CAHAYA KEDUA PULUH

    Risale-i Nur Tercümeleri sitesinden
    11.54, 24 Aralık 2024 tarihinde Ferhat (mesaj | katkılar) tarafından oluşturulmuş 195809 numaralı sürüm ("Wahai ahlul haq! Wahai orang yang berjalan di atas syariat, hakikat, dan tarekat! Wahai orang yang menuntut kebenaran! Berusahalah untuk menyingkirkan penyakit perpecehan yang menakutkan tersebut dengan cara bertindak sesuai dengan adab Qur’ani yang berbunyi:" içeriğiyle yeni sayfa oluşturdu)

    (Risalah Ikhlas I) (*[1])

    [Bahasan ini memiliki kedudukan yang sangat penting sehingga layak untuk menjadi “Cahaya Kedua Puluh” setelah sebelumnya merupakan catatan pertama dari lima catatan pada persoalan kedua dari tujuh persoalan yang ada dalam “Cahaya Ketujuh Belas”].

    بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّح۪يمِ

    “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu kitab al-Qur’an dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah hanya kepunyaan Allah agama yang bersih.” (QS. az-Zumar [39]: 2-3).Rasulullah bersabda:“Manusia sungguh celaka kecuali yang berilmu. Yang berilmu juga celaka kecuali yang mengamalkan ilmunya. Yang mengamalkan ilmunya juga celaka kecuali yang ikhlas. Dan orang yang ikhlas dihadapkan pada bahaya besar.” (*[2])

    Tenbih: Bu mübarek Isparta’nın medar-ı şükran bir hüsn-ü tâli’idir ki ondaki ehl-i takva ve ehl-i tarîkat ve ehl-i ilmin –sair yerlere nisbeten– rekabetkârane ihtilafları görünmüyor. Gerçi lâzım olan hakiki muhabbet ve ittifak yoksa da zararlı muhalefet ve rekabet de başka yerlere nisbeten yoktur.

    Poin Pertama

    Ada sebuah pertanyaan penting sekaligus mengherankan, “Mengapa para pemuka agama, para ulama, dan para ahli tarekat sufi―padahal mereka orang-orang yang mendapat petunjuk, taufik, dan restu dari-Nya―bersaing dan bertikai satu sama lain, sementara para ahli dunia dan orang-orang lalai―bahkan juga kaum sesat dan munafik―justru bisa bersatu tanpa ada pertikaian dan kedengkian di antara mereka? Padahal keharmonisan seharusnya menjadi milik kelompok yang mendapat taufik, dan pertikaian milik kaum munafik dan jahat? Bagaimana mungkin kebenaran dan kebatilan itu bertukar posisi?”

    Sebagai jawabannya, kami akan menjelaskan tujuh saja dari banyak faktor yang menyebabkan timbulnya kondisi menyedihkan ini:

    Faktor Pertama

    Perpecahan di antara ahlul haq bukan karena mereka tidak berpegang pada kebenaran. Demikian pula keharmonisan dan persatuan kaum yang sesat bukan karena mereka tunduk pada kebenaran.

    Akan tetapi, tugas dan pekerjaan orang yang berkecimpung dalam kesibukan duniawi, politik, keilmuan, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya sudah jelas dan berbeda satu sama lain. Setiap kelompok, perkumpulan, dan lembaga memiliki tugas masing-masing dan tentunya upah materi yang mereka dapatkan atas pekerjaan mereka itu juga sudah jelas dan berbeda satu dengan yang lain. Upah maknawi yang mereka dapatkan, seperti penghargaan, citra, dan popularitas, begitu jelas, spesifik, dan berbeda satu dengan yang lain.(*[3])Dengan demikian, tidak ada yang menjadi penyebab timbulnya persaingan, pertikaian, atau kedengkian di antara mereka. Juga, tidak ada alasan bagi mereka untuk berdebat dan bertikai. Karena itulah, mereka bisa harmonis meskipun sedang meniti jalan yang salah.

    Adapun tugas para pemuka agama, para ulama, dan ahli tarekat sufi tertuju kepada seluruh masyarakat. Upah duniawi mereka tidak pasti. Kedudukan sosial dan penghargaan yang mereka dapatkan pun tidak jelas. Ada banyak calon bagi sebuah kedudukan di kalangan ahlul haq serta ada banyak tangan yang menginginkan upah materi maupun maknawi dari kedudukan itu. Dari sini muncullah pertikaian, persaingan, kedengkian, dan kecemburuan. Akibatnya, keharmonisan berubah menjadi kemunafikan, dan persatuan berubah menjadi perpecahan.

    Penyakit kronis ini tidak akan bisa sembuh, kecuali dengan salep ikhlas, yang merupakan obat yang benar-benar mujarab.

    Dengan kata lain, seseorang harus mengamalkan firman Allah yang berbunyi: “Upahku hanya dari Allah.” (QS. Yunus [10]: 72). Caranya, ia harus lebih mengedepankan kebenaran dan petunjuk ketimbang mengikuti hawa nafsu, serta lebih mendahulukan kebenaran daripada kepentingan pribadi. Selain itu, ia pun harus mengamalkan pernyataan al-Qur’an berikut ini:“Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan (amanat Allah) de- ngan jelas.” (QS. an-Nûr [24]: 54). kebenaran daripada kepentingan pribadi. Selain itu, ia pun harus mengamalkan pernyataan al-Qur’an berikut ini: “Kewajiban Rasul hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan jelas.” (QS. an-Nûr [24]: 54). Cara mengamalkannya, ia harus mengabaikan upah materi dan maknawi yang datang dari manusia,(*[4])sekaligus menyadari bahwa pujian, penghargaan, dan penghormatan dari mereka semata-mata berasal dari karunia Allah dan sama sekali bukan karena tugasnya, yang hanya sekadar menyampaikan. Siapa yang berhasil mengamalkan hal tersebut, ia akan merasakan nikmatnya keikhlasan. Jika tidak, ia akan kehilangan banyak kebaikan.

