maha Perkasa) dan al-Hakîm (Yang Maha Bijaksana).

    Jika ucapannya ditujukan untuk menghina dan merendahkan diriku pribadi, itu juga sebenarnya tidak tertuju padaku. Sebab, aku hanyalah tawanan dan orang asing di wilayah ini. Aku tidak memiliki hak untuk membela kehormatanku. Namun ia tertuju kepada penguasa kampung dan wilayah ini. Sebab, aku hanya tamu di dalamnya. Penghinaan kepada seorang tawanan sebenarnya mengarah kepada pemimpinnya. Ia yang akan memberikan pembelaan untuknya.

    Dengan hakikat tersebut aku merasa tenang. Kubaca fir- man-Nya:“Kuserahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Ghafir [40]: 44).Akupun melupakan kejadian tersebut lalu kuanggap tidak pernah terjadi. Akan tetapi, setelah itu terlihat bahwa al-Qur’an tidak memaafkannya dan memberikan hukuman kepadanya.

    Kisah Kedua: Tahun ini aku mendengar sebuah peristiwa telah terjadi. Aku hanya mendengarnya secara global setelah ia terjadi. Akan tetapi, aku dianggap sebagai orang yang memiliki hubungan dengan peristiwa tersebut. Padahal, aku tidak pernah melakukan korespondensi dengan siapapun. Kalaupun menulis surat, hal itu sangat jarang kulakukan, dan itupun hanya kepada seorang teman dan terkait dengan persoalan iman. Bahkan kepada saudara kandungku sekalipun aku hanya menulis satu surat selama empat tahun. Aku menahan diri untuk tidak berkomunikasi dan melakukan kontak dengan mereka. Apalagi pihak penguasa melarangku melakukan hal itu. Aku hanya sesekali bertemu dengan satu atau dua orang kolega dekatku dalam satu pekan. Adapun para tamu yang datang jumlahnya tidak lebih dari satu atau dua orang. Mereka hanya menemuiku selama satu atau dua menit sepanjang satu bulan untuk menanyakan persoalan ukhrawi. Aku benar-benar terasing. Aku tidak bisa melakukan kontak dengan siapapun dan dari apapun.

    Aku hidup sebatang kara tanpa ada kolega di sebuah kampung yang di dalamnya tidak ada penghasilan untukku. Bahkan semenjak empat tahun yang lalu kuperbaiki masjid yang sudah rusak bersama masyarakat sekaligus aku menjadi imam di dalamnya di mana aku memang memiliki ijazah sebagai imam dan juru dakwah dari kotaku. Semoga Allah menerima amalku. Namun demikian, bulan Ramadhan yang lalu aku tidak bisa pergi ke masjid. Kadang-kadang aku melaksanakan shalat sendirian sehingga tidak mendapat pahala shalat berjamaah yang pahalanya dua puluh lima kali lipat.

    Menyikapi dua peristiwa di atas itulah aku berusaha bersabar dan seperti sikap yang kuperlihatkan dua tahun yang lalu saat menghadapi sang direktur tersebut. Dengan izin Allah, Aku akan terus bersabar seperti ini.

    Yang terlintas dalam benakku dan ingin kuutarakan adalah jika sikap keras, tekanan dan perlakuan buruk yang ditunjukkan oleh pihak penguasa kepada diriku yang penuh kekurangan dan aib, maka kumaafkan. Semoga dengan begitu diriku menjadi lebih baik di mana ia menjadi penebus dosa. Jika aku merasakan kepedihan aki- bat tindakan buruk yang kuterima di dunia yang merupakan tempat jamuan ini, maka aku tetap bersyukur karena aku telah merasakan kesenangan dan kenikmatannya.

    Akan tetapi, jika pihak penguasa menyiksaku lantaran aku melakukan pengabdian terhadap persoalan iman dan al-Qur’an, bukan tugasku untuk memberikan pembelaan. Namun kuserahkan ia kepada Dzat al-‘Aziz (Yang Maha Perkasa) dan al-Jabbâr (Yang Maha- gagah).

    Jika tindakan buruk itu dimaksudkan agar orang-orang tidak mendatangi dan menaruh hormat padaku; dengan kata lain untuk membendung popularitas palsu yang sangat rapuh; bahkan ia menjadi sebab munculnya penyakit riya dan merusak keikhlasan, maka jika benar begitu, semoga mereka mendapatkan rahmat dan berkah Allah. Sebab, menurutku, meraih popularitas dan penghormatan manusia sangat berbahaya bagi orang-orang sepertiku. Pihak-pihak yang memiliki hubungan denganku sangat mengetahui bahwa aku tidak menerima penghormatan yang ditujukan padaku, bahkan aku membencinya. Sampai-sampai seorang sahabat yang baik dan mulia pernah kubentak lebih dari lima puluh kali karena terlalu menghormatiku.

    Namun, jika tindakan mereka yang merendahkan diriku di mata manusia tertuju pada berbagai hakikat iman dan al-Qur’an yang kusampaikan, maka tindakan mereka sia-sia. Sebab, bintang- gemintang al-Qur’an tidak akan pernah terhijab oleh apapun. Siapa yang memejamkan mata, siang akan menjadi malam baginya semata; tidak bagi yang lainnya.

    Poin Keempat

    Jawaban atas sejumlah pertanyaan yang mendatangkan keraguan:

    Pertanyaan pertama:

    Pihak penguasa bertanya kepadaku, “Bagaimana engkau hidup? Bagaimana dengan urusan nafkahmu, sementara engkau tidak bekerja? Di sini kami tidak bisa menerima orang-orang yang menganggur dan malas, yang hanya makan dari usaha dan jerih payah orang lain?”

