İçeriğe atla

Yirmi Üçüncü Lem'a/id: Revizyonlar arasındaki fark

"Sama dengan perumpamaan di atas, seorang ateis datang ke dunia yang merupakan markas besar para prajurit Sultan Yang Mulia sekaligus merupakan masjid yang teratur milik Dzat Azali yang disembah. Orang ateis tersebut datang dengan membawa paham naturalismenya. Ia menganggap “hukum-hukum abstrak” yang tanda-tandanya tampak pada ikatan keteraturan alam dan bersumber dari hikmah kebijaksanaan Tuhan sebagai hukum-hukum materi. Maka, dalam melakukan berbag..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu
("Kemudian ia mulai merenungkan kehebatan tali yang diasumsikan tadi sehingga ia pun bertambah heran dan bingung. Lalu Ia pergi.Selanjutnya pada hari jumat ia masuk ke sebuah masjid besar seperti Hagia Sophia(*<ref>*Ketika itu Hagia Sophia masih berfungsi sebagai masjid, sebelum ia kemudian dialih-fungsikan menjadi museum pada tahun 1935 M sampai sekarang―Peny.</ref>) . Di sana ia menyaksikan begitu banyak orang yang shalat di belakang imam. Orang-orang..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
("Sama dengan perumpamaan di atas, seorang ateis datang ke dunia yang merupakan markas besar para prajurit Sultan Yang Mulia sekaligus merupakan masjid yang teratur milik Dzat Azali yang disembah. Orang ateis tersebut datang dengan membawa paham naturalismenya. Ia menganggap “hukum-hukum abstrak” yang tanda-tandanya tampak pada ikatan keteraturan alam dan bersumber dari hikmah kebijaksanaan Tuhan sebagai hukum-hukum materi. Maka, dalam melakukan berbag..." içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)
164. satır: 164. satır:
. Di sana ia menyaksikan begitu banyak orang yang shalat di belakang imam. Orang-orang itu berdiri, duduk, sujud, dan ruku mengikuti gerakan dan seruan seorang imam. Karena orang tadi sama sekali tidak mengetahui tentang syariat Tuhan serta tidak mengetahui aturan yang ada di balik perintah-Nya, ia berasumsi bahwa kelompok orang yang shalat tadi saling diikat dengan tali. Tali itulah yang mengatur gerakan mereka. Serta, tali itu pula yang membuat mereka bergerak dan diam. Demikianlah. Ia pun pergi dengan pikiran dan anggapan keliru yang nyaris menjadi bahan ejekan dan tertawaan, bahkan oleh orang yang paling kejam dan buas.
. Di sana ia menyaksikan begitu banyak orang yang shalat di belakang imam. Orang-orang itu berdiri, duduk, sujud, dan ruku mengikuti gerakan dan seruan seorang imam. Karena orang tadi sama sekali tidak mengetahui tentang syariat Tuhan serta tidak mengetahui aturan yang ada di balik perintah-Nya, ia berasumsi bahwa kelompok orang yang shalat tadi saling diikat dengan tali. Tali itulah yang mengatur gerakan mereka. Serta, tali itu pula yang membuat mereka bergerak dan diam. Demikianlah. Ia pun pergi dengan pikiran dan anggapan keliru yang nyaris menjadi bahan ejekan dan tertawaan, bahkan oleh orang yang paling kejam dan buas.


<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
Sama dengan perumpamaan di atas, seorang ateis datang ke dunia yang merupakan markas besar para prajurit Sultan Yang Mulia sekaligus merupakan masjid yang teratur milik Dzat Azali yang disembah. Orang ateis tersebut datang dengan membawa paham naturalismenya. Ia menganggap “hukum-hukum abstrak” yang tanda-tandanya tampak pada ikatan keteraturan alam dan bersumber dari hikmah kebijaksanaan Tuhan sebagai hukum-hukum materi. Maka, dalam melakukan berbagai penelitian ia pun berinteraksi dengan hukum-hukum tadi sebagaimana berinteraksi dengan materi dan benda-benda mati. Ia menganggap hukum-hukum rububiyah Tuhan yang merupakan hukum dan aturan syariat alam milik Tuhan yang bersifat abstrak dan hanya ada dalam wujud pengetahuan se- bagai entitas dan benda.Ia memosisikan hukum-hukum yang bersumber dari ilmu ilahi dan kalam rabbani itu seperti qudrah ilahi yang bisa mencipta. Lalu semua itu disebutnya dengan “hukum alam” seraya menganggap kekuatan yang merupakan salah satu wujud manifestasi qudrah ilahi sebagai pemilik kekuasaan penuh. Hal ini merupakan kebodohan yang seribu kali lebih dahsyat daripada contoh di atas!
İşte aynı bu misal gibi Sultan-ı ezel ve ebed’in hadsiz cünudunun muhteşem bir kışlası olan şu âleme ve o Mabud-u Ezelî’nin muntazam bir mescidi olan şu kâinata; mahz-ı vahşet olan, inkârlı fikr-i tabiatı taşıyan bir münkir giriyor. O Sultan-ı Ezelî’nin hikmetinden gelen nizamat-ı kâinatın manevî kanunlarını, birer maddî madde tasavvur ederek ve saltanat-ı rububiyetin kavanin-i itibariyesi ve o Mabud-u Ezelî’nin şeriat-ı fıtriye-i kübrasının manevî ve yalnız vücud-u ilmîsi bulunan ahkâmlarını ve düsturlarını birer mevcud-u haricî ve maddî birer madde tahayyül ederek, kudret-i İlahiyenin yerine, o ilim ve kelâmdan gelen ve yalnız vücud-u ilmîsi bulunan o kanunları ikame etmek ve ellerine icad vermek, sonra da onlara “tabiat” namını takmak ve yalnız bir cilve-i kudret-i Rabbaniye olan kuvveti, bir zîkudret ve müstakil bir kadîr telakki etmek; misaldeki vahşiden bin defa aşağı bir vahşettir!
</div>


<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">
<div lang="tr" dir="ltr" class="mw-content-ltr">