    Faktor Kedua

    Persatuan kaum sesat bersumber dari kehinaan mereka, sedangkan perpecahan kaum yang mendapat hidayah bersumber dari kemuliaan mereka.

    Kaum ahli dunia dan orang-orang sesat yang lalai, karena tidak berpegang pada kebenaran, berada dalam kondisi yang lemah dan hina. Oleh sebab itu, mereka sadar bahwa mereka perlu mendapatkan kekuatan, memperoleh bantuan, serta bersatu dengan yang lain. Mereka sangat menjaga persatuan tersebut meski berada dalam jalan kesesatan. Seolah-olah mereka berbuat benar dalam kebatilan, tulus dalam kesesatan, teguh dalam kekufuran, serta bersatu dalam kemunafikan, sehingga mereka berhasil. Sebab, keikhlasan yang tulus, meskipun dalam hal kebatilan, tak akan percuma dan sia-sia. Ketika seseorang meminta sesuatu dengan tulus, niscaya Allah akan mem- berikan padanya.(*[5])

    Adapun kaum yang mendapat hidayah, para ulama, dan para ahli tarekat, semuanya bersandar pada kebenaran. Dalam perjalanan menempuh jalan kebenaran, masing-masing mereka hanya meng- harapkan ridha Allah dan bersandar pada taufik-Nya sehingga mereka memperoleh kehormatan maknawi dalam manhaj yang ditempuh. Ketika mereka merasa lemah, mereka berserah diri dan meminta bantuan hanya kepada Allah, bukan kepada manusia. Mereka meng- harapkan kekuatan hanya dari-Nya. Di samping itu, mereka menya- dari perbedaan manhaj orang lain dengan manhaj yang ditekuninya. Oleh karena itu, mereka tidak merasakan adanya alasan untuk bekerja sama dan sepakat dengan orang yang secara lahiriah berseberangan dengan jalannya.Jika sifat kesombongan dan egoisme tertanam dalam jiwa seseorang hingga ia menganggap dirinya benar dan orang yang berse- berangan dengannya keliru, akan timbul perselisihan dan persaingan sebagai ganti dari ikatan persatuan dan cinta. Saat itulah ia kehilangan keikhlasan dan amal kebajikannya runtuh.

    Obat satu-satunya untuk kasus ini dan untuk menghindari timbulnya akibat yang kurang menyenangkan itu adalah sembilan perkara berikut:

    1. Bertindak secara positif yang membangun, yaitu bertindak berdasarkan manhaj masing-masing tanpa berpikir untuk memusuhi dan meremehkan orang lain. Dengan kata lain, seorang mukmin hendaknya tidak sibuk memikirkan kekurangan orang lain.

    2. Mencari berbagai ikatan persatuan yang dapat mengikat berbagai aliran dalam tubuh umat Islam―apa pun bentuknya―di mana ikatan itu menjadi sumber cinta kasih serta sarana persaudaraan dan kesepahaman di antara berbagai aliran hingga akhirnya mereka bersatu.

    3. Menjadikan prinsip keadilan sebagai petunjuk dan pedoman. Artinya, setiap orang yang menempuh jalan (dakwah) yang benar berhak mengatakan, “Sesungguhnya jalanku benar, lebih utama, dan lebih bagus,” tanpa mencampuri manhaj orang lain. Namun, ia tidak boleh mengatakan, “Yang benar hanyalah jalan yang kutempuh”, atau “Sesungguhnya kebaikan dan keindahan hanya terdapat pada manhajku,” yang mengisyaratkan kekeliru- an manhaj yang ditempuh orang lain.

    4. Menyadari bahwa bersatu dengan ahlul haq adalah salah satu cara untuk mendapat taufik Ilahi dan salah satu sumber kemuliaan Islam.

    5. Menjaga kebenaran dan keadilan dengan membentuk sosok maknawi (kepribadian kolektif). Yaitu dengan cara bersatu dengan ahlul haq untuk menghadapi kaum sesat dan batil yang menyerang ahlul haq secara kolektif dalam bentuk kelompok. Selanjutnya, menyadari bahwa sekuat apapun pertahanan personal, pasti akan kalah oleh serangan kolektif dari kaum sesat.

    6. Melindungi kebenaran dari serangan kebatilan, dangan cara- cara pada nomor 7-9:

    7. Meninggalkan keinginan nafsu dan sifat egois.

    8. Meninggalkan kemuliaan dan harga diri yang disalahfahami.

    9. Meninggalkan perasaan yang bisa menimbulkan kedengkian dan persaingan.Dengan sembilan poin tersebut, keikhlasan dapat diraih dan manusia itu sendiri dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan dalam bentuk yang semestinya.(*[6])

    Faktor Ketiga

    Perpecahan di antara ahlul haq tidak disebabkan oleh kehinaan dan hilangnya semangat. Sebaliknya, persatuan kaum yang sesat tidak disebabkan oleh adanya semangat yang tinggi.