    Jawaban:Aku hidup dengan cara hemat dan berkah. Aku tidak mau berhutang budi kepada siapapun selain Dzat Yang memberiku rezeki, Allah. Karena itu, aku memutuskan untuk tidak pernah menerimanya sepanjang hidupku.Ya, orang yang biasa hidup dengan sekian sen, enggan untuk berhutang budi kepada orang lain. Sebenarnya aku tidak mau menceritakan masalah ini karena khawatir akan melahirkan sikap sombong dan ego. Aku tidak mau mengungkapnya karena sangat berat bagiku. Akan tetapi, karena dari pertanyaan mereka tersirat adanya rasa curiga padaku, maka kukatakan bahwa dalam hidup aku memiliki prinsip untuk tidak menerima pemberian orang.

    Sejak kecil aku tidak terbiasa menerima dari siapapun, bahkan meskipun berupa zakat. Lalu sikapku yang menolak gaji pemerintah kecuali yang diberikan oleh negara kepadaku selama dua tahun di Darul Hikmah al-Islamiyyah setelah teman-temanku mendesakku hingga akhirnya aku terpaksa menerimanya, namun secara maknawi aku kembalikan kepada masyarakat. Sikapku untuk tidak menerima pemberian orang dalam memenuhi kebutuhan hidup merupakan prinsip hidupku. Orang-orang di kotaku dan semua kenalanku di kota lain menge- tahui hal tersebut dengan baik. Banyak orang yang berusaha dengan berbagai cara agar aku mau menerima hadiah mereka sepanjang lima tahun ini saat aku berada dalam pengasingan. Namun aku menolaknya.

    Jika ada yang bertanya : “Bagaimana kamu bertahan hidup?”

    Jawabannya:Aku hidup dengan berkah dan ikram (kemurahan) Ilahi. Meskipun nafsu ammarahku ini layak dihinakan, namun dalam urusan rezeki aku mendapatkan keberkahan di mana ia merupakan bentuk ikram Ilahi sebagai salah satu kemuliaan berkhidmah pada al-Qur’an.

    Aku akan memberikan sejumlah contoh sebagai bentuk syukur maknawi atas berbagai nikmat yang Allah berikan padaku dengan rahasia ayat yang berbunyi:“Terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu ungkapkan.” (QS. adh-Dhuhâ [93]: 11).Akan tetapi, meskipun demikian aku khawatir syukur maknawi tersebut bercampur dengan perasaan riya dan sombong sehingga keberkahannya menjadi hilang. Pasalnya, memperlihatkan keberkahan yang tersembunyi dengan rasa bangga bisa menjadi sebab terputusnya keberkahan. Namun apa daya, aku terpaksa harus menyebutkan keberkahan tersebut.

    Pertama: Selama enam bulan ini aku tercukupi dengan 36 kerat roti yang terbuat dari 40 liter gandum. Bahkan roti tersebut masih tersisa dan aku tidak tahu kapan akan habis.(*[2])

    Kedua: Pada bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, makanan tidak datang kecuali dari dua rumah. Ternyata keduanya telah membuatku sakit. Dari sini aku sadar bahwa aku tidak boleh menerima makanan dari orang lain. 1,3 kg beras dan tiga kerat roti sudah cukup untuk beberapa hari Ramadhan yang tersisa. Teman yang tulus, Abdullah Cavuş, pemilik rumah yang penuh berkah yang telah menyediakan makanan untukku menjadi saksi atasnya. Bahkan beras tadi masih ada sampai lima belas hari sesudah Ramadhan.

    Ketiga: 1,3 kg mentega cukup untukku dan untuk para tamuku yang mulia padahal ia dimakan setiap hari dengan roti selama 3 bulan di gunung. Suatu ketika, aku kedatangan seorang tamu, Sulaiman, yang dijuluki Mubarak (orang yang penuh berkah). Saat itu roti hampir habis dan bertepatan pada hari Rabu. “Pergilah ke kampung dan carilah roti untuk dibawa kemari!” ujarku padanya. Pasalnya, di sekitar kami, bahkan sejauh dua jam perjalanan, tidak ada seorangpun yang menjual roti yang bisa kami beli. Ia menjawab, “Malam Jumat ini aku ingin tinggal bersamamu di puncak gunung ini untuk ikut berdoa kepada Allah.” “Kalau begitu, engkau boleh tinggal bersamaku dan kita berta- wakkal kepada Allah.”

    Kemudian kami berjalan bersama dan naik ke puncak gunung meski sebetulnya tidak perlu dan tidak ada kebutuhan untuk itu. Kami membawa sedikit air serta sedikit teh dan gula.“Wahai saudaraku, tolong buatkan teh!” ujarku. Iapun mulai membuatnya.Aku duduk di bawah pohon menatap sebuah lembah yang dalam. Aku merenung dengan rasa pilu, “Kami hanya punya sekerat roti yang sudah berjamur, yang mungkin hanya cukup untuk sore ini. Tidak tahu bagaimana untuk dua hari berikutnya. Apa yang harus kukatakan untuk orang yang baik hati ini.”Saat sedang merenungkan hal tersebut, tiba-tiba kepalaku seolah diarahkan ke sebuah pohon katran. Seketika aku melihat sepotong roti besar di atas pohon tersebut yang sedang menatap kami. Aku pun berkata, “Bergembiralah wahai Sulaiman! Allah memberi rezeki kepada kita.” Kami mengambil roti tersebut seraya melihat barangkali ada jejak hewan atau burung padanya. Ternyata ia bersih; tidak ada jejak padanya. Apalagi sudah selama tiga bulan ini tidak ada seorangpun yang naik ke gunung ini. Roti itu cukup untuk kami makan selama dua hari. Ketika hampir habis, seorang lelaki jujur, Sulaiman Kervanci, yang telah menjadi sahabat yang setia selama empat tahun, datang membawa roti untuk kami.

    Keempat: Jaket ini kubeli dalam kondisi bekas tujuh tahun yang lalu. 4,5 lira sudah cukup untuk biaya pakaian, sepatu, dan kaos kaki selama lima tahun. Alhamdulilah, keberkahan hidup hemat dan rahmat Ilahi telah memberikan kecukupan padaku.

    Banyak contoh lain yang serupa dengan di atas di mana berkah Ilahi memiliki banyak sisi. Penduduk kampung ini mengetahui dengan baik berbagai bentuk keberkahan yang ada. Hanya saja, jangan pernah berpikir bahwa aku menceritakan hal tersebut dengan rasa bangga. Namun aku menceritakannya karena terpaksa. Juga, jangan pernah berpikir bahwa peristiwa di atas adalah bukti yang menun- jukkan kesalehanku. Tidak, akan tetapi keberkahan tersebut adalah bentuk kebaikan Ilahi kepada para sahabat dan tamuku yang tulus yang datang menemuiku. Atau, ia bisa merupakan karunia Ilahi atas pengabdian terhadap al-Qur’an, hasil penuh berkah dari sikap hemat, serta bisa pula rezeki untuk empat kucing yang senantiasa menyertai kami di sini di mana suara geramnya berisi zikir, “Yâ Rahîm, yâ Rahîm, yâ Rahîm...” Jadi, ia merupakan rezeki mereka yang datang dalam bentuk berkah. Sementara aku hanya mendapat manfaat darinya.Ya, apabila mendengarkan suara geramnya yang menyiratkan kesedihan, engkau pasti mengetahui dengan baik bahwa ia sedang berzikir mengucap, “Yâ Rahîm, yâ Rahîm, yâ Rahîm.”

    Ketika membahas kucing, terlintas pula dalam benak ini tentang ayam.Aku memiliki seekor ayam. Hampir setiap hari pada musim dingin ini, ia memberiku sebutir telur yang berasal dari perbendaharaan rahmat Ilahi. Suatu hari ia bertelur dua butir sekaligus. Akupun terheran. Aku bertanya kepada para kolegaku, “Apakah hal seperti ini bisa terjadi?” “Barangkali ini karunia Ilahi,” ujar mereka.Ayam tersebut juga memiliki seekor anak di musim panas. Si anak mulai bertelur pada awal Ramadhan yang penuh berkah. Ia terus bertelur selama empat puluh hari. Aku dan orang-orang yang melayaniku sangat percaya bahwa telur yang dihasilkan di musim dingin serta yang dihasilkan oleh si anak pada musim Ramadhan merupakan bentuk karunia Ilahi. Lalu anak ayam itu mulai bertelur saat ibunya sudah berhenti bertelur. Dengan begitu, ia tidak pernah membiarkanku tanpa telur, alhamdulillah.

    Pertanyaan Kedua:

    Pihak penguasa berkata, “Bagaimana kami bisa percaya kepadamu bahwa engkau tidak ikut campur dalam urusan dunia kami? Bisa jadi kalau kami membebaskanmu, engkau akan ikut campur dalam urusan kami. Kemudian bagaimana kami mengetahui bahwa engkau tidak menipu kami? Pasalnya, engkau menampilkan diri seperti orang yang tidak tertarik pada dunia. Secara lahir engkau tidak mengambil harta mereka, namun bisa jadi mengambilnya secara sembunyi-sembunyi. Bagaimana kami bisa memastikan bahwa tindakanmu bukan tipu daya?”

    Jawaban:Kondisiku dua puluh tahun yang lalu di pengadilan militer serta perjalanan hidupku sebelum deklarasi parlementer,(*[3])serta pembelaan yang terdapat dalam buku Syahâdatu Madrasatae al-Mushîbah, semuanya sudah diketahui oleh orang-orang yang mengenalku. Semuanya menjelaskan bahwa aku telah menjalani hidup ini tanpa pernah melakukan tipu daya, bahkan sekecil apapun.

    Andai melakukan tipu daya, tentu aku sudah meminta bantuan kalian disertai sanjungan dan pujian kepada kalian sepanjang lima tahun ini. Sebab, penipu biasanya selalu ingin mendapat simpati manusia, bahkan berusaha memperdaya mereka. Ia tidak akan menjauhi mereka. Sementara faktanya aku tidak pernah tunduk dan merendah kepada siapapun meskipun semua serangan dan kritikan diarahkan kepadaku. Sebaliknya, aku malah berpaling dari pihak penguasa dengan hanya bertawakkal kepada Allah.

    Lalu, orang yang mengetahui hakikat akhirat dan menyingkap hakikat dunia tidak akan pernah menyesal, selama ia punya akal. Ia tidak akan pernah menoleh kepada dunia. Kemudian orang yang hidup sendirian tanpa memiliki relasi dengan siapa-siapa, tidak akan pernah mengorbankan kehidupan abadinya dengan permain- an duniawi dan senda guraunya sekadar untuk satu atau dua tahun. Apalagi usianya sudah lebih dari lima puluh tahun. Bahkan andaikan mengorbankan kehidupan abadi di atas, ia bukanlah seorang penipu; melainkan orang yang hilang akal. Lalu apa gunanya memperhatikan orang yang hilang akal?

    Adapun syubhat tentang keberadaanku sebagai orang yang dicurigai memburu dunia secara samar, meskipun secara lahir tampak lari darinya, maka jawabannya terkandung dalam firman Allah yang berbunyi:“Aku tidak menyatakan nafsuku bebas (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (QS. Yûsuf [12]: 53).Aku tidak pernah menganggap nafsuku bersih dari dosa. Nafsu ini cenderung kepada berbagai keburukan. Hanya saja, kehilangan kehidupan dan kebahagiaan abadi demi meraih kenikmatan sesaat di dunia yang fana ini, di negeri jamuan yang bersifat sementara, serta di masa yang telah tua dan usia yang singkat, bukanlah karakter orang yang berakal dan orang yang memiliki kesadaran. Karena itu, nafsu ammarah-ku, mau tidak mau, tunduk kepada akal.