    Akan tetapi, perpecahan di antara ahlul haq disebabkan oleh adanya penyalahgunaan semangat yang tinggi itu, sedangkan persatuan kaum sesat justru disebabkan oleh kelemahan dan ketidakber- dayaan yang bersumber dari kehilangan semangat.Yang menyebabkan ahlul haq salah dalam mempergunakan semangat yang kemudian mengarah pada perpecahan, kecembu- ruan, dan kedengkian adalah sikap yang terlalu berlebihan dalam menginginkan pahala akhirat—yang sebetulnya merupakan tinda- kan terpuji— serta tidak pernah merasa cukup dalam tugas ukhrawi. Perasaan tidak cukup ini antara lain ditandai dengan adanya ucapan, “Biarkan aku sendiri yang mendapatkan pahala ini. Akulah yang akan membimbing manusia sehingga mereka hanya mendengarkan perkataanku,” atau “Mengapa murid-muridku pergi kepada orang lain?” atau “Mengapa jumlah muridku kalah dari jumlah muridnya?” Dengan ucapan-ucapan dan perasaan-perasaan seperti ini seorang ahlul haq telah mengambil posisi sebagai pesaing dengan saudaranya sendiri, yang sebetulnya sangat membutuhkan cinta, pertolongan, persaudaraan, dan uluran tangan darinya. Maka, sifat egoisme di dalam diri ahlul haq pun menyeruak dan mulai mendap- atkan tempat di hatinya, dan kemudian memanfaatkan peluang ini untuk mengotori hatinya dengan sifat tercela, yaitu cinta kedudukan. Dengan demikian, pupuslah keikhlasannya dan terbukalah pintu riya.

    Obat untuk menyembuhkan kesalahan, luka parah, dan pe- nyakit jiwa yang kronis ini adalah pengetahuan bahwa ridha Allah hanya bisa diperoleh dengan sikap ikhlas;(*[7])ridha Allah bukan bergantung pada banyaknya pengikut dan juga banyaknya keberhasilan yang dicapai. Sebab, banyaknya pengikut dan keberhasilan merupakan hak prerogatif Allah. Ia tidak bisa diminta, melainkan Allah yang memberikannya. Ya, mungkin saja satu kata menjadi penyebab keselamatan dari api neraka sekaligus penyebab untuk mendapatkan ridha Allah.(*[8])Bisa jadi bimbingan satu orang saja menjadi amal yang diridhai Allah dengan nilai yang setara dengan bimbingan kepada seribu orang. Oleh sebab itu, kuantitas tidak sepantasnya dijadikan sebagai tolok ukur.

    Selanjutnya, niat ikhlas dan mendambakan kebanaran hanya bisa diketahui dengan ketulusan hasrat untuk memberikan manfaat kepada seluruh umat Islam tanpa membatasi dari mana dan dari siapa sumber manfaat itu. Jika tidak demikian, seseorang bisa terjerumus dalam suatu pandangan bahwa, “mereka seharusnya mendapatkan pelajaran hanya dariku sehingga aku bisa mendapatkan semua pahala akhirat.” Pandangan ini merupakan tipuan hawa nafsu dan salah satu bentuk egoisme.

    Wahai orang yang rakus terhadap pahala dan tidak merasa cukup dengan amal akhirat! Ketahuilah bahwa Allah telah mengutus para nabi yang mulia, namun hanya sedikit saja yang mau mengikuti ajaran-ajaran mereka. Meskipun demikian, mereka tetap mendapatkan pahala tugas suci kenabian yang tak terhingga. Jadi, keutamaan tidak terletak pada banyaknya pengikut, melainkan pada ridha Allah. Karena itu, siapakah dirimu wahai orang yang rakus sehingga engkau ingin agar semua orang mendengarkanmu, lalu engkau melalaikan kewajiban serta berusaha mencampuri urusan dan ketentuan Allah? Membuat orang lain menerimamu dan masyarakat berkumpul di sekitarmu adalah hak prerogatif Allah. Maka janganlah engkau menyibukkan diri dengan urusan yang menjadi hak-Nya. Akan tetapi, fokuskan perhatianmu untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajibanmu.

    Selanjutnya, yang mau mendengarkan kebenaran dan yang membuat sang juru dakwah mendapatkan pahala tidak hanya manusia. Masih ada hamba-hamba Allah yang mempunyai perasaan, para ruhaniyyîn (makhluk spiritual), dan para malaikat yang memenuhi serta mendiami alam ini.(*[9])Jika engkau menginginkan banyak pahala ukhrawi, engkau harus berlaku ikhlas dan menjadikannya sebagai landasan amalmu. Kemudian jadikan ridha Allah sebagai tujuan satu-satunya dalam beramal agar semua ucapan baik yang keluar dari lisanmu menjadi hidup dan tersebar di angkasa dalam nuansa ikhlas dan niat yang tulus sehingga sampai ke pendengaran para makhluk Allah di atas yang tak terhitung banyaknya. Dengan begitu, berarti engkau telah menyinari mereka dan mendapatkan imbalan pahala yang berlipat-lipat. Sebab, ketika engkau, misalnya, mengucapkan “Alhamdulillah”, de- ngan izin Allah ucapanmu itu akan ditulis dengan jutaan kata “Al- hamdulillah”, baik kecil maupun besar, di angkasa.Karena Allah Sang Pencipta Yang Mahabijak tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia, maka tentu pendengaran makhluk yang tak terhingga itu akan mendengar kalimat yang baik tersebut.

    Ketika keikhlasan dan niat yang tulus itu telah membuat hidup ucapan-ucapan yang tersebar di angkasa tersebut, maka ia akan segera masuk ke dalam pendengaran para ruhaniyyîn tadi dengan nikmat, seperti nikmatnya buah yang lezat.

    Tetapi jika tidak dengan keikhlasan, ucapanmu itu pun menjadi tidak nikmat. Bahkan berbagai pendengaran menjauhinya sehingga pahalanya hanya terbatas pada apa yang terucap oleh mulutmu.Karena itu, para pembaca al-Qur’an yang resah karena suara mereka yang kurang bagus, lalu mengeluh karena tidak didengar orang, hendaknya mereka betul-betul memperhatikan hal di atas.

    Faktor Keempat

    Perselisihan dan persaingan di antara mereka yang mendapat petunjuk bukan disebabkan mereka tidak memikirkan akibat, juga bukan karena mereka berpikiran pendek. Sebaliknya, persatuan secara tulus di antara kaum sesat bukan karena mereka memikirkan akibat atau mempunyai pikiran yang mendalam.

    Akan tetapi, kelompok yang mendapat petunjuk itu tidak bisa berlaku istikamah dan tidak dapat menjaga keikhlasan sehingga mereka tidak bisa mempertahankan kedudukan mereka yang tinggi. Mereka pun jatuh ke dalam jurang perpecahan meskipun mereka mengikuti kecenderungan akal dan kalbu yang berpandangan jauh dan sudah berusaha tidak menuruti godaan nafsu yang buta.

    Adapun kaum sesat, dengan pengaruh hawa nafsu dan tuntutan perasaan yang buta, tidak melihat akibat dan lebih mengutamakan satu ons kenikmatan “sekarang” daripada ribuan kuintal kenikmatan “mendatang”. Mereka pun bersatu-padu dan berkumpul untuk mendapatkan keuntungan dunia dan kenikmatan yang “sekarang” itu. Ya, para penghamba nafsu rendahan yang kalbunya telah mati itu bersatu dan hidup rukun guna meraih kenikmatan dan kepentingan duniawi yang bersifat duniawi dan instan.

    Karena kelompok yang mendapat petunjuk mengarahkan per- hatiannya pada buah kesempurnaan dan imbalan ukhrawi di akhirat nanti serta prinsip-prinsip agung yang berasal kalbu dan akal, seharusnya mereka berlaku istikamah dan ikhlas secara sungguh-sungguh dan mencapai persatuan atas landasan kerelaan berkorban. Namun, karena mereka tidak mampu melepaskan diri dari egoisme dan tindakan ekstrem, akhirnya mereka justru kehilangan persatuan yang merupakan sumber kekuatan mulia. Keihklasan mereka pun menjadi hilang, amal-amal ukhrawi mereka menjadi sia-sia, dan merasa sulit untuk mencapai ridha Allah .

    Obat dari penyakit kronis ini adalah: • Merasa bangga ketika bergabung bersama orang-orang yang meniti jalan kebenaran. • Mengikuti mereka. • Menyerahkan kepemimpinan kepada mereka. • Meninggalkan egoisme berdasarkan kemungkinan siapa saja yang meniti jalan kebenaran itu lebih baik dan lebih utama daripada kita agar keikhlasan itu mudah diraih. • Menyadari bahwa amal yang sedikit tetapi disertai dengan keikhlasan lebih baik daripada amal segunung yang tidak disertai keikhlasan. • Lebih senang tetap menjadi pengikut dan tidak berupaya menjadi pimpinan, yang tentu saja memiliki tanggung jawab dan tantangan yang lebih berat.Semua itu tentunya harus dilandasi dengan rahasia “Cinta karena Allah”.(*[10])Dengan beberapa kiat di atas, seseorang bisa selamat dari penyakit kronis tersebut, bisa bersikap ikhlas, serta termasuk orang yang mengerjakan tugas-tugas ukhrawinya secara benar.

    Faktor Kelima

    Perpecahan di antara kelompok yang mendapatkan petunjuk tidak bersumber dari kelemahan mereka. Sebaliknya, persatuan kaum yang sesat tidak bersumber dari kekuatan mereka.

    Akan tetapi, perpecahan di antara kaum yang mendapatkan petunjuk itu karena mereka tidak merasa membutuhkan kekuatan lantaran adanya iman yang sempurna sebagai titik sandaran mereka.Adapun persatuan kaum lalai dan sesat terwujud karena mereka merasa lemah dan papa, sebab tidak mempunyai sandaran kekuatan. Dari sinilah, orang-orang yang lemah itu bersatu dan menjadi kuat. Di sisi lain, orang-orang yang kuat tadi, karena tidak merasa perlu bersatu, akhirnya tidak pernah bersatu. Para ahlul haq itu tak ubahnya seperti singa dan serigala, yang tidak merasa perlu bersatu se- hingga hidup sendiri. Sebaliknya, kambing liar hidup berkelompok karena takut pada serigala. Dengan kata lain, perkumpulan orang- orang yang lemah dan “sosok maknawi” mereka itu begitu kuat, sedangkan perkumpulan orang-orang yang kuat dan “sosok maknawi” mereka sangat lemah.(*[11])

    Ada isyarat halus tentang hal ini dalam al-Qur’an. Kata kerja berkata, yang berbentuk maskulin, disandarkan kepada subjek yang berupa kata sekelompok wanita, yang berbentuk feminin.

    Allah berfirman:“Sekelompok wanita di kota itu berkata...” (QS. Yusuf [12]: 3). Sebaliknya, kata قَالَ berkata, yang berbentuk feminin, dipergunakan bagi subjek berupa kata ال۟اَع۟رَابُ sekelompok lelaki, yang berbentuk maskulin, seperti dalam firman-Nya:“Orang-orang Arab badui itu berkata.” (QS. al-Hujurat [49]:14).