    Pertanyaan Ketiga:

    Pihak penguasa berkata, “Apakah engkau mencintai kami? Apakah engkau suka dan senang kepada kami?

    Jika ya, lantas mengapa engkau berpaling dan tidak mau bergabung bersama kami? Namun jika tidak suka dan tidak senang kepada kami, berarti engkau menentang kami sehingga layak kami binasakan.”

    Jawaban:Jika aku mencintai kalian dan dunia kalian, tentu aku tidak akan berpaling darinya. Aku tidak menyukai kalian dan dunia kalian. Juga, aku tidak mau mencampuri urusan kalian dan tidak mau bergabung dengan kalian, karena aku memiliki tujuan yang berbeda dengan tujuan kalian. Kalbuku telah dipenuhi oleh sejumlah urusan yang tidak bisa diisi dengan yang lain. Tugas kalian hanya melihat kondisi lahiriah; bukan melihat kalbu manusia. Oleh karena kalian ingin melanggengkan pemerintahan dan memperkuat keamanan, sementara aku tidak terlibat di dalamnya, maka kalian tidak boleh memaksa kalbu ini untuk mencintainya juga. Kalian tidak layak untuk mendapatkan cinta tersebut.

    Jika kalian ikut campur dalam urusan kalbu, maka kukatakan, “Sebagaimana mengharap datangnya musim semi di saat musim dingin di mana hal itu tidak mungkin kulakukan, aku juga berharap dan berdoa untuk kondisi dunia yang baik dan damai serta menginginkan sadarnya pihak penguasa. Hanya saja hal itu berada di luar kemampuanku. Oleh sebab itu, aku tidak ikut campur secara langsung. Hal itu bukan tugasku dan diluar kemampuanku.

    Pertanyaan Keempat:

    Mereka berkata, “Kami mendapatkan banyak bencana dan musibah. Kami tidak lagi percaya kepada siapapun. Lalu bagaimana kami bisa percaya kepadamu? Jika ada kesempatan, tidakkah mungkin engkau akan ikut campur dalam urusan kami dengan caramu?

    Jawaban:Sebenarnya sejumlah poin di atas sudah cukup untuk membuat kalian yakin dan percaya. Hanya saja aku ingin mengatakan bahwa saat aku tidak ikut terlibat dalam urusan kalian, sedang aku berada di kotaku dikelilingi oleh para murid dan kerabatku. Saat itu aku bersama mereka yang mau mendengar dan mengikuti petunjukku. Namun aku tidak mau ikut campur dalam dunia kalian; bahkan dalam mengobarkan sejumlah kejadian yang mengundang perhatian. Kalau demikian, mungkinkah akan ikut campur di dalamnya orang yang sedang berada dalam pengasingan di mana ia tinggal seorang diri, lemah, tak berdaya, mengarahkan perhatian hanya kepada akhirat, tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun kecuali segelintir orang di jalan menuju akhirat? Ia terasing dari manusia sebagaimana manusia juga terasing darinya. Bahkan ia melihat mereka demikian. Nah, orang semacam itu jika ikut campur dalam dunia kalian yang berbahaya dan tanpa hasil, benar-benar sangat gila dan kurang waras.

    Poin Kelima

    Poin ini terkait dengan lima persoalan kecil:

    Persoalan Pertama:

    Pihak penguasa berkata kepadaku, “Mengapa engkau tidak menerapkan prinsip-prinsip dan aturan sipil yang kami miliki? Mengapa engkau tidak menampilkan gaya hidup kami dan tidak mengenakan model pakaian seperti yang kami kenakan? Dengan kata lain, mengapa engkau menentang kami?”

    Jawaban:Wahai tuan-tuan! Atas dasar apa kalian memaksaku untuk menerapkan aturan sipil? Sementara kalian telah memaksaku secara zalim untuk tinggal di sebuah kampung selama lima tahun dan bahkan melarangku berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang. Seolah-olah kalian telah melenyapkan hak-hak sipilku serta menjauhkanku dari segala hal tanpa sebab yang jelas. Kalian tidak mengizinkan diriku untuk bertemu dengan penduduk kotaku kecuali satu atau dua orang. Padahal, kalian telah membebaskan semua orang yang diasingkan dan membolehkan mereka tinggal di tengah-tengah keluarga dan kerabat mereka di sejumlah kota. Kalian memberikan surat izin tersebut kepada mereka. Dengan cara semacam itu, berarti kalian tidak menganggapku sebagai bagian dari bangsa dan rakyat negeri ini. Jika demikian, mengapa kalian memak- saku untuk menerapkan aturan sipil?Kalian telah membuat dunia yang luas ini sebagai penjara bagiku. Wajarkah orang yang berada di penjara dipaksa untuk melakukan semua itu?Kalian telah menutup pintu dunia bagiku, sehingga aku mengetuk pintu akhirat. Rahmat Ilahi pun membukakan pintu tersebut. Lalu bagaimana mungkin orang yang berada di pintu akhirat dituntut untuk menerapkan berbagai tradisi dan gaya hidup ahli dunia yang tidak jelas.Kalau kalian membebaskanku serta mengembalikan diriku ke kota dan kampung halamanku, lalu memberikan hakhakku secara utuh, ketika itulah kalian boleh menuntutku untuk menerapkan aturan-aturan yang kalian miliki.

    Persoalan Kedua:

    Pihak penguasa berkata, “Kita telah memiliki lembaga formal yang mengajarkan hukum-hukum agama dan berbagai hakikat Islam. Atas dasar apa engkau masih menyebarkan risalah keagamaan? Engkau tidak punya hak untuk melakukan semua ini dengan statusmu sebagai orang buangan.”