    Hal itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa persatuan wanita yang lemah dan lembut itu menjadi kuat dan memiliki semacam sifat kejantanan sehingga dipakailah bentuk maskulin, qâla. Adapun para lelaki yang kuat itu, karena bersandar pada kekuatan mereka, apalagi orang-orang Arab Badui, sangat lemah sehingga seolah-olah mempunyai semacam sifat perempuan, seperti takut, hati-hati, dan lembut. Maka, kata kerja yang dipakai berbentuk feminin, qâlat.Ya, ahlul haq tidak merasa membutuhkan bantuan orang lain karena sikap tawakkal dan kepasrahan yang bersumber dari iman kepada Allah, yang merupakan sandaran yang sangat kuat. Bahkan, seandainya mereka membutuhkan bantuan orang lain, mereka tidak akan meminta secara berlebihan.

    Adapun ahli dunia, karena mereka lalai terhadap sandaran yang hakiki, merasa lemah dan tak mampu melaksanakan urusan-urusan dunia. Maka, mereka pun merasa perlu bantuan dari yang lain sehingga mau bersatu dan berkorban secara sungguh-sungguh.

    Demikianlah, karena para ahlul haq tidak mengetahui kekuatan yang terdapat di balik persatuan serta karena mereka tidak memedulikan persatuan, akhirnya mereka terjerumus kepada sebuah akibat yang fatal, yaitu perpecahan.

    Sebaliknya, karena kaum sesat yang batil itu menyadari kekuatan besar di balik persatuan, mereka pun memperoleh sarana yang paling efektif yang bisa mengantarkan kepada tujuan mereka, yaitu persatuan.

    Agar bisa selamat dari kenyataan yang menyedihkan ini dan agar bisa terlepas dari penyakit kronis yang menimpa ahlul haq ini, yaitu perpecahan, kita harus menjadikan larangan dan perintah Ilahi dalam dua ayat berikut sebagai prinsip kehidupan sosial kita.

    Allah berfirman:“Janganlah kamu berselisih sehingga kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan.” (QS. al-Anfal [8]: 46).“Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan.” (QS. al-Mâidah [5]: 2).Kemudian, kita juga harus mengetahui bahaya besar dari suatu perpecahan bagi Islam dan kaum muslimin serta bagaimana perpec- ahan itu akan memudahkan jalan bagi kaum sesat untuk bertindak sesuka hati kepada ahlul haq. Selain itu, kita juga harus bergabung dengan rombongan ahlul haq secara tulus dan penuh pengorbanan lewat kelemahan dan ketidakberdayaan total, serta menyelamatkan diri dari sikap riya dan kepura-puraan dengan melupakan diri guna meraih keikhlasan.

    Faktor Keenam

    Perpecahan ahlul haq terjadi bukan diakibatkan oleh tidak adanya kemuliaan, rendahnya cita-cita atau semangat mereka. Sebaliknya, persatuan yang tulus kaum sesat dan ahli dunia bukan diakibatkan oleh adanya kemuliaan, serta semangat dan cita-cita yang tinggi.

    Sebagian besar ahlul haq lebih mengarahkan perhatian mereka kepada pahala akhirat sehingga perhatian dan antusiasme mereka terbagi kepada berbagai persoalan penting tersebut. Selain itu, karena mereka tidak mempergunakan sebagian besar waktu mereka—yang sebetulnya merupakan modal hakiki mereka—untuk mengurusi suatu persoalan tertentu, maka tidak terjadi kesepakatan yang kuat di antara para ahlul haq dalam mengurusi persoalan-persoalan yang ada, yang jumlahnya sangat banyak dan medannya sangat luas.

    Adapun para ahli dunia yang lalai itu, karena mereka hanya mengarahkan perhatian kepada kehidupan dunia, memfokuskan diri terhadap urusan duniawi, yang merupakan tujuan utama mereka dalam kehidupan. Mereka pun mengikatkan diri dengan urusan duniawi itu dengan ikatan yang kuat beserta seluruh perasaan, jiwa, dan kalbu mereka. Siapa pun yang mengulurkan bantuan kepada mereka untuk mendapatkan dunia, pasti akan diterima secara baik dan dijaga. Mereka mempergunakan waktu mereka yang sangat berharga hanya untuk mengurusi persoalan-persoalan duniawi, yang sama sekali tidak ada nilainya bagi ahlul haq. Mereka tak ubahnya seperti tukang emas Yahudi yang gila, yang membeli serpihan kaca tak bernilai seharga batu permata. Membeli sesuatu dengan harga yang sangat mahal disertai perasaan puas, tentu saja akan membawa pada keberhasilan dan kesuksesan meskipun berada di jalan yang salah. Sebab, di dalamnya ada ketulusan yang sungguh-sungguh. Dari sinilah, kita mengetahui mengapa kaum yang batil bisa mengalahkan kaum yang benar sehingga mereka kehilangan keikhlasan serta jatuh pada kehinaan, kepura-puraan, dan riya. Mereka terpaksa bermanis muka kepada para ahli dunia yang tak mempunyai kemuliaan, cita-cita, dan semangat keagamaan.

    Wahai ahlul haq! Wahai orang yang berjalan di atas syariat, hakikat, dan tarekat! Wahai orang yang menuntut kebenaran! Berusahalah untuk menyingkirkan penyakit perpecehan yang menakutkan tersebut dengan cara bertindak sesuai dengan adab Qur’ani yang berbunyi:

    وَاِذَا مَرُّوا بِاللَّغ۟وِ مَرُّوا كِرَامًا edeb-i Furkanî ile edepleniniz! Ve haricî düşmanın hücumunda dâhilî münakaşatı terk etmek ve ehl-i hakkı sukuttan ve zilletten kurtarmayı en birinci ve en mühim bir vazife-i uhreviye telakki edip, yüzer âyât ve ehadîs-i Nebeviyenin şiddetle emrettikleri uhuvvet, muhabbet ve teavünü yapıp bütün hissiyatınızla ehl-i dünyadan daha şiddetli bir surette meslektaşlarınızla ve dindaşlarınızla ittifak ediniz yani ihtilafa düşmeyiniz.

    Böyle küçük meseleler için kıymettar vaktimi sarf etmekten ise o çok kıymetli vaktimi zikir ve fikir gibi kıymettar şeylere sarf edeceğim deyip çekilerek, ittifakı zayıflaştırmayınız. Çünkü bu manevî cihadda küçük mesele zannettiğiniz, çok büyük olabilir. Bir neferin, bir saatte mühim ve hususi şerait dâhilindeki nöbeti bir sene ibadet hükmüne bazen geçmesi gibi; bu ehl-i hakkın mağlubiyeti zamanında, manevî mücahede mesailinde, küçük bir meseleye sarf olunan senin kıymettar bir günün, o neferin o saati gibi bin derece kıymet alabilir, bir günün bin gün olabilir.

    Madem livechillahtır; o işin küçüğüne büyüğüne, kıymetli ve kıymetsizliğine bakılmaz. İhlas ve rıza-yı İlahî yolunda zerre, yıldız gibi olur. Vesilenin mahiyetine bakılmaz, neticesine bakılır. Madem neticesi rıza-yı İlahîdir ve mâyesi ihlastır; o küçük değildir, büyüktür.

    Yedinci Sebep

    Ehl-i hak ve hakikatin ihtilaf ve rekabetleri, kıskançlıktan ve hırs-ı dünyadan gelmediği gibi; ehl-i dünyanın ve ehl-i gafletin ittifakları dahi civanmertlikten ve ulüvv-ü cenabdan değildir.

    Belki ehl-i hakikat, hakikatten gelen ulüvv-ü cenab ve ulüvv-ü himmet ve tarîk-i hakta memduh olan müsabakayı tam muhafaza edemediklerinden ve nâ-ehillerin girmesi yüzünden bir derece sû-i istimal ettiklerinden; rekabetkârane ihtilafa düşüp hem kendine hem cemaat-i İslâmiyeye ehemmiyetli zarar olmuş.

    Ehl-i gaflet ve ehl-i dalalet ise meftun oldukları menfaatlerini kaçırmamak ve menfaat için perestiş ettikleri reislerini ve arkadaşlarını küstürmemek için zilletlerinden ve nâmertliklerinden, hamiyetsizliklerinden; mutlak arkadaşlarıyla, hattâ denî ve hain ve muzır olsalar dahi hâlisane ittihat hem menfaat etrafında toplanan ne şekilde olursa olsun şerikleriyle samimane ittifak ederler. Samimiyet neticesi olarak istifade ederler.

    İşte ey musibetzede ve ihtilafa düşmüş ehl-i hak ve ashab-ı hakikat! Bu musibet zamanında ihlası kaçırdığınızdan ve rıza-yı İlahîyi münhasıran gaye-i maksat yapmadığınızdan, ehl-i hakkın bu zillet ve mağlubiyetine sebebiyet verdiniz.

    Umûr-u diniye ve uhreviyede rekabet, gıpta, hased ve kıskançlık olmamalı ve hakikat nokta-i nazarında olamaz. Çünkü kıskançlık ve hasedin sebebi; bir tek şeye çok eller uzanmasından ve bir tek makama çok gözler dikilmesinden ve bir tek ekmeği çok mideler istemesinden müzahame, münakaşa, müsabaka sebebiyle gıptaya, sonra kıskançlığa düşerler. Dünyada bir şey-i vâhide çoklar talip olduğundan ve dünya dar ve muvakkat olması sebebiyle insanın hadsiz arzularını tatmin edemediği için rekabete düşüyorlar.

    Fakat âhirette tek bir adama beş yüz sene (Hâşiye[12]) mesafelik bir cennet ihsan edilmesi ve yetmiş bin kasır ve huriler verilmesi ve ehl-i cennetten herkes kendi hissesinden kemal-i rıza ile memnun olması işaretiyle gösteriliyor ki âhirette medar-ı rekabet bir şey yoktur ve rekabet de olamaz. Öyle ise âhirete ait olan a’mal-i salihada dahi rekabet olamaz, kıskançlık yeri değildir.

    Kıskançlık eden ya riyakârdır, a’mal-i saliha suretiyle dünyevî neticeleri arıyor veyahut sadık cahildir ki a’mal-i saliha nereye baktığını bilmiyor ve a’mal-i salihanın ruhu, esası ihlas olduğunu derk etmiyor. Rekabet suretiyle evliyaullaha karşı bir nevi adâvet taşımakla, vüs’at-i rahmet-i İlahiyeyi ittiham ediyor. Bu hakikati teyid eden bir vakıa:

    Eski arkadaşlarımızdan bir adamın, bir adama karşı adâveti vardı. O adamın yanında senakârane onun düşmanı amel-i salihle, hattâ velayetle tavsif edildi. O adam kıskanmadı, sıkılmadı.

    Sonra birisi dedi: “Senin o düşmanın cesurdur, kuvvetlidir.” Baktık ki o adamda şiddetli bir kıskançlık ve bir rekabet damarı uyandı.

    Ona dedik: “Velayet ve salahat hadsiz bir hayat-ı ebediyenin pırlantası gibi bir kuvvet ve bir yüksekliktir. Sen buna bu cihette kıskanmadın. Dünyevî kuvvet öküzde ve cesaret canavarda dahi bulunmakla beraber, velayet ve salahate nisbeten; bir âdi cam parçasının elmasa nisbeti gibidir.”

    O adam dedi ki: “Bir noktaya, bir makama ikimiz bu dünyada gözümüzü dikmişiz. Oraya çıkmak için basamaklarımız da kuvvet ve cesaret gibi şeylerdir. Onun için kıskandım. Âhiret makamatı hadsizdir. O burada benim düşmanım iken, orada benim samimi ve sevgili kardeşim olabilir.”