    Jawaban:Kebenaran dan hakikat tidak terikat oleh sesuatu dan tidak dibatasi oleh tempat dan waktu. Jadi, bagaimana mung- kin iman dan al-Qur’an dibatasi oleh sebuah lembaga resmi? Kalian boleh membatasi penerapan hukum dan prinsip-prinsip kalian pada lembaga kalian. Adapun hakikat iman dan prinsip-prinsip al-Qur’an tidak bisa dibingkai dalam berbagai muamalah duniawi dan dibatasi dalam sebuah lembaga resmi yang aktivitas di dalamnya dilakukan berdasarkan upah dan gaji. Namun, berbagai rahasia dan limpahan karunia itu yang merupakan pemberian Ilahi hanya bisa datang lewat niat yang tulus, bersih dari kepentingan dunia, dan jauh dari dorongan hawa nafsu.Selain itu, lembaga resmi kalian telah menerimaku sebagai da’i saat aku berada di kotaku serta menunjukku untuk mengerjakan tugas tersebut. Aku pun melaksanakannya. Hanya saja, aku tidak mau menerima gaji, dengan tetap menjalankan tugas dakwah. Aku memiliki sertifikat, yang dengan itu aku dapat menunaikan tugas dakwah dan menjadi imam di manapun. Sebab, pengasinganku merupakan tindakan kezaliman yang nyata. Selanjutnya, orang-orang yang di- asingkan telah dikembalikan ke keluarga masing-masing. Dengan begitu, sertifikatku yang sebelumnya masih berlaku.

    Kedua, berbagai hakikat keimanan yang telah kutulis, secara langsung berbicara kepada diriku. Tidak semua orang kuajak untuk mempelajarinya. Hanya orang-orang yang ruhnya membutuhkan dan kalbunya terluka di mana mereka mencari obat-obat Qur’ani tersebut. Mereka pun menemukannya di sana. Terkecuali, tugas yang kuberikan kepada salah seorang sahabat utamaku untuk mencetak risalah yang secara khusus membahas tentang kebangkitan, sebelum penerapan aksara latin. Hal itu ditujukan untuk memenuhi peng- hidupanku. Hanya saja, gubernur sebelumnya yang zalim kepadaku menginvestigasi risalah tersebut. Setelah tidak menemukan sesuatu yang bisa dikritik, akhirnya iapun tidak keberatan.

    Persoalan Ketiga:

    Sejumlah sahabatku secara lahiriah berlepas diri dariku. Bahkan, mereka memberikan kritik kepadaku agar mendapat simpati pihak penguasa yang curiga kepadaku. Hanya saja, para penguasa yang mencari-cari kesalahan itu melihat sikap mereka yang berlepas diri dan menjauhiku sebagai bentuk riya; bukan sikap yang tulus. Karena itu, penguasa tetap meragukan dan mencurigai mereka.

    Dalam hal ini aku ingin berkata:Wahai para sahabat akhiratku! Janganlah kalian menjauhi pengabdianku terhadap al-Qur’an. Sebab, dengan izin Allah, kalian tidak akan mendapatkan bahaya dariku. Bahkan, kalau aku dizalimi lalu musibah datang menimpa, kalian tidak akan bisa lolos darinya dengan berlepas diri dariku. Kalian justru layak mendapatkan musibah dan teguran peringatan. Lalu apa yang terjadi sehingga kalian menjadi ragu?

    Persoalan Keempat:

    Pada hari-hari pengasinganku ini, aku melihat sejumlah orang yang terjerembab dalam kubangan politik dan terjangkit penyakit ujub. Mereka melihat diriku dengan pandangan yang menyiratkan adanya persaingan dan keberpihakan pada satu sisi. Seolah-olah aku seperti mereka yang memiliki relasi dengan berbagai aliran duniawi.

    Wahai tuan-tuan! Ketahuilah bahwa aku berada di dalam aliran keimanan. Aku berhadapan dengan aliran ateis dan kekufuran. Aku sama sekali tidak memiliki relasi dengan aliran yang lain. Orang yang mengambil posisi sebagai pesaing dan musuhku, serta menentang dan mencelaku, jika termasuk yang bekerja untuk mendapatkan upah, bisa jadi ada alasan yang membuatnya seperti itu. Akan tetapi, yang bekerja bukan karena upah, melainkan karena tekad dan semangat, maka hendaklah ia mengetahui bahwa ia benar-benar melakukan sebuah kesalahan. Sebab, seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya, aku tidak memiliki hubungan sama sekali dengan dunia politik. Aku telah menazarkan hidupku dan membatasi seluruh waktuku untuk menyebarkan berbagai hakikat iman dan al-Qur’an. Karena itu, orang yang menentangku dan memosisikan diri sebagai pesaingku hendaknya berpikir dengan jernih bahwa sebetulnya ia sedang menentang keimanan demi kekufuran.

    Persoalan Kelima:

    Selama dunia bersifat fana,

    usia sangat sing- kat,

    kewajiban begitu banyak, dan kehidupan abadi diraih disini (di dunia);

    Selama dunia bukan tak bertuan,

    serta selama pada tempat jamuan ini ada Pemelihara Yang Maha Pemurah (al-Karim) dan Bijaksana (al-Hakim);

    Selama kebaikan dan keburukan pasti akan dibalas;

    Selama Allah tidak membebani manusia di luar kemampuannya;

    Selama jalan yang aman lebih dipilih ketimbang

    jalan yang penuh bahaya, selama para kekasih duniawi dan

    kemegahan dunia hanya sampai di pintu kubur.

    Jika demikian, maka orang yang paling bahagia adalah orang yang tidak melupakan akhirat lantaran dunia; tidak mengorbankan akhirat demi kepentingan dunia; tidak merusak kehidupan abadinya untuk meraih kehidupan dunia; tidak menghabiskan usianya untuk hal-hal yang tidak berguna; serta tunduk terhadap perintah sebagaimana tamu tunduk pada tuan rumah. Dengan itu, ia bisa membuka pintu kubur dengan aman, serta memasuki negeri kebahagiaan dengan selamat.(*[4])

    • * *

    Lampiran Surat Keenam Belas

    بِاس۟مِهٖ وَ اِن۟ مِن۟ شَى۟ءٍ اِلَّا يُسَبِّحُ بِحَم۟دِهٖ

    Pihak penguasa yang berkutat dengan kenikmatan dunia yang palsu menyangka bahwa orang lemah dan asing di dunia ini seperti diriku, memiliki kekuatan seperti yang dimiliki ribuan orang. Sangkaan ini mendorong mereka untuk membelenggu dan membatasi diriku. Misalnya, mereka tidak mengizinkanku untuk tinggal semalam atau dua malam di Bedre, sebagai salah satu wilayah di kampung Barla. Bahkan mereka melarangku berada di atas sebuah gunung yang dekat darinya.

    Kudengar mereka berkata, “Said memiliki kekuatan setara 50 ribu orang. Karena itu, kita tidak bisa melepaskannya.”

    Jawabanku: Wahai ahli dunia yang malang! Kalian bekerja untuk dunia dengan segala kekuatan dan potensi yang kalian miliki, namun mengapa kalian tidak mengetahui seluruh kondisinya juga sehingga kalian menilai seperti orang gila. Apabila rasa takut kalian karena diriku, maka ia sama sekali tidak beralasan. Sebab, siapapun― bukan 50 ribu orang―dapat melakukan pekerjaan lima puluh kali lipat melebihi pekerjaanku. Paling tidak, ia dapat berdiri di hadapan pintu kamarku seraya berkata, “Engkau tidak akan bisa keluar.”

    Namun, apabila rasa takutmu adalah dikarenakan tugasku sebagai penyeru kepada al-Qur’an, dan dikarenakan kekuatan iman yang kumiliki, maka ketahuilah dengan baik bahwa aku tidak hanya memiliki kekuatan sebesar 50 ribu orang. Kalian keliru. Berkat tugas dan kekuatan iman, aku memiliki kekuatan 50 juta orang. Dengan kekuatan al-Qur’an, kutantang seluruh Eropa berikut kaum ateis kalian. Aku telah menghancurkan bentengnya yang kokoh yang mereka sebut sebagai “hukum alam dan sains”. Hal itu terwujud berkat berbagai hakikat iman dan petunjuk al-Qur’an yang kusebarkan. Dengan itu, aku berhasil menjatuhkan filsuf ateis terbesar mereka kepada tingkatan yang ratusan kali lebih rendah daripada binatang. Andaikan seluruh Eropa berikut kaum ateis kalian berkumpul, mereka tidak akan bisa menghalangi satu saja dari sekian banyak tugasku serta tidak akan pernah bisa mengalahkanku dengan izin Allah.

    Kesimpulannya, sebagaimana aku tidak ikut campur dalam urusan dunia kalian, kalian juga tidak berhak ikut campur dalam urusan akhiratku. Jika kalian berusaha ikut campur, usaha kalian akan sia-sia.

    Kekuatan otot tidak mampu menolak takdir Allah.

    Lilin yang dinyalakan Allah, tak bisa dipadamkan oleh mulut manusia.

    Pihak penguasa menaruh rasa ragu dan curiga kepadaku. Sepertinya mereka takut kepadaku, sebab mereka membayangkan keberadaan sejumlah hal yang tidak kumiliki. Bahkan andaipun ada, hal itu tidak bisa menjadi sasaran kecurigaan politik dan bahan tudu- han. Misalnya, kedudukan diriku sebagai syekh, pemimpin, pemilik nasab mulia, pemilik pengaruh di klan tertentu, banyak pengikut, sering bertemu dengan orang-orang sekampungnya, dan kecintaan pada urusan dunia. Lebih dari itu, mereka menganggap diriku terlibat dalam urusan politik, bahkan dalam menentang negara. Serta masih banyak lagi hal lain yang tidak terdapat pada diriku. Akibatnya, mereka berada dalam keraguan dan kecurigaan. Akhirnya, aku dilarang melakukan segala hal saat mereka ingat pada pengampunan bagi mereka yang berada di dalam dan di luar penjara, yaitu bagi yang tidak layak mendapat ampunan menurut pandangan mereka. Terdapat ungkapan indah dan abadi yang disebutkan oleh sosok yang fana:

    Jika kezaliman memiliki senjata, senapan, dan benteng.

    Maka kebenaran memiliki tangan yang kuat dan wajah yang pantang mundur.

    Akupun berkata:

    Jika para ahli dunia memiliki kekuasaan, otoritas,

    dan kekuatan Maka lewat limpahan al-Qur’an, pada pelayannya terdapat:

    Ilmu yang tidak rancu, perkataan yang tidak akan pernah diam,

    hati yang tidak tertipu, cahaya yang tidak akan pernah padam.

    Komandan militer yang bertanggung jawab mengawasiku serta sejumlah teman mengajukan pertanyaan berikut secara berulang-ulang,

    “Mengapa Anda tidak mengajukan permohonan kepada berbagai pihak berwenang dan meminta untuk dibebaskan?”

    Jawaban:Terdapat banyak sebab yang membuatku enggan atau bahkan tidak bisa mengajukan permohonan kepada mereka:

    Pertama, aku tidak pernah terlibat dalam urusan para ahli dunia sehingga kemudian dihukum akibat mereka dan harus mengajukan permohonan dalam masalah ini. Namun, aku mengajukan permohonan kepada takdir Ilahi, sebab Dialah yang telah menghukumku akibat dari sikap alpaku kepada-Nya.

    Kedua, aku yakin bahwa dunia ini adalah negeri jamuan yang senantiasa berubah. Ia bukan negeri permanen, bukan pula tanah air hakiki. Oleh sebab itu, semua tempat sama bagiku. Selama aku tidak kekal di negeriku, maka usaha untuk mengajukan permohonan kepadanya tidak penting dan tidak berguna. Selama setiap tempat di dunia merupakan negeri jamuan, maka setiap orang bisa menjadi teman dan setiap tempat menjadi berguna dan bermanfaat selama rahmat dan karunia Pemilik negeri terus menyertaimu. Jika tidak, maka setiap orang akan menjadi musuh dan setiap tempat akan menjadi beban yang berat dan menyulitkan.