    Ey ehl-i hakikat ve tarîkat! Hakka hizmet, büyük ve ağır bir defineyi taşımak ve muhafaza etmek gibidir. O defineyi omuzunda taşıyanlara ne kadar kuvvetli eller yardıma koşsalar daha ziyade sevinir, memnun olurlar. Kıskanmak şöyle dursun, gayet samimi bir muhabbetle o gelenlerin kendilerinden daha ziyade olan kuvvetlerini ve daha ziyade tesirlerini ve yardımlarını müftehirane alkışlamak lâzım gelirken, nedendir ki rekabetkârane o hakiki kardeşlere ve fedakâr yardımcılara bakılıyor ve o hal ile ihlas kaçıyor. Vazifenizde müttehem olup ehl-i dalaletin nazarında, sizden ve sizin mesleğinizden yüz derece aşağı olan, din ile dünyayı kazanmak ve ilm-i hakikatle maişeti temin etmek, tama’ ve hırs yolunda rekabet etmek gibi müthiş ittihamlara maruz kalıyorsunuz.

    Bu marazın çare-i yegânesi: Nefsini ittiham etmek ve nefsine değil, daima karşısındaki meslektaşına taraftar olmak. Fenn-i âdab ve ilm-i münazaranın uleması mabeynindeki hakperestlik ve insaf düsturu olan şu: “Eğer bir meselenin münazarasında kendi sözünün haklı çıktığına taraftar olup ve kendi haklı çıktığına sevinse ve hasmının haksız ve yanlış olduğuna memnun olsa insafsızdır.” Hem zarar eder. Çünkü haklı çıktığı vakit o münazarada bilmediği bir şeyi öğrenmiyor, belki gurur ihtimaliyle zarar edebilir. Eğer hak hasmının elinde çıksa zararsız, bilmediği bir meseleyi öğrenip menfaattar olur, nefsin gururundan kurtulur.

    Demek insaflı hakperest, hakkın hatırı için nefsin hatırını kırıyor. Hasmının elinde hakkı görse yine rıza ile kabul edip taraftar çıkar, memnun olur.

    İşte bu düsturu ehl-i din, ehl-i hakikat, ehl-i tarîkat, ehl-i ilim kendilerine rehber ittihaz etseler ihlası kazanırlar. Ve vazife-i uhreviyelerinde muvaffak olurlar. Ve bu feci sukut ve musibet-i hazıradan rahmet-i İlahiye ile kurtulurlar.

    سُب۟حَانَكَ لَا عِل۟مَ لَنَٓا اِلَّا مَا عَلَّم۟تَنَٓا اِنَّكَ اَن۟تَ ال۟عَلٖيمُ ال۟حَكٖيمُ


    1. *Catatan:Keberuntungan yang Allah limpahkan ke sebuah kota yang penuh berkah, Isparta, patut disyukuri. Sebab, tidak terjadi perbedaan yang bercampur dengan kedengkian di antara penduduknya yang terdiri dari orang-orang bertakwa, orang saleh, ahli tarekat sufi, dan para ulama. Kalaupun ada, ia jauh lebih ringan daripada yang terjadi di daerah lain. Meskipun kecintaan yang tulus dan kesepahaman yang utuh tidak terwujud sebagaimana mestinya, namun perbedaan dan persaingan yang berbahaya juga tidak ditemukan jika dibandingkan dengan daerah lain―Penulis.
    2. *Lihat takhrijnya pada memoar ketiga belas, Cahaya Ketujuh Belas.
    3. *Peringatan:Penghargaan dan penghormatan manusia tidaklah dicari, tetapi diberi. Andaipun penghargaan itu telah diraih, janganlah merasa senang dengannya. Jika seseorang senang dengannya, berarti ia hilang keikhlasan dan jatuh ke dalam riya. Adapun mengharapkan penghargaan dengan tujuan mencari popularitas dan reputasi bukan merupakan upah dan ganjaran, melainkan merupakan hukuman yang diakibatkan oleh ketidak-ikhlasan. Ya, penghargaan manusia dan popularitas tidak boleh diharapkan, sebab kenikmatan parsial yang lahir darinya dapat merusak keikhlasan yang merupakan roh amal saleh. Lagi pula, kenikmatan tersebut hanya bertahan sampai pintu kubur. Lebih dari itu, ia akan berubah menjadi azab kubur yang pedih setelah masuk kubur. Karena itu, janganlah mengharap penghargaan manusia, melainkan ia harus ditakuti dan dijauhi. lnilah yang harus diperhatikan oleh para pencari popularitas dan mereka yang mengaharapkan penghargaan manusia―Penulis.
    4. *Ia hendaknya meneladani sikap altruisme (îtsâr; mengutamakan kepentingan orang lain) yang dimiliki oleh para sahabat f. Sikap inilah yang membuat mereka dipu- ji secara langsung oleh al-Qur’an. Altruisme ialah sikap mendahulukan orang lain atas diri sendiri dalam menerima hadiah dan sedekah, serta sikap tidak menerima balasan atas pengabdian yang di lakukan untuk kepentingan agama, bahkan tidak mengharap- kannya sama sekali. Kalaupun kemudian diberi, hal itu harus dianggap sebagai karunia ilahi semata, tanpa merasa berhutang budi pada manusia. Sebab, tidak boleh meminta balasan duniawi atas pengabdian di jalan ukhrawi agar keikhlasan tetap terjaga. Meskipun umat harus menjamin nafkah kehidupan mereka (orang-orang yang mengabdikan dirinya pada agama), dan mereka berhak menerima zakat, namun mereka tidak boleh meminta-minta, melainkan diberi. Ketika mereka diberi sesuatu, mereka tidak boleh mengambilnya sebagai balasan atas tugas pengabdian agama. Karena itu, ahlul haq semampu mungkin lebih mengutamakan orang yang lebih berhak menerima disertai sikap ridha dan qanaah terhadap rezeki yang Allah berikan agar mendapatkan rahasia ayat al-Qur’an yang berbunyi:“Mereka lebih mengutamakan orang lain daripada diri mereka sendiri, meskipun mereka sebenarnya memerlukan”. (QS. al-Hasyr [59]: 9). Ketika itulah, seseorang akan bisa berlaku ikhlas sekaligas bisa menyelamatkan diri dari jurang kebinasaan yang sangat berbahaya–Penulis.
    5. *Peribahasa yang berbunyi, “Siapa yang bersungguh-sungguh, ia akan berhasil,” merupakan hakikat kebenaran yang mempunyai pengertian luas dan komprehensif, termasuk dalam pengabdian kami–Penulis.
    6. *Ada hadis sahih yang menyatakan bahwa para penganut agama Nasrani yang hakiki, pada akhir zaman nanti, akan bersatu dengan ahlul Qur’an untuk menghadapi musuh bersama, yaitu ateisme. Karena itu, kaum mukminin pada zaman sekarang ini tidak hanya perlu bersatu di antara sesama mereka, tetapi juga perlu bersatu dengan para agamawan Nasrani yang hakiki untuk melawan orang-orang ateis yang merupakan musuh bersama. Untuk sementara mereka harus meninggalkan perselisihan dan pertikaian yang ada–Penulis.
    7. *Lihat: Ibnu Majah, al-Muqaddimah, 9; dan al-Hâkim, al-Mustadrak, 2/362.
    8. *Lihat: al-Bukhari, ar-Riqâq, 81; Muslim, az-Zuhd, 6; at-Tirmidzi, az-Zuhd, 12; Ibnu Majah, al-Fitan, 12; al-Muwaththa’, al-Kalâm, 4; dan Ahmad ibn Hambal, al-Mus- nad, 2/334; 3/469.
    9. *Lihat: at-Tirmidzi, az-Zuhd, 9; dan Ibnu Majah, az-Zuhd, 19.
    10. *Lihat: Abu Daud, as-Sunnah, 2; Ahmad ibn Hambal, al-Musnad, 5/146; at-Thayâlisi, h.50, 100; dan Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, 6/170, 172; 8/80.
    11. *Pernyataan kami ini diperkuat oleh fakta bahwa perkumpulan Eropa yang paling kuat, yang paling berpengaruh di masyarakat, serta yang paling menonjol di Amerika, dari satu sisi, adalah perkumpulan kaum perempuan, yang merupakan makhluk yang lemah dan lembut. Mereka menuntut hak-hak dan kebebasan mereka sebagai perempuan. Demikian pula persatuan bangsa Armenia, yang merupakan kaum minoritas dan lemah di antara bangsa-bangsa di dunia, mereka memperlihatkan pengorbanan dan keberanian yang luar biasa–Penulis.
    12. Hâşiye: Mühim bir taraftan ehemmiyetli bir suâl: Rivâyette gelmiş ki, Cennette bir adama beş yüz senelik bir Cennet verilir. Bu hakikat akl-ı dünyevînin havsalasında nasıl yerleşir?
      Elcevab: Nasıl ki, bu dünyada herkesin dünya kadar hususî ve muvakkat bir dünyası var. Ve o dünyanın direği onun hayatıdır. Ve zâhirî ve bâtınî duygularıyla o dünyasından istifade eder. "Güneş bir lambam, yıldızlar mumlarımdır" der. Başka mahlûkat ve zîrûhlar bulunmaları, o adamın mâlikiyetine mâni olmadıkları gibi, bil'akis, onun hususî dünyasını şenlendiriyorlar, zînetlendiriyorlar.
      Aynen öyle de, (fakat binler derece yüksek) herbir mü'min için binler kasır ve hûrileri ihtiva eden hàs bahçesinden başka, umumî Cennetten beş yüz sene genişliğinde birer hususî Cenneti vardır. Derecesi nisbetinde inkişaf eden hissiyatıyla, duygularıyla, Cennete ve ebediyete lâyık bir sûrette istifade eder. Başkaların iştirâki, onun mâlikiyetine ve istifadesine noksan vermedikleri gibi, kuvvet verirler. Ve hususî ve geniş Cennetini zînetlendiriyorlar.
      Evet, bu dünyada bir adam, bir saatlik bir bahçeden ve bir günlük bir seyrangâhtan ve bir aylık bir memleketten ve bir senelik bir mesîregâhta seyahatinden ağzıyla, kulağıyla, gözüyle, zevkiyle, zâikasıyla, sâir duygularıyla istifade ettiği gibi; aynen öyle de, fakat bir saatlik bir bahçeden ancak istifade eden bu fânî memleketteki kuvve-i şâmme ve kuvve-i zâika, o bâkî memlekette bir senelik bahçeden aynı istifadeyi eder. Ve burada bir senelik mesîregâhtan ancak istifade edebilen bir kuvve-i bâsıra ve kuvve-i sâmia, orada beş yüz senelik mesîregâhındaki seyahatten, o haşmetli, baştan başa zînetli memlekete lâyık bir tarzda istifade eder.
      Her mü'min derecesine ve dünyada kazandığı sevâblar, haseneler nisbetinde inbisat ve inkişaf eden duygularıyla zevk alır, telezzüz eder, müstefîd olur.