    Ketiga, mengajukan permohonan hanya bisa terwujud dalam bingkai hukum. Sementara muamalah dan perlakuan yang kudapat selama enam tahun ini tanpa bingkai hukum dan inkonstitusional. Pasalnya, mereka tidak memperlakukan diriku secara konstitusional sesuai dengan hukum yang berlaku bagi orang yang diasingkan. Akan tetapi, mereka melihat diriku tidak layak mendapat hak-hak sipil, bahkan hak-hak duniawi. Jadi, tidak ada gunanya mengajukan permohonan hukum kepada orang yang tidak menerapkan konstitusi.

    Keempat, pada tahun ini kepala desa Barla mengajukan permohonan atas namaku agar bisa pergi ke kampung Bedre yang merupakan bagian dari desa Barla dengan maksud ganti suasana untuk beberapa hari. Namun itupun tidak diberi izin. Bagaimana mungkin mengajukan permohonan kepada mereka yang menolak permintaan yang tidak penting seperti ini? Mengajukan permohonan kepada mereka hanya merendahkan derajat dan tidak berguna.

    Kelima, menuntut hak kepada orang yang mengklaim ketidakadilan sebagai kebenaran serta mengajukan permohonan kepada mereka adalah tindakan yang tidak benar dan sikap kurang menghormati kebenaran. Aku tidak ingin melakukan tindakan tersebut. Aku juga tidak ingin merendahkan kebenaran. Wassalam.

    Keenam, tindakan para ahli dunia yang tidak menyenangkan bukan disebabkan oleh aktivitasku dalam dunia politik. Sebab, mereka mengetahui benar bahwa aku tidak terlibat dalam urusan politik; bahkan menjauhinya. Mereka menyiksaku lantaran ketaatan dan komitmenku terhadap agama. Artinya, mereka menyiksaku―baik secara sadar maupun tidak sadar―untuk membuat senang kaum kafir.

    Karena itu, mengajukan permohonan kepada mereka berarti menunjukkan penyesalan terhadap agama dan setuju dengan jalan kaum kafir. Di samping itu, takdir Ilahi yang adil pasti akan menyiksaku lewat tangan mereka yang berlumur dosa jika aku memohon kepada mereka. Sebab, mereka melakukan tindakan yang tidak menyenangkan karena aku taat kepada agama. Sementara takdir Ilahi akan menghukumku karena kekuranganku dalam menunjukkan ketakwaan dan keikhlasan serta karena kadangkala aku cenderung kepada ahli dunia.

    Jadi, saat ini aku tidak akan selamat dari berbagai kesulitan yang ada. Kalau aku mengajukan permohonan kepada ahli dunia, tentu takdir Ilahi akan berkata, “Wahai yang mencari muka! Rasakan balasan dari sikapmu itu.” Namun jika tidak mengajukan permohonan, para ahli dunia itu berkata, “Engkau tidak mengakui kami. Karena itu, engkau layak mendapatkan hukuman ini.”

    Ketujuh, seperti diketahui bahwa tugas pegawai negeri adalah mencegah pihak yang menimpakan mudharat pada masyarakat serta membantu kalangan yang memberikan manfaat kepada mereka. Ketika aku menjelaskan makna halus yang terkandung dalam kata lâ ilâha illallâh kepada seorang lansia yang bertamu kepadaku, seorang pegawai yang bertugas mengawasiku datang kepadaku. Kelihatannya ia ingin menahanku seakan-akan aku melakukan kejahatan besar. Padahal, ia jarang datang kepadaku. Iapun membuat orang lansia tadi yang mendengar tema pembicaraan dengan tulus menjadi terhalang. Ia membuatku marah. Sebelumnya ia tidak pernah memberikan perhatian kepada penduduk di wilayah itu. Namun ia mulai menunjukkan sikap baik dan mengapresiasi orang-orang yang tidak beradab dan menebarkan racun pada masyarakat.

    Seperti diketahui pula bahwa kalau seorang penjahat melakukan seratus kejahatan, ia dapat menemui pihak-pihak yang berwenang di penjara, entah ia prajurit, komandan, atau yang lain. Namun pihak yang bertugas mengawasiku, serta dua orang pejabat penting di pemerintah tidak pernah menanyakan kondisiku dan tidak per- nah menemuiku sama sekali sepanjang satu tahun. Padahal mereka seringkali melewati depan ruanganku. Aku menduga mereka tidak mau mendekatiku karena rasa permusuhan. Namun kemudian aku menjadi tahu bahwa semua itu disebabkan oleh sikap curiga mereka. Mereka menjauhiku karena seolah-olah aku akan menelan mereka.

    Mengajukan permohonan kepada pemerintah, yang pimpinan maupun para pejabatnya seperti mereka, sangat tidak masuk akal. Ia hanyalah bentuk kehinaan yang sama sekali tidak berguna.Andaikan Said Lama masih ada, tentu ia akan berkata seperti Antarah:

    Air kehidupan yang disertai kehinaan laksana neraka, neraka yang disertai harga diri adalah tempat termulia.

    Namun Said Lama sudah tidak ada. Adapun menurut Said Baru, tidak ada gunanya bahkan untuk berbicara dengan ahli dunia. Semoga Allah binasakan mereka dengan dunia mereka. Dan silahkan mereka berbuat apa yang mereka inginkan. Insya Allah kita akan berhadapan di pengadilan paling agung. Inilah yang bisa dikatakan oleh Said Baru, lalu ia diam.

    Termasuk yang membuatku tidak mau mengajukan permoho- nan adalah:Kedelapan, takdir Ilahi menghukum diriku lewat tangan zalim ahli dunia. Hal itu lantaran aku mencurahkan perhatianku untuk mereka yang tidak layak mendapatkannya. Ini sesuai dengan kaidah, “Hasil dari cinta yang tidak syar’i adalah permusuhan yang kejam.” Karena itu, aku lebih memilih diam karena sadar bahwa aku layak mendapatkan hukuman tersebut.

    Dulu sebagai pemimpin sukarela- wan aku telah membantu dalam perang dunia pertama selama dua tahun. Aku ikut terjun dalam peperangan. Aku telah mengorban- kan murid-murid terbaikku dan sejumlah kolega dengan mendapat penghargaan dari pemimpin umum pasukan, Anwar Pasya. Lalu aku terluka dan menjadi tawanan. Setelah bebas sebagai tawanan, kuceburkan diri dalam jurang kebinasaan dengan menulis buku al-Khutu- wât as-Sitt (Enam Langkah). Lewat buku itu, aku menantang Inggris yang sedang menduduki Istanbul. Kubantu teman-teman yang telah membuatku menjadi tawanan dengan tanpa sebab. Nah, ini adalah balasan untukku atas bantuanku terhadap mereka. Akupun mendapatkan berbagai kesulitan selama tiga bulan di mana kesulitan tersebut melebihi apa yang pernah kualami selama tiga tahun di Rusia.

    Meskipun Rusia melihatku sebagai pimpinan sukarelawan suku kurdi dan pihak zalim yang menyembelih banyak tawanan, namun mereka tidak melarangku memberikan pelajaran. Aku memberikan pelajaran kepada sebagian besar temanku yang menjadi tawanan dari para komandan yang jumlah mereka mencapai 90 orang. Bahkan, pemimpin Rusia suatu kali pernah ikut mendengarkan pelajaran. Ia mengiranya sebagai pelajaran politik karena tidak memahami bahasa Turki. Ia hanya melarangku satu kali, namun sesudah itu ia mem- berikan izin. Kemudian kami jadikan sebuah barak sebagai masjid untuk menunaikan shalat secara berjamaah. Aku menjadi imamnya. Mereka sama sekali tidak ikut campur dalam urusan tersebut. Mereka tidak melarangku untuk berbaur dan saling berkomunikasi, serta tidak memutus korespondensi yang kami lakukan.

    Sementara, mereka yang dianggap sebagai saudara seagama dan setanah air justru melarangku memberikan pelajaran tanpa se- bab yang jelas. Padahal, aku berusaha memberikan pelajaran keimanan kepada mereka. Mereka pun mengetahui bahwa diriku telah memutuskan hubungan dengan dunia dan politik. Bahkan mereka telah menempatkanku sebagai tawanan selama enam tahun—bukan tiga tahun—dalam kondisi yang sangat ketat. Pasalnya, mereka melarangku untuk berkumpul dengan orang-orang, untuk memberikan pelajaran, bahkan untuk memberikan pelajaran khusus di ruang pribadiku. Padahal, mereka tahu betul bahwa aku memiliki sertifikat dan izin untuk itu. Mereka melarangku melakukan korespondensi. Lebih dari itu, mereka melarangku menjadi imam di masjid yang kuperbaiki sendiri dan aku telah menjadi imam di dalamnya selama 4 tahun. Mereka membuatku tidak bisa mendapatkan pahala shalat berjamaah. Mereka juga melarangku memimpin jamaah yang terdiri dari tiga orang saudara seiman yang biasa kulakukan sebelumnya.

    Di samping itu, kalau salah seorang dari saudara seiman di atas menceritakan kebaikan tentangku, petugas yang mengawasiku menjadi ma- rah. Dengan segala cara, ia berusaha mengabaikan dan mempersulit diriku agar mendapatkan penghargaan dan perhatian dari atasannya.

    Wahai saudaraku yang bertanya, terserah apa penilaianmu dan tolong jawab pertanyaanku: Mungkinkah orang yang berada dalam kondisi demikian akan mengajukan permohonan kepada selain Allah? Kepada siapakah kita mengajukan perkara kalau hakim dan jaksa penuntut adalah orang yang sama? Silahkan berkomentar tentang berbagai kondisi yang kami alami.Aku hanya ingin berkata bahwa banyak orang munafik menyusup di antara teman-temanku. Karena orang munafik lebih bahaya dan lebih buruk daripada orang kafir, maka mereka timpakan kepadaku siksa yang tidak pernah ditimpakan oleh orang-orang Rusia itu.

    Wahai orang-orang malang, apa yang telah kulakukan ke- pada kalian? Apa yang kuperbuat kepada kalian? Aku berusaha menyelamatkan iman kalian dan menyerukan kebahagiaan abadi ke- pada kalian. Tampaknya, pengabdianku belum tulus sehingga yang terjadi malah sebaliknya. Sementara pada setiap kesempatan, kalian terus menyakitiku. Karena itu, sudah pasti kita akan berhadapan di pengadilan paling agung.

    Kuucapkan:(Cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung. Dia sebaik-baik Pelindung dan Sebaik-baik Penolong)

    Yang kekal, hanyalah Dzat Yang Mahakekal.

    Said Nursî


    SURAT KELIMA BELAS ⇐ | Al-Maktûbât | ⇒ SURAT KETUJUH BELAS

    1. *Takhrijnya telah disebutkan pada “Surat Kelima Belas”.
    2. *Ia bertahan sampai satu tahun penuh―Penulis.
    3. *32 Yaitu deklarasi parlementer di Daulah Utsmani pada 23 Juli 1908.
    4. *Atas dasar itulah, aku tidak peduli dengan berbagai kezaliman yang menimpa diriku, serta tidak menghiraukan semua perlakuan buruk yang kualami. Aku hanya berkata, “Ia tidak layak mendapat perhatian. Aku tidak mau terlibat dalam urusan dunia.” (Penulis).